Datang ke sebuah acara sebagai perwakilan orang tua mereka yang sedang berlibur. Hanya sebuah acara formalitas dari saudara jauh mereka yang menikah. Mereka adalah pemilik Zea air. Tentu saja Gaby tidak datang sendiri, karena bersama kakaknya tercinta. “Kak, coba sedikit saja tersenyum.” Gaby menoel pipi kakaknya dari samping. “Coba tersenyum.” Gio hanya menatap adikny itu datar. “Pantas saja tidak ada wanita yang tertarik denganmu. Karena kau terlalu datar, tidak punya ekspresi.Gio menghela nafas. Giorgino Hendra Winston, pria tampan berusia 28 tahun. Pewaris utama Winston Corp. pria yang terkenal dingin dan pelit ekspresi. Entah apa yang menjadikannya seperti itu. Yang pasti, banyak wanita yang tergila-gila dengannya. Selain karena kaya, karena parasnya yang juga tampan sekali. Mewarisi ketampanan dan kecantikan ibu dan ayahnya. Giorgino bahkan pernah masuk ke dalam pria tampan yang berpengaruh. “Ngomong kak, ngomong.” Gabriella berdecak. “Masa mau diem-dieman.” Gio
Gaby tersenyum miring sebelum menggandeng lengan kakaknya. Gio menatap tangannya yang digandeng adiknya. “Kenapa tiba-tiba menggandengku?” Gaby tersenyum sembari mendongak. “Hanya ingin.” Mereka berdua memutuskan untuk menyapa kerabat mereka terlebih dahulu sebelum menikmati pesta. Gaby mengikuti kakaknya pergi ke manapun. Karena jujur saja ia tidak punya teman. Punya sebenarnya kalau dia mau berbasa-basi. Tapi ia tidak suka. Lebih baik mengikuti kakaknya. setidaknya jelas, dan tidak ada yang berani mengganggunya jika bersama Gio. Namun, Gaby menahan napasnya saat Gio berjabat tangan dengan seorang pria. Haven dan Gio saling berjabat tangan. Karena memang mereka saling mengenal dari bisnis. “Sudah lama aku tidak melihatmu,” ucap Haven. Gio mengangguk. “Aku jarang datang ke acara seperti ini.” Haven menatap Gaby yang berada di belakang tubuh Gio. Wanita itu menggunakan dress merah, sayang sekali Gaby tidak menggunakan dress pemberiannya. Wanita itu menggunakan dress lain
“Kapan kamu lulus?” Haven meneguk minumannya sampai habis. Gaby mendongak. “Beberapa bulan lagi, aku belum tahu pasti.” “Bagaimana dengan nilai kamu?” tanya Haven. Gaby menggeleng pelan. Seperti dosen yang menanyai Ipk mahasiswanya. Gaby menunjukkan jempolnya. “Semuanya bagus. lihat saja nanti gelarku. Predikat apa yang aku raih.” Tangan Haven terulur ingin mengusap puncak kepala Gaby. Namun wanita itu buru-buru menjauh. “Jangan Haven! jangan!” Gaby menggeleng sembari menggerakkan jarinya. Haven menghela nafas dan mengambil minumnya kembali. Kesal! pasti. Marah? entahlah. Gaby tersenyum ketika ada beberapa pria yang mendekat. Bukan mendekatinya, melainkan mendekati Haven. Kesempatan itulah yang membuat Gaby menjauh secara perlahan. Sampai ia berada di pojok sembari memegangi gelasnya. Setelah menyusuri ruangan, kakaknya sudah tidak ada. Apa kakaknya itu pulang? Buru-buru Gaby keluar dari ruangan. Setelah berada di parkiran, Gaby baru saja melihat mobil
Haven menoleh sambil menyipitkan mata. Akhirnya menarik Gaby dan kembali mencium bibir wanita itu. Gaby tersenyum—membalas setiap lumatan yang diberikan oleh Haven. “Aku merindukanmu.” Haven mengusap pinggang Gaby. Gaby mengangguk. “Aku tahu…” dengan dahi mereka yang menyatu. Haven mengusap bibir Gaby yang basah akibat ulahnya. Akhirnya tangannya mengangkat tubuh Gaby ke atas pangkuannya dan kembali mencium bibir wanita itu. Namun ditengah pangutan mereka yang kian panas, terdengar bunyi yang tidak asing. Haven melepaskan pangutan mereka. “Kamu lapar.” Gaby terkekeh pelan. “Iya.” “Ayo makan.” Haven tersenyum tipis. Tangannya mengusap dahi Gaby yang berkeringat. Gaby kembali ke tempat duduknya. Haven menjalankan mobilnya. Tujuannya hanya satu yaitu restoran yang menyajikan makanan lokal. “Kita ke mana?” tanya Gaby. “Ke restoran yang biasanya.” Gaby menggeleng. “Jangan, itu terlalu jauh. Aku tahu tempat makan yang enak. Dulu aku sering beli bersama kelurgaku.” Haven tid
