Cedric merawat Louis secara intensif. Apalagi setelah beberapa jam pemuda itu lalu muntah-muntah. Hingga Lluis merasa kehabisan tenaga."Apa tidak ada obat anti muntah?" keluh Louis pada Cedric."Sebaiknya memang kamu muntah, Lou. Agar racun dalam tubuhmu ikut keluar. Hanya hari ini saja kok. Besok sudah tidak muntah lagi," ucap Cedric."Jadi besok aku belum boleh pulang?" sungut Louis."Masih harus diinfus. Kamu kehilangan banyak cairan karena muntah.""Tapi aku kasihan pada Princess. Apalagi ia belum diperbolehkan menjenguk ke rumah sakit, aku jadi rindu padanya." Mata Louis kini berkaca-kaca."Kalau begitu, kita lihat besok, ya. Yang penting kamu harus tetap makan dan minum yang disediakan rumah sakit."Louis hanya mengangguk. Sacha yang sejak tadi mendengar langsung menelepon Keyna. Ibu sambung mereka itu mengatakan bahwa Princess sedang tidur.Namun begitu, Louis ingin tetap melihat adiknya. Akhirnya Keyna meletakkan layar kamera di sebelah putrinya sehingga pemuda itu bisa melih
Sacha menggeleng keras. "Tidak, Dad. Cedric tidak pernah memperlakukanku secara berlebihan. Bahkan saat kami pergi bersama, ia memasang alarm pulang jam sepuluh malam."Sekali lagi, William mengangguk. Sebenarnya ia pun mendapat informasi yang sama dari pengawal Sacha. Sang bilioner hanya ingin mendengar langsung dari sang putri."Bagus. Walaupun kalian sudah bertunangan, Daddy harap kalian tetap bisa menjaga diri terutama kamu. Jaga kehormatan seorang wanita," ucap William."Iya, Dad," janji Sacha.Saat mereka kembali ke ruang perawaran Louis, Frederix sedang bekerja di sofa. William menggeleng samar. Putra sulungnya itu benar-benar persis dirinya. Pekerja keras."Daddy, aku harus kembali ke mansion. Mau bersiap untuk makan malam dengan klien," ujar Frederix saat melihat William masuk."Ok, Daddy ikut kamu.""Cha yang menunggui Louis, ya.""Bilang saja Kak Cha mau pacaran sama Cedric di sini," sindir Louis.Sontak saja Sacha membulatkan matanya kepada Louis. Pemuda itu malah terkekeh
"Hai, Fred."Frederix berjengit pelan. Ia menoleh ke samping. Keyna menghampiri dengan piyama pendeknya."Key? Masih bangun?""Tidak, terbangun tepatnya. Princes masih terjaga satu kali setiap malam untuk menyusu, lalu biasanya setelah itu aku lapar.""Oh. Jadi kamu mau makan sekarang? Bastian sudah masuk kamar.""Iya, tak apa. Aku makan buah saja."Keyna membuka kulkas. Mengambil anggur, apel dan pisang. Memotong-motong buah tersebut lalu mencampurnya dengan yogurt."Kamu sendiri? Kenapa masih bangun? Baru pulang?""Iya. Baru selesai makan malam dengan klien.""Lancar?""Lancar. Hanya saja aku cukup terkejut dengan keputusan CEO-nya yang memberikan proyek besar ini untuk diserahkan pada putrinya.""Oh ya? Bagaimana ceritanya?"Secara garis besar Frederix menceritakan pertemuannya dengan Philippe dan Belle. Keyna merasakan ada nada tertekan setiap kali lelaki itu menyebut nama Belle. Namun, ia mengabaikan perasaan itu."Semoga saja Belle adalah wanita yang cepat belajar sehingga proye
