Share

Pengorbanan yang di minta

"Ini gila. Bagaimana aku bisa hidup hanya dengan satu ginjal? Apa kau tidak waras?"

Arkan menatapnya tajam, dan sebelum Shita bisa menyelesaikan kalimatnya, dia berkata, "Putriku adalah segalanya bagiku."

Shita terdiam, pikirannya bercampur aduk antara rasa takut, bingung, dan syok. "Tapi... aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini. Ini bukan sesuatu yang kecil, Arkan."

Arkan bersandar sedikit ke depan, tatapannya semakin tajam dan intens. "Tidak, ini bukan sesuatu yang kecil. Tapi aku sudah menyelamatkan hidupmu. Aku mengambil risiko besar dengan menolongmu, dan sekarang aku hanya meminta satu hal sebagai balasan."

Shita terdiam, tenggorokannya terasa kering. Rasa terima kasih yang dia rasakan kini bercampur dengan kebingungan dan ketakutan. Bagaimana mungkin dia bisa mempertimbangkan untuk memberikan ginjalnya kepada seseorang yang tidak dikenalnya, bahkan meski itu putri Arkan?

Namun, tatapan Arkan begitu intens dan penuh kepastian, seolah tidak memberi ruang untuk penolakan. "Ini bukan tentang pilihan, Shita. Ini tentang hidup dan mati. Sama seperti aku menyelamatkanmu, kau juga bisa menyelamatkan nyawa putriku."

Shita merasa terjebak. Ucapan Arkan seperti belenggu yang mengikatnya. Dia berhutang budi, tapi bisakah dia melakukan pengorbanan sebesar itu? Semua kenangan pahit tentang rumah tangganya, tentang Hans yang telah mencampakkannya, seolah memudar di hadapan keputusan besar ini.

"Aku... aku butuh waktu untuk berpikir," ucap Shita lemah.

Arkan diam saja. Fokus pada kemudi yang akan membawa Shita kerumahnya. Dan memaksa wanita itu agar mau mengikuti keinginannya.

*

.Shita duduk di sebuah kursi kayu di dalam ruangan yang telah disediakan Arkan untuknya.

Matanya menatap kosong ke arah jendela, mencoba mencerna semua yang terjadi. Hidupnya yang dulu bahagia kini terasa hancur berantakan. Tapi meski begitu, dia merasa berhutang budi pada Arkan, yang telah menyelamatkan hidupnya.

Saat sedang larut dalam pikirannya, Arkan masuk ke ruangan itu dengan langkah tenang, wajahnya serius namun tenang seperti biasanya.

"Kau sudah merasa lebih baik?" tanya Arkan, nada suaranya lembut namun tetap terasa otoritatif.

"Entahlah. Aku tidak mengerti takdir apa yang sedang aku jalani. Seolah aku sedang di permainkan. Rasa sakit kehilangan belum juga hilang, sekarang masalah baru lagi terjadi begitu saja. Tidak sedikitpun memberi jeda untukku bernafas," ucap Shita dalam keputusasaan.

Arkan berjalan mendekat, duduk di sebelah Shita. Dia terdiam sesaat, sebelum akhirnya mulai berbicara.

"Putriku," ucap Arkan perlahan. "Dia terkena penyakit ginjal yang sangat langka. Penyakit itu sudah ada sejak dia lahir. Dan ironisnya, sejak hari kelahirannya, ibunya meninggalkan kami."

Shita menatap Arkan dengan terkejut. "Ibunya... meninggalkan kalian?"

Arkan tersenyum pahit, menundukkan kepala sejenak. "Ya. Wanita itu memilih pergi begitu saja, tanpa pernah melihat wajah putrinya. Mungkin karena dia tidak siap menjadi seorang ibu, atau mungkin karena dia tidak mampu menerima kenyataan bahwa putrinya sakit parah."

Shita merasakan simpati mendalam. "Bagaimana kau bisa menghadapi semua itu sendirian?"

"Ketika kau memiliki seseorang yang sangat bergantung padamu, seperti putriku, kau tidak punya pilihan lain selain menjadi kuat," jawab Arkan, matanya tampak berkaca-kaca.

"Aku melakukan segala cara untuk memastikan dia bisa hidup, meskipun itu berarti melakukan hal-hal yang... tidak selalu mudah."

Shita merasakan ada kesedihan yang dalam di balik wibawa dan kekuatan Arkan. Dia mulai memahami bahwa di balik kekerasan sikap pria ini, ada beban besar yang harus dipikulnya sendirian.

"Bagaimana penyakitnya bisa semakin parah?" tanya Shita dengan lembut, mencoba memahami lebih jauh.

"Penyakitnya memburuk karena dia tidak mendapatkan perawatan yang tepat di awal. Aku melakukan yang terbaik, tetapi waktu... waktu tidak berpihak pada kami. Kini, satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan transplantasi ginjal." Arkan memandang Shita dalam-dalam. "Dan kau... kau adalah satu-satunya harapan terakhirku."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Arkan berbalik dan keluar dari ruangan itu, meninggalkan Shita yang masih duduk terpaku. Hatinya bergemuruh. Apa yang harus dia lakukan?

Keputusasaan mengguncang seluruh tubuhnya. Bagaimana dia bisa membuat keputusan sebesar ini, di saat hidupnya sendiri tengah hancur? Namun di balik semua kekacauan, satu hal jelas: Arkan Gaffi bukanlah pria yang menolong tanpa alasan. Dan kini, waktunya bagi Shita untuk memutuskan apa yang akan dia korbankan.

*

Pikiran tentang permintaan Arkan berputar dalam benaknya, menyesakkan dada dan membuat napasnya tak beraturan. "Ginjalku... untuk putrinya," bisik Shita pada dirinya sendiri. Tawaran ini adalah sesuatu yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Arkan menatapnya dari seberang ruangan, sosoknya tegar dan penuh karisma. Matanya yang tajam seolah bisa membaca pikiran Shita, tapi Shita tahu dia harus kuat. Tak ada yang datang dengan mudah, terutama setelah semuanya telah diambil darinya—rumah, suami, bahkan anaknya.

Dengan tatapan tegas, Shita memberanikan diri membuka mulut. "Aku akan setuju untuk mendonorkan ginjalku... Tapi aku punya syarat."

Arkan menaikkan alisnya, sedikit terkejut. "Syarat?"

Shita mengangguk, menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Aku ingin kau membantuku mendapatkan kembali hak asuh putraku, Gio."

Keheningan memenuhi ruangan. Arkan menatapnya lekat-lekat, menimbang permintaan itu. Dalam hati, Shita tahu bahwa Arkan adalah pria yang licik, dan setiap keputusan yang dia buat pasti memiliki keuntungan bagi dirinya sendiri. Namun, dia juga melihat kekuatan di balik tatapan dingin itu—kekuatan yang bisa membantunya mendapatkan keadilan untuk dirinya dan putranya.

Arkan tersenyum tipis. "Menarik," ucapnya dengan nada datar. "Kau tahu, membantu merebut hak asuh anak dari mantan suamimu bukanlah hal yang sederhana."

Shita menelan ludah. "Aku tahu. Tapi jika aku melakukan ini untukmu, aku ingin kau melakukan sesuatu yang besar untukku. Anak itu... dia adalah hidupku."

Arkan mendekat, berdiri di hadapannya. Sosoknya yang tinggi membuat Shita merasa kecil, tapi tekadnya tidak goyah.

"Baiklah," kata Arkan akhirnya. "Aku akan membantu. Tapi ingat, Shita... sekali kau melibatkan dirimu lebih jauh dalam hidupku, kau tidak bisa mundur."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status