"Delapan belas tahun?" Cakra seakan tak percaya dengan pendengarannya. "Hidupmu kelihatannya sangat enak!" gerutu Ambu. "Jadi lupa menghitung hari!" "Aku kira penyebabnya bukan itu." Cakra menutup kebingungannya. Barangkali ada perbedaan waktu antara bangsa manusia dengan bangsa Incubus. "Syukurlah kau sudah kembali," kata petani yang memanggul pacul. "Ibumu sangat terhibur dengan kepulanganmu." Mereka bubar untuk beristirahat. Kerja seharian sangat menguras tenaga. "Aku antarkan nanti oleh-olehnya ke rumah masing-masing." Mereka tampak senang. Kembalinya Cakra ke kampung menghadirkan harapan terbitnya kedamaian dari perbuatan yang meresahkan warga. Sejak kepergian Cakra bermunculan jagoan kampung yang menjadi tukang pukul para tengkulak dan rentenir. Cakra menutup pintu. Mereka duduk di kursi bambu. Cakra mulai bercerita, "Saat pulang dari pesta ulang tahun Priscillia, aku mengalami kecelakaan. Aku mengalami gegar otak dan lupa asal usulku. Ada bangsawan Timur Tengah meno
"Abah mana?" Cakra tidak melihat ayahnya sejak kedatangannya. Ambu mendadak murung mendengar pertanyaan itu. Kepedihan melekat jelas di matanya. Pikiran buruk melintas di kepala Cakra. Ia memandang ibunya dengan buram. "Jangan katakan Abah sudah meninggal. Aku takkan pernah bisa memaafkan diriku." "Abah masuk bui." Cakra terkejut bukan kepalang. Kabar itu terlalu dahsyat untuk menyambut kepulangannya. "Abah divonis seumur hidup dengan dakwaan melakukan pembunuhan terencana kepada Erlangga dan istrinya untuk menguasai harta titipan." "Bagaimana kronologinya?" pandang Cakra tak percaya. "Saat kamu dinyatakan hilang oleh pihak kepolisian, Abah meminta harta yang dititipkan pada Erlangga, ia berkeyakinan kamu dijemput utusan kerajaan, jadi perjanjian secara otomatis batal." "Lalu Erlangga menolak karena putranya juga hilang?" "Ia bersedia mengembalikan separuh harta sesuai permintaan Abah, kemudian Abah diminta meracik kopi klan Bimantara yang sangat termasyhur itu untuk merayak
Suara tonggeret dan jangkrik meramaikan senja. Cakra bersiap-siap untuk pergi ke rumah Mukidi. Urusan dengan bandar jengkol perlu segera diselesaikan. Banyak persoalan terjadi setelah kepergiannya, dan ia harus menyelesaikan satu per satu. "Kau mau ke mana?" tanya Ambu melihat anaknya sudah berdandan rapi. "Kok mau ke mana? Bayar hutang ke bandar jengkol." "Besok juga bisa, sekarang kau istirahat saja." "Menyegerakan membayar hutang adalah penting. Aku sulit tidur nyenyak dengan hutang menggantung di kepala, padahal aku bisa menyelesaikan secepatnya." Cakra banyak uang untuk menyelesaikan urusan itu, ia tak mau menunda-nunda. Ia bahkan berencana untuk membayar hutang warga yang telah berjasa kepada Ambu. "Semua urusan Ambu yang berhubungan dengan uang, kita selesaikan malam ini." "Kau perlu memikirkan masa depanmu. Kau belum punya apa-apa meski banyak uang." "Maksud Ambu anak istri? Aku pulang bukan untuk kepentinganku, aku pulang untuk membahagiakan keluargaku, mengembalik
"Mudah sekali menyelesaikan masalah dengan uang." Cakra mengendarai sedan dengan santai di jalan perkampungan. Jalan ini pasti jeblok kalau hujan karena belum diaspal. Cakra berniat untuk melakukan pengerasan jalan. Banyak program yang mesti dikaji. "Tapi tidak semua masalah bergantung pada uang." "Bagaimana kalau Mukidi menaruh dendam?" "Aku menunggu dendamnya. Kalau Mukidi cerdas, seharusnya ia menghindar berurusan denganku." "Sejak jadi orang kaya, kau beda anakku." "Beda apanya?" "Kau bukan lagi orang pemaaf. Kau begitu kejam menghajar centeng itu. Padahal mereka hanya berjaga-jaga menunggu perintah majikannya." "Ambu dan Abah terlalu pemaaf. Hutang dua ratus juta dan hidup seumur-umur di penjara adalah akibat terlalu pemaaf." "Kau sudah menebar kebencian, aku yakin mereka tidak menerima perlakuanmu." "Aku bingung dengan Ambu. Sudah jelas Mukidi mempermainkan Ambu, masih memintaku jadi orang pemaaf. Apa Ambu mau Claudya jadi istri kesembilan si Rahimin?" "Tentu saja ti
