Dua minggu kemudian, William dan Keyna semakin akrab. Perawat itu kini mulai tampak lebih cerewet dan ceria. Bahkan, William kerap kali tertawa terbahak-bahak saat bercanda dengan Keyna.Seperti saat ini ketika mereka sedang sarapan bersama. William mengatakan akan kedatangan tamu para arsitek yang akan membangun aviary. Lalu, lelaki itu meminta Keyna mendampinginya.“Tuan sengaja, ya, membuat jadwal pertemuan sore hari agar aku bisa ikut?”“Iya.”“Tuan takut pingsan hingga membutuhkan saya mendampingi Anda?”William mengerutkan keningnya. “Kenapa kamu menduga saya akan pingsan?”“Tuan pasti sangat shock melihat proposal pembangunan aviary tersebut. Apalagi melihat biayanya,” cetus Keyna.Tawa William akhirnya meledak. Sudut matanya sampai mengeluarkan air mata karena tertawa. Kepalanya menggeleng pelan.“Menurutmu begitu?”“Iya.”“Atau mungkin kamu yang akan pingsan, Key?”“Benar juga. Lalu siapa yang akan membantuku jika aku pingsan?”“Bastian.”“Kalau begitu, Bastian juga harus iku
Mendengar pernyataan William, entah mengapa Keyna merasa terkena sengatan listrik. Tubuhnya bergetar pelan. Ia tau ia hanya gede rasa. Tak mungkin, Tuan Besarnya merasakan hal yang sama dengannya. Terpesona. Segera ia membuang rasa itu.Di akhir pertemuan, para perancang bangunan itu mendeskripsikan rincian perkiraan biaya pembangunan aviary. Sekali lagi, Keyna membulatkan mulutnya. Tubuhnya bahkan limbung jika tidak dipegangi Bastian. Wanita itu juga tidak dapat menghitung berapa deret angka pada layar di depan mereka.Para tamu akhirnya pulang. Mereka berjanji bertemu kembali satu bulan kemudian. Keyna segera menghampiri William. Ia lalu menunduk dan berbisik di dekat telinga suami pura-puranya, “Anda benar, Tuan. Saya hampir saja pingsan tadi.”William menoleh. “Kenapa?”“Saya terkejut sekali dengan perkiraan biaya pembangunan aviary itu.”William akhirnya tergelak mengerti. “Dengan permintaanku yang rinci dan sulit, aku rasa harga lima puluh milyar adalah wajar.”“Dan untuk orang
“Apa? Ke Jerman, Tuan?” sentak Keyna kaget. “Tetapi, saya tidak memiliki …”“Passport?” potong William. “Semua sudah diurus Bastian. Kamu tinggal menyiapkan diri untuk membantu putraku di sana.”Keyna terpaku di tempat. Bolehkah ia menolak tugas ini? Bukankah pekerjaannya hanya sebagai perawat William? Tetapi, ia menyukai Louis. Pemuda itu sangat ramah dan baik hati kepadanya.“Keyna!” bentak William. “Jangan melamun. Ayo berkemas!”“I-iya, Tuan,” sahut Keyna terbata. Tanpa bisa ia kontrol, kakinya melangkah cepat ke dalam kamar dan segera mengepak barang-barangnya.“Tu-tuan?” takut-takut Keyna menyapa William yang sedang menatap ponselnya dengan serius. “Mmm … berapa lama kita di Jerman?”“Sampai urusan kita selesai.”Wanita itu melorotkan bahunya. Ia lalu berjalan ke ruang perawatan. Keyna mengepak obat-obatan William, beberapa alat kesehatan yang penting serta alat-alat terapi portable. Sambil menata barang-barang tersebut, Keyna bingung bagaimana dengan kuliahnya?“Aku sudah minta
Louis memberengut mendengar ucapan Daddy-nya. “Apartemen ini sudah cukup mewah dan mahal, Dad.”“Daddy tau. Daddy bangga kamu bisa membelinya.”Lalu, Louis tersipu malu. “Sebenarnya aku tidak membelinya. Ini fasilitas dari sponsor yang akan membiayaiku pertandingan.”William menatap putranya. “Siapa sponsormu?”“Perusahaan automotive mobil listrik, Dad. Vector Tech.”Mulut William sebenarnya gatal untuk memberi wejangan. Namun, tepat saat ia akan berbicara, Keyna menghampiri mereka. Wanita itu datang dengan baki kecil berisi jarum suntik, satu botol kecil obat, cairan steril, kapas serta plester.“Benar terdeteksi kandungan benzodiazepine dalam darah Tuan Muda. Sebenarnya akan hilang dalam waktu tiga sampai lima hari. Sayangnya, racun itu akan bertahan di urine Tuan Muda selama beberapa minggu,” jelas Keyna.“Kamu bisa menetralkan darahnya?” tanya William cepat.“Bisa.” Keyna memperlihatkan jarum suntik kembali ke arah Louis. “Saya izin menyuntik lengan atas Anda, ya.”Dengan pasrah,
