"Apa yang kamu lakukan di sini, Shita?" tanyanya tegas, suaranya terdengar datar namun jelas menunjukkan ketidaksukaan.Shita berbalik, menatap Hans yang berdiri di ambang pintu. Wajahnya penuh dengan kelelahan setelah seharian bekerja, tetapi di balik itu ada kemarahan yang terpendam. "Aku ingin bertemu dengan Gio. Aku sangat merindukannya, Hans. Aku ibunya!" jawab Shita dengan nada memohon, meskipun hatinya masih didera kemarahan setelah konfrontasinya dengan Mia.Hans melangkah masuk ke ruang tamu, melewati Shita tanpa menatapnya langsung. "Kau tidak bisa seenaknya datang ke sini. Aku sudah bilang, hubungan kita sudah selesai. Gio baik-baik saja tanpa kamu," ujarnya dingin, tanpa sedikitpun rasa simpati.Shita merasa dunia runtuh di sekelilingnya. Hans yang dulu mencintainya kini berbicara seolah-olah dia adalah orang asing. Sementara Mia berdiri di belakangnya, penuh dengan kepuasan melihat Shita hancur. Shita mengepalkan tangannya, menahan air ma
"Pergi! Pergi dari sini!" Shita menjerit, suaranya bergetar dan terengah-engah. Tangannya yang gemetar mendorong dada pria dewasa yang merupakan teman baik suaminya. Sayangnya kekuatan Shita tak sebanding. Bau keringat dan napas pria itu yang membusuk memenuhi hidungnya, membuatnya ingin muntah."Jangan munafik, Shita. Aku tahu kau juga menginginkanku," ucap pria itu, senyum licik mengembang di wajahnya. Matanya, yang biasanya bersinar ramah, kini memancarkan cahaya dingin dan haus. "Suamimu seringkali mengabaikanmu, bukan?"Shita terhuyung mundur, kakinya lemas. Bajunya yang longgar jatuh ke tangan, memperlihatkan kulitnya yang putih pucat. Dia teringat saat-saat indah bersama suaminya, saat-saat yang kini terasa seperti mimpi buruk."Jangan lakukan itu," ucap Shita, suaranya bergetar dan mata yang berkaca-kaca. "Suamiku menganggapmu sebagai saudara.""Dia tidak akan tahu," ucapnya, tangannya meraba dagu Shita dengan kasar. "Kau akan menikmatinya, Shita. Percayalah."S
"MEMALUKAN!" Hans berteriak, suaranya bergema di ruangan, menghantam telinga Shita seperti petir. Matanya, yang biasanya memancarkan kasih sayang, kini menyala-nyala dengan amarah. "Katakan padaku, apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Lucas bisa masuk ke rumah ini? Apa yang kau lakukan sehingga dia berani menyentuhmu?"Shita terdiam, tubuhnya gemetar hebat. Air mata mengalir di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat. Rasa sakit yang menusuk jantungnya membuatnya sulit untuk bernapas.Setelah menanti kehadiran suami selama beberapa hari, seharusnya saat mereka bertemu, Hans memeluk Shita. Bersikap melindungi sebagaimana seharusnya di lakukan seorang pria. Sialnya kenyataan tidak sesuai harapan. Hans pulang dengan mata menyala dan emosi yang memuncak. Merasa harga diri dijatuhkan lalu di injak-injak. "Kenapa kau berpikir begitu? Kau tahu sendiri bagaimana aku. Aku tidak pernah sekalipun membiarkan pria manapun masuk kedalam rumah, disaat kamu pergi. Pria itu... dia...""Lalu bagaima
Shita duduk di bangku taman, pandangannya kosong menatap langit yang beranjak kelam. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri, mencari sedikit kehangatan di tengah angin malam yang dingin. Air mata yang semula mengalir kini sudah mengering, menyisakan bekas luka di pipi yang pucat. Kehidupannya kini terasa seperti puing-puing yang berserakan—tanpa rumah, tanpa suami, tanpa anak. Hanya kesunyian yang menyelimuti dirinya.Di saat dia tenggelam dalam lamunannya, suara yang sudah lama tidak didengarnya menyapa dengan riang dari belakang."Shita! Ya Tuhan, aku sudah mencarimu ke mana-mana!"Shita berbalik dan mendapati Mia, sahabatnya yang tersenyum lebar, menghampirinya dengan langkah cepat. Shita mengerjap, terkejut. Mia, dengan pakaian modis dan wangi parfum mahal, tampak seperti sosok sempurna di tengah dunia yang hancur."Mia..." suara Shita terdengar serak, nyaris hilang di telan angin. "Apa yang kamu lakukan di sini?""Aku mendengar tentang apa yang terjadi antara kamu dan Hans," Mia dudu
