Suara tonggeret dan jangkrik meramaikan senja. Cakra bersiap-siap untuk pergi ke rumah Mukidi. Urusan dengan bandar jengkol perlu segera diselesaikan. Banyak persoalan terjadi setelah kepergiannya, dan ia harus menyelesaikan satu per satu. "Kau mau ke mana?" tanya Ambu melihat anaknya sudah berdandan rapi. "Kok mau ke mana? Bayar hutang ke bandar jengkol." "Besok juga bisa, sekarang kau istirahat saja." "Menyegerakan membayar hutang adalah penting. Aku sulit tidur nyenyak dengan hutang menggantung di kepala, padahal aku bisa menyelesaikan secepatnya." Cakra banyak uang untuk menyelesaikan urusan itu, ia tak mau menunda-nunda. Ia bahkan berencana untuk membayar hutang warga yang telah berjasa kepada Ambu. "Semua urusan Ambu yang berhubungan dengan uang, kita selesaikan malam ini." "Kau perlu memikirkan masa depanmu. Kau belum punya apa-apa meski banyak uang." "Maksud Ambu anak istri? Aku pulang bukan untuk kepentinganku, aku pulang untuk membahagiakan keluargaku, mengembalik
"Mudah sekali menyelesaikan masalah dengan uang." Cakra mengendarai sedan dengan santai di jalan perkampungan. Jalan ini pasti jeblok kalau hujan karena belum diaspal. Cakra berniat untuk melakukan pengerasan jalan. Banyak program yang mesti dikaji. "Tapi tidak semua masalah bergantung pada uang." "Bagaimana kalau Mukidi menaruh dendam?" "Aku menunggu dendamnya. Kalau Mukidi cerdas, seharusnya ia menghindar berurusan denganku." "Sejak jadi orang kaya, kau beda anakku." "Beda apanya?" "Kau bukan lagi orang pemaaf. Kau begitu kejam menghajar centeng itu. Padahal mereka hanya berjaga-jaga menunggu perintah majikannya." "Ambu dan Abah terlalu pemaaf. Hutang dua ratus juta dan hidup seumur-umur di penjara adalah akibat terlalu pemaaf." "Kau sudah menebar kebencian, aku yakin mereka tidak menerima perlakuanmu." "Aku bingung dengan Ambu. Sudah jelas Mukidi mempermainkan Ambu, masih memintaku jadi orang pemaaf. Apa Ambu mau Claudya jadi istri kesembilan si Rahimin?" "Tentu saja ti
Abah terlihat lebih kurus. Ia memandang tak percaya kepada tamu yang membesuknya pagi ini. "Cakra...!" "Aku pulang untuk memenuhi janji pada Abah," kata Cakra sambil memeluk ayahnya erat-erat. "Di mana pun Abah berada." "Jangan bersedih dengan keadaanku sekarang, anakku. Kesedihanmu akan membuat diriku menderita." Padahal Cakra sudah berusaha tegar, Abah lah yang menangis. Ia sama sekali tak menyangka dapat bertemu lagi dengan anaknya. "Aku tidak menyangka orang sebaik Abah melewati perjalanan hidup sepahit ini." "Orang baik tak selamanya bernasib baik." Pertemuan di ruang tamu tahanan adalah hal yang tak pernah dibayangkan Cakra dalam mimpi buruk sekalipun. Seandainya ia pulang lebih cepat, barangkali petaka tidak terjadi, tapi percuma menghakimi penyesalan. Setelah puas melepas rindu, mereka duduk berhadapan. Cakra menyerahkan beberapa kantong belanjaan berisi makanan dan buah-buahan. "Aku sudah sukses sekarang. Aku pulang untuk mengangkat kehormatan keluarga pada kondisi y
