Grafik detak jantung William semakin menurun. Terpaksa Keyna diseret keluar dari kamar perawatan intensif. Beberapa dokter ahli berdatangan ke ruang tersebut.Kini, Keyna hanya bisa menangis sesunggukan di pelukan Sacha. Menyalahkan diri sendiri karena mungkin pembicaraannya dengan William justru memicu emosi. Tak lama kemudian, tubuh Keyna terkulai lemas.Serentak, Frederix, Sacha dan Louis menjerit tertahan. Keyna tak sadarkan diri. Louis segera membopong tubuh lemas itu ke salah satu ruangan.Setelah dapat disadarkan, Keyna kembali menangis. Ketiga putra-putri William hanya dapat saling memandang dengan prihatin. Mereka pun sedang merasa resah dan sangat paham akan perasaan Keyna.Dokter mengatakan sebaiknya William tetap ditidurkan sampai Hanson datang. Keadaannya sudah dapat distabilkan saat ini. Keyna mengangguk mendapat informasi tersebut."Kamu makan dulu ya, Key," ucap Louis.Keyna mengangguk. Ia sangat sadar untuk menjaga kesehatan dan kewarasannya. Walaupun makanan yang dib
Keyna mendekati ranjang sang suami. Mengusap lengannya dan tersenyum. Air mata harunya terus mengalir di pipi. Segera saja ia menghapusnya. Melalui tanda-tanda vital, William kini sudah stabil dan berhasil melewati masa kritis.“Kita kabarkan pada putra-putrinya. William sudah berhasil melewati masa kritis. Kita tinggal menunggunya siuman,” ajak Hanson.Rasanya Keyna enggan meninggalkan William. Ia harus berada di samping suaminya. Ingin jika mata William terbuka, lelaki itu pertama kali melihat sosok dirinya.Namun, Hanson kembali menyeret Keyna keluar. Beberapa suster masuk dan melakukan prosedure untuk memindahkan William ke ruang perawatan. Hanson dan Keyna keluar dari ruang operasi.Saat di luar, ketiga putra dan putri William beserta Jaslan sengera berdiri. Keyna berhamburan ke pelukan Sacha. Hanson mengabarkan kondisi William dan meminta semuanya menunggu bilioner itu terjaga.“Syukurlah.”“Terima kasih, Ya, Tuhan.”Semuanya menyambut kabar suka cita tersebut. Hanson mengatakan
"Pergi kalian dari hadapanku. Kalian mengganggu kebersamaanku dengan Keyna," maki William pada Jaslan dan Edith.Pasangan suami istri itu langsung datang begitu ada kabar William telah siuman. Edith membawa karangan bunga besar yang indah. Dan mengatakan ia memutuskan membeli bunga tersebut karena promo diskon setengah harga."Kami masih mau menemanimu, Will. Memastikan bahwa kau bisa melewati hari ini. Dari pada kami pergi, lalu kau kambuh lagi," balas Jaslan santai."Sial kau! Kau menyumpahiku kambuh lagi?" William kembali memaki."Jika sahabatmu ini sudah lancar mengumpat orang, artinya ia sudah sembuh," cetus Edith.William mendengus. " Kalian sangat serasi sekarang. Sama-sama tidak waras.""Ya Tuhan, Will. Bisakah kau sejenak saja bermulut manis kepada kami? Asal kau tau kami kembali memangkas liburan demi mengunjungimu," ungkap Jaslan.William mengembuskan napas panjang. Ia mencoba menegakkan posisi duduk. Jaslan segera membantu sang sahabat."Baiklah. Terima kasih atas kunjunga
"Motifku?" Hanson berpikir sejenak. "Terus terang saja aku memang ingin mengakrabkan diri dengan Sacha. Maksudku, bukan saja dengan Sacha, juga dengan Frederix dan Louis.""Sebagai keponakan?""Ya, seperti itu.""Paman dan keponakan tidak berkencan, Hanson," sahut William."Ya, kencan memang istilah yang kurang tepat ... bagaimanapun aku memiliki status sebagai paman Sacha.""Tanpa pertalian darah, status itu bisa berubah."Hanson salah tingkah. Lelaki itu mengembuskan napas panjangnya. Bingung mau berkata apa lagi."Sejujurnya, aku memang ingin mendekatkan kalian," ucap William.Hanson mengerutkan kening tak mengerti. "Mendekatkan bagaimana?""Yaah ... siapa tau kalian berjodoh.""A-apa? Kami berjodoh?" Hanson semakin bingung."Siapa tau. Semua terserah pada kalian berdua. Aku tidak memaksa.""Aku masih tidak mengerti.""Jangan pura-pura bodoh. Apa otak cerdasmu hanya kau gunakan untuk memegang pisau bedah?"Hanson kini duduk di samping ranjang William dan berkata pelan," Kak Will ma
