Keesokan harinya, Jaslan dan Edith datang tergopoh-gopoh. Jaslan langsung menghampiri Keyna sementara Edith berbicara dengan Louis dan Sacha. Dengan mata merah dan sembab, Keyna menceritakan kronologi kejadian hingga William tak sadarkan diri.“Prof. Adam bilang saat ini William sengaja ia tidurkan?” tanya Jaslan.“Iya. Prof. Adam takut William tidak dapat menguasai emosinya lagi,” balas Keyna.“Kamu sudah menelepon Hanson?”Keyna menatap Jaslan dengan tatapan sendu. Ia baru menyadari bahwa Jaslan belum tau Hanson sudah pergi ke negara konflik. Kepalanya menggeleng, wanita itu mulai terisak kembali.“Hanson sedang dikirim untuk mengobati seseorang di negara konflik.”“Apa? Kapan?”Meluncurlah cerita tentang kepergian Hanson. Keyna juga mengatakan William memberi adik angkatnya waktu satu bulan untuk menyelesaikan tugasnya di sana. Lalu, bilioner tersebut akan mengirim pesawat pribadi untuk menjemput Hanson.Kepala Jaslan menggeleng. “Itu terlalu lama untuk William. Ia harus dioperasi
Semua orang menatap William yang terbaring lemah. Tubuh berototnya telah dipasangi banyak alat dan selang. Bahkan mulut dan hidungnya ditutup oleh masker oksigen.Mata William mengerjap perlahan. Menangkap samar-samar beberapa bayangan di depannya. Bibirnya tersenyum sedikit saat mengenali salah satu bayangan tersebut adalah istrinya.“Sayang,” sapa Keyna sambil mengelus kepala William. “Frederix datang. Kita semua ada di sini menemanimu.”Kepala William mengangguk pelan. Satu-persatu, Frederix, Sacha dan Louis menghampiri dan mencium Daddy mereka. Satu butir air mata menetes dan turun ke pipi William.“Daddy, aku sudah pulang. Aku akan temani Daddy.”“Cha masih butuh Daddy. Daddy harus sembuh.”“Terima kasih, Dad. Aku menang dan baik-baik saja. Sekarang, Daddy juga harus baik-baik saja, ya.”Frederix, Sacha dan Louis bergantian menyemangati sang Daddy. Keyna menghapus air mata yang mengalir dengan senyum manis. Berusaha setengah mati untuk tetap terlihat tegar.Napas William begitu l
Grafik detak jantung William semakin menurun. Terpaksa Keyna diseret keluar dari kamar perawatan intensif. Beberapa dokter ahli berdatangan ke ruang tersebut.Kini, Keyna hanya bisa menangis sesunggukan di pelukan Sacha. Menyalahkan diri sendiri karena mungkin pembicaraannya dengan William justru memicu emosi. Tak lama kemudian, tubuh Keyna terkulai lemas.Serentak, Frederix, Sacha dan Louis menjerit tertahan. Keyna tak sadarkan diri. Louis segera membopong tubuh lemas itu ke salah satu ruangan.Setelah dapat disadarkan, Keyna kembali menangis. Ketiga putra-putri William hanya dapat saling memandang dengan prihatin. Mereka pun sedang merasa resah dan sangat paham akan perasaan Keyna.Dokter mengatakan sebaiknya William tetap ditidurkan sampai Hanson datang. Keadaannya sudah dapat distabilkan saat ini. Keyna mengangguk mendapat informasi tersebut."Kamu makan dulu ya, Key," ucap Louis.Keyna mengangguk. Ia sangat sadar untuk menjaga kesehatan dan kewarasannya. Walaupun makanan yang dib
