Haven terdiam bukannya ingin menolak keinginan Gaby. Melainkan tidak fokus karena Gaby yang begitu cantik di matanya. Wajah cerah dan natural perempuan itu seolah menghipnotis. “Tidak boleh?” tanya Gaby pada Haven. Haven mengangguk. “Boleh my baby girl.” Gaby mengerjap. Ia panik! Ia kira Haven tidak memperbolehkannya. Karena untuk membeli satu pabrik minimal milyaran. Tapi dengan mudah pria ini menyetujuinya saja. “Aku hanya bercanda.” Gaby mengembalikan black card itu. Melepaskan diri dari kungkungan Haven. “Bye!” mengecup pelan pipi Haven. Karena ia hendak pergi ke kamar mandi. Haven menarik pinggang Gaby hingga wanita itu tidak bisa kabur darinya. “Mau ke mana Baby Girl?” tanya Haven dengan senyum miring. “Kau akan kabur setelah mempermainkanku?” tanyanya. Gaby menghela nafas. “Aku tidak mempermainkanmu.” “Aku tidak mau kamu menganggurkan kartu ini begitu saja.” Haven menaruh kartu itu di atas telapak tangan Gaby. “Pakai kartu ini untuk berbelanja
Haven masuk ke dalam kantor dengan senyum tipis. Jarang sekali bisa tersenyum seperti itu. Sebuah keajaiban. Sampai ia masuk ke dalam ruangannya. Ia menatap sebuh punggung seorang kakek. “Kenapa kakek di sini? Kenapa lagi kek?” tanya Haven memasukkan kedua tangannya di dalam saku. “Tidak sopan kamu!” kakek membalikkan tubuhnya. “Sudah banyak menemui wanita tapi kenapa semuanya kamu tolak?” tanya kakek dengan marah. Haven menghela nafas. “Sudah Haven katakan. Haven tidak berminat menjalin hubungn serius dengan wanita.” “Mau sampai kapan Haven?” tanya kakeknya. “Kamu mau jadi bujangan sampi tua? Perusahaan butuh pewaris asal kamu tahu. Bagaimana nanti jika kamu tidak punya keturunan, mau dibawa ke mana perusahaan?” kakek mendekat. “Haven akan menikah saat sudah waktunya. Tapi sekarang, Haven masih ingin sendiri dan mengurus perusahaan.” Pria itu terlihat frustasi dengan ucapan cucunya. Untung saja cucu satu-satunya. Jadi, hanya Haven yang bisa diandalkan olehnya. “Kamu…”
Datang ke sebuah acara sebagai perwakilan orang tua mereka yang sedang berlibur. Hanya sebuah acara formalitas dari saudara jauh mereka yang menikah. Mereka adalah pemilik Zea air. Tentu saja Gaby tidak datang sendiri, karena bersama kakaknya tercinta. “Kak, coba sedikit saja tersenyum.” Gaby menoel pipi kakaknya dari samping. “Coba tersenyum.” Gio hanya menatap adikny itu datar. “Pantas saja tidak ada wanita yang tertarik denganmu. Karena kau terlalu datar, tidak punya ekspresi.Gio menghela nafas. Giorgino Hendra Winston, pria tampan berusia 28 tahun. Pewaris utama Winston Corp. pria yang terkenal dingin dan pelit ekspresi. Entah apa yang menjadikannya seperti itu. Yang pasti, banyak wanita yang tergila-gila dengannya. Selain karena kaya, karena parasnya yang juga tampan sekali. Mewarisi ketampanan dan kecantikan ibu dan ayahnya. Giorgino bahkan pernah masuk ke dalam pria tampan yang berpengaruh. “Ngomong kak, ngomong.” Gabriella berdecak. “Masa mau diem-dieman.” Gio
Gaby tersenyum miring sebelum menggandeng lengan kakaknya. Gio menatap tangannya yang digandeng adiknya. “Kenapa tiba-tiba menggandengku?” Gaby tersenyum sembari mendongak. “Hanya ingin.” Mereka berdua memutuskan untuk menyapa kerabat mereka terlebih dahulu sebelum menikmati pesta. Gaby mengikuti kakaknya pergi ke manapun. Karena jujur saja ia tidak punya teman. Punya sebenarnya kalau dia mau berbasa-basi. Tapi ia tidak suka. Lebih baik mengikuti kakaknya. setidaknya jelas, dan tidak ada yang berani mengganggunya jika bersama Gio. Namun, Gaby menahan napasnya saat Gio berjabat tangan dengan seorang pria. Haven dan Gio saling berjabat tangan. Karena memang mereka saling mengenal dari bisnis. “Sudah lama aku tidak melihatmu,” ucap Haven. Gio mengangguk. “Aku jarang datang ke acara seperti ini.” Haven menatap Gaby yang berada di belakang tubuh Gio. Wanita itu menggunakan dress merah, sayang sekali Gaby tidak menggunakan dress pemberiannya. Wanita itu menggunakan dress lain