Di dalam ruang perawatan Louis, Frederix merasa seperti nyamuk. Belle dan adiknya bertukar cerita. Louis memang pemuda yang ramah dan mudah bergaul sehingga bisa langsung akrab dengan Belle.Tidak ingin mengganggu keduanya, Frederix pamit untuk ke kafe. Di sana, ia melihat Cedric dan Sacha. Tampaknya mereka juga sedang berdiskusi serius.Frederix akhirnya memilih kafe lain. Ia juga tidak ingin mengganggu kebersamaan Cedric dan Sacha. Lelaki itu duduk sendiri di pojok kafe.Beberapa saat kemudian."Tuan Fred," panggil Belle.Frederix menoleh. Tak sadar ia telah lama meninggalkan Belle di kamar perawatan Louis. Lelaki itu melirik arlojinya, ternyata sudah lebih dari satu jam ia duduk sendirian di kafe."Ya? Sudah selesai?" tanya Frederix."Sudah. Kita harus kembali ke kantor, bukan? Lagipula sudah ada Nona Sacha yang menunggui Louis."Frederix mengangguk. "Kamu sudah berkenalan juga dengan Sacha?""Sebenarnya aku sudah mengenal Sacha dari sosial media. Tapi ternyata aslinya sangat ramah
“Ini tokomu?” tanya Frederix.“Iya, cabang yang ketiga.”Frederix mengangguk. Sejak dulu, Ariana memang bercita-cita menjadi pengusaha fashion. Frederix beberapa kali membantu perancangan bisnis tersebut.“Selamat atas usahamu,” ucap Frederix.“Terima kasih. Aku memilih nama ‘Moment’ karena teringat akan kata-katamu. Bahwa setiap orang pasti memiliki moment yang berharga. Aku ingin orang-orang yang membeli barang-barang di toko ini mendapat moment yang pantas mereka ingat.”“Seperti saat kamu bercerita tentang moment saat kita resmi bersama,” imbuh Ariana.Iya. Frederix ingat kata-kata itu. Buatnya moment berharga memang selalu ada dalam kehidupan. Seperti moment saat ia mengakui bahwa Ariana lah cinta pertamanya.“Kamu tidak keberatan kan aku memakai nama ‘Moment’?”“Tidak. Tentu saja tidak. Nama itu bukan hak patenku.”Ariana terlihat senang. ia meminta pegawainya membawakan makanan dan minuman. Namun, Frederix menolak dengan cepat.“Aku sudah ditunggu Keyna.” Frederix berdiri dan b
Keyna mengamati Sacha. Wanita cantik itu sedang mematut dirinya di cermin. Walaupun menurut Keyna, Sacha tidak perlu berusaha banyak untuk terlihat cantik.“Berlebihan nggak sih, dandananku?” tanya Sacha pada Keyna.“Nggak kok. Memang kenapa?”“Yaa aku bingung karena ‘kan makan malamnya bersama Papa dan adiknya Cedric.”Keyna menghampiri Sacha. Lalu, memutar tubuh putri William itu menghadapnya. Mereka kini saling bertatapan.“Jadi dirimu sendiri aja, Cha. Justru dengan menjadi diri sendiri, kamu akan melihat bagaimana reaksi orang lain terhadapmu,” saran Keyna.Wanita di depan Keyna mengerjapkan mata. Ia tidak bisa berkata-kata. Pelukan erat ia berikan pada Keyna.“Kamu baik banget, sih, Key.”“Kamu juga baik, Cha.”“Aku pernah jahat padamu. Dan dulu, aku juga wanita yang tidak perduli pada orang lain. Tapi kamu, kamu tidak pernah berbuat jahat.”“Kata siapa aku tidak pernah berbuat jahat?” cebik Keyna.Kepala Sacha menggeleng. “Tidak. Aku yakin kamu tidak pernah berbuat jahat pada o