Keyna mendekati ranjang sang suami. Mengusap lengannya dan tersenyum. Air mata harunya terus mengalir di pipi. Segera saja ia menghapusnya. Melalui tanda-tanda vital, William kini sudah stabil dan berhasil melewati masa kritis.“Kita kabarkan pada putra-putrinya. William sudah berhasil melewati masa kritis. Kita tinggal menunggunya siuman,” ajak Hanson.Rasanya Keyna enggan meninggalkan William. Ia harus berada di samping suaminya. Ingin jika mata William terbuka, lelaki itu pertama kali melihat sosok dirinya.Namun, Hanson kembali menyeret Keyna keluar. Beberapa suster masuk dan melakukan prosedure untuk memindahkan William ke ruang perawatan. Hanson dan Keyna keluar dari ruang operasi.Saat di luar, ketiga putra dan putri William beserta Jaslan sengera berdiri. Keyna berhamburan ke pelukan Sacha. Hanson mengabarkan kondisi William dan meminta semuanya menunggu bilioner itu terjaga.“Syukurlah.”“Terima kasih, Ya, Tuhan.”Semuanya menyambut kabar suka cita tersebut. Hanson mengatakan
"Pergi kalian dari hadapanku. Kalian mengganggu kebersamaanku dengan Keyna," maki William pada Jaslan dan Edith.Pasangan suami istri itu langsung datang begitu ada kabar William telah siuman. Edith membawa karangan bunga besar yang indah. Dan mengatakan ia memutuskan membeli bunga tersebut karena promo diskon setengah harga."Kami masih mau menemanimu, Will. Memastikan bahwa kau bisa melewati hari ini. Dari pada kami pergi, lalu kau kambuh lagi," balas Jaslan santai."Sial kau! Kau menyumpahiku kambuh lagi?" William kembali memaki."Jika sahabatmu ini sudah lancar mengumpat orang, artinya ia sudah sembuh," cetus Edith.William mendengus. " Kalian sangat serasi sekarang. Sama-sama tidak waras.""Ya Tuhan, Will. Bisakah kau sejenak saja bermulut manis kepada kami? Asal kau tau kami kembali memangkas liburan demi mengunjungimu," ungkap Jaslan.William mengembuskan napas panjang. Ia mencoba menegakkan posisi duduk. Jaslan segera membantu sang sahabat."Baiklah. Terima kasih atas kunjunga
"Motifku?" Hanson berpikir sejenak. "Terus terang saja aku memang ingin mengakrabkan diri dengan Sacha. Maksudku, bukan saja dengan Sacha, juga dengan Frederix dan Louis.""Sebagai keponakan?""Ya, seperti itu.""Paman dan keponakan tidak berkencan, Hanson," sahut William."Ya, kencan memang istilah yang kurang tepat ... bagaimanapun aku memiliki status sebagai paman Sacha.""Tanpa pertalian darah, status itu bisa berubah."Hanson salah tingkah. Lelaki itu mengembuskan napas panjangnya. Bingung mau berkata apa lagi."Sejujurnya, aku memang ingin mendekatkan kalian," ucap William.Hanson mengerutkan kening tak mengerti. "Mendekatkan bagaimana?""Yaah ... siapa tau kalian berjodoh.""A-apa? Kami berjodoh?" Hanson semakin bingung."Siapa tau. Semua terserah pada kalian berdua. Aku tidak memaksa.""Aku masih tidak mengerti.""Jangan pura-pura bodoh. Apa otak cerdasmu hanya kau gunakan untuk memegang pisau bedah?"Hanson kini duduk di samping ranjang William dan berkata pelan," Kak Will ma
