📌 2 : Pujian untuk Dokter Residen

“Sedot!” perintah Abian.

Perawat memberikan alat sedot untuk mengambil darah yang terus keluar dari bagian katup Aorta.

Abian menggeleng beberapa kali. Ia mengenadah dan membuang nafas saat bunyi monitor menunjukkan kondisi pasien masih jauh dari kata aman.

Natasya yang menjadi asisten Abian terus menatapnya.

“Nat, tolong kamu sedot, saya akan gunting bagian Aorta. Sus, tolong siapkan pembuluh darah buatan.”

“Baik, dok.”

Natasya mengambil alih tugas Abian. Ia berkeringat hebat karena baru kali ini menjadi asisten utama, “Dok, Katup Mitral juga mengalami penggelembungan.”

“Kita akan atasi Aorta dulu. Tanda vital pasien bagaimana?”

“Kesadaran semi koma, dok.” lapor dokter Anastesi.

Tangan Abian mendadak gemetar. Ia mundur dan mengambil nafas banyak-banyak.

Natasya khawatir. Ia yang tidak tahu kenapa Abian tiga tahun terakhir tidak lagi melakukan operasi, meyakini sesuatu. Pasti pernah terjadi hal-hal yang membuatnya takut saat operasi dulu.

Perawat beberapa kali menyeka keringat Abian.

“Saya—tidak bisa melanjutkan operasi.”

Seluruh staf operasi saling lirik. Mereka tahu Abian baru kali ini melakukan operasi lagi. Tapi mereka tak menyangka, jika Abian tega melakukan itu.

Natasya menangis. Ia menghampiri Abian, “Dok, saya mohon selesaikan operasi kali ini. Hanya operasi ini. Dada pasien sudah dibuka ulang, dan kita sudah setengah jalan.”

“Sudah berapa tahun kamu jadi dokter residen? Operasi baru berjalan satu jam! Masih ada tiga jam lagi untuk menentukan hidup dan mati pasien!”

Natasya membuang mukanya. Ia tak mau dokter tak punya hati dihadapannya melihatnya menangis.

“Telpon dokter lain, saya akan kembali ke ruangan.” Abian membalikkan badannya.

“Kalau dokter pergi dari sini, berhenti saja jadi tenaga medis! Dokter Abian gak pantes jadi dokter utama! Harusnya saya protes waktu ditempatkan jadi residen dokter! Pergi saja, keluar sana! Saya pastikan, pasien dan keluarganya mengingat sikap dokter yang tidak profesional!”

Semua staf tidak menyangka, kalau Natasya punya nyali sebesar itu untuk menghadang Abian. Meski begitu mereka bangga.

Natasya masih menangis. Ia kembali ke posisinya, “Kita selesaikan operasi tanpa dokter utama. Sus, pembuluh darah buatan sudah siap?”

“Su-sudah, dok.”

Abian menutup matanya beberapa detik. Tak lama ia kembali ke meja operasi, “Kita perbaiki dulu Katup Mitral, baru angkat Aorta dan mencangkoknya dengan Aorta buatan. Pastikan bagian katup lain tidak pendarahan.”

“Baik, dok.” jawab perawat.

Natasya tak bicara selama operasi berlangsung. Hatinya berkecamuk marah pada Abian meski ia tetap disini menyelesaikan operasi. Air matanya terus turun.

Abian yang sudah menjadi konsulen Natasya selama dua tahun, baru melihatnya menangis sekali ini. Ia pikir residennya itu tidak memiliki air mata, karena setiap kali dibentak dokter, pasien-hingga keluarga pasien, ia akan terus terlihat ceria.

“Oke, terima kasih semua atas kerja samanya.” tutur Abian ketika selesai menjahit dada pasien.

Semua membuang nafas lega.

“Terima kasih kembali, dokter Abian.”

Abian menatap Natasya, “Terima kasih dokter Natasya.”

Natasya balik menatap Abian, “Terima kasih kembali.”

“Kamu temani saya menemui wali pasien.”

“Tapi, dok—”

“Kamu yang membuat saya mau melanjutkan operasi.”

