Haven menoleh sambil menyipitkan mata. Akhirnya menarik Gaby dan kembali mencium bibir wanita itu. Gaby tersenyum—membalas setiap lumatan yang diberikan oleh Haven. “Aku merindukanmu.” Haven mengusap pinggang Gaby. Gaby mengangguk. “Aku tahu…” dengan dahi mereka yang menyatu. Haven mengusap bibir Gaby yang basah akibat ulahnya. Akhirnya tangannya mengangkat tubuh Gaby ke atas pangkuannya dan kembali mencium bibir wanita itu. Namun ditengah pangutan mereka yang kian panas, terdengar bunyi yang tidak asing. Haven melepaskan pangutan mereka. “Kamu lapar.” Gaby terkekeh pelan. “Iya.” “Ayo makan.” Haven tersenyum tipis. Tangannya mengusap dahi Gaby yang berkeringat. Gaby kembali ke tempat duduknya. Haven menjalankan mobilnya. Tujuannya hanya satu yaitu restoran yang menyajikan makanan lokal. “Kita ke mana?” tanya Gaby. “Ke restoran yang biasanya.” Gaby menggeleng. “Jangan, itu terlalu jauh. Aku tahu tempat makan yang enak. Dulu aku sering beli bersama kelurgaku.” Haven tid
21++Membuka mata akibat sinar matahari yang masuk di sel-sela jendela. Gaby mengernyit. Ini tidak di apartemennya. Setelah menyadarkan dirinya. Ia baru menyadari bahwa sekarang berada di kamar Haven. Di mansion pria itu. Perutnya terasa berat—ketika menoleh, Gaby menemukan Haven yang memeluknya. Pria itu masih tidur dengan nyaman. Tubuh Gaby ditarik. Haven mengusap wajahnya di ceruk leher Gaby. “Ayo bangun.” Gaby mengusap helaian rambut Haven. “Bagaimana kalau hari ini jalan-jalan?” Haven masih menutup mata namun masih mendengarkan Gaby. “Mau ke mana?” “Ke mana saja. Ke pantai? Kalau kamu tidak sibuk.” Haven mengangguk. “Hm. Nanti, karena aku ingin bersamamu dulu.” memeluk tubuh Gaby seperti guling. Gaby menatap wajah Haven. “Bagaimana kamu bisa terlihat lebih mud dari usiamu?” Haven berdecih. “30 tahun itu belum tua, Gaby. Usia itu sedang matang-matangnya. Itu yang membuatku semakin tampan.” Gaby tertawa pelan. “Bilang padaku kamu perawatan di mana? Jangan-jangan oplas
Gaby begitu riang menuju dapur. Nanti ia akan pergi ke pantai bersama Haven. Tapi karena pria itu sibuk, jadilah ia menyiapkan makan terlebih dahulu.Bukan dirinya sih, lebih tepatnya hanya membantu maid membawa makanan ke meja makan. Gaby memutari meja dan ingin memanggil Haven yang berada di ruang kerja. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara langkah dari belakang. Gaby memutar balikkan tubuhnya. Ia terkejut melihat seorang kakek tua yang berada di hadapannya. Bukan hanya Gaby, kakek tua itu juga terkejut!“Siapa?” tanya Gaby dan kakek itu bersama-sama. Kakek itu menatap Gaby dengan seksama. Dari atas hingga bawah. Kemudian menyipitkan mata. “Kamu simpanan Haven?” tanyanya. Gaby mengerjap. “Saya..” “Saya—” “Kenapa kakek ke sini?” tanya Haven mendekat. Pria itu menatap Gaby sebelum menatap kakeknya. “Kenapa tidak memberitahuku dulu sebelum kemari?” Oh ternyata, kakek tua itu adalah kakek Haven. Gaby sungguh tidak tahu. Ia tidak tahu wajah mantan pemimpin Edis
Gaby menoleh ke samping. Tepatnya pada Haven. Menatapnya tajam dan siap menghunusnya dengan bambu runcing. Haven yang tidak sadar malah menambah kekesalan Gaby. Gaby akhirnya tersenyum pada kakek. “Kakek, saya boleh bertanya?” tanya Gaby. “Tanya saja nak. Apa yang ingin kamu tanyakan pada kakek?” balas kakek Haven ramah. “Jadi selama ini Haven menemui wanita-wanita pilihan kakek?” Kakek mengangguk. Padahal Haven sudah memberi kode pada kakeknya untuk tidak memberitahu Gaby tentang hal itu. Tapi kakeknya itu tidak sadar dan menjawab pertanyaan Gaby dengan antusias. “Iya, dia menemui semua daftar wanita pilihan kakek. Di Singapore… di Jepang…” “Tapi setiap pulang, katanya tidak cocok.” Kakek menghela nafas sembari menyeruput kopi. “Ternyata sudah punya kekasih. Tapi tidak mau memberitahu kakek.” Gaby mengangguk paham. “Di Singapore ya kek…” Haven menoleh—hendak meraih tangan Gaby. Baru saja mendekat—Gaby sudah menarik tangannya. Haven juga berusaha tersenyum agar Gaby lulu
