Pertandingan formula satu akhirnya berlangsung. Louis sejak tiga hari yang lalu sudah dikarantina oleh panitia khusus. Namun begitu, pemuda itu selalu memberi kabar melalui telepon untuk menenangkan sang Daddy.Berkali-kali, Keyna menasehati William. Ia harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi di sirkuit. Keyna bahkan menyarankan suaminya untuk pergi jika merasa debaran jantungnya mulai tidak terkendali. Tak mau terjadi perselisihan dengan sang istri, William hanya tersenyum sambil mengangguk.Sirkuit begitu meriah. William, Keyna dan Sacha mendapat tempat VVIP. Tentu saja William juga membawa banyak pengawal di antara mereka. Pengawal yang terdiri dari para lelaki dan wanita yang berpengalaman menjaga keluarga Dalton tampak bersiaga."Berikan lenganmu, sayang," ucap Keyna.Dengan senang hati, William menjulurkan tangannya. Keyna menekan nadi pada tangan sang suami dan menghitung detaknya. Setelah selesai, bilioner itu malah menggenggam tangan sang istri.Penampakan keduanya
Keesokan harinya, Jaslan dan Edith datang tergopoh-gopoh. Jaslan langsung menghampiri Keyna sementara Edith berbicara dengan Louis dan Sacha. Dengan mata merah dan sembab, Keyna menceritakan kronologi kejadian hingga William tak sadarkan diri.“Prof. Adam bilang saat ini William sengaja ia tidurkan?” tanya Jaslan.“Iya. Prof. Adam takut William tidak dapat menguasai emosinya lagi,” balas Keyna.“Kamu sudah menelepon Hanson?”Keyna menatap Jaslan dengan tatapan sendu. Ia baru menyadari bahwa Jaslan belum tau Hanson sudah pergi ke negara konflik. Kepalanya menggeleng, wanita itu mulai terisak kembali.“Hanson sedang dikirim untuk mengobati seseorang di negara konflik.”“Apa? Kapan?”Meluncurlah cerita tentang kepergian Hanson. Keyna juga mengatakan William memberi adik angkatnya waktu satu bulan untuk menyelesaikan tugasnya di sana. Lalu, bilioner tersebut akan mengirim pesawat pribadi untuk menjemput Hanson.Kepala Jaslan menggeleng. “Itu terlalu lama untuk William. Ia harus dioperasi
Semua orang menatap William yang terbaring lemah. Tubuh berototnya telah dipasangi banyak alat dan selang. Bahkan mulut dan hidungnya ditutup oleh masker oksigen.Mata William mengerjap perlahan. Menangkap samar-samar beberapa bayangan di depannya. Bibirnya tersenyum sedikit saat mengenali salah satu bayangan tersebut adalah istrinya.“Sayang,” sapa Keyna sambil mengelus kepala William. “Frederix datang. Kita semua ada di sini menemanimu.”Kepala William mengangguk pelan. Satu-persatu, Frederix, Sacha dan Louis menghampiri dan mencium Daddy mereka. Satu butir air mata menetes dan turun ke pipi William.“Daddy, aku sudah pulang. Aku akan temani Daddy.”“Cha masih butuh Daddy. Daddy harus sembuh.”“Terima kasih, Dad. Aku menang dan baik-baik saja. Sekarang, Daddy juga harus baik-baik saja, ya.”Frederix, Sacha dan Louis bergantian menyemangati sang Daddy. Keyna menghapus air mata yang mengalir dengan senyum manis. Berusaha setengah mati untuk tetap terlihat tegar.Napas William begitu l
Grafik detak jantung William semakin menurun. Terpaksa Keyna diseret keluar dari kamar perawatan intensif. Beberapa dokter ahli berdatangan ke ruang tersebut.Kini, Keyna hanya bisa menangis sesunggukan di pelukan Sacha. Menyalahkan diri sendiri karena mungkin pembicaraannya dengan William justru memicu emosi. Tak lama kemudian, tubuh Keyna terkulai lemas.Serentak, Frederix, Sacha dan Louis menjerit tertahan. Keyna tak sadarkan diri. Louis segera membopong tubuh lemas itu ke salah satu ruangan.Setelah dapat disadarkan, Keyna kembali menangis. Ketiga putra-putri William hanya dapat saling memandang dengan prihatin. Mereka pun sedang merasa resah dan sangat paham akan perasaan Keyna.Dokter mengatakan sebaiknya William tetap ditidurkan sampai Hanson datang. Keadaannya sudah dapat distabilkan saat ini. Keyna mengangguk mendapat informasi tersebut."Kamu makan dulu ya, Key," ucap Louis.Keyna mengangguk. Ia sangat sadar untuk menjaga kesehatan dan kewarasannya. Walaupun makanan yang dib