Cakra sekarang layak menjadi tamu rumah megah itu, tapi delapan belas tahun tidak bertemu membuatnya merasa percuma. Rumah itu tidak ada perubahan, tapi pasti ada perubahan dengan penghuninya. "Tuan perlu memastikan supaya pikiran tenang," kata Melati melihat Cakra ragu untuk keluar dari Bugatti yang berhenti di depan pintu gerbang yang tertutup. "Kesetiaan kadang tidak memandang waktu." Kesetiaan tidak memandang waktu, tetapi memandang siapa lelaki yang singgah, batin Cakra kecut. Kesetiaan dan pengkhianatan hampir tak berjarak. "Aku kuatir justru pikiranku jadi kacau setelah bertemu." Melati tersenyum. "Aku baru melihat tuan begitu nervous untuk bertemu dengan seorang perempuan." "Delapan belas tahun membuat aku benar-benar merasa bersalah." Tak ada alasan masuk akal untuk kepergiannya. Roda waktu sulit untuk menahan Priscillia tidak melindas masa lalu. Cakra turun dari mobil. Ia merapikan pakaian dan berdiri sebentar di depan bel, menentramkan jantungnya yang berdetak tak ka
Cakra sungguh tak mengerti. SMA di jalan protokol ini adalah sekolah unggulan, bagaimana sampai kemasukan geng yang perbuatannya sangat tidak terpuji. "Aku kira mereka takut lapor sama kepala sekolah," kata Cakra tanpa turun dari mobil yang parkir di pinggir jalan. "Intimidasi anggota geng sangat kuat sehingga siswa kehilangan keberanian." Kadang pihak sekolah juga tak kuasa karena siswa semakin liar dengan pergaulannya. Mereka berani menantang guru berkelahi, bahkan berbuat asusila di kelas. Adanya komite sekolah bukan memperkuat kontrol terhadap siswa, cenderung gaya-gayaan. "Lalu apa yang akan tuan lakukan?" "Bukan aku." "Lalu siapa?" "Kau mesti mempreteli harga diri geng serigala di depan siswa. Kau undang mereka untuk bertemu di gedung kosong jika belum puas dengan perkenalan hari ini." "Gedung kosong? Di mana itu?" "Gedung kosong adalah hollywings liar di kota ini, bangunan hotel terbengkalai yang menjadi arena pertarungan antar geng." "Ketua geng serigala kan sudah
"Ferarri siapa itu?" Cakra heran melihat sebuah mobil mewah parkir di halaman rumahnya. Keheranannya terjawab saat menemukan seorang perempuan berpenampilan anggun duduk bersama Ambu di beranda, sementara pengawalnya berjaga-jaga di setiap sudut teras. Sejak menjadi Nyonya Erlangga adalah sebuah keharusan merekrut tukang pukul. "Ada apa Priscillia datang ke rumahku?" "Jadi itu mantan tuan?" "Aku tidak tahu apakah sudah menganggap mantan." "Tidak apa tuan mempunyai istri tak berbilang, tuan adalah Raja Agung." "Jangan sebut Raja Agung di rumahku, ada juga kebun jagung." Pasti bukan kunjungan balasan siang tadi, batin Cakra. Sigap juga security itu melapor kepada majikannya, sekalian cari muka. "Urusan jadi panjang," keluh Cakra seraya turun dari mobil. "Seharusnya Erlangga datang ke rumahku." Barangkali pria itu terlalu tua untuk mengurusi hal seperti ini, atau ia sibuk kampanye ke pelosok. Beberapa warga mengintip dari rumah masing-masing. Mereka heran banyak perempuan cant
"Tuan sulit meninggalkan masa lalu." Melati memperhatikan kepergian sedan mewah yang membawa mantan terindah itu. "Ucapannya menunjukkan kalau ia masih ada rasa kepada tuan." "Aku kira rasa itu sudah tak berarti setelah apa yang terjadi pada ayahku, ia telah menjadi istri orang yang menyeret ayahku ke penjara." Mereka berdiri berseberangan. Masing-masing ingin menyelamatkan orang yang dicintai. Bagaimana Cakra dapat mengagungkan masa lalu? "Ucapan itu hanya basa-basi," kata Cakra lirih. "Sekedar bumbu dari apa yang pernah terjadi di masa lalu." "Sepuluh tahun menunggu terlalu lama untuk basa-basi, tuan." "Sudahlah, lupakan Nyonya Erlangga. Kita mesti siap-siap berangkat ke gedung kosong." Hari sudah senja. Persoalan geng serigala harus diselesaikan secepatnya. Mereka adalah sekumpulan anak muda bayaran bilamana ada demo untuk penggiringan opini publik, generasi parasit yang mementingkan diri sendiri. Mereka perlu pembinaan, bukan untuk ditiadakan. "Tuan mestinya tidak melib