Baru hari pertama William di mansion, ia sudah banyak menerima ucapan prihatin dari para kolega. Eddie, asisten pribadi CEO datang menjenguk dengan membawa kartu-kartu tersebut lengkap dengan bingkisan untuk sang CEO.“Terima kasih, Ed.”“Sama-sama, Tuan.”Keduanya lalu membicarakan pekerjaan. Keyna keluar dari kamar agar William dan Eddie bebas berbincang. Ia hanya berpesan pada asisten sang suami agar tidak terlalu membebani pikiran William.“Tenang saja, Nyonya. Perusahaan dalam keadaan stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ungkap Eddie.“Baiklah. Aku keluar dulu.” Keyna mengecup dahi William dan keluar dari kamar.Keyna bertemu Louis di taman. Pemuda itu sedang berjemur setelah berenang. Keyna duduk di samping kursi Louis dan menatap pembangunan aviary.“Hai, Key,” sapa Louis.“Hai, Lou. Sudah selesai berenang?”“Masih mau lanjut tapi kok malas.”“Tumben.”“Sedang banyak pikiran.”“Tumben lagi.”Louis tergelak. Di antara ketiga putra dan putri William, Louis memang terkenal
"Daddyyy," sapa Sacha dengan manja.Wanita cantik itu tersenyum sekilas dan melewati Hanson. Ia duduk di sisi ranjang sang Daddy. Harum parfum Sacha, tertinggal di hidung Hanson."Hai, Cha. Apa kalian sudah selesai?""Selesai apa?""Menyelesaikan apa yang kalian mulai."Sacha memberengutkan wajah. "Aku nggak ngerti Daddy ngomong apa. Daddy tau aku kurang pintar.""Astagaa ... kenapa jadi ke situ pembicaraannya. Dan siapa bilang pemilik brand kosmetik terkenal di beberapa negara ini tidak cerdas." William menaikkan satu alisnya ke atas."Cha yang bilang. Cha kan tidak secerdas Keyna yang seorang dokter."Keyna menggeleng samar. Terkadang Sacha memang mengeluh kenapa ia tidak cerdas. Ia lalu melirik Hanson yang sedang merapikan perlengkapan kesehatannya."Bagaimana suamiku?" tanya Keyna pelan saat William dan Sacha masih berbincang."Bagus. Kamu merawat lukanya dengan baik. Dalam waktu satu minggu, aku yakin ia sudah dapat beraktifitas normal." Hanson berucap sambil melirik Sacha yang s
Malam harinya, tanpa membuang waktu, William dan keluarganya bertolak ke bandara untuk pulang. Tidak ada alasan lagi bagi William untuk menetap di Pulau Chantal setelah mengetahui sang putra baik-baik saja. Mereka pun pergi tanpa berpamitan pada sang pemilik pulau. William sudah bertekad menutup semua akses komunikasi dengan Chantal maupun semua wanita. Mengingat pernyataan keras Keyna, William merinding. Sejak itu, matanya tak pernah lepas dari sang istri. Hatinya sangat tidak tenang jika mereka berjauhan. "Cha, Keyna kenapa akhir-akhir pendiam, ya?" tanya William. "Apa Keyna masih marah, ya sama Daddy?" Sacha sedang duduk di depan meja kerja sang Daddy. Menatap berkas perusahaannya yang akan bergabung dengan perusahaan Will Universe. Kini matanya mengamati wajah William yang termenung. "Daddy masih berurusan dengan ibu-ibu komite sekolah Princess? Atau masih berhubungan dengan Chantal?" "Tidak sama sekali, Cha." Akhirnya mereka berkesimpulan, Keyna memang sedang lelah saja. M
Untuk mengalihkan rasa kesal, Keyna berjalan-jalan sendirian di tepi laut. Pulau ini memang cantik dan eksotik. Gabungan antara penduduk pribumi dan modern masih sangat kentara. Namun begitu, pelayan di sekitar resort terlihat telah lebih mengenal peradaban. “Cantik, ya?” Kepala Keyna menoleh ke samping. Chantal berdiri dengan wajah menatap laut. Wanita itu menarik napas dalam-dalam menghirup udara laut dan mengembuskannya perlahan. “Mau menemaniku berkeliling?” Itu bukan sebuah ajakan, nada suara Chantal jelas menuntut Keyna untuk ikut. Tangan kanan wanita pulau itu terentang ke sisi kanan untuk memberi kode agar berjalan. Keduanya berjalan menyisiri pinggir laut. Angin hampir saja menerbangkan topi lebar yang dikenakan Keyna jika ia tidak memeganginya. Sementara Chantal dengan santai berjalan tanpa alas kaki menembus angin yang mengibarkan pakaian tipis hingga lekuk tubuhnya tampak jelas terlihat. “Aku sudah berhasil membawa peradaban modern ke pulau ini. Namun begitu, sebagai
