“Abian!” mama keluar villa untuk mengintrogasi anaknya.
Natasya kaget, ia pikir mama tidak akan langsung memarahi Abian, “Ma!” ia tidak mau ketinggalan pertunjukkan seru. “Kenapa, ma?” Mama menampar Abian, “Kamu keterlaluan kali ini! Natasya bukan mantan pacar Irvan ‘kan? Tapi kamu suruh mereka pacaran pura-pura depan mama?!” Abian melirik Natasya. “Mama tuh bingung, salah didik apa selama ini sama kamu. Mama masukkin kamu ke sekolah yang pendidikan karakternya bagus, mama juga berusaha jadi ibu yang baik buat kamu.” mama membuang nafas, “Jadi—apa yang bikin kamu bergerak sejauh ini?” Abian menunduk. “Bi, jawab! Apa karena mama kasih kamu papa yang—gak berguna, makannya kamu ikutin jejak dia, iya?” Abian menatap wajah mama yang merah, Natasya juga. Mama menangis membuang mukanya. “Ma, maaf.” Natasya bingung harus melakukan apa. Sebenarnya ia menyimpan pertanyaanNatasya mengangguk.“Pacar kamu—siapa? Irvan?”Natasya bangkit. Ia menatap Abian, “Bukan Irvan, bukan dokter di rumah sakit tempat dokter kerja dan aku jadi residen. Dokter gak kenal sama dia.”Entah, Abian harus merasa lega atau justru jadi sangat penasaran siapa lelaki itu.“Tapi jangan pernah tanya dia siapa, tinggal dimana, kenapa aku bisa pacaran sama dia dan semuanya.”“Saya—gak akan tanya apapun. Saya hanya penasaran pada satu hal. Apa dia tahu kamu—menikah sama saya?”Natasya menangis semakin dalam. Bahunya bergerak lebih kencang dari semula.Abian yang biasanya dingin dan tak peduli, berubah sendu saat melihat Natasya menangis, meski ini bukan kali pertamanya. Ia mengelus bahu istrinya, “Dia tahu, ya?”Natasya menggeleng, “Dia gak tahu, dok. Aku—gak bilang kalo aku dapet kerjaan untuk jadi istri kontrak dokter Abian.”“Dia—kenal sama saya?”“Aku sering ceritain dokter sama dia. Kalo dia tahu—gimana, dok? Heu heu heu.”“
Sudah setengah jam Natasya hanya duduk diam menatap cahaya mega. Abian berlarian kesana kemari memotret langit yang memang sedang indah sekali. Natasya memikirkan Abian yang mencium pipinya tiba-tiba tadi. Ia mengusap pipinya pelan, “Bahkan udah mau dua minggu Alan belum cium gue lagi. Tapi si siluman—dia—”Abian duduk, menyedot air kelapa dengan semangat, “Kamu gak suka disini?”“Suka.”“Kenapa diem aja?”“Gak papa.” Natasya melirik, “Aca—masih disini?”“Dia pulang.”“Hm.”“Baguslah kalau dia nurut. Mungkin dia takut mama bener-bener bikin video viral soal dia yang akan menghancurkan karirnya.”“Karir? Emang Aca kerja apa?”“Dia model majalah.”“Hm pantes.”Abian menatap Natasya yang menggenggam erat ponsel miliknya, “Lagi nunggu kabar pacar kamu?”“Iya. Dia belum bales lagi. Aku cuma takut dia kenapa-napa.”“Kamu telpon aja keluarganya, tanya dia kemana.”“Dia—tinggal sendiri.”“Hm. Tunggu aja. Mungki