Shita merasa panik, tapi dia berusaha tetap tenang. Saat pria itu mendekat, dia melihat ke sekeliling ruangan, mencari cara untuk kabur. Di pojok ruangan, ada jendela kecil yang tak terkunci, tetapi harus melewati pria itu untuk bisa mendekatinya."Aku harus berpikir cepat," gumamnya dalam hati. Tanpa banyak berpikir, Shita memberanikan diri untuk menendang kaki pria itu sekuat tenaga. Pria itu terhuyung-huyung, terkejut oleh serangan mendadak dari Shita, yang memanfaatkan momen itu untuk berlari ke arah jendela.Dengan cepat, Shita membuka jendela kecil itu dan melompat keluar. Jatuhnya tidak sempurna, tubuhnya terbentur keras ke tanah, tapi adrenalin membuatnya tidak merasakan sakit. Dia segera bangkit dan berlari tanpa melihat ke belakang.Saat dia berlari di jalanan yang sepi, jantungnya berdetak kencang, dan suara langkah kaki pria itu yang mengejarnya semakin mendekat. "Jangan biarkan dia kabur!" teriak pria itu kepada orang-orang lain di dalam gedung.Shita merasa napasnya sema
"Ini gila. Bagaimana aku bisa hidup hanya dengan satu ginjal? Apa kau tidak waras?" Arkan menatapnya tajam, dan sebelum Shita bisa menyelesaikan kalimatnya, dia berkata, "Putriku adalah segalanya bagiku." Shita terdiam, pikirannya bercampur aduk antara rasa takut, bingung, dan syok. "Tapi... aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini. Ini bukan sesuatu yang kecil, Arkan."Arkan bersandar sedikit ke depan, tatapannya semakin tajam dan intens. "Tidak, ini bukan sesuatu yang kecil. Tapi aku sudah menyelamatkan hidupmu. Aku mengambil risiko besar dengan menolongmu, dan sekarang aku hanya meminta satu hal sebagai balasan."Shita terdiam, tenggorokannya terasa kering. Rasa terima kasih yang dia rasakan kini bercampur dengan kebingungan dan ketakutan. Bagaimana mungkin dia bisa mempertimbangkan untuk memberikan ginjalnya kepada seseorang yang tidak dikenalnya, bahkan meski itu putri Arkan?Namun, tatapan Arkan begitu intens dan penuh kepastian, seolah tidak memberi ruang untuk penolakan
"Apa yang kamu lakukan di sini, Shita?" tanyanya tegas, suaranya terdengar datar namun jelas menunjukkan ketidaksukaan.Shita berbalik, menatap Hans yang berdiri di ambang pintu. Wajahnya penuh dengan kelelahan setelah seharian bekerja, tetapi di balik itu ada kemarahan yang terpendam. "Aku ingin bertemu dengan Gio. Aku sangat merindukannya, Hans. Aku ibunya!" jawab Shita dengan nada memohon, meskipun hatinya masih didera kemarahan setelah konfrontasinya dengan Mia.Hans melangkah masuk ke ruang tamu, melewati Shita tanpa menatapnya langsung. "Kau tidak bisa seenaknya datang ke sini. Aku sudah bilang, hubungan kita sudah selesai. Gio baik-baik saja tanpa kamu," ujarnya dingin, tanpa sedikitpun rasa simpati.Shita merasa dunia runtuh di sekelilingnya. Hans yang dulu mencintainya kini berbicara seolah-olah dia adalah orang asing. Sementara Mia berdiri di belakangnya, penuh dengan kepuasan melihat Shita hancur. Shita mengepalkan tangannya, menahan air ma
Tadinya Sitha ingin menemui Arkan untuk meminta izin pergi kerumah Hans menemui putranya. Dia sudah sangat merindukan Gio dan khawatir dengan keadaan anaknya, namun rumah Arkan yang begitu besar membuat Sitha kesulitan mencari dimana pria itu. Sitha berjalan perlahan hingga sampai di pintu kayu berwarna putih. "Mungkinkah Arkan ada di dalam?" Dugaannya ternyata salah, saat tak sengaja melihat siapa yang ada di dalam. Di dalam ruangan yang pintunya sedikit terbuka itu, Miu terbaring dengan tenang, rambut halusnya tergerai di atas bantal putih. "Dia... Miu?" gumam Sitha. Shita melangkah masuk, Miu menoleh, meskipun terlihat lemah, sorot matanya menyala dengan rasa ingin tahu. “Kamu pasti Miu,” sapa Shita, suaranya lembut. Miu mengangguk pelan, lalu menarik selimutnya lebih erat seolah mencari rasa aman. "Kamu siapa
"Ini gila. Bagaimana aku bisa hidup hanya dengan satu ginjal? Apa kau tidak waras?" Arkan menatapnya tajam, dan sebelum Shita bisa menyelesaikan kalimatnya, dia berkata, "Putriku adalah segalanya bagiku." Shita terdiam, pikirannya bercampur aduk antara rasa takut, bingung, dan syok. "Tapi... aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini. Ini bukan sesuatu yang kecil, Arkan."Arkan bersandar sedikit ke depan, tatapannya semakin tajam dan intens. "Tidak, ini bukan sesuatu yang kecil. Tapi aku sudah menyelamatkan hidupmu. Aku mengambil risiko besar dengan menolongmu, dan sekarang aku hanya meminta satu hal sebagai balasan."Shita terdiam, tenggorokannya terasa kering. Rasa terima kasih yang dia rasakan kini bercampur dengan kebingungan dan ketakutan. Bagaimana mungkin dia bisa mempertimbangkan untuk memberikan ginjalnya kepada seseorang yang tidak dikenalnya, bahkan meski itu putri Arkan?Namun, tatapan Arkan begitu intens dan penuh kepastian, seolah tidak memberi ruang untuk penolakan
