Abian tak berani menatap mata mama. “Untung mama dateng. Mama bisa bayangin gak, bulan madu yang harusnya semanis itu, pasti akan berubah duka, ma.” Natasya belum berhenti memelas. Mama mengelus lengan menantunya, “Kamu tenang aja. Mama gak akan semudah itu percaya lagi sama Abian, meskipun dia udah janji gak akan pernah ketemu mantannya yang ternyata masih jadi pacarnya.” “Ma, aku bisa jelasin.” Mama menatap Aca, “Mau pergi sendiri atau perlu saya viralkan?” Mata Aca merah. Ia melirik Abian meminta bantuan. “Ma, jangan—” “Saya akan video kamu.” mama merogoh ponsel dari tasnya. “Ca, lebih baik kamu pergi!” usir Abian. “Bi, kamu—” Abian menyeret Aca ke luar villa, “Pergi.” desisnya. “Bi, tapi ‘kan—” Mama tersenyum, “Kamu gak denger usiran Abian? Perlu saya panggil keamanan?” Kedua mata Aca merah. Ia menahan marah, sedih dan malu diwaktu yang bersamaan, “Koper aku.” tunjuknya pada koper miliknya yang ada di dalam. Abian membawakan koper Aca, “Pergi!” Aca
Mama tersenyum meledek, “Memang kamu bersih gak punya sisi gelap? Natasya itu manusia biasa, Bi. Dia bisa tumbuh besar sebaik ini aja udah lebih dari cukup.” Abian tertawa, “Mama gak tanya apa sisi gelap Natasya?”“Memang apa?”Natasya tak percaya Abian akan membongkar rahasianya, “Emang dia tahu apa soal gue? Awas aja ya, kalo dia merugikan nama gue, gue bakal bales sepuluh kali lipat!”“Natasya itu menjajakan dirinya, ma!”Mama tak memberikan reaksi apapun. Mama terlalu kaget mendengar fakta ini.“Dia jadi pacar sewaan di rumah sakit. Dia di bayar setiap kali nemenin cowok yang beda-beda itu. Duitnya gak tahu kemana. Mungkin dia kalah slot atau apa, kita gak pernah tahu. Dia punya aplikasi khusus untuk itu. Dia bahkan beberapa kali nawarin itu ke aku.”Mama masih bergeming. Detektif swasta yang disewa untuk mencari tahu semua hal tentang Natasya, ternyata luput dari sebuah fakta yang Abian sebutkan.“Mama kaget ‘kan?”Natasya merengut takut. Mama pasti tak percaya kalau ia
“Abian!” mama keluar villa untuk mengintrogasi anaknya. Natasya kaget, ia pikir mama tidak akan langsung memarahi Abian, “Ma!” ia tidak mau ketinggalan pertunjukkan seru. “Kenapa, ma?” Mama menampar Abian, “Kamu keterlaluan kali ini! Natasya bukan mantan pacar Irvan ‘kan? Tapi kamu suruh mereka pacaran pura-pura depan mama?!” Abian melirik Natasya. “Mama tuh bingung, salah didik apa selama ini sama kamu. Mama masukkin kamu ke sekolah yang pendidikan karakternya bagus, mama juga berusaha jadi ibu yang baik buat kamu.” mama membuang nafas, “Jadi—apa yang bikin kamu bergerak sejauh ini?” Abian menunduk. “Bi, jawab! Apa karena mama kasih kamu papa yang—gak berguna, makannya kamu ikutin jejak dia, iya?” Abian menatap wajah mama yang merah, Natasya juga. Mama menangis membuang mukanya. “Ma, maaf.” Natasya bingung harus melakukan apa. Sebenarnya ia menyimpan pertanyaan
Natasya mengangguk.“Pacar kamu—siapa? Irvan?”Natasya bangkit. Ia menatap Abian, “Bukan Irvan, bukan dokter di rumah sakit tempat dokter kerja dan aku jadi residen. Dokter gak kenal sama dia.”Entah, Abian harus merasa lega atau justru jadi sangat penasaran siapa lelaki itu.“Tapi jangan pernah tanya dia siapa, tinggal dimana, kenapa aku bisa pacaran sama dia dan semuanya.”“Saya—gak akan tanya apapun. Saya hanya penasaran pada satu hal. Apa dia tahu kamu—menikah sama saya?”Natasya menangis semakin dalam. Bahunya bergerak lebih kencang dari semula.Abian yang biasanya dingin dan tak peduli, berubah sendu saat melihat Natasya menangis, meski ini bukan kali pertamanya. Ia mengelus bahu istrinya, “Dia tahu, ya?”Natasya menggeleng, “Dia gak tahu, dok. Aku—gak bilang kalo aku dapet kerjaan untuk jadi istri kontrak dokter Abian.”“Dia—kenal sama saya?”“Aku sering ceritain dokter sama dia. Kalo dia tahu—gimana, dok? Heu heu heu.”“