Masalah geng serigala sudah tuntas. Claudya jadi siswi paling dihormati di SMA, tak seorang pun berani menyentuhnya. Tengkulak dan rentenir juga sudah membuat perjanjian dengan kepala dukuh untuk memajukan perekonomian petani. Tapi pikiran Cakra makin runyam. Persoalan Abah belum menemukan titik terang. "Aku sulit mempengaruhi pelayan baru dari biro jasa," keluh Cakra. "Mereka terikat kontrak dengan peraturan sangat ketat." Cakra sudah berusaha melobi pelayan baru di mansion Erlangga, tapi mereka menolak untuk membantu penyelidikan kasus racun arsenik itu. Mereka pasti mengadu kepada Erlangga. Meski ia mengaku dari pihak korban tewas, Priscillia pasti curiga kalau orang itu adalah dirinya. "Posisiku makin terjepit. Erlangga pasti lapor ke polisi." "Aku kira Erlangga takkan tahu kalau mantan tuan tutup mulut," kata Melati yang menemaninya duduk di beranda. "Ia benar-benar mengira kalau orang itu dari keluarga korban." "Seandainya suamimu terancam, kemudian kamu mempunyai informa
Ratu Dublek dan panglima perang tiba di pantai berkarang yang menjadi lokasi pertemuan dengan utusan Raden Manggala. Debur ombak memecah pantai berkarang menjilat kaki mereka, berbuih-buih. Mereka terkejut melihat kesatria gagah dan tampan berdiri di batu besar seolah menunggu kedatangan mereka, di dekatnya dua utusan Raden Manggala tergeletak mati. "Kalian tak bisa lari dariku," kata Cakra. "Aku akan mengejar kalian ke dasar segara sekalipun." "Aku sudah meninggalkan istana secara sukarela," ucap Ratu Dublek. "Kau butuh singgasana untuk Romadara dan sudah didapatkan. Apa lagi yang kau inginkan?" Ratu Dublek mencoba untuk negosiasi. Kelihatannya tidak ada peluang untuk kabur. "Aku menginginkan jazirah bentala terbebas dari gangguan makhluk seperti kalian." "Aku akan pergi dari jazirah bentala untuk selamanya." "Dan berbuat kerusakan di jazirah lain. Perbuatanmu sudah melampaui batas. Perempuan seperti dirimu sudah sepantasnya berbaring bersama dua kutu kupret ini."
"Terimalah hukuman atas kelancangan dirimu!" Ketua lama berubah menjadi Bintang Kehidupan dengan sinar kemerahan yang menyilaukan mata. Bintang itu berusaha menyambar Cakra yang bergerak menghindar dengan lincah. Semua pendekar yang berada di sekitar mereka berusaha menghalangi pandangan dari sinar yang membutakan mata itu. "Ketua lama mulai mengeluarkan ilmu dari kitab terkunci," keluh Ratu Purbasari. "Sampai kapan Cakra mampu bertahan?" "Ilmu warisan Wiraswara sangat dahsyat di tangannya, tapi tidak cukup untuk menandingi," kata Ratu Sihir. "Kita juga tidak bisa menolong, bahkan untuk diri sendiri." "Hei! Lihat...!" seru Ratu Ipritala. Cakra berubah menjadi Seberkas Sinar. Cahaya berekor berwarna keemasan itu menggulung Bintang Kehidupan meninggalkan siluet di angkasa. "Ratu Kencana kiranya sudah mewariskan ilmu roh kepada pangeran," ujar Ratu Purbasari. "Tapi belum cukup untuk memenangkan pertarungan." Padahal ilmu itu diperoleh dari Nyi Ratu Suri lewat kemesraan, dan men