‘Aku tidak mau ke pantai. Aku mau pulang!’ Itu kalimat kemarahan Gaby. Dan pada akhirnya Haven mengantar Gaby kembali ke Apartemen. Sesampainya di parkiran Apartemen. Gaby hendak turun tanpa berbasa-basi karena masih sangat kesal pada Haven. Tapi pintu masih tertutup dan sengaja dikunci. Gaby menghela nafas. “Buka.” “Aku tidak akan membukanya sebelum kamu memaafkanku.” “Kamu tidak butuh maafku untuk apa menunggu maafku?” Haven meraih tangan Gaby namun Gaby menepisnya begitu saja. “Gaby… aku melakukannya agar hubungan kita tidak terkespos. Kamu tahu sendiri tadi bagaimana. kakek menyuruh kita segera menikah.” “Tapi kenapa tidak memberitahuku? Sengaja ingin berselingkuh dengan wanita-wanita itu?” tanya Gaby. “Di kafe, dengan aktris itu juga kamu bertemu dengannya karena dijodohkan kan?” Haven terdiam. Keterdiamannya itu dianggap Gaby sebagai jawaban iya. Gaby menggeleng pelan. “Aku membencimu Haven!” Haven menatap Gaby. “Aku melakukannya karena agar hubungan kita tidak te
“Lepaskan aku.” Gaby menghempaskan tangan Haven dan memilih untuk pergi. Haven mengepalkan tangannya. Menatap punggung Gaby yang semakin menjauh. “Aku tidak akan melepaskanmu,” lirihnya. Sesampainya di kamar, Gaby menangis. Hubungannya dengan Haven memang tidak sehat. Setiap kali ada kebahagiaan, maka akan dibayar dengan rasa sakit yang melebihi kebahagiaan itu sendiri. Lantas apa yang harus ia lakukan selain mengakhiri saja hubungan ini. Gaby menoleh. melihat ponselnya yang berbunyi. Bukan dari Haven, melainkan orang tuanya. Gaby membiarkanny. Tapi orang tuanya terus meneleponnya. Akhirnya Gaby mengangkat panggilan video dari orang tuanya. “Kenapa wajah kamu?” tanya Aluna. “Kamu menangis ya?” Gaby terdiam. Muncul Ethan dari belakang Aluna. “Hei, itu menangis. kenapa menangis?” Gaby menggeleng. namun air matanya malah ingin mengalir dengan deras. Akhirnya Gaby malah menangis di hadapan orang tuanya. Untung saja orang tuanya diam saat ia menangis, orang tuanya memberin
“Kau sudah putus?” tanya Gio. Belum sempat menjawabnya. Pintu apartemen berbunyi lagi. Gaby keluar. kini ia melihat satu buah paper bag yang berisi kue. “Bawa kembali pak.” “Tidak bisa, mbak. Saya harus mengantar ini pada anda.” “Kan sudah dibayar, saya gak mau dan lebih baik bapak ambil saja.” “Beneran mbak?” Gaby mengangguk. Setelah itu kembali dan menutup pintunya. Ia kembali ke dan duduk di kursi. Sedangkan kakaknya… malah memakan cokelat pemberian Haven. “Jangan dimakan.” Gaby melotot. Merebut cokelat itu dari tangan kakaknya. “Katanya sudah putus.” Gio menghela nafas. “Sudah putus tapi aku lagi ingin makan cokelat!” Gio bersindekap. “Kau berselingkuh?” Gaby menyipitkan mata. “Kau mengira aku yang berselingkuh? Memangnya sebajingan itu ya kak adikmu ini?” “Siapa tahu. Kau sendiri yang bilang gampang bosan dengan laki-laki.” Gaby bangkit. berjalan ke arah nakas. Mengambil satu vape di sana yang ia sembunyikan dari Haven. Kemudian menghisapnya da