Sudah setengah jam Natasya hanya duduk diam menatap cahaya mega. Abian berlarian kesana kemari memotret langit yang memang sedang indah sekali. Natasya memikirkan Abian yang mencium pipinya tiba-tiba tadi. Ia mengusap pipinya pelan, “Bahkan udah mau dua minggu Alan belum cium gue lagi. Tapi si siluman—dia—”Abian duduk, menyedot air kelapa dengan semangat, “Kamu gak suka disini?”“Suka.”“Kenapa diem aja?”“Gak papa.” Natasya melirik, “Aca—masih disini?”“Dia pulang.”“Hm.”“Baguslah kalau dia nurut. Mungkin dia takut mama bener-bener bikin video viral soal dia yang akan menghancurkan karirnya.”“Karir? Emang Aca kerja apa?”“Dia model majalah.”“Hm pantes.”Abian menatap Natasya yang menggenggam erat ponsel miliknya, “Lagi nunggu kabar pacar kamu?”“Iya. Dia belum bales lagi. Aku cuma takut dia kenapa-napa.”“Kamu telpon aja keluarganya, tanya dia kemana.”“Dia—tinggal sendiri.”“Hm. Tunggu aja. Mungki
Waktu kepulangan dimajukan tiga hari karena Abian harus stay di rumah sakit—sementara dokter bedah lain menempuh seminar dan kegiatan lain ke luar kota. Artinya cutinya tidak di approved pihak rumah sakit. Mama kecewa. Meski begitu mama cukup puas setelah yakin kalau anak dan menantunya kini sudah melakukan ritual pengantin. Keadaan jadi canggung setelah Abian dan Natasya berciuman. Mereka belum bicara lagi, hingga kini pesawat landing di Jakarta. Mama masih di Bali, ada urusan bisnis yang harus dikerjakan. “Saya langsung ke rumah sakit.” Abian melirik Natasya. “Hm.” “Kamu mau bareng?” “Kalo kita ke rumah sakit, koper gimana?” “Supir akan ambil ini. Saya kenal petugas disini.” Natasya mengangguk. Ia membawa beberapa paper bag berisi oleh-oleh untuk Vina. “Biar saya yang bawa.” Abian membawa paper bag itu. Ia jadi lebih perhatian setelah ciuman itu. Natasya duduk disebelah Abian di taksi. Ia terus membuang muka karena malu. Mereka begitu parah malam tadi. Setiap ka
“Nih, gue bawa album kehamilan gue.” Vina menaruhnya di meja ruang piket. Ia sibuk membuka kotak bekal untuk bisa memamerkan pan cake buatan anak sulungnya.Mata Natasya berbinar. Ia ingat betul di halaman ke tiga ada sebuah tespek bergaris dua yang bisa ia tukar dengan tespek miliknya pemberian mama yang tentunya hanya bergaris satu.“Nat, cobain pan cake buatan si kakak. Berantakan tapi rasnya enak.”“Ambilin minum dong, Vin, lo ‘kan tahu gue gak terlalu suka manis.”Dengan mulut penuh, Vina bangkit dari kursi, “Ribet lo.”Vina terus mengoceh, tapi Natasya tak mendengarkannya sama sekali. Masa bodo sahabatnya mau bicara apa, ia tak peduli. Dengan kecepatan secepat kilat, Natasya mengambil tespek itu dan menempel tespek miliknya ditempat semula.Gelas plastik tersimpan, “Cari apaan sih lo sebenernya?”“Gue cuma lagi pengen liat yang gemes gini. Barangkali gue bakal cepet—nyusul?”Vina melotot, “Ya ampun, kok gue gak sadar ya kalo mungkin ini pertanda lo akan segera hamil?”
