“Nih, gue bawa album kehamilan gue.” Vina menaruhnya di meja ruang piket. Ia sibuk membuka kotak bekal untuk bisa memamerkan pan cake buatan anak sulungnya.Mata Natasya berbinar. Ia ingat betul di halaman ke tiga ada sebuah tespek bergaris dua yang bisa ia tukar dengan tespek miliknya pemberian mama yang tentunya hanya bergaris satu.“Nat, cobain pan cake buatan si kakak. Berantakan tapi rasnya enak.”“Ambilin minum dong, Vin, lo ‘kan tahu gue gak terlalu suka manis.”Dengan mulut penuh, Vina bangkit dari kursi, “Ribet lo.”Vina terus mengoceh, tapi Natasya tak mendengarkannya sama sekali. Masa bodo sahabatnya mau bicara apa, ia tak peduli. Dengan kecepatan secepat kilat, Natasya mengambil tespek itu dan menempel tespek miliknya ditempat semula.Gelas plastik tersimpan, “Cari apaan sih lo sebenernya?”“Gue cuma lagi pengen liat yang gemes gini. Barangkali gue bakal cepet—nyusul?”Vina melotot, “Ya ampun, kok gue gak sadar ya kalo mungkin ini pertanda lo akan segera hamil?”
“Aku udah di jalan, sayang. Iya, aku naek taksi nih, soalnya lagi capek, hehe. Kamu gak masak ‘kan? Aku bawain makanan dari kedai deket rumah sakit. Oh ya udah, tungguin aku kayak biasa ya, di depan. Aku tutup. Dadah.” Natasya tersenyum menatap wallpaper foto dirinya dan Alan yang membuat tanda cinta.“Harusnya gue jengukin Alan seminggu sekali kayak dulu. Tapi—keadaan lagi gak kondusif. Dia—sebenernya marah gak ya sama gue?” Natasnya cemberut, “Ya pasti marah lah, Sya, pake nanya lagi lo.”Supir taksi menatap Natasya.“Saya gak gila, pak. Saya emang sering ngomong sendiri. Itu seru.”“Iya, mbak, lanjutin aja.”Taksi bergerak pelan karena jalanan macet di penuhi karyawan kantor dan anak sekolah yang baru pulang. Untungnya Natasya memesan taksi, sehingga ia bisa sedikit istirahat.“Pernikahan gue sama dokter Abian udah berjalan mau dua bulan. Cepet juga. Gue kira dia senyebelin itu. Emang nyebelin sih tapi—cakep. Ah, untung dia cakep.”Semakin sore, taksi benar-benar tak berger
Natasya menunggu Abian turun dari mobil. Ia tak berani masuk lebih dulu untuk bertemu papa.Abian menggandeng tangan Natasya, “Kita hadapi semua sama-sama.”“Aku—gak mau masuk.”“Kamu pikir kalo diem disini kamu akan tahu papa sakit apa?”Tak ada jawaban.Abian memegangi kedua bahu Natasya, “Saya akan peluk kamu semaleman ini, dan itu gratis. Kita masuk sekarang.”Natasya merasa bertemu papa kali ini seperti akan menghadapi ujian OSCE. Ia tak pernah setakut ini sebelumnya. Ia yang belum sempat makan malam karena terjebak macet, tambah lemas.Sebelum mengetuk pintu, papa keluar. Papa membawa segelas teh yang masih mengepul.“Eh, Sya, nak Abian? Masuk, kita makan.”Papa tak berhenti tersenyum melihat tangan Abian terus bertaut dengan tangan Natasya di atas meja makan, “Maaf ya, kita cuma makan seadanya.”Abian tersenyum, “Gak papa, pa. Ini cukup. Proteinnya full.”“Begitulah kalau duda. Yang penting makan lancar, gizi seimbang.”“Emang kenapa sama telor dadar dan sayur bayem
