Cakra sekarang layak menjadi tamu rumah megah itu, tapi delapan belas tahun tidak bertemu membuatnya merasa percuma. Rumah itu tidak ada perubahan, tapi pasti ada perubahan dengan penghuninya. "Tuan perlu memastikan supaya pikiran tenang," kata Melati melihat Cakra ragu untuk keluar dari Bugatti yang berhenti di depan pintu gerbang yang tertutup. "Kesetiaan kadang tidak memandang waktu." Kesetiaan tidak memandang waktu, tetapi memandang siapa lelaki yang singgah, batin Cakra kecut. Kesetiaan dan pengkhianatan hampir tak berjarak. "Aku kuatir justru pikiranku jadi kacau setelah bertemu." Melati tersenyum. "Aku baru melihat tuan begitu nervous untuk bertemu dengan seorang perempuan." "Delapan belas tahun membuat aku benar-benar merasa bersalah." Tak ada alasan masuk akal untuk kepergiannya. Roda waktu sulit untuk menahan Priscillia tidak melindas masa lalu. Cakra turun dari mobil. Ia merapikan pakaian dan berdiri sebentar di depan bel, menentramkan jantungnya yang berdetak tak ka
Cakra sungguh tak mengerti. SMA di jalan protokol ini adalah sekolah unggulan, bagaimana sampai kemasukan geng yang perbuatannya sangat tidak terpuji. "Aku kira mereka takut lapor sama kepala sekolah," kata Cakra tanpa turun dari mobil yang parkir di pinggir jalan. "Intimidasi anggota geng sangat kuat sehingga siswa kehilangan keberanian." Kadang pihak sekolah juga tak kuasa karena siswa semakin liar dengan pergaulannya. Mereka berani menantang guru berkelahi, bahkan berbuat asusila di kelas. Adanya komite sekolah bukan memperkuat kontrol terhadap siswa, cenderung gaya-gayaan. "Lalu apa yang akan tuan lakukan?" "Bukan aku." "Lalu siapa?" "Kau mesti mempreteli harga diri geng serigala di depan siswa. Kau undang mereka untuk bertemu di gedung kosong jika belum puas dengan perkenalan hari ini." "Gedung kosong? Di mana itu?" "Gedung kosong adalah hollywings liar di kota ini, bangunan hotel terbengkalai yang menjadi arena pertarungan antar geng." "Ketua geng serigala kan sudah
"Ferarri siapa itu?" Cakra heran melihat sebuah mobil mewah parkir di halaman rumahnya. Keheranannya terjawab saat menemukan seorang perempuan berpenampilan anggun duduk bersama Ambu di beranda, sementara pengawalnya berjaga-jaga di setiap sudut teras. Sejak menjadi Nyonya Erlangga adalah sebuah keharusan merekrut tukang pukul. "Ada apa Priscillia datang ke rumahku?" "Jadi itu mantan tuan?" "Aku tidak tahu apakah sudah menganggap mantan." "Tidak apa tuan mempunyai istri tak berbilang, tuan adalah Raja Agung." "Jangan sebut Raja Agung di rumahku, ada juga kebun jagung." Pasti bukan kunjungan balasan siang tadi, batin Cakra. Sigap juga security itu melapor kepada majikannya, sekalian cari muka. "Urusan jadi panjang," keluh Cakra seraya turun dari mobil. "Seharusnya Erlangga datang ke rumahku." Barangkali pria itu terlalu tua untuk mengurusi hal seperti ini, atau ia sibuk kampanye ke pelosok. Beberapa warga mengintip dari rumah masing-masing. Mereka heran banyak perempuan cant
"Tuan sulit meninggalkan masa lalu." Melati memperhatikan kepergian sedan mewah yang membawa mantan terindah itu. "Ucapannya menunjukkan kalau ia masih ada rasa kepada tuan." "Aku kira rasa itu sudah tak berarti setelah apa yang terjadi pada ayahku, ia telah menjadi istri orang yang menyeret ayahku ke penjara." Mereka berdiri berseberangan. Masing-masing ingin menyelamatkan orang yang dicintai. Bagaimana Cakra dapat mengagungkan masa lalu? "Ucapan itu hanya basa-basi," kata Cakra lirih. "Sekedar bumbu dari apa yang pernah terjadi di masa lalu." "Sepuluh tahun menunggu terlalu lama untuk basa-basi, tuan." "Sudahlah, lupakan Nyonya Erlangga. Kita mesti siap-siap berangkat ke gedung kosong." Hari sudah senja. Persoalan geng serigala harus diselesaikan secepatnya. Mereka adalah sekumpulan anak muda bayaran bilamana ada demo untuk penggiringan opini publik, generasi parasit yang mementingkan diri sendiri. Mereka perlu pembinaan, bukan untuk ditiadakan. "Tuan mestinya tidak melib