“Aku udah di jalan, sayang. Iya, aku naek taksi nih, soalnya lagi capek, hehe. Kamu gak masak ‘kan? Aku bawain makanan dari kedai deket rumah sakit. Oh ya udah, tungguin aku kayak biasa ya, di depan. Aku tutup. Dadah.” Natasya tersenyum menatap wallpaper foto dirinya dan Alan yang membuat tanda cinta.“Harusnya gue jengukin Alan seminggu sekali kayak dulu. Tapi—keadaan lagi gak kondusif. Dia—sebenernya marah gak ya sama gue?” Natasnya cemberut, “Ya pasti marah lah, Sya, pake nanya lagi lo.”Supir taksi menatap Natasya.“Saya gak gila, pak. Saya emang sering ngomong sendiri. Itu seru.”“Iya, mbak, lanjutin aja.”Taksi bergerak pelan karena jalanan macet di penuhi karyawan kantor dan anak sekolah yang baru pulang. Untungnya Natasya memesan taksi, sehingga ia bisa sedikit istirahat.“Pernikahan gue sama dokter Abian udah berjalan mau dua bulan. Cepet juga. Gue kira dia senyebelin itu. Emang nyebelin sih tapi—cakep. Ah, untung dia cakep.”Semakin sore, taksi benar-benar tak berger
“Saya ke kamar. Tolong nanti bawain teh hangat ya. Saya mau review beberapa thesis temen kelompok kamu.”“Siap, dok.”Abian menaiki tangga dengan cepat. Ia langsung membicarakan teknik operasi dengan dokter Farhan melalu telpon. Natasya jadi curiga ia akan ketiban sibuk itu dan akan berjaga malam ini.Natasya membuka kulkas, mencari sisa cake stroberi kesayangannya. Sebelum membuat teh pesanan Abian, ia memakan hampir seluruhnya, takut keburu tak ada waktu karena akhir pekan sudah berakhir.“Gilaaa, ini enak bangeeet.” Natasya mengambil gelas, “Seret. Minum mana minum?”Selesai minum, sebelum memakan kembali sisa kue, Natasya menggaruk perutnya yang tertempel karet hamil palsunya, “Duh, gatel lagi. Semenjak pake ini kulit perut jadi ruam. Sebenernya dokter Abian cuci karetnya gak sih? Curiga enggak deh.”Natasya melirik sana-sana melihat situasi aman. Ia akan melepas perut karet itu, karena lemnya pun sepertinya sudah tidak selengket tadi pagi. Begitu
Natasya mengendap-endap mendekati pintu ruangan Abian. Ia membuka pintu perlahan dan masuk.“Oke, aman. Kayaknya dia lagi visit. Akhirnya gue bisa istirahat sejenak dan bebas dari amukkan dia. Dia pasti kesinggung gue gak mau pulang dan ketemu mama. Bodo amat lah.”Natasya mengambil posisi di sofa. Ia duduk memanjang dan memainkan ponselnya, “Udah lama gue gak nonton bioskop. Gue ajak siapa ya, kesana? Vina gak mungkin. Alan apalagi. Dokter Abian—ah, dia mana mau.”Ceklek. Pintu terbuka.Natasya melotot, “Dok?”“Kamu ngapain disini?”Natasya duduk tegap, “Aku—ikut tidur disini ya, dok? Aku berharap bakal dapet jadwal shift malem sih, tapi ternyata nggak.”“Kenapa gak pulang atau nginep di rumah papa?” Abian duduk disamping Natasya.“Papa—sama kecewanya kayak mama. Papa juga suruh aku pulang, tapi aku takut ganggu mama. Tolong izinin aku tidur disini, dok. Plisss.”Abian mengangguk, “Kalo jadi kamu juga saya—gak akan tidur di rumah.