Sacha menghubungi Keyna. Setelah berdiskusi dengan Cedric, akhirnya mereka berencana membuat pertemuan antara Keyna dengan Hendrick dan Caroline. Dengan gelisah, Sacha menunggu teleponnya berbalas."Aku telepon Bastian saja. Keyna tidak menjawab. Mungkin sedang sibuk dengan Princess."Cedric mengangguk. Terus-terang saja ia gelisah. Takut kedatangan keluarganya ditolak Keyna."Bastian bilang, Keyna dan Princess sedang di kamar perawatan Louis. Aku sudah meminta Bastian untuk memberitahu Keyna bahwa aku mencarinya. Kita tunggu Keyna menelepon," ungkap Sacha.Menunggu adalah hal yang paling menegangkan saat ini. Cedric melirik papa dan adiknya. Mereka juga menanti kabar apakah bisa bertemu Keyna sekarang.Telepon Sacha berdering. Wanita cantik itu memperlihatkan layar telepon genggamnya pada Cedric. Bukan nama Keyna di sana, melainkan William.Sambil mengembuskan napas panjang, Sacha menyapa," Hai, Dad.""Cha? Kamu masih bersama Cedric dan keluarganya?" tanya William."Masih, Dad.""Tol
Wajah Cedric berseri mendengar pengakuan adiknya. Meskipun sejak dulu, ia memang tidak akrab dengan Caroline, namun kali ini pendapatnya sangat ia butuhkan. Mata Cedric memancarkan kata terima kasih yang tak terucap. “Kamu dan Sacha pasti bisa menjadi seperti teman dekat,” ucap Cedric penuh keyakinan. Caroline mengangguk. “Akan aku coba mendekati Sacha.” “Kamu tidak marah lagi aku memilih pasangan yang bukan dokter? Tidak jadi memilih temanmu, Belinda sebagai kakak iparmu?” “Sebenarnya sejak dulu, aku hanya mengikuti kebiasaan turun menurun di keluarga kita. Melihat keberhasilan hubungan Alex dengan Bianca aku rasa tidak menjadi masalah jika keluarga kita tidak hanya berprofesi dokter,” terang Caroline. “Dulu juga aku berpikiran seperti itu. Hanya memikirkan dokter yang akan kujadikan seorang istri,” balas Cedric. “Itu sebabnya, kamu begitu ringan memutuskan Keyna yang sepertinya sulit meraih gelar dokter?” Cedric mengembuskan napas berat tak kala diingatkan pada peristiwa terse
Malam harinya, tanpa membuang waktu, William dan keluarganya bertolak ke bandara untuk pulang. Tidak ada alasan lagi bagi William untuk menetap di Pulau Chantal setelah mengetahui sang putra baik-baik saja. Mereka pun pergi tanpa berpamitan pada sang pemilik pulau. William sudah bertekad menutup semua akses komunikasi dengan Chantal maupun semua wanita. Mengingat pernyataan keras Keyna, William merinding. Sejak itu, matanya tak pernah lepas dari sang istri. Hatinya sangat tidak tenang jika mereka berjauhan. "Cha, Keyna kenapa akhir-akhir pendiam, ya?" tanya William. "Apa Keyna masih marah, ya sama Daddy?" Sacha sedang duduk di depan meja kerja sang Daddy. Menatap berkas perusahaannya yang akan bergabung dengan perusahaan Will Universe. Kini matanya mengamati wajah William yang termenung. "Daddy masih berurusan dengan ibu-ibu komite sekolah Princess? Atau masih berhubungan dengan Chantal?" "Tidak sama sekali, Cha." Akhirnya mereka berkesimpulan, Keyna memang sedang lelah saja. M
Untuk mengalihkan rasa kesal, Keyna berjalan-jalan sendirian di tepi laut. Pulau ini memang cantik dan eksotik. Gabungan antara penduduk pribumi dan modern masih sangat kentara. Namun begitu, pelayan di sekitar resort terlihat telah lebih mengenal peradaban. “Cantik, ya?” Kepala Keyna menoleh ke samping. Chantal berdiri dengan wajah menatap laut. Wanita itu menarik napas dalam-dalam menghirup udara laut dan mengembuskannya perlahan. “Mau menemaniku berkeliling?” Itu bukan sebuah ajakan, nada suara Chantal jelas menuntut Keyna untuk ikut. Tangan kanan wanita pulau itu terentang ke sisi kanan untuk memberi kode agar berjalan. Keduanya berjalan menyisiri pinggir laut. Angin hampir saja menerbangkan topi lebar yang dikenakan Keyna jika ia tidak memeganginya. Sementara Chantal dengan santai berjalan tanpa alas kaki menembus angin yang mengibarkan pakaian tipis hingga lekuk tubuhnya tampak jelas terlihat. “Aku sudah berhasil membawa peradaban modern ke pulau ini. Namun begitu, sebagai