“Kak!” Gaby melebarkan matanya. Kakaknya tidak pernah main-main kalau sudah mode serius seperti ini. Apalagi kakaknya terlihat tidak suka dengan hubungannya bersama Haven. “Apa? Kau mau menunggu pria tidak jelas seperti itu?” tanya Gio. Gaby terdiam. Yang dikatakan kakaknya memang benar. Hubungannya dengan Haven memang tidak jelas. Jika diteruskan, tidak tahu ujungnya sampai di mana. “Akhiri hubunganmu dengannya.” Gio memandang adiknya. Raut wajahnya tegas, menandakan seriusnya ia sekarang. “Aku yang akan melindungimu dari dia. Jika dia berusaha mengusikmu, bilang padaku,” tegas Gio. Ketegasan yang hanya dimiliki oleh seorang kakak. Gio memandang Gaby lebih lama. “Aku menyayangimu Gab. Aku tidak mau kau terjebak dengan pria yang tidak jelas.” Gaby mengerucutkan bibirnya. “Aku baru saja bertemu dengan kakeknya. kakeknya ingin kita segera menikah.” “Lalu apa jawaban Haven?” Gaby terdiam. “Dia bilang kita belum siap dan menolak keinginan kakeknya.” Gio menggeleng. “Itu buk
Agatha mengalami koma. Kecelakaan itu berat. membuat hampir seluruh tubuh Agatha terluka. Gio berada di luar ruangan Agatha. menatap perempuan itu dari sebuah kaca. Gio berkacak pinggang. Menyalahkan diri sendiri karena tidak menangkap penjahat itu. seharusnya ia membawa penjahat itu, mengurungnya… Bukan malah menyerahkan pada polisi. Sehingga tahanan itu kabur. Gio mengangkat sambungan telepon. “Aku tidak mau tahu. Malam ini bajingan itu harus ketemu. Bawa bajingan itu ke tempat yang sudah aku kirimkan padamu.” “Baik sir. Saat ini anak buah saya masih mengejar pria itu.” Gio menutup sambungan teleponnya dan melihat Agatha sebentar sebelum duduk. Gio menunduk—mengusap wajahnya kasar. ada tangan mungil yang memberikannya sebuah es krim. Gio mengangkat kepalanya. menatap seorang anak laki-laki. Anak itu tersenyum. “Uncle jangan menangis.” bocah itu berbicara dengan jelas. Dilihat dari postur tubuhnya memang sudah besar, tapi masih terlihat anak kecil. “Bagaimana keadaan Ag
Agatha keluar dari rumah sakit. Setelah memastikan Gio beristirahat dengan tenang. Agatha berhenti pada sebuah cermin. Menatap lehernya yang memerah. Merogoh sebuah syal yang berada di tasnya. Kemudian melingkarnnya di lehernya. Bibirnya mengembangkan senyuman. Masih tergambar dengan jelas ciuman mereka tadi. Saling memangut dan meluapkan rasa rindu. Agatha kembali berjalan dan menaiki mobil untuk pulang. Di sepanjang perjalanan Agatha tidak berhenti melamun. Ada banyak yang ia pikirkan. Meski ia sudah menjadi pemimpin…. Ada banyak hal yang belum ia selesaikan. Mencari pelaku yang membunuh ayah dan kakaknya. Mencari pelaku sebenarnya yang menyerang Gio. Mencari pelaku yang berusaha membunuhnya juga. Lalu… Pikirannya juga penuh memikirkan hubungannya dengan Gio setelah ini. Ia hampir mencapai tujuannya. Yang artinya perjanjian mereka akan segera berakhir. Lantas, jika berakhir. apakah hubungannya dengan Gio juga akan berakhir begitu saja. Seharusnya
“Bagaiamana keadaanmu.” Agatha menatap Gio. “Aku baik-baik saja. tapi aku harus kembali ke rumah sakit.” Gio mengambil tangan Agatha dan menggenggamnya. “Kau ikut denganku.” Agatha berhenti. “Aku tidak bisa bersamamu dulu.” “Aku tidak bisa menerimanya.” Gio tetap menggandeng tangan Agatha. Tapi Agatha tetap kekeh dengan ucapannya yang ia katakan pada keluarga Gio. “Tidak, Gio. Aku tidak bisa…” Agatha mendongak. “Aku akan menemuimu sampai keadaan benar-benar aman.” Gio menghela napas. “Sampai kapan?” “Besok? Lusa? Bulan depan?” tanya Gio. Agatha terdiam. karena dirinya sendiri juga tidak tahu. Tapi setidaknya sampai kekuasaan benar berada di dalam genggamannya. Sampai orang-orang yang mencelekainya ditangkap. “Aduh…” Gio memegang perutnya. “Bagaimana ini… perutku..” Gio menyipitkan mata. “Anda harus ke rumah sakit segera Sir..” dokter mendekat. ia juga khawatir dengan keadaan Gio. Namun diam-diam Gio memberi petunjuk bahwa ia sedang berpura-pura. “Adu duh..”