Pov AbianSenyum Abian tak terlihat selama menemani Aca memilih tas dan sepatu di toko langganan keluarganya. Jadwal rutin kekasihnya untuk belanja membuatnya sedikit jengah karena dirasa terlalu menghamburkan uang.“Sayang, yang ini bagus gak?” tanya Aca memamerkan sebuah sepatu heels berwarna silver.Abian mengangguk, “Bagus, sayang.”“Aku mau yang ini ya?”“Iya, ambil aja.”Aca menyambar sepatu lainnya, “Sayang, aku mau yang ini juga.”“Oke.”Aca memberikan empat sepatu pada pramuniaga, “Tolong dibungkus semua ya.”“Baik, mbak.”“Tapi jangan ditotalin dulu, saya mau liat tas keluaran terbaru. Tolong antar saya kesana.”“Mari, mbak.”“Sayang, aku tinggal ya?”Abian mengangguk.Abian membuka ponselnya, menatap foto Natasya yang berbalut kebaya putih pilihan mama, “Apa Natasya belum sadar juga kalo gue—mulai berubah pikiran? Dia—secinta itu sama Alan? Ngomong-ngomong Alan kerja apa ya? Penampilannya sih rapi mirip orang kantoran. Apa dia manager keuangan? Apa—seorang CEO
Natasya turun dari mobil Abian setelah ia mengancam akan turun paksa. Ia tidak mau diantarkan sampai ke depan rumah Alan. Bisa bahaya kalau mereka bertemu lagi. Ia sudah memesan ojek online dan langsung pergi.Ia tak bisa pura-pura lupa dengan jawaban Abian semalam, mengenai ia yang mulai mencintainya karena sering bertemu. Begitu di konfirmasi ulang pun, Abian mengiyakannya. Apa benar perasaan itu mulai tumbuh dihati lelaki sekeras Abian padanya?Ojek online sampai. Alan menyambutnya depan pagar.“Sayang?” Natasya memeluk Alan erat, “Maaf ya aku baru kesini lagi.”“Gak papa. Yuk masuk.”Natasya mendorong kursi roda Alan ke dalam rumah. Ia menaruh barang bawaannya. Ketika duduk, Alan terus memperhatikan perutnya, “Kenapa?”“Perut kamu—kok keliatan agak gemuk?”Natasya gelagapan ketika kedua matanya dengan cepat melirik perutnya sendiri, “Ah, ini. Aku—sembelit, sayang.”“Ya ampun. Udah berapa lama kamu gak BAB?”“Satu—minggu. Iya, satu minggu.”“Aku ada simpen obat sembelit,
Abian terus melirik Natasya yang sudah menghabiskan setengah loyang kue favoritnya.“Ini kue terenak di dunia. Aku bisa makan ini setiap hari.”“Kalo setiap hari kamu bisa kena kolesterol dan diabetes, Nat.”Natasya berhenti mengunyah, “Itu hanya ungkapan sangking enaknya. Kata lain dari ‘rasanya kayak mau meninggoy’.”“Saya gak tahu kenapa ada manusia selebay itu sampe bilang mau meninggal. Kayak mereka beneran pernah sekarat aja.”Natasya kesal bukan main pada suami kontraknya ini, “Gak ngerti ungakapan banget sih. Udah deh diem aja.”“Kamu yang diem. Berhenti makan. Ini udah jam berapa coba?”“Biarin. Ibu hamil itu harus makan banyak tahu!”Abian mencondongkan badannya ke meja makan, “Hamil palsu.”Natasya melotot, “Jangan asal ngomong, nanti mama denger!”Abian bangkit, “Saya mau cari angin dibelakang rumah. Kamu ikut.”“Dih, sana aja sendiri.”“Ini perintah konsulen.” Abian berjalan duluan.“Huu, dasar konsulen otoriter. Dia pikir ini rumah sakit apa. Lagi libur aja
Mama datang membawa alat pendeteksi detak jantung janin. Dengan senyum sumringah, alat itu langsung mama dekatkan dengan perut Natasya.“Ma!” Abian menahan lengan mama.“Kenapa, Bi?”“Eum—aku baru inget, fetal doppler baru bisa dipake saat usia kandungan sepuluh minggu.”Mama dan papa saling tatap.“Emangnya kandungan Natasya berapa minggu, Bi?”Abian melirik Natasya, “Baru—enam minggu, ma.”“Oh. Itu perutnya udah agak keliatan. Mama pikir udah diatas delapan minggu.” Mama menaruh alat di meja dan duduk disebelah Natasya, “Ya udah kalo belum bisa. Mama elus-elus aja cucu kesayangan mama. Halo, sayang, ini—oma. Kamu—lagi apa di dalem?”Papa tertawa, “Giliranku.”“Oh iya, besan, tentu.” Mama bangkit, membiarkan papa mengelus perut Natasya.Dengan tangan bergetar, papa mengelus perut karet Natasya, “Halo, kakak. Ini—kakek. Terima kasih sudah hadir di dunia ini, di rahim—” papa mendongak, “Kamu mau dipanggil apa, Sya?”Bukannya menjawab, Natasya malah menangis.Abian tersenyum