Baru hari pertama William di mansion, ia sudah banyak menerima ucapan prihatin dari para kolega. Eddie, asisten pribadi CEO datang menjenguk dengan membawa kartu-kartu tersebut lengkap dengan bingkisan untuk sang CEO.“Terima kasih, Ed.”“Sama-sama, Tuan.”Keduanya lalu membicarakan pekerjaan. Keyna keluar dari kamar agar William dan Eddie bebas berbincang. Ia hanya berpesan pada asisten sang suami agar tidak terlalu membebani pikiran William.“Tenang saja, Nyonya. Perusahaan dalam keadaan stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ungkap Eddie.“Baiklah. Aku keluar dulu.” Keyna mengecup dahi William dan keluar dari kamar.Keyna bertemu Louis di taman. Pemuda itu sedang berjemur setelah berenang. Keyna duduk di samping kursi Louis dan menatap pembangunan aviary.“Hai, Key,” sapa Louis.“Hai, Lou. Sudah selesai berenang?”“Masih mau lanjut tapi kok malas.”“Tumben.”“Sedang banyak pikiran.”“Tumben lagi.”Louis tergelak. Di antara ketiga putra dan putri William, Louis memang terkenal
"Daddyyy," sapa Sacha dengan manja.Wanita cantik itu tersenyum sekilas dan melewati Hanson. Ia duduk di sisi ranjang sang Daddy. Harum parfum Sacha, tertinggal di hidung Hanson."Hai, Cha. Apa kalian sudah selesai?""Selesai apa?""Menyelesaikan apa yang kalian mulai."Sacha memberengutkan wajah. "Aku nggak ngerti Daddy ngomong apa. Daddy tau aku kurang pintar.""Astagaa ... kenapa jadi ke situ pembicaraannya. Dan siapa bilang pemilik brand kosmetik terkenal di beberapa negara ini tidak cerdas." William menaikkan satu alisnya ke atas."Cha yang bilang. Cha kan tidak secerdas Keyna yang seorang dokter."Keyna menggeleng samar. Terkadang Sacha memang mengeluh kenapa ia tidak cerdas. Ia lalu melirik Hanson yang sedang merapikan perlengkapan kesehatannya."Bagaimana suamiku?" tanya Keyna pelan saat William dan Sacha masih berbincang."Bagus. Kamu merawat lukanya dengan baik. Dalam waktu satu minggu, aku yakin ia sudah dapat beraktifitas normal." Hanson berucap sambil melirik Sacha yang s
Makan malam hari ini terasa lengkap bagi William. Ia menatap satu persatu keluarganya. Istri, anak-anak bahkan adik angkatnya berkumpul.William pun tampil elegan dengan kemeja lengan panjang. Otot-otot lengan dan dada yang terlatih sejak muda masih menonjol di balik kemeja tersebut. Wajahnya bersih setelah Keyna membantunya bercukur.Sementara Keyna sendiri berdandan cantik dengan dress selutut tangan lengan berwarna senada dengan kemeja William. Wajahnya hanya berpoles make up natural. Namun, bibirnya lebi merah dari biasanya.Dengan telaten, Keyna menyiapkan makanan dan minuman sang suami. Menu sehat hasil racikan dokter gizi akan menjadi santapan William mulai detik ini. Keyna melarangnya makan sembarangan. Bilioner itu pun mengangguk menuruti saran sang istri."Jadi bagaimana pengalamanmu di negara konflik itu? Apakah memang benar-benar menyeramkan?" tanya William pada Hanson."Apa namanya jika kamu tinggal di bawah ledakan bom dan suara-suara tembakan?""Itu sangat mengerikan,"
"Buka saja piyamamu, Baby," pinta William."Kamu yakin? Aku tidak mau kamu tersulut gairah yang akhirnya berujung stress.""Tapi aku perlu memeluk tubuh polosmu.""Baiklah. Tutup matamu!" titah Keyna."Hah? Kenapa aku harus menutup mata melihat tubuh istriku sendiri? Tidak, aku tidak mau," protes William."Kamu bilang hanya perlu memeluk tubuh polosku kan? Bukan melihatnya?"Sial. William mengaku salah bicara. Namun, ia tidak ingin berdebat dengan Keyna hingga akhirnya memejamkan mata.Keyna tersenyum penuh kemenangan. Perlahan ia membuka ikatan kimononya. Membebaskan tubuhnya dari balutan kain sutra itu."Jangan mengintip. Aku pakai lagi kimonoku kalau kamu curi-curi pandang," ancam Keyna.William mendengus kesal. Tanpa melihat langsung, otaknya sudah traveling ke bayangan tubuh sang istri. Hasrat lelakinya tentu saja langsung meninggi.Setelah melempar kimononya, Keyna masuk ke bawah selimut. Memeluk suaminya dari samping. William balas memeluk dan mencium kepala Keyna. Tangannya mu