“Baby, jangan cemberut terus. Tolong, maafkan aku,” mohon William saat mereka telah dalam pesawat.Keyna tidak menjawab. Ia sibuk menatap laptopnya dan memberikan layanan kesehatan melalui online. Bahkan saat William kembali berkata, Keyna langsung mengenakan headset hingga suara suaminya sama sekali tidak terdengar lagi.William mengembuskan napas berat. Ia tau dirinya salah. Tetapi, bukankah alasannya cukup masuk akal? Apa ini karena Keyna cemburu?Pusing memikirkan sikap istrinya, William bangkit dari duduknya. Lelaki itu mengecup puncak kepala Keyna sebelum berjalan menjauh. Ia mendatangi Princess yang sedang bermain dengan Sacha.“Kenapa Daddy meninggalkan Keyna?” tanya Sacha.“Keyna sedang konsultasi online.”“Pasti Keyna marah pada Daddy.”“Iya, sepertinya begitu.”“Kenapa Mommy marah pada Daddy?” tanya Princess.Keduanya lalu tersadar bahwa P
“Akh … kalian sudah saling kenal?” Chantal menatap Louis dan Lily bergantian.“Mmm … kami teman masa kecil, Nyonya Chantal,” balas Lily menyeringai.“Oh ya? Menarik, sangat menarik.” Mata Chantal berbinar mendengar jawaban Lily.Sementara itu, Louis masih terpana dengan pemandangan di depannya. Chantal sampai menggeleng kemudian terkekeh. Wanita itu kemudian pamit.“Baiklah. Aku tinggalkan kalian berdua untuk bernostalgia.”“Terima kasih, Nyonya Chantal," balas Lily dengan santun.Sebelum Chantal berlalu, ia menyempatkan diri mengedipkan sebelah matanya pada Louis. Wanita itu juga mengusap dada Louis dan berbisik pelan di telinga lelaki muda itu.“Mungkin ini jawaban dari rasa penasaranmu.”Louis tersentak sedikit. Kepalanya menoleh menatap kepergian Chantal. Lalu, tersadar saat Lily kembali menyapanya.“Kamu baik-baik saja?”“Entahlah. Bertemu lagi denganmu … cukup mengejutkan,” aku Louis.Kepala wanita cantik bergaun putih itu meneleng ke kanan. Bibirnya rapat namun menyunggingkan s
Pertemuan dengan Chantal, sama sekali tidak mencerahkan Louis. Wanita itu malah melenggang santai meninggalkan Louis yang masih tidak mengerti. Chantal hanya berpesan untuk menghubunginya kapan saja ia butuh.Louis menatap bayangan Chantal. Ia bisa bebas memandangi tubuh Chantal dari tampak belakang. Setelah wanita pulau itu menghilang, Louis segera keluar dari restoran.“Permisi, hari ini aku ada jadwal menyelam. Apa perlengkapan untukku sudah siap?” tanya Louis pada pegawai resort.Lelaki pribumi yang diajak bicara itu bertelanjang dada, mengenakan sarung yang panjangnya hanya sampai lutut serta pengikat kepala khas pulau. Ia tersenyum ramah dan mengangguk pada Louis.“Silahkan, Tuan Louis,” jawab si lelaki sambil mengarahkan jalan.“Apa perjalanan kita jauh?”“Tidak, Tuan. Kita akan naik kapal ke tengah laut, setelah itu Anda baru bisa turun dan menyelam.”“Ada pengawas atau pelatih yang akan menemaniku?”“Saya sendiri yang akan menemani Tuan.”Louis mengangguk. Mereka berkenalan.