“Baby, jangan cemberut terus. Tolong, maafkan aku,” mohon William saat mereka telah dalam pesawat.Keyna tidak menjawab. Ia sibuk menatap laptopnya dan memberikan layanan kesehatan melalui online. Bahkan saat William kembali berkata, Keyna langsung mengenakan headset hingga suara suaminya sama sekali tidak terdengar lagi.William mengembuskan napas berat. Ia tau dirinya salah. Tetapi, bukankah alasannya cukup masuk akal? Apa ini karena Keyna cemburu?Pusing memikirkan sikap istrinya, William bangkit dari duduknya. Lelaki itu mengecup puncak kepala Keyna sebelum berjalan menjauh. Ia mendatangi Princess yang sedang bermain dengan Sacha.“Kenapa Daddy meninggalkan Keyna?” tanya Sacha.“Keyna sedang konsultasi online.”“Pasti Keyna marah pada Daddy.”“Iya, sepertinya begitu.”“Kenapa Mommy marah pada Daddy?” tanya Princess.Keduanya lalu tersadar bahwa P
“Akh … kalian sudah saling kenal?” Chantal menatap Louis dan Lily bergantian.“Mmm … kami teman masa kecil, Nyonya Chantal,” balas Lily menyeringai.“Oh ya? Menarik, sangat menarik.” Mata Chantal berbinar mendengar jawaban Lily.Sementara itu, Louis masih terpana dengan pemandangan di depannya. Chantal sampai menggeleng kemudian terkekeh. Wanita itu kemudian pamit.“Baiklah. Aku tinggalkan kalian berdua untuk bernostalgia.”“Terima kasih, Nyonya Chantal," balas Lily dengan santun.Sebelum Chantal berlalu, ia menyempatkan diri mengedipkan sebelah matanya pada Louis. Wanita itu juga mengusap dada Louis dan berbisik pelan di telinga lelaki muda itu.“Mungkin ini jawaban dari rasa penasaranmu.”Louis tersentak sedikit. Kepalanya menoleh menatap kepergian Chantal. Lalu, tersadar saat Lily kembali menyapanya.“Kamu baik-baik saja?”“Entahlah. Bertemu lagi denganmu … cukup mengejutkan,” aku Louis.Kepala wanita cantik bergaun putih itu meneleng ke kanan. Bibirnya rapat namun menyunggingkan s
Pertemuan dengan Chantal, sama sekali tidak mencerahkan Louis. Wanita itu malah melenggang santai meninggalkan Louis yang masih tidak mengerti. Chantal hanya berpesan untuk menghubunginya kapan saja ia butuh.Louis menatap bayangan Chantal. Ia bisa bebas memandangi tubuh Chantal dari tampak belakang. Setelah wanita pulau itu menghilang, Louis segera keluar dari restoran.“Permisi, hari ini aku ada jadwal menyelam. Apa perlengkapan untukku sudah siap?” tanya Louis pada pegawai resort.Lelaki pribumi yang diajak bicara itu bertelanjang dada, mengenakan sarung yang panjangnya hanya sampai lutut serta pengikat kepala khas pulau. Ia tersenyum ramah dan mengangguk pada Louis.“Silahkan, Tuan Louis,” jawab si lelaki sambil mengarahkan jalan.“Apa perjalanan kita jauh?”“Tidak, Tuan. Kita akan naik kapal ke tengah laut, setelah itu Anda baru bisa turun dan menyelam.”“Ada pengawas atau pelatih yang akan menemaniku?”“Saya sendiri yang akan menemani Tuan.”Louis mengangguk. Mereka berkenalan.