21++Membuka mata akibat sinar matahari yang masuk di sel-sela jendela. Gaby mengernyit. Ini tidak di apartemennya. Setelah menyadarkan dirinya. Ia baru menyadari bahwa sekarang berada di kamar Haven. Di mansion pria itu. Perutnya terasa berat—ketika menoleh, Gaby menemukan Haven yang memeluknya. Pria itu masih tidur dengan nyaman. Tubuh Gaby ditarik. Haven mengusap wajahnya di ceruk leher Gaby. “Ayo bangun.” Gaby mengusap helaian rambut Haven. “Bagaimana kalau hari ini jalan-jalan?” Haven masih menutup mata namun masih mendengarkan Gaby. “Mau ke mana?” “Ke mana saja. Ke pantai? Kalau kamu tidak sibuk.” Haven mengangguk. “Hm. Nanti, karena aku ingin bersamamu dulu.” memeluk tubuh Gaby seperti guling. Gaby menatap wajah Haven. “Bagaimana kamu bisa terlihat lebih mud dari usiamu?” Haven berdecih. “30 tahun itu belum tua, Gaby. Usia itu sedang matang-matangnya. Itu yang membuatku semakin tampan.” Gaby tertawa pelan. “Bilang padaku kamu perawatan di mana? Jangan-jangan oplas
Gaby begitu riang menuju dapur. Nanti ia akan pergi ke pantai bersama Haven. Tapi karena pria itu sibuk, jadilah ia menyiapkan makan terlebih dahulu.Bukan dirinya sih, lebih tepatnya hanya membantu maid membawa makanan ke meja makan. Gaby memutari meja dan ingin memanggil Haven yang berada di ruang kerja. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara langkah dari belakang. Gaby memutar balikkan tubuhnya. Ia terkejut melihat seorang kakek tua yang berada di hadapannya. Bukan hanya Gaby, kakek tua itu juga terkejut!“Siapa?” tanya Gaby dan kakek itu bersama-sama. Kakek itu menatap Gaby dengan seksama. Dari atas hingga bawah. Kemudian menyipitkan mata. “Kamu simpanan Haven?” tanyanya. Gaby mengerjap. “Saya..” “Saya—” “Kenapa kakek ke sini?” tanya Haven mendekat. Pria itu menatap Gaby sebelum menatap kakeknya. “Kenapa tidak memberitahuku dulu sebelum kemari?” Oh ternyata, kakek tua itu adalah kakek Haven. Gaby sungguh tidak tahu. Ia tidak tahu wajah mantan pemimpin Edis
Gaby menoleh ke samping. Tepatnya pada Haven. Menatapnya tajam dan siap menghunusnya dengan bambu runcing. Haven yang tidak sadar malah menambah kekesalan Gaby. Gaby akhirnya tersenyum pada kakek. “Kakek, saya boleh bertanya?” tanya Gaby. “Tanya saja nak. Apa yang ingin kamu tanyakan pada kakek?” balas kakek Haven ramah. “Jadi selama ini Haven menemui wanita-wanita pilihan kakek?” Kakek mengangguk. Padahal Haven sudah memberi kode pada kakeknya untuk tidak memberitahu Gaby tentang hal itu. Tapi kakeknya itu tidak sadar dan menjawab pertanyaan Gaby dengan antusias. “Iya, dia menemui semua daftar wanita pilihan kakek. Di Singapore… di Jepang…” “Tapi setiap pulang, katanya tidak cocok.” Kakek menghela nafas sembari menyeruput kopi. “Ternyata sudah punya kekasih. Tapi tidak mau memberitahu kakek.” Gaby mengangguk paham. “Di Singapore ya kek…” Haven menoleh—hendak meraih tangan Gaby. Baru saja mendekat—Gaby sudah menarik tangannya. Haven juga berusaha tersenyum agar Gaby lulu
‘Aku tidak mau ke pantai. Aku mau pulang!’ Itu kalimat kemarahan Gaby. Dan pada akhirnya Haven mengantar Gaby kembali ke Apartemen. Sesampainya di parkiran Apartemen. Gaby hendak turun tanpa berbasa-basi karena masih sangat kesal pada Haven. Tapi pintu masih tertutup dan sengaja dikunci. Gaby menghela nafas. “Buka.” “Aku tidak akan membukanya sebelum kamu memaafkanku.” “Kamu tidak butuh maafku untuk apa menunggu maafku?” Haven meraih tangan Gaby namun Gaby menepisnya begitu saja. “Gaby… aku melakukannya agar hubungan kita tidak terkespos. Kamu tahu sendiri tadi bagaimana. kakek menyuruh kita segera menikah.” “Tapi kenapa tidak memberitahuku? Sengaja ingin berselingkuh dengan wanita-wanita itu?” tanya Gaby. “Di kafe, dengan aktris itu juga kamu bertemu dengannya karena dijodohkan kan?” Haven terdiam. Keterdiamannya itu dianggap Gaby sebagai jawaban iya. Gaby menggeleng pelan. “Aku membencimu Haven!” Haven menatap Gaby. “Aku melakukannya karena agar hubungan kita tidak te