"Penjagaan sangat ketat." Cakra dan kedua sahabatnya tiba di perbatasan kadipaten Pesisir Selatan. "Semut saja sulit lolos." Di sepanjang perbatasan dijaga prajurit istana. Barangkali Indrajaya kuatir Citrasari melarikan diri ke kerajaan tetangga. Mereka mendatangi sekelompok prajurit yang berjaga di jalur perdagangan internasional. Rombongan kabilah antri panjang menjalani pemeriksaan ketat. "Apa yang terjadi di Pesisir Selatan sampai kalian mengadakan pagar betis?" tanya Cakra. "Kami sedang mensterilkan wilayah," jawab kepala prajurit. "Pekan depan gusti pangeran akan berkunjung ke keraton adipati." "Pemaksaan untuk menjadi selir," sindir Cakra. "Citrasari mesti berkorban demi keselamatan rakyatnya." "Jaga ucapan anda," tegur kepala prajurit. "Lebih baik anda teruskan perjalanan." "Perjalananku sudah sampai. Aku ingin berkunjung ke kota Pesisir Selatan." "Kota tertutup untuk pelancong dalam sepekan ke depan." Beberapa prajurit mulai siaga untuk mengantisipasi kemungkinan
"Kita lewat perkampungan saja." Cakra memilih jalan setapak melewati hutan hijau. Berkuda di jalan utama akan menarik perhatian warga. Banyak prajurit juga lalu lalang. Mereka belum mengetahui apa yang terjadi di perbatasan. "Prajurit istana pasti menangkap kita kalau kabar itu sudah sampai." "Lalu pergi ke mana kepala prajurit di perbatasan?" "Kau pikir aku akan membiarkannya woro-woro? Ia lagi menghantam kuda di bawah pohon srikaya!" Prajurit istana Selatan kebanyakan mengendarai kuda betina, sebagai cadangan untuk selimut malam jika tidak menemukan perempuan. Cakra ingin menghindari konflik selama dalam perjalanan menuju keraton adipati. Mereka pasti dicurigai dan ditangkap jika berita kedatangan Raja Timur sudah menyebar. "Aku ingin meminimalkan pertumpahan darah sedapat mungkin." "Kedatangan kita ke keraton adipati pasti terlambat," keluh Bramantana. "Padahal kita bisa datang lebih dahulu dari Indrajaya." "Kau rupanya mulai takut kehilangan Citrasari." Bramantana mer
Pendekar itu terkejut, ia berbisik, "Anak muda, jaga bicaramu. Mereka adalah lima tokoh sakti istana Selatan." "What?" Cakra terbelalak. "Kau pasti salah lihat! Mereka adalah langganan lonte di Kacapiring!" Lima tokoh sakti itu turun dari kuda menghampiri Cakra. Pemilik kedai dan pendekar yang duduk di kursi panjang memandang iba. Bangsawan muda itu usianya hanya sampai pagi ini. Kasihan sekali. "Aku Kwa Chi," kata kakek berjanggut putih. "Ketua tokoh istana Selatan. Aku lihat kau bangsawan terpelajar. Apakah mulutmu tidak belajar sopan santun?" "Mulutku tidak berpagar, jadi sering keceplosan. Aku melihat kalian semalam berada di Kacapiring. Bahkan aku dengar lonte body goal berteriak; Go Pek Tong! Aku kira bayaran kalian kurang gopek, tidak tahunya ia memanggil nama kawan di sebelahmu yang mirip kentongan." Bramantana dan Fredy heran bagaimana Cakra dapat melihat kejadian di Kacapiring, padahal semalam ia tertidur sambil menunggang kuda. Cakra tidak mungkin asal, lima tokoh s
"Apa aku tidak salah lihat?" Kwa Chi melotot melihat pemandangan menggemaskan di depannya. Empat kimcil lenggang-lenggok dengan senyum menggoda mendatangi empat tokoh istana yang berdiri terpesona. Mereka melongo saat ABG nan segar itu menyingkap baju sehingga terlihat perbukitan yang indah. "Aku belum pernah melihat cabe-cabean demikian menggemaskan," kata Lo Yo Loe penuh hasrat. "Ranum sekali." "Kepalamu juga ranum sekali," sahut Cakra sambil mencengkram kepalanya. "Sudah waktunya untuk dipetik." Cakra menghisap partikel energi dengan ilmu Seruput Jiwa sehingga Lo Yo Loe terduduk lemas kehilangan kesaktiannya. Kemudian Cakra mencengkram kepala Kho Phi dan melakukan hal serupa. "Kau semestinya malu mempunyai selera seumuran cucumu." Mereka tidak menyadari apa yang terjadi karena terkesima dengan pertunjukan empat ciblek yang sangat berani. "Aku tahu mereka adalah sihir," kata Kwa Chi. "Tapi aku sulit melepaskan mataku dari mereka." "Aku yakin bukan pengaruh sihir saja," sa