Abian menuntun Natasya ketika menuruni tangga. Di ruang tivi sudah ada mama dan papa yang tersenyum menyambut ibu hamil muda.“Sini mama jemput.” Mama menuntun Natasya, “Kalian perlu pindah kamar, soalnya kehamilan Natasya ini masih rentan, Bi. Nanti mama minta mbok pindahin barang-barang kalian ya.”“Gak usah lah, ma, Natasya kuat kok.” Abian berusaha membela Natasya. Ia tahu jika mereka pindah kamar, akan lebih bahaya karena mama bisa masuk ke kamar untuk mengelus perutnya lebih sering.“Kamu tuh gak pengertian banget sih sama istri kamu. Yang hamil itu Natasya, bukan kamu, Bi.”Papa tertawa, “Biarkan saja besan. Abian lebih tahu kondisi Natasya. Mereka pasti sudah melaksanakan serangkaian tes di dokter kandungan.”Mama membuang nafas pelan, “Kalian bersyukur papa bela kalian. Nat, kamu udah laper? Kita makan sekarang ya? Kamu mau makan apa?”Natasya bingung setiap kali mama bertanya begitu. Ia terbiasa makan apapun yang di sediakan, apalagi sejak jadi dokter ko-ass, rasanya l
Natasya menguap lebar-lebar ketika memasuki kamar. Ia sudah bertemu mama yang sedang menyirami bunga di depan. “Nat, buruan!” Abian menariknya masuk ke dalam kamar, “Mama gak pegang perut kamu ‘kan tadi?” “Pegang.” “Yah, bahaya. Nanti kalo karetnya ditempelin mama akan sadar dong kalo gundukkannya beda?” “Gundukkan, di kira kuburan apa?” “Ya apalah itu namanya. Mana karetnya? Saya mau liat. Kita pasang sama-sama.” Dengan mata tertutup dan langkahnya yang lemah menuju ranjang, Natasya merutuk kesal, “Orang mau tidur malah disuruh pake perut karet. Nanti aja lah.” “Nat, takut mama keburu pegang perut kamu lagi.” “Habis tidur aku mau mandi. Ya percuma dong, dok, nanti dilepas lagi.” “Saya cuma mau liat pas nempel di perut kamu gimana.” Natasya tak lagi menggubris ucapan Abian. Ia sangat ngantuk dan tak bisa menahannya. “Yang jaga malam bukan cuma kamu, tapi saya juga, Nat! Lemah, baru segitu udah ngantuk.” Abian tak sabar. Ia ingin melihat perut karet itu untuk
Sudah satu bulan, sejak memutuskan hamil palsu, Natasya tak lagi bicara dengan Abian. Ia merasa terancam dengan permintaannya mengenai bertemu Alan. Kalau suami kontraknya benar bertemu Alan, ia tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Abian adalah orang yang tak terduga. Responnya bisa saja baik atau justru lebih buruk dari apa yang dipikirkannya.Vina memberikan papan visit, “Nat, pasien di bangsal baru aja gue ganti infus. Dia banyak ngeluh, lo sabar aja ya. Gue mau balik.”Natasya mengangguk pelan.“Lo—kenapa sih? Aneh tahu gak sebulan ini begini terus.”“Gak papa kok.”“Si—maksud gue dokter Abian—gak nyakitin elo ‘kan?”Natasya menggeleng, “Semua aman.”“Hm, syukurlah.” Natasya mendorong Vina, “Ya udah sana, katanya mau pulang.”“Kalo lo gak enak badan, gue—bisa kok lanjutin shift.”“Ngomong apaan sih lo, Vin. Kasian anak-anak lo. Bye!” Natasya berjalan cepat meninggalkan Vina.Natasya menandatangani absensi dan segera membuat laporan jaga. Sudah satu bulan, selama ia j