Louis menatap pesawat pribadi Daddy-nya yang telah lepas landas. Pemuda itu tersenyum mendapat begitu besar perhatian William. Perhatian yang ia pikir tidak akan pernah ia dapatkan.Anak bungsu itu kehilangan sosok ibunya saat masih berusia tiga belas tahun. Ia tidak pernah akrab dengan William yang sangat sibuk. Apalagi, ia memang tinggal di asrama sekolah.Keyna yang selama tiga hari menemani dan memeriksa kesehatannya menemukan keganjalan pada ritme jantung putra bungsu Keluarga Dalton itu. Louis telah tau ia memiliki kelainan pada salah satu katup jantung. Setelah kejadian yang membuat detak jantung William terhenti, Louis akhirnya menyadari bahwa ia mendapatkan penyakit bawaan dari Daddy-nya.“Aman, kok, Key. Jangan khawatir. Bahkan aku selalu lolos pada pemeriksaan jantung saat latihan,” ucap Louis saat Keyna mengutarakan temuannya.“Tetapi ini beresiko, Tuan Muda. Anda bekerja sebagai pembalap yang memacu adrenalin, bisa saja tiba-tiba sesak napas atau nyeri pada dada saat bert
Pagi harinya, baik Keyna maupun William tampak lesu. Agaknya pikiran mereka menyedot energi keduanya. Mereka sarapan dalam diam.Hingga akhirnya Keyna pamit untuk kuliah, William hanya mengangguk pelan. Biasanya lelaki itu memerintahkan banyak pesan pada Keyna sebelum perawat itu pergi. Namun kali ini, lidahnya terasa kelu untuk berbicara.Bastian menemani William duduk di taman. Lelaki itu kembali memperhatikan proses pembangunan aviary. Tetapi, pandangannya kosong tak bermakna.“Tuan?” sapa Bastian perlahan.William tidak merespon.“Tuan William?” Bastian kembali mengulangi sapaannya.William menoleh sedikit. Matanya berkaca-kaca menatap Bastian. Wajah sedih itu membuat pelayan setianya bingung.“Ada apa, Tuan?”Kepala William menggeleng samar. “Kamu yang ada apa membuyarkan lamunanku.”“Maaf, Tuan. Saya hanya mau mengingatkan, waktunya minum vitamin sekarang. Tuan
Makan malam diakhiri dengan berjalan-jalan santai di taman. William sedang bercerita tentang bagaimana ia bisa memiliki hunian mewah ini. Keyna hanya mendengarkan dengan ekspresi kagum yang kentara.Setelah berbicara dengan Bastian siang tadi, William sebenarnya masih merasa amat sedih. Namun, saat melihat Keyna begitu bersemangat melatih otot-otot kakinya, ia seperti mendapat energi baru lagi. Lelaki itu tidak mau menyia-nyiakan apa pun yang Keyna telah upayakan untuk kesembuhan dirinya.Mereka kini telah berbaring di ranjang. Berhadapan. Saling menatap mata masing-masing dalam diam.“Aku akan merindukan saat-saat ini, Key,” lirih William.Keyna menggigit ujung bibirnya dan mengangguk. “Aku juga, Tuan.”William tersenyum bahagia. “Kamu juga? Aku pikir kamu akan sangat senang pada akhirnya bisa keluar dari mansion ini saat kontrak kita berakhir.”“Aku memiliki banyak kenangan di sini, Tuan. Juga pelajaran yang berharga. Terus-terang aku juga akan sedih saat ini berakhir. Yang membuatk
“Tuan?” Bastian menyapa kikuk. Pagi itu ia mendapat telepon dari Tuan Besarnya agar datang ke kamar utama. Pemandangan di ranjang itulah yang membuatnya sungkan.“Tolong siapkan sarapan di sini,” balas William.“Baik, Tuan. Mmm … apa kamarnya saya bereskan sekarang?” Ragu-ragu pelayan setia itu bertanya. Matanya melirik Keyna yang tidur merapat pada tubuh William menggunakan kimono tuannya serta baju-baju yang bertebaran.“Nanti saja.”Bastian mengangguk. “Permisi, Tuan.”William tidak membalas. Saat pintu telah tertutup kembali, lelaki itu menatap wajah Keyna di sampingnya. Ia mendaratkan kepalanya di atas kepala Keyna sambil sesekali mencium puncak kepala wanita tersebut.Tak lama kemudian, Keyna menggeliat. William mengelus rambut istri pura-puranya dengan penuh sayang. Wanita itu memicingkan mata karena silau pada sinar matahari yang masuk ke kamar.Lalu, wanita itu terduduk kaget. “Ya Tuhan, jam berapa ini?”“Jam delapan,” jawab William.“Apa?” Keyna menatap William.Sepertinya K