“Nggak usah jemput, aku bawa mobil sendiri. Oh iya, aku nggak bisa nyetir karena nanti mau minum-minum. Aku minta diantar sopir saja,” tutur Felicia.Vandi menjawab, “Nggak perlu sopir, biar aku saja yang antar. Aku nggak minum.”“Ya sudah, terserah kamu saja.”Felicia ingin minum-minum untuk merayakan keberhasilan rencananya. Dia akhirnya bisa kembali bekerja.Waktu ta terasa sudah menunjukkan pukul sebelas malam begitu Felicia selesai bekerja. Para karyawan yang tadi ikut lembut sudah pulang entah dari kapan. Saat Felicia keluar dari gedung kantornya, dia melihat Vandi sudah menunggunya di mobil. Vandi langsung menegakkan tubuh dan menghampiri Felicia.“Sudah berapa lama?” tanya Felicia sembari dia masuk ke mobil.“Belum lama, kurang lebih sepuluh menit.”Mereka mengenakan sabuk pengaman dan Vandi pun menyalakan mesin mobil. Felicia memberi tahu alamat kedai yang dulu sering dia kunjungi, dan di saat itu Vandi berkomentar, “Wah, ternyata Non juga suka makan di pinggir jalan juga, ya.
Malam makin melarut. Seiring dengan mengalirnya waktu, kegelapan malam perlahan-lahan mulai sirna dalam mimpi orang-orang. Matahari pagi pun terbit, dan hari baru dimulai.Olivia turun ke lantai bawah Vila Permai dan berkata, “Kak.”Mendengar kabar bahwa kakaknya akan datang, Olivia bergegas turun untuk menyambut kedatangannya. Di sana dia melihat Dewi sudah menemani Odelina mengobrol. Seketika mendengar suara Olivia memanggil, Dewi dan Odelina langsung menoleh ke arah asal suara itu datang dan melihat Olivia.Olivia segera mendatangi mereka dan menyapa mertuanya, lalu duduk di samping Odelina dan bertanya, “Tumben hari ini Kakak ada waktu kosong untuk datang?”“Aku datang untuk ketemu kamu, nggak suka?” balas Odelia sambil mencolok jidat adiknya dengan jari telunjuk.“Olivia pun langsung memeluk lengan sang kakak dan membalas, “Suka, dong. Suka banget! Tapi akhir-ahir ini Kakak sibuk banget sampai nggak ada waktu untuk datang. Waktu giliran aku yang datang, Kakak selalu bilang di rest
Odelina berjuang selama satu tahun sampai dia berhasil membuat tubuhnya sehat kembali. Dengan tubuh yang fit dan punya usaha sendiri, Odelina pun mendapatkan kembali kepercayaan dirinya. Dia tidak akan lagi makan sembarangan seperti yang dia lakukan dulu. Dia sudah cukup kehilangan banyak akibat kebiasaan buruknya itu.“Kakak sekarang sudah kurusan jauh, jadi harus makan daging lebih banyak,” kata Olivia.“Aku mana kurus. Oliv, ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu.”“Oh, apa tuh? Ngomong saja.”“Nanti jam tiga siang aku mau pergi ke bandara. Mau ke Cianter.”“Kenapa mendadak banget perginya?”Olivia sudah tahu dalam waktu dekat ini kakaknya akan pergi ke sana, hanya saja dia tidak mengira akan secepat ini.“Keluarga Gatara lagi kacau balau?” tanya Olivia.“Lagi kacau atau nggak, aku tetap bakal sering terbang ke sana. Nggak cuma untuk urus soal perebutan posisi Felicia saja, tapi juga penyebab kematian kakek nenek kita. Sebagai cucu, kita harus cari tahu duduk perkaranya. Jangan
“Kadang-kadang dia itu kayak anak kecil,” kata Odelina.Kecelakaan yang terjadi pada Daniel membuatnya merasa sangat terpukul. Dan jika bukan karena cinta Odelina yang begitu dalam, mungkin sekarang Daniel benar-benar menyerah dan sulit untuk bangkit lagi.“Kak, nanti aku bilangin ke Stefan, biar dia pergi lihat keadaannya Daniel kalau ada waktu.”“Oke, sekalian bawa Russel saja ke sana. Daniel sayang banget sama Russel. Kalau dia lihat Russel juga datang, dia pasti mengerti kalau kamu nggak bermaksud menyalahkan dia.”“Dia sudah tahu kok aku nggak menyalahkan dia. Dari dulu nggak pernah sekali pun aku benci atau merasa dia nggak berguna. Setelah sekian lama menjalani rehabilitasi tapi masih belum bisa berjalan normal, memarahi diri sendiri apalagi sampai memukul-mukul kaki sendiri nggak ada manfaatnya.”“Sebenarnya kemajuan dia sudah bagus banget. Ada beberapa orang di situasi yang sama harus sampai setengah tahun baru bisa berdiri. Sedangkan Daniel sudah bisa berdiri dari lama dan su