Waktu kepulangan dimajukan tiga hari karena Abian harus stay di rumah sakit—sementara dokter bedah lain menempuh seminar dan kegiatan lain ke luar kota. Artinya cutinya tidak di approved pihak rumah sakit. Mama kecewa. Meski begitu mama cukup puas setelah yakin kalau anak dan menantunya kini sudah melakukan ritual pengantin. Keadaan jadi canggung setelah Abian dan Natasya berciuman. Mereka belum bicara lagi, hingga kini pesawat landing di Jakarta. Mama masih di Bali, ada urusan bisnis yang harus dikerjakan. “Saya langsung ke rumah sakit.” Abian melirik Natasya. “Hm.” “Kamu mau bareng?” “Kalo kita ke rumah sakit, koper gimana?” “Supir akan ambil ini. Saya kenal petugas disini.” Natasya mengangguk. Ia membawa beberapa paper bag berisi oleh-oleh untuk Vina. “Biar saya yang bawa.” Abian membawa paper bag itu. Ia jadi lebih perhatian setelah ciuman itu. Natasya duduk disebelah Abian di taksi. Ia terus membuang muka karena malu. Mereka begitu parah malam tadi. Setiap ka
“Nih, gue bawa album kehamilan gue.” Vina menaruhnya di meja ruang piket. Ia sibuk membuka kotak bekal untuk bisa memamerkan pan cake buatan anak sulungnya.Mata Natasya berbinar. Ia ingat betul di halaman ke tiga ada sebuah tespek bergaris dua yang bisa ia tukar dengan tespek miliknya pemberian mama yang tentunya hanya bergaris satu.“Nat, cobain pan cake buatan si kakak. Berantakan tapi rasnya enak.”“Ambilin minum dong, Vin, lo ‘kan tahu gue gak terlalu suka manis.”Dengan mulut penuh, Vina bangkit dari kursi, “Ribet lo.”Vina terus mengoceh, tapi Natasya tak mendengarkannya sama sekali. Masa bodo sahabatnya mau bicara apa, ia tak peduli. Dengan kecepatan secepat kilat, Natasya mengambil tespek itu dan menempel tespek miliknya ditempat semula.Gelas plastik tersimpan, “Cari apaan sih lo sebenernya?”“Gue cuma lagi pengen liat yang gemes gini. Barangkali gue bakal cepet—nyusul?”Vina melotot, “Ya ampun, kok gue gak sadar ya kalo mungkin ini pertanda lo akan segera hamil?”
“Aku udah di jalan, sayang. Iya, aku naek taksi nih, soalnya lagi capek, hehe. Kamu gak masak ‘kan? Aku bawain makanan dari kedai deket rumah sakit. Oh ya udah, tungguin aku kayak biasa ya, di depan. Aku tutup. Dadah.” Natasya tersenyum menatap wallpaper foto dirinya dan Alan yang membuat tanda cinta.“Harusnya gue jengukin Alan seminggu sekali kayak dulu. Tapi—keadaan lagi gak kondusif. Dia—sebenernya marah gak ya sama gue?” Natasnya cemberut, “Ya pasti marah lah, Sya, pake nanya lagi lo.”Supir taksi menatap Natasya.“Saya gak gila, pak. Saya emang sering ngomong sendiri. Itu seru.”“Iya, mbak, lanjutin aja.”Taksi bergerak pelan karena jalanan macet di penuhi karyawan kantor dan anak sekolah yang baru pulang. Untungnya Natasya memesan taksi, sehingga ia bisa sedikit istirahat.“Pernikahan gue sama dokter Abian udah berjalan mau dua bulan. Cepet juga. Gue kira dia senyebelin itu. Emang nyebelin sih tapi—cakep. Ah, untung dia cakep.”Semakin sore, taksi benar-benar tak berger
Natasya menunggu Abian turun dari mobil. Ia tak berani masuk lebih dulu untuk bertemu papa.Abian menggandeng tangan Natasya, “Kita hadapi semua sama-sama.”“Aku—gak mau masuk.”“Kamu pikir kalo diem disini kamu akan tahu papa sakit apa?”Tak ada jawaban.Abian memegangi kedua bahu Natasya, “Saya akan peluk kamu semaleman ini, dan itu gratis. Kita masuk sekarang.”Natasya merasa bertemu papa kali ini seperti akan menghadapi ujian OSCE. Ia tak pernah setakut ini sebelumnya. Ia yang belum sempat makan malam karena terjebak macet, tambah lemas.Sebelum mengetuk pintu, papa keluar. Papa membawa segelas teh yang masih mengepul.“Eh, Sya, nak Abian? Masuk, kita makan.”Papa tak berhenti tersenyum melihat tangan Abian terus bertaut dengan tangan Natasya di atas meja makan, “Maaf ya, kita cuma makan seadanya.”Abian tersenyum, “Gak papa, pa. Ini cukup. Proteinnya full.”“Begitulah kalau duda. Yang penting makan lancar, gizi seimbang.”“Emang kenapa sama telor dadar dan sayur bayem