Keyna mendekati ranjang sang suami. Mengusap lengannya dan tersenyum. Air mata harunya terus mengalir di pipi. Segera saja ia menghapusnya. Melalui tanda-tanda vital, William kini sudah stabil dan berhasil melewati masa kritis.“Kita kabarkan pada putra-putrinya. William sudah berhasil melewati masa kritis. Kita tinggal menunggunya siuman,” ajak Hanson.Rasanya Keyna enggan meninggalkan William. Ia harus berada di samping suaminya. Ingin jika mata William terbuka, lelaki itu pertama kali melihat sosok dirinya.Namun, Hanson kembali menyeret Keyna keluar. Beberapa suster masuk dan melakukan prosedure untuk memindahkan William ke ruang perawatan. Hanson dan Keyna keluar dari ruang operasi.Saat di luar, ketiga putra dan putri William beserta Jaslan sengera berdiri. Keyna berhamburan ke pelukan Sacha. Hanson mengabarkan kondisi William dan meminta semuanya menunggu bilioner itu terjaga.“Syukurlah.”“Terima kasih, Ya, Tuhan.”Semuanya menyambut kabar suka cita tersebut. Hanson mengatakan
"Pergi kalian dari hadapanku. Kalian mengganggu kebersamaanku dengan Keyna," maki William pada Jaslan dan Edith.Pasangan suami istri itu langsung datang begitu ada kabar William telah siuman. Edith membawa karangan bunga besar yang indah. Dan mengatakan ia memutuskan membeli bunga tersebut karena promo diskon setengah harga."Kami masih mau menemanimu, Will. Memastikan bahwa kau bisa melewati hari ini. Dari pada kami pergi, lalu kau kambuh lagi," balas Jaslan santai."Sial kau! Kau menyumpahiku kambuh lagi?" William kembali memaki."Jika sahabatmu ini sudah lancar mengumpat orang, artinya ia sudah sembuh," cetus Edith.William mendengus. " Kalian sangat serasi sekarang. Sama-sama tidak waras.""Ya Tuhan, Will. Bisakah kau sejenak saja bermulut manis kepada kami? Asal kau tau kami kembali memangkas liburan demi mengunjungimu," ungkap Jaslan.William mengembuskan napas panjang. Ia mencoba menegakkan posisi duduk. Jaslan segera membantu sang sahabat."Baiklah. Terima kasih atas kunjunga
"Motifku?" Hanson berpikir sejenak. "Terus terang saja aku memang ingin mengakrabkan diri dengan Sacha. Maksudku, bukan saja dengan Sacha, juga dengan Frederix dan Louis.""Sebagai keponakan?""Ya, seperti itu.""Paman dan keponakan tidak berkencan, Hanson," sahut William."Ya, kencan memang istilah yang kurang tepat ... bagaimanapun aku memiliki status sebagai paman Sacha.""Tanpa pertalian darah, status itu bisa berubah."Hanson salah tingkah. Lelaki itu mengembuskan napas panjangnya. Bingung mau berkata apa lagi."Sejujurnya, aku memang ingin mendekatkan kalian," ucap William.Hanson mengerutkan kening tak mengerti. "Mendekatkan bagaimana?""Yaah ... siapa tau kalian berjodoh.""A-apa? Kami berjodoh?" Hanson semakin bingung."Siapa tau. Semua terserah pada kalian berdua. Aku tidak memaksa.""Aku masih tidak mengerti.""Jangan pura-pura bodoh. Apa otak cerdasmu hanya kau gunakan untuk memegang pisau bedah?"Hanson kini duduk di samping ranjang William dan berkata pelan," Kak Will ma
Baru hari pertama William di mansion, ia sudah banyak menerima ucapan prihatin dari para kolega. Eddie, asisten pribadi CEO datang menjenguk dengan membawa kartu-kartu tersebut lengkap dengan bingkisan untuk sang CEO.“Terima kasih, Ed.”“Sama-sama, Tuan.”Keduanya lalu membicarakan pekerjaan. Keyna keluar dari kamar agar William dan Eddie bebas berbincang. Ia hanya berpesan pada asisten sang suami agar tidak terlalu membebani pikiran William.“Tenang saja, Nyonya. Perusahaan dalam keadaan stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ungkap Eddie.“Baiklah. Aku keluar dulu.” Keyna mengecup dahi William dan keluar dari kamar.Keyna bertemu Louis di taman. Pemuda itu sedang berjemur setelah berenang. Keyna duduk di samping kursi Louis dan menatap pembangunan aviary.“Hai, Key,” sapa Louis.“Hai, Lou. Sudah selesai berenang?”“Masih mau lanjut tapi kok malas.”“Tumben.”“Sedang banyak pikiran.”“Tumben lagi.”Louis tergelak. Di antara ketiga putra dan putri William, Louis memang terkenal