"Aku adalah Raja Agung yang akan menyeretmu pulang ke gerbang siksa." Sebilah pedang kencana muncul secara tiba-tiba di tangan Cakra, pedang itu jelmaan Tongkat Petir. Ketua lama tertawa dengan congkak. "Ha ha ha! Jadi kau murid Ki Gendeng Sejagat?" Sebuah tongkat yang sama persis muncul dalam.genggaman ketua lama, kemudian tongkat itu berubah menjadi pedang serupa. Aku tidak pernah mendengar Tongkat Petir mempunyai kembaran, batin Cakra. Tapi guruku pernah menciptakan duplikatnya. Aku tidak tahu mana yang asli. "Ha ha ha! Gurumu benar-benar gendeng sudah mewariskan tongkat palsu kepada muridnya!""Aku yakin tongkatmu palsu, seperti tongkat di balik celanamu!" Ratu Dublek tersenyum mengejek, ia berkata, "Apakah kau sekarang masih cukup nyali untuk menantang garwaku setelah mengetahui tongkatmu palsu? Aku memberi kesempatan kepadamu untuk hidup dengan melanjutkan permainanku yang terganggu olehmu." "Kau bukan perempuan seleraku," kata Cakra sinis. "Kakek peot itu sudah me
Puluhan prajurit mengejar Ranggaslawi. Ia sengaja membawa mereka ke arah sekelompok pasukan gabungan berada. Ratu Sihir bengong melihat kejadian itu, ia bertanya, "Bukankah pendekar botuna sudah pergi ke hutan alas?" "Cakra pasti membawanya kembali," keluh Ratu Purbasari. "Aku heran bagaimana ia bisa bersahabat dengan pendekar cabul. Rencana kita hampir berantakan gara-gara mereka.""Dan sekarang benar-benar berantakan." "Kau harus menegur Cakra dengan keras. Tindakannya sudah melanggar prosedur." "Pangeran kepala batu." "Kau lunakkan dengan body goal mu. Kelemahan kesatria mata keranjang adalah keindahan wanita." "Kenapa bukan kalian saja?" "Maharini keguguran dan Rinjani belum hamil-hamil. Jadi kami tiada alasan untuk bercinta dengan menantu. Lagi pula, selera Cakra bukan maharatu yang mempunyai banyak simpanan." "Ngomong saja kalian kalah cantik." Mereka tiba di alun-alun istana. Pertempuran terjadi di berbagai penjuru. Serangan prajurit musuh datang secara bergelombang
"Mereka sedang mengawasi kalian."Ranggaslawi dan kawan-kawan pucat pasi mendengar keterangan Jaka, meski mereka tak dapat melihatnya. "Baguslah kalian ada rasa hormat," sindir Cakra. "Padahal Ratu Kencana tahu bagaimana bejatnya kalian." "Aku sudah menduga kau punya beking handal," kata Ranggaslawi. "Hanya indung leluhur garwamu yang dapat melumpuhkan ketua lama." "Maka itu aku akan pergi ke dasar segara untuk membantu Nawangwulan. Kalian bantulah Nyi Ratu Kencana." "Enak saja melimpahkan tanggung jawab kepadaku!" sergah suara tanpa wujud. "Kau bereskan dulu urusan di kota Dublek!" "Aku muak berjuang di bawah kecurigaan." "Aku hanya ingin memastikan kau tidak main-main dengan ajian Serat Cinta!" "Kau tahu aku suka main-main." "Baiklah! Aku pergi! Aku akan mengutuk dirimu jadi buruk rupa kalau berani macam-macam!" "Kebetulan aku sudah bosan berwajah ganteng." Ratu Kencana pasti pikir-pikir untuk bertindak senekat itu, kecuali ia siap menerima gelombang protes dari seluruh p
Cakra kemalaman di hutan alas, di mana pada setiap pohon dihuni ular piton. Binatang itu tidur melingkar di batang pohon. Hutan alas merupakan jalan pintas menuju kerajaan Dublek. "Aku tidak tahu mereka tidak mengganggu diriku karena Ratu Siluman Ular atau ilmu Serat Cinta ku." "Aku kira mereka sungkan sama Yang Mulia. Jadi mereka pura-pura tidur." Ular piton yang biasa menjilati wajah Cakra kini seakan tidak terusik dengan kedatangannya. "Tapi aku menikmati situasi ini. Ajian Serat Cinta membuat hatiku terasa damai." Cakra singgah di kuil kuno yang pernah menjadi tempat pembantaian anggota sekte. "Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan, Yang Mulia," kata si Gemblung. "Kita beristirahat di kota Dublek." "Aku mendengar suara percakapan di dalam kuil. Aku seperti kenal suara mereka." Cakra membuka pintu kuil. Ia terpukau melihat pendekar botuna duduk santai di sofa sambil minum tuak. "Kalian sedang apa di sini?" tanya Cakra heran. "Bukankah kekacauan di kota Dublek semakin meraj