"Apakah bangsawan yang melarikan diri di belakangmu adalah temanmu juga?" Lesmana terkejut mendengar pertanyaan Cakra. Ia tidak melihat penguntit lain selain kedua temannya. Lesmana menoleh kepada temannya. Mereka menggeleng. Ketiga telik sandi itu mengakui kalau mereka ceroboh. Jika pengintai itu bermaksud jahat, mereka sudah mati. "Aku tidak tahu siapa bangsawan itu, Yang Mulia," kata Lesmana. "Adipati hanya menugaskan kami bertiga." "Aku curiga tokoh tua itu agen mata-mata dari puteri bangsawan terkemuka di kerajaan ini." Biasanya puteri bangsawan mengirim mata-mata untuk mengetahui posisinya sehingga mereka dapat bertemu di satu tempat. Bidasari paling sering mengirim telik sandi sehingga mereka sering berjumpa secara kebetulan, padahal sudah direncanakan. "Dyah Citraningrum maksud Yang Mulia?" tanya Lesmana. "Aku tidak tahu siapa," sahut Cakra. "Mereka menjuluki aku pendekar mata keranjang, tapi mereka mengejar-ngejar aku. Sebenarnya siapa yang mata keranjang?" Dyah Citr
"Bagaimana aku menolaknya?" Citrasari mondar-mandir dengan bingung. Sebentar lagi Pangeran Indrajaya tiba di keraton. "Apakah aku pergi saja?" "Patik kira pergi ke wilayah Timur adalah jalan terbaik," kata Senopati Chang Khi Lung, pengganti Senopati Prawira yang hilang secara misterius. "Raja Timur pasti melindungi gusti ayu." "Tapi Raja Timur dalam perjalanan ke mari, senopati," keluh Citrasari resah. "Aku belum mendapat kabar lagi mereka sudah sampai mana." Lagi pula, seluruh pejabat kadipaten pasti mendapat tekanan kalau ia mencoba kabur, terutama senopati. Citrasari tidak mau pembantu terdekatnya dihukum gantung gara-gara tidak mencegahnya pergi. "Aku tidak mau rakyatku menderita, senopati," kata Citrasari pasrah. "Barangkali sudah suratan Yang Widi aku mesti menjadi selir." "Patik dan prajurit rela mati demi gusti ayu," sahut senopati. "Rakyat tidak menginginkan gusti ayu menjerumuskan diri ke dalam neraka perkawinan." Beberapa selir menderita kelainan jiwa karena siksaan
"Apa yang telah kau lakukan Lu Qiu Khan?" Indrajaya memandang tokoh sakti itu dengan sinar mata menyala-nyala. Wajahnya merah padam menahan malu. Indrajaya merasa kehilangan muka di depan adipati dan pembantu dekatnya. "Bagaimana keping emas dapat berganti ubi manis?" Lu Qiu Khan bungkam seribu basa. Kotak mahar itu tidak pernah lepas dari pengawasan dirinya. Jika bukan tokoh utama istana, kepala Lu Qiu Khan pasti sudah menggelinding ke lantai ditebas keris pusaka oleh Indrajaya. Lu Qiu Khan mengambil sebiji ubi dari dalam kotak untuk memastikan, lalu menyantapnya. "Nyata ubi Cilembu," kata Lu Qiu Khan. "Bukan ilusi." Kemudian Lu Qiu Khan membuka dua kotak perhiasan yang belum diserahkan. Lu Qiu Khan mendelik melihat perhiasan berlian berubah menjadi kantong berisi wedang lemon. "Kekuatan sihir sudah merubah barang berharga yang kita bawa," ucap Lu Qiu Khan bergetar, dilanda amarah memuncak. "Aku tahu siapa pelakunya." Lu Qiu Khan menggeser pandangannya ke Raja Timur yang
Cakra turun dari wuwungan dan mendarat di samping Bramantana dengan pedang emas di tangan, pedang itu perwujudan dari Tongkat Petir. "Kau adalah putera mahkota Nusa Kencana!" hardik Indrajaya. "Kenapa kau turut campur urusan negeriku?" Cakra menjawab dengan konyol, "Aku suka es campur di negerimu...!" Semangkok es campur muncul secara tiba-tiba di tangan Cakra. Es itu langsung ludes disikat. "Panas-panas begini minum es campur segar sekali." Lu Qiu Khan tahu pemuda itu menciptakan es campur bukan menggunakan sihir, melainkan ilmu Cipta Saji Paripurna. Tidak salah lagi pemuda itulah yang telah merubah keping emas dan perhiasan menjadi ubi manis dan wedang lemon! "Perbuatanmu memancing perang!" kata Indrajaya. Cakra membentak, "Jadi pangeran jangan plin-plan! Tadi kau memintaku makan es campur! Sekarang disuruh makan kerang!" Indrajaya sangat gemas dengan kekonyolan Cakra. "Aku baru tahu pangeran Nusa Kencana berotak miring." "Sekarang kau menyuruh aku ke Kacapiring!" Indraja