Natasya baru pulang ke rumah setelah menginap di rumah sakit selama dua hari. Ia harus mempersiapkan diri sematang mungkin untuk ujian bedah kemarin. Semuanya lancar. Dokter Farhan yang menjadi penilainya merasa puas dengan tangan cekatannya di meja bedah. “Nat, kamu mau makan atau tidur dulu?” mama melenggang dari dapur, membawakan sebuah mangkuk sop yang wanginya menggetarkan hidung Natasya. “Aku mau makan sekarang deh, ma. Aku gak terlalu begadang semalem, soalnya pasien aman.” “Syukurlah. Abian mana ya?” mama melirik tangga, “Bi, ayo sarapan.” “Iya, ma.” Abian masuk dari belakang rumah. Tubuhnya penuh dengan keringat. Ia duduk disebelah Natasya. “Kamu—dari tadi olahraga?” “Iya. Mama pikir aku masih tidur?” Mama menggeleng, “Oyah, nanti siang mama rencananya mau jenguk cucu temen mama ke rumah sakit. Kalian mau ikut gak?” “Boleh. Kamu gimana, sayang?” Natasya mengangguk, “Ayo, ma.” “Senengnya mama sekarang ada yang nemenin.” Abian melirik Natasya. Ia memberika
Sudah satu bulan, sejak memutuskan hamil palsu, Natasya tak lagi bicara dengan Abian. Ia merasa terancam dengan permintaannya mengenai bertemu Alan. Kalau suami kontraknya benar bertemu Alan, ia tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Abian adalah orang yang tak terduga. Responnya bisa saja baik atau justru lebih buruk dari apa yang dipikirkannya.Vina memberikan papan visit, “Nat, pasien di bangsal baru aja gue ganti infus. Dia banyak ngeluh, lo sabar aja ya. Gue mau balik.”Natasya mengangguk pelan.“Lo—kenapa sih? Aneh tahu gak sebulan ini begini terus.”“Gak papa kok.”“Si—maksud gue dokter Abian—gak nyakitin elo ‘kan?”Natasya menggeleng, “Semua aman.”“Hm, syukurlah.” Natasya mendorong Vina, “Ya udah sana, katanya mau pulang.”“Kalo lo gak enak badan, gue—bisa kok lanjutin shift.”“Ngomong apaan sih lo, Vin. Kasian anak-anak lo. Bye!” Natasya berjalan cepat meninggalkan Vina.Natasya menandatangani absensi dan segera membuat laporan jaga. Sudah satu bulan, selama ia j
Mama dan Abian membuang nafas kesal ketika tahu yang datang adalah papa. Sedang Natasya hanya mengeratkan tubuh Haikal pada tubuhnya karena takut terjadi pertengkaran antara papa dan mama.“Mau apa lagi kamu kesini?” tanya mama lugas.“Mira, maafkan aku. Setelah resmi bercerai, aku merasa—tidak bisa kehilanganmu. Aku yakin kamu dan Abian juga begitu. Apa tidak sebaiknya kita kembali?”Mama tertawa, “Kembali? Jangan mimpi kamu! Aku dan Abian sangat baik-baik saja setelah kita tidak lagi terikat pernikahan. Berani sekali kamu menginjakkan kaki di rumahku lagi. Pergi!”Papa bersimpuh di kaki mama, “Tolong berikan kesempatan kedua, Mir. Aku tidak punya apa-apa lagi sekarang.”Mama tertawa lagi, “Bukankah kamu punya perempuan itu? Tinggallah bersamanya dan jangan ganggu kami lagi!”“Mir, Aca menjual semua asetku tanpa diketahui. Kamu benar, dia memang perempuan ular. Aku mohon terima aku kembali.”Mama melirik Abian sebelum pergi, “Mama mau istirahat.”