Natasya baru pulang ke rumah setelah menginap di rumah sakit selama dua hari. Ia harus mempersiapkan diri sematang mungkin untuk ujian bedah kemarin. Semuanya lancar. Dokter Farhan yang menjadi penilainya merasa puas dengan tangan cekatannya di meja bedah. “Nat, kamu mau makan atau tidur dulu?” mama melenggang dari dapur, membawakan sebuah mangkuk sop yang wanginya menggetarkan hidung Natasya. “Aku mau makan sekarang deh, ma. Aku gak terlalu begadang semalem, soalnya pasien aman.” “Syukurlah. Abian mana ya?” mama melirik tangga, “Bi, ayo sarapan.” “Iya, ma.” Abian masuk dari belakang rumah. Tubuhnya penuh dengan keringat. Ia duduk disebelah Natasya. “Kamu—dari tadi olahraga?” “Iya. Mama pikir aku masih tidur?” Mama menggeleng, “Oyah, nanti siang mama rencananya mau jenguk cucu temen mama ke rumah sakit. Kalian mau ikut gak?” “Boleh. Kamu gimana, sayang?” Natasya mengangguk, “Ayo, ma.” “Senengnya mama sekarang ada yang nemenin.” Abian melirik Natasya. Ia memberika
Sudah satu bulan, sejak memutuskan hamil palsu, Natasya tak lagi bicara dengan Abian. Ia merasa terancam dengan permintaannya mengenai bertemu Alan. Kalau suami kontraknya benar bertemu Alan, ia tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Abian adalah orang yang tak terduga. Responnya bisa saja baik atau justru lebih buruk dari apa yang dipikirkannya.Vina memberikan papan visit, “Nat, pasien di bangsal baru aja gue ganti infus. Dia banyak ngeluh, lo sabar aja ya. Gue mau balik.”Natasya mengangguk pelan.“Lo—kenapa sih? Aneh tahu gak sebulan ini begini terus.”“Gak papa kok.”“Si—maksud gue dokter Abian—gak nyakitin elo ‘kan?”Natasya menggeleng, “Semua aman.”“Hm, syukurlah.” Natasya mendorong Vina, “Ya udah sana, katanya mau pulang.”“Kalo lo gak enak badan, gue—bisa kok lanjutin shift.”“Ngomong apaan sih lo, Vin. Kasian anak-anak lo. Bye!” Natasya berjalan cepat meninggalkan Vina.Natasya menandatangani absensi dan segera membuat laporan jaga. Sudah satu bulan, selama ia j
Natasya menguap lebar-lebar ketika memasuki kamar. Ia sudah bertemu mama yang sedang menyirami bunga di depan. “Nat, buruan!” Abian menariknya masuk ke dalam kamar, “Mama gak pegang perut kamu ‘kan tadi?” “Pegang.” “Yah, bahaya. Nanti kalo karetnya ditempelin mama akan sadar dong kalo gundukkannya beda?” “Gundukkan, di kira kuburan apa?” “Ya apalah itu namanya. Mana karetnya? Saya mau liat. Kita pasang sama-sama.” Dengan mata tertutup dan langkahnya yang lemah menuju ranjang, Natasya merutuk kesal, “Orang mau tidur malah disuruh pake perut karet. Nanti aja lah.” “Nat, takut mama keburu pegang perut kamu lagi.” “Habis tidur aku mau mandi. Ya percuma dong, dok, nanti dilepas lagi.” “Saya cuma mau liat pas nempel di perut kamu gimana.” Natasya tak lagi menggubris ucapan Abian. Ia sangat ngantuk dan tak bisa menahannya. “Yang jaga malam bukan cuma kamu, tapi saya juga, Nat! Lemah, baru segitu udah ngantuk.” Abian tak sabar. Ia ingin melihat perut karet itu untuk
Abian menuntun Natasya ketika menuruni tangga. Di ruang tivi sudah ada mama dan papa yang tersenyum menyambut ibu hamil muda.“Sini mama jemput.” Mama menuntun Natasya, “Kalian perlu pindah kamar, soalnya kehamilan Natasya ini masih rentan, Bi. Nanti mama minta mbok pindahin barang-barang kalian ya.”“Gak usah lah, ma, Natasya kuat kok.” Abian berusaha membela Natasya. Ia tahu jika mereka pindah kamar, akan lebih bahaya karena mama bisa masuk ke kamar untuk mengelus perutnya lebih sering.“Kamu tuh gak pengertian banget sih sama istri kamu. Yang hamil itu Natasya, bukan kamu, Bi.”Papa tertawa, “Biarkan saja besan. Abian lebih tahu kondisi Natasya. Mereka pasti sudah melaksanakan serangkaian tes di dokter kandungan.”Mama membuang nafas pelan, “Kalian bersyukur papa bela kalian. Nat, kamu udah laper? Kita makan sekarang ya? Kamu mau makan apa?”Natasya bingung setiap kali mama bertanya begitu. Ia terbiasa makan apapun yang di sediakan, apalagi sejak jadi dokter ko-ass, rasanya l