“Tersesat?”Louis berhenti berjalan. Tidak ada siapa-siapa di dekatnya. Suara seksi dari arah belakang itu pasti memang menyapanya.Pemuda tampan itu membalik tubuh. Menahan napas sejenak begitu melihat sosok yang berdiri dengan senyum menggoda. Mata hitamnya mengerjap pelan.“Ehm.” Louis menjernihkan tenggorokannya. “Tersesat? Tidak. Aku memang mau berkeliling.”“Oh. Ini saatnya makan siang. Kamu tidak ke restoran?”“Setelah ini aku ke restoran.”“Dari arah sini kamu tidak akan menemukan apa pun selain lorong yang ujungnya buntu. Bagaimana kalau kita ke restoran saja. Aku tau jalan tercepat ke sana.”Louis terpana. Bukan karena suara seksi itu. Wanita ini terlihat manis dengan kulit kecoklatan yang mengkilat. Sekilas ia mengamati. tubuhnya berisi dengan tonjolan dan lekukan yang proporsional.Masalahnya, wanita di depannya ini memakai gaun panjang tembus pandang. Ia hanya mengenakan celana dalam. Bagian dada wanita itu tercetak jelas melalui bahan tipis bermotif bunga dan tertutup s
“William,” panggil Keyna.Cepat, William menoleh. Tersenyum manis pada Keyna dan merengkuh bahunya.“Ya, Baby? Sudah selesai melihat-lihat kelas Princess-nya?”“Sudah. Princess sudah mau masuk sekolah,” ucap Keyna.Seorang wanita tersenyum dan menyapa Keyna. “Oh, ini Mommynya Princess, ya?”“Akh, ya. Kenalkan, ladies. Ini istriku, Keyna.” William kemudian menatap istrinya. “Baby, kenalkan ini ibu-ibu komite yang luar biasa kontribusinya pada sekolah.”Sambil memaksakan senyum, Keyna menyalami para ibu yang sejak tadi mengerubungi sang suami. Lalu ia memberi kode pada suaminya untuk pergi dan mengantar Princess kembali ke kelas.“Kami permisi dulu ke kelas Princess,” ucap Keyna dengan nada yang dibuat seramah mungkin, padahal hatinya sangat kesal.“Oke. Setelah mengantar Princess, ke sini lagi, ya. Kita ngobrol-ngobrol dulu. Jarang-jarang kan Mommy Keyna muncul di sekolah.”Ucapan salah satu wanita itu seolah menyindir Keyna. Dengan menggenggam tangan William, Keyna menatap satu per-sa
Setengah jam William berbincang dengan Chantal. Lelaki itu menutup teleponnya sambil tersenyum dan menggeleng samar. Ia kembali ke kamar, naik ke ranjang dan tidur.Pagi harinya, Keyna bangun lebih dulu. Ia mencium suaminya dan bergegas ke kamar Princess. Putri cantik itu sudah bangun, namun masih mengobrol di ranjang bersama Ferina.“Selamat pagi,” sapa Keyna.“Mommyy …. “Princess merentangkan tangannya meminta Keyna memeluknya.Ferina tersenyum menatap keduanya. “Aku ke kamar tamu dulu, ya. Mau mandi dan bersiap-siap ke rumah sakit.”“Oke, Auntie Ferina.”Ferina mencium pipi Princess sebelum keluar. Keyna menggenggam sekilas tangan sahabatnya. Pintu menutup dan langkah Ferina yang menjauh tak terdengar lagi.“Apa Princess Mommy tidur nyenyak hari ini?”“Iya. Tapi Princess bangun sebentar karena Auntie menangis.”“Auntie Ferina menangis?”“Iya, karena aku pakai selimut dari Uncle Hanson.”Keyna mengamati sekitar ranjang. Selimut dari Hanson tidak ada di sana. Ia lalu kembali menatap
“Bagaimana Ferina hari ini, Baby?” tanya William pada istrinya.Mereka sedang berbaring di ranjang. Berbincang tentang aktifitas padat yang William dan Keyna lakukan hari ini. Keyna meletakkan kepalanya pada dada William.“Matanya tidak bisa berbohong. Aku tau, ia masih sangat berduka. Walaupun ia bisa tersenyum pada semua orang yang memeluknya dan mengucapkan bela sungkawa,” jawab Keyna.“Aku lihat Ferina sangat berusaha untuk tegar. Ia melakukannya demi janin di rahimnya.”“Betul. Ferina bilang padaku, yang menguatkannya saat ini adalah adanya benih Hanson pada tubuhnya.”William mengembuskan napas berat. Tangannya mengelus rambut panjang sang istri. Sesekali ia mengecup rambut halus itu.“Apa Ferina sekarang masih tidur di kamar Princess?”“Masih.”“Apa putri kita terganggu?”Kepala Keyna mendongak menatap sang suami. “Kenapa terganggu?”“Siapa tau, Princess terbangun karena mendengar isak tangis Ferina di malam hari.”“Princess tidak pernah bercerita tentang hal itu. Aku asumsikan