Tujuh bulan kemudian... Natasya kesusah berjalan, ketika kehamilannya mencapai usia tiga puluh empat minggu. Ia sudah cuti sejak dua bulan lalu karena sempat keluar flek. Abian, mama mertua, papa-mama, serta Vina dan Irvan tentu sangat khawatir dan memintanya untuk cuti. Natasya setuju. Ia rela tak lulus tepat waktu asalkan anaknya baik-baik saja. “Mas, plis aku mau ikut ke rumah sakit.” Natasya mengejar Abian yang bolak-balik membawa laptop dan jurnal di ruang kerja. “Mending kamu istirahat deh, mau ngapain sih ke rumah sakit?” “Aku bosen tahu di rumah terus. Habis keliling poli bedah kardiotoraks aku pulang kok.” Abian tertawa, “Kamu pengen anak kita juga jadi bagian bedah kardiotoraks?” “Oh iya dong, dia harus ikutin jejak kita.” Natasya diam sejenak, “Enggak deh, mending dia ambil spesialis lain. Mas, ya, plisss. Aku gak akan capek-capek kok.” Abian membalikkan badan. Ia mengelus perut bulat
“Nat! Jangan dipukul-pukul! Nat!” Abian berusaha mengambil tangan Natasya yang terus memukul-mukuli perutnya. Pintu terbuka. Semua orang yang semula menunggu di luar ruangan, masuk karena mendengar suara pekikkan Natasya. “Nat?” Vina memanggil lirih. “Vin, tolong panggilin perawat!” Vina mengangguk. Ia berlari keluar ruangan untuk memanggil perawat jaga. Tak lama dua perawat masuk membuntut dibelakang tubuhnya. “Tenang, ya, bu. Yang lain boleh menunggu diluar.” Abian melepaskan pelukannya yang kencang pada tubuh Natasya. Ia terpaksa keluar karena tak mau mengganggu proses pemeriksaan. Setelah pintu ditutup, satu perawat menenangkan Natasya, dan yang lain menyuntikkan obat penenang dosis rendah yang aman untuk wanita hamil pada punggung tangannya. Perlahan, tubuh Natasya yang mengamuk mulai tenang. “Bu, tenang ya. Ibu sedang hamil muda. Stress sedikit pun akan mempengaruhi tumbuh kem
Tok-Tok-Tok“Sya? Papa mohon kita bicara dulu.” Papa mengernyit, “Kok sepi, ya?”Ceklek.“Sya!” papa melotot melihat Natasya pingsan, “Sya, bangun, Sya!”Papa menangis sambil merogoh ponsel di saku celana. Papa langsung menelpon seseorang, “Angkat Abian, angkat.”“Halo, pa?”“Bi, pulang ke rumah, Natasya pingsan.” kata papa dengan panik.“Iya, pa, saya kesana sekarang.”Papa mengangkat tubuh Natasya ke atas ranjang, “Ya ampun, Sya, kamu kenapa begini sih?”Tak lama Abian datang bersama Haikal yang masih bersamanya.“Nat?” Abian mendekati Natasya, “Kapan Natasya pingsan, pa?”“Papa gak tahu. Tadi pulang-pulang dia langsung masuk kamar. Papa gak tahu kenapa Natasya pingsan.”“Tadi Natasya sempet mual dan muntah karena aroma kari. Mungkin asam lambungnya kambuh. Kita bawa Natasya ke rumah sakit, pa.”***Natasya membuka matanya perlahan saat membaui bau obat yang kentara. Kepalanya bergerak ke kanan kiri mencari seseo
“Gimana mungkin aku percaya? Kamu ajak aku sama Ical kesini, dan tiba-tiba ada dia. Kamu pikir aku bisa nyangka semuanya kebetulan?”“Aca lewat depan resto dan gak sengaja liat aku. Begitu ‘kan, Ca?”Aca menatap Natasya, “Gue sama Abian janjian disini, Nat, seperti yang udah-udah. Lo mungkin pernah denger kalo restoran ini adalah tempat pertama kita ketemu. Gue—menyesali perbuatan kemarin dan berniat—”Abian melotot tak percaya pada ucapan Aca, "Ca! Kamu ngomong apa sih? Jelas-jelas kamu tadi bilang gak sengaja liat aku sama Ical ada disini.”.Natasya menggeleng, “Udah cukup, mas, kamu nyakitin aku! Keputusannya udah aku pikirin baik-baik. Aku mau kita pisah!” ia membawa tas tangan dan berjalan keluar dengan cepat.“Mami!” Haikal mengejar Natasya.“Nat, tunggu! Nat, semua gak seperti yang kamu pikirin. Tanya aja sama Ical, dia denger semuanya.” Abian berlari mengejar Natasya yang terus berjalan ke luar pelataran resto.Natasya menemukan taksi yang