Beberapa hari yang lalu. Gio tersadar dari komanya. Pertama kali orang yang ia cari adalah Agatha. Ibunya bilang, Agatha pulang. Agatha berjanji tidak akan menemuinya sampai keadaan benar-benar aman. Marah. Tentu saja, neneknya yang membuat Agatha pergi. Gio masih membutuhkan perawatan intensif. Untuk bergerak saja ia tidak bisa. Untuk itu ia mengerahkan orang-orangnya untuk membantunya. Dari pada seperti ini, sudah terlanjur. Maka ia akan meneruskannya saja. Ia akan berpura-pura tidak berhubungan dengan Agatha dahulu sampai Rapat itu dimulai. Pada awalnya ia akan datang awal rapat. Tapi sekali lagi keadaannya tidak memungkinkan. Perutnya masih terasa keram. Alhasil ia datang terlambat—namun masih melihat perkembangan rapat itu lewat kamera kecil. Kamera itu terpasang di pakaian orang yang mewakilinya di sana. “Banyak orang yang menghianatiku juga.” Gio berada di dalam mobil. Melihat orang-orang yang tidak mengangkat tangan untuk Agatha. Orang-orang yang tela
“Tapi Agatha Ethelind Harper baru saja terjun ke dunia bisnis. kinerjanya di dalam perusahaan baru mencapai tahun pertama.” Agatha tersenyum sinis. Menggunakan pengalamannya yang baru sebentar untuk menjatuhkannya. Agatha masih menahan senyumnya—ingin tertawa padahal. Kekurangannya yang diumbar di depan banyak investor. Sedangkan kekuarangan Levin disembunyikan. Agatha menjadi satu-satunya wanita yang berada di dalam ruangan ini. “Siapa yang mendukung Agatha Harper Ethelind menjadi pemimpin sementara?” Satu persatu orang-orang yang mendukung Agatha mengangkat tangan. Sekitar 3… Lalu satu orang mengangkat tangannya… Ternyata Pak Beni… Pak Beni tersenyum sembari mengangguk pada Agatha. Sedangkan pak Robert? Jangan tanya. Pria itu bahkan tidak berani menatap Agatha. seolah tidak mengenal. Tidak seperti tadi… Ternyata… si Mafia itu tidak mendukungnya. Memang, di dalam dunia bisnis tidak bisa ditebak mana yang benar-benar teman. Dan mana yang musuh. Setidaknya
“maaf nona. Hal seperti ini saya pasti tidak akan terulang lagi.” satu bodyguard maju menghadap Agatha. Ada dua mobil yang dicoba dijalankan. Hanya satu yang remnya blong. Mobil yang selalu digunakan oleh Agatha. Agatha berkacak pinggang. ia tidak ingin menghabiskan energinya untuk hal tidak masuk akal seperti ini. Tapi semua ini menyangkut nyawanya. “Sebagai ketua. Kau harus mencari tahu siapa anak buahmu yang berhianat. Aku memberimu waktu sampai jam istirahat makan siang. jika kau tidak bisa menemukan penghianat itu.” Agatha menghela napas. “Ganti semua bodyguard yang mengawalku.” Akhirnya Agatha masuk ke dalam mobil. Selama di dalam mobil, Agatha tidak berhenti cemas. Untuk siapapun yang berusaha membunuhnya. Agatha pastikan akan segera menangkap orang itu. Hidupnya tidak bisa tenang dan dihantui oleh kematian. Akhirnya mobil sampai juga di kantor. Dengan selamat! Agatha masuk ke dalam ruang—disambut oleh sekretarisnya. “Rapat akan dilaksanakan pukul 1