Masalah geng serigala sudah tuntas. Claudya jadi siswi paling dihormati di SMA, tak seorang pun berani menyentuhnya. Tengkulak dan rentenir juga sudah membuat perjanjian dengan kepala dukuh untuk memajukan perekonomian petani. Tapi pikiran Cakra makin runyam. Persoalan Abah belum menemukan titik terang. "Aku sulit mempengaruhi pelayan baru dari biro jasa," keluh Cakra. "Mereka terikat kontrak dengan peraturan sangat ketat." Cakra sudah berusaha melobi pelayan baru di mansion Erlangga, tapi mereka menolak untuk membantu penyelidikan kasus racun arsenik itu. Mereka pasti mengadu kepada Erlangga. Meski ia mengaku dari pihak korban tewas, Priscillia pasti curiga kalau orang itu adalah dirinya. "Posisiku makin terjepit. Erlangga pasti lapor ke polisi." "Aku kira Erlangga takkan tahu kalau mantan tuan tutup mulut," kata Melati yang menemaninya duduk di beranda. "Ia benar-benar mengira kalau orang itu dari keluarga korban." "Seandainya suamimu terancam, kemudian kamu mempunyai informa
"Tersangka mengerucut dengan adanya bukti dari Wiguna." Kecurigaan Cakra mulai mengarah kepada istri Erlangga dengan ditemukannya kemasan racun arsenik di saku blus. Kemungkinan kecil kalau Erlangga menyisipkan kemasan itu ke dalam saku istrinya. Waktu yang ada tidak cukup karena Abah meninggalkan TKP kurang dari dua menit. "Pikiranku sangat gelap untuk mengetahui apa motif wanita itu meracuni diri sendiri dan suaminya," keluh Cakra. "Apa wanita itu mengalami gangguan jiwa?" "Bisa saja orang rumah menyimpan kemasan itu di kantong istrinya saat memberikan pertolongan," kata Melati. "Aku kira kematiannya membuat penyidik merasa tidak perlu mencari barang bukti secara detail pada korban." "Kecurigaan untuk orang rumah kecil sekali karena saat kejadian mereka lagi keluar, tetangga yang membantu Abah membawa mereka ke rumah sakit." "Ada rentang waktu cukup lama dengan kedatangan polisi ke TKP, ada banyak kesempatan untuk membersihkan TKP." "Kalau seperti itu dugaanmu, secara logika
Pagi-pagi Priscillia sudah datang ke rumah Cakra. Matanya kelihatan sembab seperti habis menangis. "Apakah Erlangga melakukan KDRT?" tanya Cakra menaruh simpati. "Kau mestinya lapor polisi." "Aku menangis karena memikirkan nasibmu," jawab Priscillia. "Erlangga melaporkan dirimu ke polisi pagi ini karena sudah mengintimidasi pelayan baru." Cakra tersenyum kecut. "Bagaimana ia tahu kalau aku mengintimidasi pelayan baru? Ia tidak kenal diriku." "Tapi security mengenalmu dan tahu kalau kau adalah anak terpidana." Erlangga sangat gegabah kalau melaporkan dirinya hanya berdasarkan asumsi. Cakra dapat menyangkal keterangan pelayan yang mencari perhatian tuannya itu. Bukti verval sangat tergantung kepada kepintaran orang untuk berbicara. "Aku pikir kau bercerita kepada suamimu." "Aku tidak tahu apa-apa dalam kasus Abah." "Kau sekarang sudah melibatkan diri. Kedatanganmu ke rumahku membahayakan dirimu kalau Erlangga tahu." "Aku tidak peduli." Cakra kuatir ucapan itu timbul akibat be
Hasil uji forensik membuktikan kalau kemasan itu adalah kemasan racun arsenik dan surat wasiat itu merupakan tulisan tangan istri Erlangga. Erlangga menyangkal telah menghancurkan surat wasiat itu, ia bahkan tidak tahu menahu tentang surat itu. Ia juga menolak ingin menguasai seluruh harta titipan karena sudah menulis perjanjian di atas kertas bermaterai, ia akan mengembalikan separuh harta pada tanggal yang telah ditetapkan. "Bagaimana tuan?" Pengacara meminta pendapat Cakra. "Terus terang saya tidak percaya dengan keterangan Pak Erlangga. Apakah tuan akan membuka kasus ini kembali?" "Aku hanya menginginkan ayahku bebas," jawab Cakra. "Tapi ada permintaan kepada Erlangga yang tidak ada hubungannya dengan kasus ini." "Permintaan apa itu?" "Aku menginginkan Erlangga mengundurkan diri sebagai calon bupati, ia tidak pantas menjadi pemimpin." "Tuan ada gantinya? Sekalian membantu partai yang mengusung Erlangga." "Apa urusan anda dengan partai?" "Saya pengurus partai." "Aku kira i