Shita merasa panik, tapi dia berusaha tetap tenang. Saat pria itu mendekat, dia melihat ke sekeliling ruangan, mencari cara untuk kabur. Di pojok ruangan, ada jendela kecil yang tak terkunci, tetapi harus melewati pria itu untuk bisa mendekatinya."Aku harus berpikir cepat," gumamnya dalam hati. Tanpa banyak berpikir, Shita memberanikan diri untuk menendang kaki pria itu sekuat tenaga. Pria itu terhuyung-huyung, terkejut oleh serangan mendadak dari Shita, yang memanfaatkan momen itu untuk berlari ke arah jendela.Dengan cepat, Shita membuka jendela kecil itu dan melompat keluar. Jatuhnya tidak sempurna, tubuhnya terbentur keras ke tanah, tapi adrenalin membuatnya tidak merasakan sakit. Dia segera bangkit dan berlari tanpa melihat ke belakang.Saat dia berlari di jalanan yang sepi, jantungnya berdetak kencang, dan suara langkah kaki pria itu yang mengejarnya semakin mendekat. "Jangan biarkan dia kabur!" teriak pria itu kepada orang-orang lain di dalam gedung.Shita merasa napasnya sema
Shita duduk di bangku taman, pandangannya kosong menatap langit yang beranjak kelam. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri, mencari sedikit kehangatan di tengah angin malam yang dingin. Air mata yang semula mengalir kini sudah mengering, menyisakan bekas luka di pipi yang pucat. Kehidupannya kini terasa seperti puing-puing yang berserakan—tanpa rumah, tanpa suami, tanpa anak. Hanya kesunyian yang menyelimuti dirinya.Di saat dia tenggelam dalam lamunannya, suara yang sudah lama tidak didengarnya menyapa dengan riang dari belakang."Shita! Ya Tuhan, aku sudah mencarimu ke mana-mana!"Shita berbalik dan mendapati Mia, sahabatnya yang tersenyum lebar, menghampirinya dengan langkah cepat. Shita mengerjap, terkejut. Mia, dengan pakaian modis dan wangi parfum mahal, tampak seperti sosok sempurna di tengah dunia yang hancur."Mia..." suara Shita terdengar serak, nyaris hilang di telan angin. "Apa yang kamu lakukan di sini?""Aku mendengar tentang apa yang terjadi antara kamu dan Hans," Mia dudu
"MEMALUKAN!" Hans berteriak, suaranya bergema di ruangan, menghantam telinga Shita seperti petir. Matanya, yang biasanya memancarkan kasih sayang, kini menyala-nyala dengan amarah. "Katakan padaku, apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Lucas bisa masuk ke rumah ini? Apa yang kau lakukan sehingga dia berani menyentuhmu?"Shita terdiam, tubuhnya gemetar hebat. Air mata mengalir di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat. Rasa sakit yang menusuk jantungnya membuatnya sulit untuk bernapas.Setelah menanti kehadiran suami selama beberapa hari, seharusnya saat mereka bertemu, Hans memeluk Shita. Bersikap melindungi sebagaimana seharusnya di lakukan seorang pria. Sialnya kenyataan tidak sesuai harapan. Hans pulang dengan mata menyala dan emosi yang memuncak. Merasa harga diri dijatuhkan lalu di injak-injak. "Kenapa kau berpikir begitu? Kau tahu sendiri bagaimana aku. Aku tidak pernah sekalipun membiarkan pria manapun masuk kedalam rumah, disaat kamu pergi. Pria itu... dia...""Lalu bagaima
"Pergi! Pergi dari sini!" Shita menjerit, suaranya bergetar dan terengah-engah. Tangannya yang gemetar mendorong dada pria dewasa yang merupakan teman baik suaminya. Sayangnya kekuatan Shita tak sebanding. Bau keringat dan napas pria itu yang membusuk memenuhi hidungnya, membuatnya ingin muntah."Jangan munafik, Shita. Aku tahu kau juga menginginkanku," ucap pria itu, senyum licik mengembang di wajahnya. Matanya, yang biasanya bersinar ramah, kini memancarkan cahaya dingin dan haus. "Suamimu seringkali mengabaikanmu, bukan?"Shita terhuyung mundur, kakinya lemas. Bajunya yang longgar jatuh ke tangan, memperlihatkan kulitnya yang putih pucat. Dia teringat saat-saat indah bersama suaminya, saat-saat yang kini terasa seperti mimpi buruk."Jangan lakukan itu," ucap Shita, suaranya bergetar dan mata yang berkaca-kaca. "Suamiku menganggapmu sebagai saudara.""Dia tidak akan tahu," ucapnya, tangannya meraba dagu Shita dengan kasar. "Kau akan menikmatinya, Shita. Percayalah."S