“Sial.” Agatha tidak berhenti mengumpat setelah keluar dari ruang penyidikan. “Aku yakin ada yang menyuruhnya untuk membunuhku.” Agatha mengatakannya pada polisi. Namun polisi itu menghela napas dan terlihat lelah. “Kami sudah menyelidikinya. Kami sudah datang ke tempat tinggalnya. Tidak ada tanda-tanda disuruh orang….” “Tidak mungkin.” Agatha menggeleng. “Pasti ada petunjuk… Aku sering diteror. Tidak mungkin kalau dia hanya menyukaiku. aku yakin dia memang punya niat buruk dan disuruh orang lain.” “Tenanglah..” polisi itu hanya menepuh pelan bahu Agatha. Agatha ingin melayangkan protes tapi ia ditarik oleh seseorang. Pengacara Gio. Akhirnya Agatha dan pengacara Gio berada di dalam mobil untuk berbicara. “tidak ada gunanya berbicara pada polisi. Bukti tidak ada. Mereka juga tidak akan menggap kasus ini serius.” Pengacara Gio memberikan dokumen pada Agatha. Agatha membukanya. Melihat isinya sembari dijelaskan. “Pria itu sudah 2 tahun belakangan mengincar wanita c
Agatha pulang. Berjalan gontai masuk ke dalam penthouse. Tadi.. di rumah sakit. Karena dirinya semuanya malah bertengkar. Orang tua Gio memang berpihak padanya. tapi tidak dengan nenek Gio yang begitu membencinya. Tadi di rumah sakit…. “Jangan lakukan hal itu, Mom.” Aluna lagi-lagi menarik margaret agar menjauh dari Agatha. “Gio bukan anak kecil. Dia dewasa dan dia bisa menentukan apa yang dia inginkan. Dia ingin melindungi Agatha. aku sebagai orang tua tidak bisa mencegahnya dan akan mendukungnya.” “Kamu gila? setelah melihat anakmuu sekarat kamu mengatakan hal ini?” tanya Margaret memegang lengan Aluna. “Sadarlah Aluna, Gio ditusuk pria yang mengincar wanita itu.” margaret menatap Agatha begitu benci. Aluna memijjit keningnya. “Jangan membahas hal ini lebih dulu. Kita tunggu Gio..” “Gio tahu apa yang harus dilakukannya.” Margaret menatap Ethan. “Apa yang kamu lakukan?” “Semua keputusan ada di tangan Gio. Aku sebagai orang tua tidak bisa memaksanya. Begitupun
Setelah memberikan pidato, Agatha tidak tahu Gio ke mana. Ia langsung pergi dan mencari pria itu bersama bodyguard yang lain. Tapi tubuhnya langsung kaku ketika melihat Gio yang tertusuk. Gio dibawa ke rumah sakit. Sedangkan penjahat itu sudah ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Agatha tidak bisa berhenti cemas. Ia menunggu Gio di depan ruang ICU. Tubuhnya berlumuran dengan darah… Agatha tidak peduli pada dirinya sendiri. Ia duduk dengan kepala yang menunduk. menunggu berjam-jam Gio yang masih mendapat perawatan oleh dokter. agatha mendongak ketika mendengar suara langkah kaki. Ia melihat kedua orang tua Gio yang baru datang. “Bagaimana keadaannya?” tanya Ethan pada Agatha. “Gio masih dirawat di dalam,” balas Agatha. Ethan menatap Agatha. “Aku yakin kamu sudah tahu kalau kita orang tua Gio. Kami juga sudah tahu kamu kekasih Gio. Kamu bisa jelaskan pada kami bagaimana semuanya bisa terjadi?” Agatha meremas pelan tangannya. Tapi—elusan lembut di bahuny