“Iya, Kak, iya. Sudah, pokoknya Kakak tenang saja.”Khawatir kakaknya akan terus menceramahinya, Olivia langsung mengalah dan mengganti topik.“Kakak kapan pulang? Kakak harus sering-sering pulang. Aku dan Russel bakal kangen, lho.”“Soal itu aku masih belum tahu pasti. Kalau ada waktu pasti pulang. Toh rumahku di sini, keluarga dan teman juga di sini. Masa kamu takut aku bakal pindah ke Ciater dan nggak pulang.”“Kak, jangan meluk aku begitu, ah. Kita kan sudah gede, tapi Kakak masih kayak anak kecil saja. Kalau Russel lihat dia pasti malu.”“Mau sampai umur 100 tahun pun kamu tetap adik kecilku.”Sementara Odelina menitipkan Russel kepada Olivia, di rumah keluarga Lumanto, Daniel benar-benar mengurung dirinya di kamar dan tidak mau keluar. Pintu kamarnya dikunci dari dalam, bahkan saat Yanti dan yang lainnya membujuk, Daniel tetap tidak mau membukakan pintu.Sejak Daniel mengetahui Yuna adalah anak kandung dari kepala keluarga Gatara terdahulu, dia memiliki firasat bahwa Yuna akan me
Suara ketukan di luar berhenti untuk sesaat dan kemudian berbunyi lagi, kemudian berhenti lagi. Daniel tidak sekali pun menyahut, apalagi membukakan pintunya.Entah telah berapa lama waktu berlalu, suara ketukan pintu itu kembali terdengar, tetapi kali ini disertai oleh suara panggilan Russel yang riang.“Om Daniel lagi di kamar? Om masih tidur atau sudah bangun? Boleh bukain pintunya? Aku bawa nampan berat banget, tanganku sudah pegal. Om Daniel cepat bukain pintunya. Om Daniel, Mama lagi pergi dan nggak ngajak aku. Mama suruh aku tinggal bareng Om Stefan dan Tante Olivia. Aku sedih mau nangis. Om Daniel bisa peluk aku, ngak? Aku mau nangisnya di paha Om saja.”Setelah Russel berkata seperti itu, dia benar-benar menangis terisak. Olivia yang melihat aktingnya itu sungguh kagum padanya. Dan ketika mendengar suara tangisan Russel, tak sampai beberapa detik Daniel langsung bergerak. Dia yang tadinya sedang berbaring di atas kasur langsung beranjak dan hendak pindah ke kursi rodanya. Akan
Di saat itu juga Olivia baru muncul dan langsung mengapa Daniel dengan hangat. Stefan yang juga datang bersamanya mengambil nampan itu dari tangan Daniel dan membawa masuk ke dalam seraya berkata, “Sudah tua tapi kelakuan masih kayak anak kecil saja. Masa harus anak kecil yang membujuk kamu? Daniel, apa kamu nggak malu? Aku saja malu.”“Kalau kamu yang merasa malu gara-gara aku, jangan datang kemari. Aku juga nggak minta kamu yang malu untuk aku.”“Kalau kamu bukan teman baikku dan mungkin jadi iparku, kamu kira aku bakal peduli sampai rela datang ke sini?”Stefan menaruh nampan itu di atas meja dan melanjutkan, “Ngapain duduk di situ, ayo sini, maan!”Russel mendongak ke atas dan menatap Daniel dengan matanya yang hitam bulat itu. “Om Daniel, tadi aku sudah janji sama Nenek bikin Om mau makan. Jadi Om harus makan, ya. Kalau nggak, nanti Nenek pikir aku ini pembohong.”“Iya, Om makan. Om nggak akan bikin Russel disangka pembohong. Russel kan anak yang baik dan pintar.”“Om Daniel, sini
Russel ingin membantu, tetapi apa daya dia masih terlalu kecil. Untuk sekadar mendorong kursi roda mungkin masih bisa, tetapi untuk memapah tubuh Daniel jelas sudah tidak mungkin. Walau begitu, Russel tidak merengek. Dia tiba-tiba menepuk tangan ketika melihat Daniel sudah pindah ke sofa, “Wah, Om Daniel hebat sudah bisa jalan sendiri!”Gurunya di TK pernah bilang, siapa pun yang melakukan sesuatu dengan baik harus diberikan pujian. Daniel sudah melakukan yang terbaik untuk pindah dari kursi roda sampai ke sofa, maka tentu saja dia juga harus diberikan pujian. Ketiga orang dewasa itu pun dibuat tertawa oleh tingkah laku Russel yang polos dan menggemaskan.“Daniel, cepat makan selagi masih hangat. Habis makan nanti kita ngobrol-ngobrol,” kata Stefan.“Benar, Om Daniel. Cepat dimakan. Aku sudah janji sama Nenek harus bikin Om mau makan. Kalau Om nggak makan, nanti Nenek nggak percaya sama aku lagi,” ucap Russel.“Nggak sia-sia Om sayang sama kamu,” kata Daniel, seraya memeluk Russel dan