Mama datang membawa alat pendeteksi detak jantung janin. Dengan senyum sumringah, alat itu langsung mama dekatkan dengan perut Natasya.“Ma!” Abian menahan lengan mama.“Kenapa, Bi?”“Eum—aku baru inget, fetal doppler baru bisa dipake saat usia kandungan sepuluh minggu.”Mama dan papa saling tatap.“Emangnya kandungan Natasya berapa minggu, Bi?”Abian melirik Natasya, “Baru—enam minggu, ma.”“Oh. Itu perutnya udah agak keliatan. Mama pikir udah diatas delapan minggu.” Mama menaruh alat di meja dan duduk disebelah Natasya, “Ya udah kalo belum bisa. Mama elus-elus aja cucu kesayangan mama. Halo, sayang, ini—oma. Kamu—lagi apa di dalem?”Papa tertawa, “Giliranku.”“Oh iya, besan, tentu.” Mama bangkit, membiarkan papa mengelus perut Natasya.Dengan tangan bergetar, papa mengelus perut karet Natasya, “Halo, kakak. Ini—kakek. Terima kasih sudah hadir di dunia ini, di rahim—” papa mendongak, “Kamu mau dipanggil apa, Sya?”Bukannya menjawab, Natasya malah menangis.Abian tersenyum
Sejak pagi setelah selesai shift, Natasya terus berada dekat dengan Abian. Ia tak mau jauh-jauh dari suaminya.“Gak ada yang ketinggalan?”“Gak, mas, aman. Yuk.” Natasya menggandeng lengan Abian.Jika tak memakai baju dinas, mereka terlihat seperti pekerja kantoran. Penampilan Abian yang mengikuti zaman dan Natasya yang mulai mengubah penampilan, membuat mereka jadi idola baru di kalangan dokter ko-as.“Mau beli sesuatu dulu gak sebelum pulang?” tanya Abian.“Gak ah, aku capek, mau tidur.”“Kalo aku order diterima gak?”Natasya menggebug lengan Abian, “Jangan kenceng-kenceng ngomongnya.”Abian berbisik, “Aku mau order, bisa gak?”Natasya tertawa. Ia mendorong tubuh Abian yang tertawa juga, “Nyebelin!”Vina yang melihat kemesraan mereka dari kejauhan tersenyum, “Natasya udah menemukan kebahagiannya. Artinya Alan udah gak punya celah untuk masuk lagi ke hati elo, Nat.”Di parkiran basement, Abian membuka kan pintu mobil untuk Natasya, “Silakan masuk, nyonya Abian.”“Mas, jan
Natasya berjalan buru-buru setelah melakukan visit ke ruang ICU dan bangsal menuju ruangan Abian. Ia lupa pada titah suami kontraknya dan malah ngobrol ngalor-ngidul dengan Arsya di telpon. Ceklek.“Mas, hehe, maaf ya lama.”“Satu jam lebih bukan telat lagi sih.”Natasya manyun, “Segini juga dateng. Aku sibuk tahu.”“Sibuk apa? Bukannya yang jaga malam banyak?”Natasya menjatuhkan dirinya di sofa, “Aduh enaknya.”Abian bangkit dari kursi kerja dan duduk disebelah Natasya. Ia mengendus bau istrinya.“Mas, apaan sih.” Natasya menggeser tubuhnya karena risih.“Aku mau.”Natasya melotot, “Mas, ini di rumah sakit!”“Kita bisa kunci ruangannya."“Nggak!”“Aku bayar.”“Nggak mau.” Natasya berdiri, “Kalo aku diminta kesini buat ini, aku pergi.”“Oke-oke, nggak akan. Aku cuma mau kamu disini. Aku butuh temen ngobrol.”Natasya kembali duduk di sofa.“Gak mau semakin deket duduknya?”Natasya menggeleng.“Aku disini sampe lusa loh.”Mendengar itu, Natasya menatap Abian lama.