Selesainya sesi foto dan pembagian hadiah, Natasya langsung memesan taksi online. Ia menatap baju kaos putih yang dikenakannya masih bersih. Matanya mengedar, melihat baju para orang tua dan wali lain—penuh dengan cat. Ia tak bisa mengikuti lomba karena saat baru menuangkan pewarna pada wadah, Abian harus mengangkat telpon dan mereka di diskualifikasi.Natasya membuang nafas berkali-kali saat sadar Haikal marah padanya dan Abian. Semua memang salahnya. Mungkin kalau ia tak membahas rahasia pernikahan kontrak itu, mereka masih bisa sama-sama dan pergi menagih traktiran dari Abian.TAP!Sebuah tangan menempel dibelakang baju Natasya, membuatnya refleks menoleh, “Ical?”Wajah Ical yang cemberut berubah ceria. Mulutnya tersenyum, menampilkan gigi rapinya berderes cantik, “Baju kita bersih, aku gak suka. Mami mau bikin kenang-kenangan gak di baju aku?”Natasya mengangguk.Haikal menuangkan cat warna dari botol pada telapak tangan Natasya, “Tempelin, mi,
Masih banyak perlombaan yang harus di ikuti, tapi Abian terus mendapat telpon darurat. Untungnya ia tak perlu ke rumah sakit, hanya perlu memantau kondisi pasien melalui via telpon.“Mas?” Abian menoleh.Natasya membawakan minuman yang dibagikan pihak sekolah, “Minum dulu.”“Makasih.”Mereka duduk di bawah pohon saat lomba masih berlangsung. Kini tengah di adakan lomba bakiak antar keluarga.“Ical gak ngambek karena kita di diskualifikasi dari lomba?”“Enggak kok. Temen-temennya juga banyak yang gak bisa ikut karena orang tuanya gak dateng.”Abian melirik Natasya, “Kamu seneng hari ini?”Natasya tersenyum, “Banget, mas. Lumayan lah kita menang di dua lomba.”“Pengennya pasti kamu menang di semua lomba.”Natasya melirik Abian dan mengangguk, “Oh iya dong, harusnya semua lomba. Hadiahnya ‘kan lumayan.”“Nanti aku yang akan kasih hadiah buat kamu dan Ical.”Senyum Natasya luntur, “Gak usah, mas, buat Ical aja.”Haik
“Ical kebagian lomba apa? Katanya orang tua atau walinya harus ikutan ya?” Natasya berusaha mengalihkan topik.“Banyak lombanya, mi. Semua anak harus ngikutin semua kegiatan sama orang tuanya. Mama papa aku gak bisa dateng. Untungnya kalian bisa. Makasih ya, mi, pi.”“Sama-sama, Cal.” Abian mengacak-acak rambut Haikal yang sudah tumbuh.“Ya udah kita ke lapang, mi, pi.”Haikal berlari lebih dulu ke tengah lapang. Sedang Abian menarik lengan Natasya yang baru akan melangkah.“Nat, untuk hari ini aja, kita lupain gencatan senjata yang ada di depan Ical.”“Iya, mas.”“Ya udah kita kesana.” Abian menuntun Natasya ke lapang.Sebelum memasuki lapang, panitia memberikan kaos putih berlengan pendek untuk dikenakan semua orang tua atau wali. Siswa sendiri sudah memakai baju itu sedari dari rumah.“Untuk orang tua wali langsung berbaris ya di barisan orang tua sesuai angkatan siswa. Kami sudah memberikan tanda disetiap sudut.” panitia memberikan ar
Natasya baru selesai jaga malam. Sudah tiga hari ia menginap di rumah papa dan tidur berdua dengan mama. Papa mengalah. Papa memilih menginap di rumah temannya karena tidak mungkin satu atap dengan mama meski ada anak mereka. “Balik kemana sekarang?” tanya Vina yang juga baru selesai jaga malam. “Gak balik gue.” Natasya sibuk menalikan sepatunya. “Jangan gila lo. Kita gak tidur semaleman karena bangsal lagi rame. Kita juga bolak-balik UGD terus.” “Gue mau ke suatu tempat.” “Kemana?” Natasya menutup pintu loker dan merapikan bajunya, “Ada aja. Gak mau bilang, takut lo ikut.” “Idih. Gue sibuk kali, mau ngurus bocah. Eh, lo—kapan kasih keputusan sama dokter Abian?” Natasya diam. Vina menyikut, “Jangan lama-lama. Kalo lo emang mau lepasin dia ya udah. Banyak residen tahun pertama yang antre tuh.” “Hah? Mereka gak tahu dia suami gue?!” Vina tertawa, “Lo tuh maruk amat