“Kapan kamu lulus?” Haven meneguk minumannya sampai habis. Gaby mendongak. “Beberapa bulan lagi, aku belum tahu pasti.” “Bagaimana dengan nilai kamu?” tanya Haven. Gaby menggeleng pelan. Seperti dosen yang menanyai Ipk mahasiswanya. Gaby menunjukkan jempolnya. “Semuanya bagus. lihat saja nanti gelarku. Predikat apa yang aku raih.” Tangan Haven terulur ingin mengusap puncak kepala Gaby. Namun wanita itu buru-buru menjauh. “Jangan Haven! jangan!” Gaby menggeleng sembari menggerakkan jarinya. Haven menghela nafas dan mengambil minumnya kembali. Kesal! pasti. Marah? entahlah. Gaby tersenyum ketika ada beberapa pria yang mendekat. Bukan mendekatinya, melainkan mendekati Haven. Kesempatan itulah yang membuat Gaby menjauh secara perlahan. Sampai ia berada di pojok sembari memegangi gelasnya. Setelah menyusuri ruangan, kakaknya sudah tidak ada. Apa kakaknya itu pulang? Buru-buru Gaby keluar dari ruangan. Setelah berada di parkiran, Gaby baru saja melihat mobil
Haven menoleh sambil menyipitkan mata. Akhirnya menarik Gaby dan kembali mencium bibir wanita itu. Gaby tersenyum—membalas setiap lumatan yang diberikan oleh Haven. “Aku merindukanmu.” Haven mengusap pinggang Gaby. Gaby mengangguk. “Aku tahu…” dengan dahi mereka yang menyatu. Haven mengusap bibir Gaby yang basah akibat ulahnya. Akhirnya tangannya mengangkat tubuh Gaby ke atas pangkuannya dan kembali mencium bibir wanita itu. Namun ditengah pangutan mereka yang kian panas, terdengar bunyi yang tidak asing. Haven melepaskan pangutan mereka. “Kamu lapar.” Gaby terkekeh pelan. “Iya.” “Ayo makan.” Haven tersenyum tipis. Tangannya mengusap dahi Gaby yang berkeringat. Gaby kembali ke tempat duduknya. Haven menjalankan mobilnya. Tujuannya hanya satu yaitu restoran yang menyajikan makanan lokal. “Kita ke mana?” tanya Gaby. “Ke restoran yang biasanya.” Gaby menggeleng. “Jangan, itu terlalu jauh. Aku tahu tempat makan yang enak. Dulu aku sering beli bersama kelurgaku.” Haven tid
21++Membuka mata akibat sinar matahari yang masuk di sel-sela jendela. Gaby mengernyit. Ini tidak di apartemennya. Setelah menyadarkan dirinya. Ia baru menyadari bahwa sekarang berada di kamar Haven. Di mansion pria itu. Perutnya terasa berat—ketika menoleh, Gaby menemukan Haven yang memeluknya. Pria itu masih tidur dengan nyaman. Tubuh Gaby ditarik. Haven mengusap wajahnya di ceruk leher Gaby. “Ayo bangun.” Gaby mengusap helaian rambut Haven. “Bagaimana kalau hari ini jalan-jalan?” Haven masih menutup mata namun masih mendengarkan Gaby. “Mau ke mana?” “Ke mana saja. Ke pantai? Kalau kamu tidak sibuk.” Haven mengangguk. “Hm. Nanti, karena aku ingin bersamamu dulu.” memeluk tubuh Gaby seperti guling. Gaby menatap wajah Haven. “Bagaimana kamu bisa terlihat lebih mud dari usiamu?” Haven berdecih. “30 tahun itu belum tua, Gaby. Usia itu sedang matang-matangnya. Itu yang membuatku semakin tampan.” Gaby tertawa pelan. “Bilang padaku kamu perawatan di mana? Jangan-jangan oplas
Gaby begitu riang menuju dapur. Nanti ia akan pergi ke pantai bersama Haven. Tapi karena pria itu sibuk, jadilah ia menyiapkan makan terlebih dahulu.Bukan dirinya sih, lebih tepatnya hanya membantu maid membawa makanan ke meja makan. Gaby memutari meja dan ingin memanggil Haven yang berada di ruang kerja. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara langkah dari belakang. Gaby memutar balikkan tubuhnya. Ia terkejut melihat seorang kakek tua yang berada di hadapannya. Bukan hanya Gaby, kakek tua itu juga terkejut!“Siapa?” tanya Gaby dan kakek itu bersama-sama. Kakek itu menatap Gaby dengan seksama. Dari atas hingga bawah. Kemudian menyipitkan mata. “Kamu simpanan Haven?” tanyanya. Gaby mengerjap. “Saya..” “Saya—” “Kenapa kakek ke sini?” tanya Haven mendekat. Pria itu menatap Gaby sebelum menatap kakeknya. “Kenapa tidak memberitahuku dulu sebelum kemari?” Oh ternyata, kakek tua itu adalah kakek Haven. Gaby sungguh tidak tahu. Ia tidak tahu wajah mantan pemimpin Edis