Ketua lama Dewan Agung berhasil kabur dari gerbang siksa. Ia menjadi pendukung utama Ratu Dublek. Raden Mas Arya Bimantara sebagai ketua baru sungkan untuk menangkapnya. Ratu Kencana sampai turun tangan melobi Cakra, ia sangat peduli dengan kegaduhan yang terjadi. Padahal ia berasal dari langit berbeda. "Nusa Kencana adalah negeri warisanku, aku memiliki keterikatan batin dengan penguasa istana." "Kenapa kau tidak menegur ketua baru untuk bertindak tegas?" "Kepandaian Arya Bimantara belum memadai untuk meringkus ketua lama." "Kenapa diangkat jadi ketua Dewan Agung kalau tidak memenuhi syarat?" "Ia paling pantas menjadi tetua! Tapi ketua lama mempunyai ilmu tertinggi di langit!" "Lalu kau pikir aku memadai? Aku bisa jadi ayam penyet!" "Aku sudah menurunkan intisari roh kepadamu. Jurus dan pukulan saktimu sekarang jauh lebih dahsyat." "Aku diminta taat aturan, kau sendiri tidak tahu aturan. Kau menurunkan ilmu tanpa seizin diriku. Kau seharusnya memberikan ilmu itu kepada indu
Plak! Plak!Dua tamparan keras kembali mampir di wajah Cakra.Kesatria gagah dan tampan itu tersenyum, ia hanya memiliki senyuman untuk perempuan cantik."Aku teringat pertemuan kita di hutan kayu," kata Cakra. "Kau lima puluh kali menampar wajahku sebelum mempersembahkan lima puluh kenikmatan."Plak! Plak!Cakra merasa ada aliran hangat dari tamparan itu, berangsur-angsur menyegarkan tubuhnya."Jadi kau sekarang mengalirkan energi roh melalui tamparan? Apakah Raden Mas Arya Bimantara melarang dirimu untuk bercinta denganku? Jadi kau masih mencintai lelaki pecundang itu? Aku sendiri malu mempunyai indung leluhur seperti dirinya...."Plak! Plak!"Jawabanmu sangat menyebalkan diriku," gerutu Cakra."Kau benar-benar pangeran terkutuk!""Aku mengakui diriku pangeran terkutuk ... terkutuk menjadi gagah dan tampan, bahkan menurut body goal magazine, aku satu-satunya pangeran yang dirindukan tampil telanjang di sampul depan! Tapi kecerdasan buatan tidak mampu menduplikat diriku, lebih-lebih
Puteri mahkota khawatir kesembuhan dirinya menimbulkan masalah baru bagi kerajaan.Bagaimana kalau Nyi Ratu Kencana murka dan menurunkan bencana yang lebih besar?"Aku kira Cakra sudah mempertimbangkan secara matang," kata Pangeran Liliput. "Ia terkenal sering bicara gegabah, namun tak pernah bertindak gegabah."Puteri mahkota memandang dengan resah, ia bertanya, "Bagaimana jika kutukan itu menimpa calon garwaku karena sudah melanggar kehendak ketua langit?" "Janganlah berpikir terlalu jauh, ananda," tegur Ratu Liliput lembut. "Belum tentu apa yang ananda pikirkan itu kejadian.""Bagaimana kalau kejadian, ibunda? Aku pasti disalahkan permaisuri pertama."Puteri Liliput segera meninggalkan pesanggrahan untuk menjumpai calon suaminya.Penjaga bilik tirakat segera berlutut dengan sebelah kaki menyentuh lantai begitu puteri mahkota dan baginda ratu tiba di hadapannya."Bukalah pintu bilik, Paman," pinta Puteri Liliput. "Aku mau masuk.""Patik mohon ampun sebelumnya, Gusti Puteri ... gust