“Kamu nggak perlu merasa tertekan begitu. Nanti malah akan memberikan pengaruh buruk ke tubuhmu. Nikmati saja jalannya dan biarkan semua mengalir apa adanya. Kamu bisa pergi ke dokter untuk memeriksakan kesuburanmu kalau kamu belum juga hamil setelah tiga atau empat tahun menikah,” ujar Odelina berusaha menenangkan adiknya. Ada juga sepasang suami istri yang tidak kunjung dikaruniai momongan setelah beberapa tahun menikah. Padahal mereka baik-baik saja setelah melalui banyak pemeriksaan. Sampai akhirnya mereka bercerai lalu menikah lagi dengan orang lain. Setelah itu, mereka akhirnya berhasil menjadi orang tua.“Apa mungkin karena kami melakukannya bukan di masa subur?” tebak Olivia.Odelia berpendapat kalau melakukan di waktu yang bukan masa subur pun mereka tetap saja bisa memiliki anak kalau memang sudah takdirnya. Mungkin memang belum waktunya saja. Stefan pastinya tidak memiliki masalah dalam tubuhnya, sedangkan Olivia juga sangat sehat. Odelinalah yang membesarkan adiknya, jadi
“Ayo, masuk dulu,” ajak Odelina.Stefan masuk ke dalam rumah Odelina sambil membawa barang-barangnya. Kemudian dia meletakkan barang bawaannya di atas meja teh dan berjalan menghampiri Olivia yang sedang menonton TV. “Stefan, ambil sendiri apa yang kamu mau, ya,” ujar Odelina sambil berjalan masuk ke dalam kamarnya meninggalkan pasangan suami istri itu di ruang TV.“Kamu beli apa, sih?” tanya Olivia sambil menarik kantung belanjaan yang Stefan bawa.Olivia langsung terdiam ketika melihat isi dari barang bawaan Stefan. Olivia memaklumi jika Stefan memerintahkan orang untuk memata-matainya. Namun, sekarang Olivia benar-benar kesal. Stefan seenaknya saja membeli susu ibu hamil untuk Olivia. Padahal Olivia belum mengatakan apa pun kepada Stefan perihal masalah ini. Untung saja, Stefan tidak membeli satu truk suplemen untuk Olivia. Mungkin dia terlalu terburu-buru, jadi tidak ingat kalau dia bisa membeli satu truk suplemen untuk istrinya tercinta yang dia kira sudah hamil.“Aku belum bisa
Makanan cepat saji yang dibungkus itu diberikan kepada Olivia, kemudian berkata, “Den Stefan belakangan kerjanya terlalu keras. Makannya jadi nggak teratur. Tiap kali diberi makanan, dia selalu lupa buat makan.”Olivia menerima bungkusan makanan itu, kemudian berkata. “Oke. Aku akan ingatkan dia.”Dimas membungkuk, berterima kasih. Setelah menutup pintu kamar, Olivia mengambil napas dalam-dalam untuk menahan perasaan sedih dan marahnya, lalu masuk ke dapur. Di sana, Olivia melihat Stefan yang bertumpu pada kompor dengan satu tangan sambil menekan perutnya dengan tangan yang lain, terlihat sedang kesakitan."Sakit perut, ‘kan?" Suara dengan nada sedikit marah terdengar.Tanpa melihat pun, Stefan tahu bahwa Olivia lah yang datang. Stefan segera berdiri tegak. Apa daya, rasa sakit dari perutnya membuat wajah Stefan meringis.Olivia sangat khawatir saat melihat kondisi Stefan. Dia mendekat dan membawa Stefan ke luar, lalu memintanya duduk di sofa. Olivia bertanya, “Perut kamu sakit?""Ak
“Kak, aku antar Stefan pulang, ya.” Olivia berpamitan pada Odelina yang sedang berada di kamar. Dia tidak memberi tahu sang kakak bahwa perut Stefan sakit, dan Olivia hendak mengantar Stefan ke rumah sakit. “Oke, hati-hati di jalan.” Suara Odelina terdengar dari dalam kamar, dia tidak keluar. Dalam hati, Odelina berpikir bahwa mungkin Olivia dan Stefan sudah mulai berbaikan. Para pengawal sedang menunggu di lantai bawah ketika mereka melihat Stefan diantar turun oleh Olivia. Mereka semua terkejut, tetapi segera menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan Stefan."Den Stefan." Dimas dan yang lainnya segera mendekat."Non Oliv, Den Stefan kenapa?" tanya salah satu pengawal khawatir.Olivia membuka kunci mobilnya dan berkata kepada Stefan, "Stefan, kamu naik ke mobil dulu.""Dimas, bantu Stefan, dia sakit perut," kata Olivia kepada Dimas.Dimas mengangguk dan dengan cepat membantu Stefan naik ke mobil. Dimas kemudian mengeluh kepada Olivia, "Den Stefan sering nggak makan Non akh