“Tersesat?”Louis berhenti berjalan. Tidak ada siapa-siapa di dekatnya. Suara seksi dari arah belakang itu pasti memang menyapanya.Pemuda tampan itu membalik tubuh. Menahan napas sejenak begitu melihat sosok yang berdiri dengan senyum menggoda. Mata hitamnya mengerjap pelan.“Ehm.” Louis menjernihkan tenggorokannya. “Tersesat? Tidak. Aku memang mau berkeliling.”“Oh. Ini saatnya makan siang. Kamu tidak ke restoran?”“Setelah ini aku ke restoran.”“Dari arah sini kamu tidak akan menemukan apa pun selain lorong yang ujungnya buntu. Bagaimana kalau kita ke restoran saja. Aku tau jalan tercepat ke sana.”Louis terpana. Bukan karena suara seksi itu. Wanita ini terlihat manis dengan kulit kecoklatan yang mengkilat. Sekilas ia mengamati. tubuhnya berisi dengan tonjolan dan lekukan yang proporsional.Masalahnya, wanita di depannya ini memakai gaun panjang tembus pandang. Ia hanya mengenakan celana dalam. Bagian dada wanita itu tercetak jelas melalui bahan tipis bermotif bunga dan tertutup s
“William,” panggil Keyna.Cepat, William menoleh. Tersenyum manis pada Keyna dan merengkuh bahunya.“Ya, Baby? Sudah selesai melihat-lihat kelas Princess-nya?”“Sudah. Princess sudah mau masuk sekolah,” ucap Keyna.Seorang wanita tersenyum dan menyapa Keyna. “Oh, ini Mommynya Princess, ya?”“Akh, ya. Kenalkan, ladies. Ini istriku, Keyna.” William kemudian menatap istrinya. “Baby, kenalkan ini ibu-ibu komite yang luar biasa kontribusinya pada sekolah.”Sambil memaksakan senyum, Keyna menyalami para ibu yang sejak tadi mengerubungi sang suami. Lalu ia memberi kode pada suaminya untuk pergi dan mengantar Princess kembali ke kelas.“Kami permisi dulu ke kelas Princess,” ucap Keyna dengan nada yang dibuat seramah mungkin, padahal hatinya sangat kesal.“Oke. Setelah mengantar Princess, ke sini lagi, ya. Kita ngobrol-ngobrol dulu. Jarang-jarang kan Mommy Keyna muncul di sekolah.”Ucapan salah satu wanita itu seolah menyindir Keyna. Dengan menggenggam tangan William, Keyna menatap satu per-sa
Setengah jam William berbincang dengan Chantal. Lelaki itu menutup teleponnya sambil tersenyum dan menggeleng samar. Ia kembali ke kamar, naik ke ranjang dan tidur.Pagi harinya, Keyna bangun lebih dulu. Ia mencium suaminya dan bergegas ke kamar Princess. Putri cantik itu sudah bangun, namun masih mengobrol di ranjang bersama Ferina.“Selamat pagi,” sapa Keyna.“Mommyy …. “Princess merentangkan tangannya meminta Keyna memeluknya.Ferina tersenyum menatap keduanya. “Aku ke kamar tamu dulu, ya. Mau mandi dan bersiap-siap ke rumah sakit.”“Oke, Auntie Ferina.”Ferina mencium pipi Princess sebelum keluar. Keyna menggenggam sekilas tangan sahabatnya. Pintu menutup dan langkah Ferina yang menjauh tak terdengar lagi.“Apa Princess Mommy tidur nyenyak hari ini?”“Iya. Tapi Princess bangun sebentar karena Auntie menangis.”“Auntie Ferina menangis?”“Iya, karena aku pakai selimut dari Uncle Hanson.”Keyna mengamati sekitar ranjang. Selimut dari Hanson tidak ada di sana. Ia lalu kembali menatap
“Bagaimana Ferina hari ini, Baby?” tanya William pada istrinya.Mereka sedang berbaring di ranjang. Berbincang tentang aktifitas padat yang William dan Keyna lakukan hari ini. Keyna meletakkan kepalanya pada dada William.“Matanya tidak bisa berbohong. Aku tau, ia masih sangat berduka. Walaupun ia bisa tersenyum pada semua orang yang memeluknya dan mengucapkan bela sungkawa,” jawab Keyna.“Aku lihat Ferina sangat berusaha untuk tegar. Ia melakukannya demi janin di rahimnya.”“Betul. Ferina bilang padaku, yang menguatkannya saat ini adalah adanya benih Hanson pada tubuhnya.”William mengembuskan napas berat. Tangannya mengelus rambut panjang sang istri. Sesekali ia mengecup rambut halus itu.“Apa Ferina sekarang masih tidur di kamar Princess?”“Masih.”“Apa putri kita terganggu?”Kepala Keyna mendongak menatap sang suami. “Kenapa terganggu?”“Siapa tau, Princess terbangun karena mendengar isak tangis Ferina di malam hari.”“Princess tidak pernah bercerita tentang hal itu. Aku asumsikan