“Sudah, dokter Natasya, ikut aja. Hitung-hitung latihan.” cuap perawat senior.

Natasya berjalan dibelakang tubuh Abian ketika mereka melepas nurse cup dan masker sebelum bertemu keluarga pasien.

“Saya pegang janji kamu tadi malem.”

“Janji yang mana?”

“Bahwa kamu akan melakukan apapun untuk saya.”

“Memangnya dokter mau saya melakukan apa?”

Pintu lorong operasi terbuka. Keluarga pasien yang terdiri dari ibu-ayah dan kedua kakak laki-laki, berdiri menyambut Abian dan Natasya.

“Dokter, bagaimana operasi anak bungsu saya?” tanya ayah pasien cemas.

“Operasi berjalan lancar. Terjadi perdarahan dan penggelembungan pembuluh darah, tapi itu bisa di atasi. Pasien sempat semi koma selama beberapa saat ketika katup Aorta akan diganti."

“Tapi anak saya baik-baik saja, ‘kan, dok?” tanya ibu pasien berlinang air mata.

Abian mengangguk.

“Terima kasih, dokter. Terima kasih.” semua anggota keluarga menunduk sambil menitikan air mata.

“Operasi berjalan lancar atas kontribusi dokter residen kami yang besar.”

Anggota keluarga pasien melirik Natasya dan menunduk, “Terima kasih banyak, dokter.”

“Ini masih dini hari. Ibu, bapak, dan adek-adek bisa istirahat. Pasien untuk sementara masih dalam pemantauan kami.”

“Baik, dok, selamat istirahat juga.”

Abian menunduk setelah keluarga pasien pamit. Ia memijat lehernya yang kaku dan pegal.

“Saya tidak tahu apa yang membuat dokter bedah hebat seperti dokter Abian memilih untuk tidak melakukan operasi lagi. Tapi saya salut dengan keberanian dokter. Kalau tidak ada dokter, mungkin pasien—”

“Saya hanya tidak mau, dokter residen seperti kamu membuat demo untuk meminta saya berhenti jadi tenaga medis.”

Natasya tersenyum, “Saya gak tahu itu pujian atau hinaan.”

“Saya akan tlaktir kamu.”

“Oh jelas, harus. Staf OK yang lain juga, tapi saya harus di tlaktir paling banyak, karena untuk saya, tidak ada yang gratis di dunia ini.”

“Ya-ya.”

Natasya menunjukkan ponsel miliknya yang layarnya sudah menampilkan iklan pacar sewaan, “Demi mendukung UMKM dokter residen, barang kali dokter Abian minat?”

Abian tersenyum sinis, “Hal seperti ini tidak akan pernah saya ambil. Kamu pikir saya tidak punya pacar, sampai harus menyewa kamu? Lagian, kalau kamu pacar sewaan, artinya kemungkinan saya bertemu dengan klien kamu yang lain dong? Dan orang itu akan mengatakan, ‘ah ini mantan pacar sewaan saya’, begitu? Maaf, tapi saya tidak terbiasa memakai cara murahan seperti ini.”

Natasya membuang nafas pelan. Ia lupa pada sifat asli dan bawaan lahir dokter dihadapannya, “Saya hanya menawarkan, bukan memaksa dokter memakai jasa saya. Saya permisi. Selamat istirahat, dokter A-bian.”

Natasya kesal setengah mati pada respon yang diberikan Abian. Kalau memang dia tidak berminat, tinggal katakan terima kasih, mungkin lain waktu. Bukan mencacinya seperti ini.

Natasya berjalan dari lorong ruang operasi dengan terus menghentakkan kaki, “Awas kalo sekali aja dia pake jasa gue, akan gue tolak mentah-mentah permintaannya. Tapi tunggu, dia bilang punya pacar? Hahaha, Harimau gitu, siapa yang berani sih?” ia diam sejenak, “Ya ada lah, pawangnya. Argh, pokoknya, gue gak sudi kalo dia minta jasa gue jadi pacar sewaannya!”