Pov AbianHari ini Natasya mengikuti operasi bersama profesor Indra, sehingga yang jadi asisten poli adalah Vina. Sudah hampir seluruh pasien melakukan konsultasi. Ketika pasien terakhir belum masuk karena sedang pergi ke toilet, Abian jadi mengingat sesuatu yang ingin ditanyakan pada Vina.Di putar kursinya ke arah Vina. Suster Anna sedang berdiri di lawang pintu karena berbincang dengan perawat lain.“Vin?”“Iya, dok?”“Selesai praktek, kita bisa bicara?”“Bisa, dok. Soal—Natasya, ya?”Abian mengangguk, “Natasya gak akan selesai operasi secepatnya ‘kan?”“Kayaknya masih lama, dok. Pasiennya mengalami pelengketan serius, pasti butuh waktu lama.”“Oke, bagus.”“Pasien datang, dok.” seru suster Anna.Abian membaca hasil tes dengan wajah sangat serius, membuat pasien, suster Anna dan Vina jadi cemas.“Kenapa, dok?” tanya anak pasien, “Apa hasil tesnya—buruk?”Abian menatap pasien dan wali silih berganti, “Apa ibu sering mengalami serangan jantung?”“Saya baru datang dari
Abian menatap Aca penuh pengertian, “Kamu masuk. Biar Natasya jadi urusan aku.”“Oke, sayang.” Aca tersenyum sinis ke arah Natasya sebelum menutup pintu.Natasya pergi. Ia sungguh tak habis pikir suaminya tega membohonginya berkali-kali mengenai Aca.“Nat, tunggu.” Abian mengejar Natasya yang berjalan amat cepat.Natasya tak menggubris panggilan Abian.“Nat!” Abian menarik lengan Natasya, “Dengerin aku dulu, dong.”Natasya terpaksa membalikkan badan, “Dengerin apa? Berkali-kali, mas, kamu bohongin aku dan ketemu Aca diem-diem. Aku harus dengerin apa lagi?” “Aku cuma gak tega Aca luntang-lantung karena kasus kemarin.”“Itu salah dia. Siapa yang suruh dia pura-pura hamil, labrak aku dan hancurin karirnya sendiri?”“Nat, kamu gak punya hati? Aca gak pernah berniat begitu. Dia cuma—”“Bercanda?”Abian membuang nafas pelan, “Kamu aneh. Kamu gak mau melanjutkan pernikahan kita dan terus memilih Alan, tapi kamu cemburu sama Aca. Apa bener yang Ical bilang, kalo kamu mencintai dua
Tersisa dua hari lagi Abian bertugas di rumah sakit sebelum dipindahkan ke daerah. Natasya memakai waktu ini sebaik-baiknya untuk jadi istri sekaligus residen yang berbakti. “Ada lagi yang mau mas makan?” tanya Natasya ketika ia dan Abian baru bisa makan siang di malam hari, berdua di ruangan pribadi Abian.“Udah cukup. Ini aja banyak banget.”“Hehehe, aku lagi ngidam pengen semua ini.”“Kirain ngidam hamil.”Natasya melirik Abian sinis, “Jangan mulai deh.”“Nanti pulangnya gak bisa bareng. Aku ada perlu.”“Gak papa, aku juga ada perlu.”“Perlu apa?”“Jangan tanya, aku juga gak tanya mas ada urusan apa sama siapa.”Abian mendecek.Natasya menatap Abian, “Mas, nanti janji harus sering kesini. Aku juga janji bakal jengukin mas ke rumah sakit baru.”“Hm.”“Telinga dan jantung aku pasti akan kaget gak lagi mendengar bentakkan dan ucapan sarkasme mas.”“Kamu ini muji atau ngehina sih?”Drrrrt~Natasya merogoh ponselnya. Ia berhenti makan ketika membaca pesan yang entah di
Kedatangan Natasya dan Abian disambut hangat oleh perawat dan dokter yang sudah lebih dulu tiba di balroom hotel. Vina dan Irvan pun ada disana. Suasana sangat meriah dengan dekor yang dibuat sedemikian rupa. Namun yang tak ditemukan Natasya adalah tulisan ‘Farewell Party’ atau ‘Selamat Bertugas ditempat Baru’, seperti yang sering ia lihat di acara perpisahan dokter lain. Meski begitu ia berusaha menikmati acara.“Dokter Abian, selamat ya.” dokter bedah umum senior menyalami Abian, “Saya tahu semua akan terjadi. Berkat dokter Abian, rumah sakit kita kembali mendapat penghargaan.”“Saya hanya melakukan tugas, dok.”“Meski begitu kami para dokter bedah sangat berterima kasih karena mendapat sumbangan alat-alat terbaru dari pak Waluyo, semua berkat dokter Abian.”Rumah sakit mendapat sumbangan dari pak Waluyo? Natasya mengernyit. Jadi pak Waluyo sudah di operasi? Oleh siapa? Ia terlalu fokus pada masalah Aca, Haikal dan Alan, sehingga tak pernah punya waktu untuk menanyakan hal ini