Abah terlihat lebih kurus. Ia memandang tak percaya kepada tamu yang membesuknya pagi ini. "Cakra...!" "Aku pulang untuk memenuhi janji pada Abah," kata Cakra sambil memeluk ayahnya erat-erat. "Di mana pun Abah berada." "Jangan bersedih dengan keadaanku sekarang, anakku. Kesedihanmu akan membuat diriku menderita." Padahal Cakra sudah berusaha tegar, Abah lah yang menangis. Ia sama sekali tak menyangka dapat bertemu lagi dengan anaknya. "Aku tidak menyangka orang sebaik Abah melewati perjalanan hidup sepahit ini." "Orang baik tak selamanya bernasib baik." Pertemuan di ruang tamu tahanan adalah hal yang tak pernah dibayangkan Cakra dalam mimpi buruk sekalipun. Seandainya ia pulang lebih cepat, barangkali petaka tidak terjadi, tapi percuma menghakimi penyesalan. Setelah puas melepas rindu, mereka duduk berhadapan. Cakra menyerahkan beberapa kantong belanjaan berisi makanan dan buah-buahan. "Aku sudah sukses sekarang. Aku pulang untuk mengangkat kehormatan keluarga pada kondisi y
Cakra sekarang layak menjadi tamu rumah megah itu, tapi delapan belas tahun tidak bertemu membuatnya merasa percuma. Rumah itu tidak ada perubahan, tapi pasti ada perubahan dengan penghuninya. "Tuan perlu memastikan supaya pikiran tenang," kata Melati melihat Cakra ragu untuk keluar dari Bugatti yang berhenti di depan pintu gerbang yang tertutup. "Kesetiaan kadang tidak memandang waktu." Kesetiaan tidak memandang waktu, tetapi memandang siapa lelaki yang singgah, batin Cakra kecut. Kesetiaan dan pengkhianatan hampir tak berjarak. "Aku kuatir justru pikiranku jadi kacau setelah bertemu." Melati tersenyum. "Aku baru melihat tuan begitu nervous untuk bertemu dengan seorang perempuan." "Delapan belas tahun membuat aku benar-benar merasa bersalah." Tak ada alasan masuk akal untuk kepergiannya. Roda waktu sulit untuk menahan Priscillia tidak melindas masa lalu. Cakra turun dari mobil. Ia merapikan pakaian dan berdiri sebentar di depan bel, menentramkan jantungnya yang berdetak tak ka
Cakra sungguh tak mengerti. SMA di jalan protokol ini adalah sekolah unggulan, bagaimana sampai kemasukan geng yang perbuatannya sangat tidak terpuji. "Aku kira mereka takut lapor sama kepala sekolah," kata Cakra tanpa turun dari mobil yang parkir di pinggir jalan. "Intimidasi anggota geng sangat kuat sehingga siswa kehilangan keberanian." Kadang pihak sekolah juga tak kuasa karena siswa semakin liar dengan pergaulannya. Mereka berani menantang guru berkelahi, bahkan berbuat asusila di kelas. Adanya komite sekolah bukan memperkuat kontrol terhadap siswa, cenderung gaya-gayaan. "Lalu apa yang akan tuan lakukan?" "Bukan aku." "Lalu siapa?" "Kau mesti mempreteli harga diri geng serigala di depan siswa. Kau undang mereka untuk bertemu di gedung kosong jika belum puas dengan perkenalan hari ini." "Gedung kosong? Di mana itu?" "Gedung kosong adalah hollywings liar di kota ini, bangunan hotel terbengkalai yang menjadi arena pertarungan antar geng." "Ketua geng serigala kan sudah
"Ferarri siapa itu?" Cakra heran melihat sebuah mobil mewah parkir di halaman rumahnya. Keheranannya terjawab saat menemukan seorang perempuan berpenampilan anggun duduk bersama Ambu di beranda, sementara pengawalnya berjaga-jaga di setiap sudut teras. Sejak menjadi Nyonya Erlangga adalah sebuah keharusan merekrut tukang pukul. "Ada apa Priscillia datang ke rumahku?" "Jadi itu mantan tuan?" "Aku tidak tahu apakah sudah menganggap mantan." "Tidak apa tuan mempunyai istri tak berbilang, tuan adalah Raja Agung." "Jangan sebut Raja Agung di rumahku, ada juga kebun jagung." Pasti bukan kunjungan balasan siang tadi, batin Cakra. Sigap juga security itu melapor kepada majikannya, sekalian cari muka. "Urusan jadi panjang," keluh Cakra seraya turun dari mobil. "Seharusnya Erlangga datang ke rumahku." Barangkali pria itu terlalu tua untuk mengurusi hal seperti ini, atau ia sibuk kampanye ke pelosok. Beberapa warga mengintip dari rumah masing-masing. Mereka heran banyak perempuan cant