Aroma pahit semangkuk besar ramuan tradisional itu tercium tajam di hidung Stefan. “Bangun, minum obat.” Olivia berkata dengan wajah garang. Stefan bangun dengan wajah masam. Dia menelan ludah melihat semangkuk besar ramuan itu, mencoba bertanya, “Oliv, boleh kasih aku manisan, nggak?”“Menurut kamu?” balas Olivia tajam.Karena dipelototi oleh sang istri, Stefan bungkam. Dia mengambil mangkuk obat tersebut, mencium aroma pahitnya. Stefan seketika merasa mual."Oliv, ini masih panas banget, aku minum nanti saja, ya?""Terserah."Olivia duduk di sofa, bersandar ke belakang, kemudian mengeluarkan ponselnya. Dia mengirimkan pesan suara kepada Odelina, "Kak, tolong kunci pintu, aku nggak pulang malam ini."Mendengar kalimat Olivia, mata Stefan berbinar. Bibirnya tidak bisa menahan senyum.Meskipun perut Stefan terasa sakit dan harus minum semangkuk besar ramuan pahit, dia senang karena Olivia akan menginap.Melihat senyum bahagia Stefan, Olivia melihat ke kiri dan ke kanan, lalu meraih b
Saat Stefan merintih kesakitan, Olivia dengan keras melepaskan diri dari rangkulan lengan Stefan. Olivia berdiri, lalu menyodorkan mangkuk berisi ramuan obat itu ke depan Stefan. Dengan ekspresi mengancam, Olivia berkata, "Cepat minum obat!"Stefan, yang bibir dan wajahnya sakit karena digigit, sekarang masih harus minum semangkuk besar obat. Stefan menatap Oliva sejenak, kemudian menerima ramuan obatnya."Nggak usah akting sok melas gitu. Nggak ada ngaruhnya sama aku." Stefan tertawa getir. Stefan tahu meski berbicara kasar, tapi hati Olivia lembut.Sambil memandangi Olivia, Stefan minum obat.Obat itu pahit, tapi dengan Stefan memandangi Olivia, obat itu jadi terasa tidak pahit sama sekali. Bahkan malah terasa manis.Tak lama, mangkuk berisi ramuan obat itu pun habis diminum oleh Stefan.Olivia mengambil mangkuk dari tangan Stefan, kemudian berbalik pergi ke dapur untuk mencucinya.Ketika sang istri pergi, Stefan segera kebingungan mencari sesuatu di ruang tamu.Pahit!Stefan ingin m
Sarapan Olivia bermacam-macam. Dia sengaja ingin membuat Stefan tergoda."Malam ini aku mau pergi ke pesta sama tante. Nggak bisa nemenin kamu makan malam. Kalau kamu nggak mau makan di hotel, nanti aku siapin makan malam di toko. Suruh Dimas ambil." Olivia memberi tahu Stefan rencana hari itu, sembari makan sarapannya yang beraneka ragam."Mau aku temenin nggak? Pestanya siapa memang?" tanya Stefan. "Nggak usah lah. Tante bawa aku sama Amelia juga perginya. Pesta siapa, ya? Nggak tahu, deh. Lupa. Banyak banget undangannya, aku nggak ingat satu-satu.”Stefan menggerutu dalam hati, berkata, “Ya sudah kalau kamu perginya sama tante dan sepupumu. Aku jadi tenang. Kalau gitu aku lembur deh nanti malam. Kamu suruh Dimas bawain aku makanan saja.”Kalau istrinya membuat dia makanan, Stefan tidak mau makan di hotel. "Boleh lembur, tapi jangan terlalu larut. Nanti aku pulang sebelum jam sebelas malam. Kalau aku pulang nanti kamu nggak di rumah, aku kunci pintu. Kamu tidur di luar saja. Aku ng
Nenek menjawab, “Mereka nggak tahu Nenek naik mobil apa, tapi pernah cegat mobil Mama kamu. Terus pernah juga sekali, mobil bibi kamu.”Melihat ekspresi masam Olivia, Nenek menghiburnya, “Kami semua tahu mereka orang seperti apa. Sekarang mereka beralasan minta mas kawin, padahal sebenarnya mereka pengin kami jadi kesal sama kamu. Bikin kamu nggak bahagia tinggal bersama keluarga kami.”“Niat mereka itu, kami tahu, kok. Oliv, tenang saja, mereka nggak bakal dapat apa-apa. Waktu mereka nyegat mobil mertuamu, mertuamu langsung telepon polisi, bilang kalau ada orang yang mau rampok.”“Kakekmu itu yang paling nggak tahu malu. Nggak ada angin, nggak ada hujan, bilang ditabrak. Dia nggak sadar aja ada kamera cctv di jalanan yang biasa kami lewati. Akibatnya, begitu polisi datang dan mengecek cctv, kakekmu malah kena marah. Anak dan cucunya ditelpon untuk membawa kakekmu pergi.”“Yang paling ngeselin, mereka nyuruh wartawan berdandan seperti mereka, lalu diam-diam memfoto kami. Tapi juga keta