“Kerja bagus. Terima kasih untuk semuanya.” tutur dokter Farhan pada semua staf operasi.Natasya jadi orang terkakhir yang keluar setelah membantu perawat membereskan ruang operasi.“Dok, gak papa, ini biar saya yang beresin.”“Gak papa, sus.”“Dokter Natasya lagi seneng itu, sus, biarin aja.” kata perawat lain.Natasya tersenyum, “Enggak kok, biasa aja.”“Dokter Natasya, saya turut senang dengan kabar baik soal dokter Abian.”Natasya berhenti menutup dus kain kasa, “Ada—kabar baik apa soal dokter Abian?”Perawat yang bicara itu disikut perawat lainnya, “Hehehehe, enggak, dok.”“Ada apa?” desak Natasya.“Gak papa, dok. Dokter istirahat aja. Dokter Natasya gak boleh kecapean.” Perawat mendorong tubuh Natasya keluar dari ruang bedah.Natasya membuka sarung tangan karet, “Aneh banget sih. Ada kabar baik apa emang soal mas Abian? Kok gue gak tahu?”Sebelum keluar dari ruang operasi, Natasya membersihkan tangannya. Ia akan segera ke poli untuk menemani suaminya praktek rawat ja
Ponsel Natasya bergetar pendek ketika ia sedang merapikan rekam medis pasien poli di ruang piket sambil menikmati makanan dari mama Vina di jam makan siang. Matanya tertutup ketika membaca pesan dari Abian. From : Dokter Abian Aku mau malam ini. Kalo kamu pulang lebih awal, jangan tidur dulu. Ada yang harus aku urus di rumah sakit Natasya tak membalas pesannya. Ia harus menyiapkan tameng agar Abian tak menanamkan benih dalam rahimnya. Dengan cepat ia memesan alat kontrasepsi untuk Abian, karena ia tidak akan sempat memasang alat kontrasepsi, apalagi kondisinya sedang tidak datang bulan. “Sebut aja ini—hadiah karena dia mau rotasi ke rumah sakit daerah.” Lama Natasya menunggu paketnya datang. Ia cemas sekali Abian memanggilnya untuk menemani visit. Natasya berjalan bolak-balik depan UGD menunggu ojek online mengantarkan pesannnya. Saat ia melirik ke jalan, sebuah motor yang flatnya sama seperti yang ia lihat di aplikasi, berhenti. “Mas Putra?” “Mbak Natasya?” “Iya.
Natasya melambaikan tangan pada Haikal yang mobil keluarganya keluar pelan dari pelataran rumah. Ternyata ia merasakan kehilangan juga ketika Haikal tak akan lagi tinggal disini.Abian merangkul mama dan Natasya, “Ical pasti sesekali kesini.”Mama mengangguk, “Mama masuk dulu.”Natasya menyeka air matanya.Abian tersenyum, “Ical gak akan ngelupain kita kok. Kalo kita ketemu di luar, kita bisa main sama dia.” “Mas, aku mau ngomong sesuatu.”Wajah Abian berubah cerah. Ia merasa akan mendapatkan kabar baik setelah Natasya tahu jika ia dan Aca tidak pernah melakukan apapun.Natasya menatap Abian, “Aku—gak mau pernikahan kita—berubah. Kita—pertahankan aja kontrak itu.”Mata Abian merah, senyumnya luntur, “Ke-kenapa?”“Aku mencintai Alan, dan akan terus begitu.”“Kamu—udah gak perawan.”Natasya tersenyum, “Terus kenapa?”“Emangnya Alan—bisa menerima?”“Bisa. Seperti yang aku bilang, Alan mencintai aku. Apapun yang terjadi sama aku—dia bisa menerimanya.”Abian tak menjawab.“