Cakra menghampiri tiga pendekar yang sedang melepas ikatan kuda mereka di depan kedai. Di wajah mereka terpancar kepuasan atas hidangan yang sangat lezat itu. "Ada apa anak muda?" tanya pendekar berbadan ceking melihat Cakra mendatanginya. Cakra tersenyum kecil. "Maaf, itu kuda saya." Pria separuh baya itu seolah baru sadar. "Oh iya, kuda ini sangat bagus. Maaf anak muda, aku hanya melihat warna, tapi bentuknya beda." "Tidak apa. Pendekar terpandang di kampung ini juga bisa silap." "Sudahlah. Jangan banyak basa-basi. Ada perlu apa denganku?" "Saya ingin berkelana ke negeri manusia." "Gampang sekali itu. Kau tinggal berendam di mata air pengukuhan, kemudian memilih satu dari empat gerbang yang hendak dituju. Aku kira bangsawan Asir akan melewati tes kepatutan dengan mudah karena terkenal cinta damai." "Aku sudah tahu kalau empat gerbang itu." "Lalu apa lagi yang kau mau tahu?" "Aku ingin bulan madu ke negeri manusia." "Wah, kalau itu susah mendapat ijin dari baginda ratu. Yan
Cakra duduk di panggung kehormatan dan jadi pusat perhatian. Mereka heran bagaimana pemuda itu dapat menjadi tamu istimewa Nyai Penghasut Birahi, duduk bersanding dengan tokoh utama golongan putih dan bangsawan berpengaruh di kadipaten. Gagak Jantan, tokoh golongan putih yang paling disegani di wilayah barat, sempat dibuat heran. Ia bertanya, "Siapa kau anak muda? Aku kira kau jadi tamu kehormatan bukan karena wajahmu sangat tampan. Kau apanya Nyai?" "Aku pengembara muda dari bangsawan Asir," sahut Cakra tenang. "Aku belum pernah bertemu dengan sang penari." "Jangan bohong. Apa kau calon suaminya? Nyai tidak mungkin mengundangmu secara khusus kalau tidak memiliki kedudukan istimewa. Aku baru melihatmu. Kau pasti bangsawan Asir yang baru keluar mengembara." "Kau betul. Aku mengembara untuk suatu keperluan." "Keperluanmu untuk bersenang-senang." "Bersenang-senang dengan cara yang tidak biasa." "Maksudnya?" "Aku datang ke Puri Mentari untuk bertemu dengan tokoh utama golongan
Mereka mendarat di atap tanpa menimbulkan suara pada genteng sirap yang diinjak. Minarti menutup kembali kisi-kisi atap. Kemudian ia mengenakan pakaian yang sudah disiapkan di atas sirap. "Bagaimana mereka bisa percaya keping emas sisa lima?" tanya Cakra heran. "Padahal semuanya cuma ada delapan puluh keping." Minarti tersenyum kecil. "Itulah laki-laki. Mereka tidak melihat caraku menghitung, mereka melihat tubuhku yang tanpa busana." "Kau pasti mempengaruhi mereka dengan ajian Pemikat Cinta. Secepat apapun kau menghitung, tokoh utama pasti dapat melihat kecurangan itu." "Hanya calon terpilih yang tidak tertarik melihat kemolekanku, padahal sangat dekat." "Aku bukan calon terpilih," bantah Cakra. "Sudahlah, jangan berdusta di depanku. Sepasang Gagak Putih pasti tahu kau adalah manusia. Maka itu aku segera membawamu ke atap karena Gagak Betina sangat menginginkan untuk bercinta dengan manusia." "Gagak Jantan pasti marah." "Bukan karena bercintanya, tapi karena kau calon pangera
Malam sangat larut ketika Cakra tiba di ujung kampung. Ia melambatkan lari kuda. Suasana sangat sepi. Penduduk sudah beranjak ke peraduan untuk menyongsong hari esok. "Rumah-rumah ini disewakan, tapi pemilik satu pun tak ada yang duduk di luar," gumam Cakra cemas. "Apa mungkin sudah penuh?" Barangkali Jaka mesti tidur seperti gelandangan. Tapi tidur di sisi jalan takut terlindas kereta kuda yang sering lewat. Lagi pula, mana ada bangsawan jadi gembel? Kecuali bangsawan bangkrut! Cakra tersenyum saat melihat kakek berjubah hitam duduk di beranda sebuah rumah dengan secangkir minuman di meja. "Akhirnya ada juga rumah sewa yang kosong." Cakra turun dari kuda dan memasuki halaman. Di pintu pagar terdapat sederet tulisan aksara kuno. Barangkali papan nama rumah sewa ini. "Permisi," kata Cakra. "Saya kemalaman di jalan. Apa ada kamar untuk bermalam?" Kakek berjanggut pendek itu memandang heran. "Apa kau tidak baca tulisan di depan itu? Rumah ini tidak disewakan, tapi dijual!" Cakra
"Kau mau bermalam di sini, anak muda?" tanya Tabib Kebab. "Bagaimana kalau prajurit kerajaan datang lagi?" "Mereka pasti mengira aku sudah pergi ke perbatasan dengan jalan kaki," jawab Cakra. "Jadi kemungkinan kecil datang lagi." Tabib Kebab tersenyum. "Kau sungguh cerdik. Kau bisa memperdaya prajurit kerajaan, berarti kau juga bisa menipu aku dengan mudah." "Jadi kau curiga aku akan menipumu?" tatap Cakra tidak enak. "Baiklah, aku bayar di muka. Berapa sewa kamarnya?" "Kamar tidak disewakan. Aku menerimamu karena kau kesulitan mencari tempat bermalam." "Lalu apa maksudnya aku bisa menipumu dengan mudah?" tanya Cakra penasaran. Tabib Kebab menatap dengan selidik. "Mengapa kau mengajak bertukar jubah? Apa jubah itu bermasalah?" "Katamu jubah ini biasa dipakai para pangeran. Aku bukan pangeran. Maka itu aku mengajak tukaran." "Kau adalah bangsawan Asir. Jadi sangat pantas memakai jubah itu. Yang aku heran, bangsawan Asir memiliki jubah tersendiri, mengapa kau tidak memakainya?"
"Calon pangeran pergi ke perbatasan kadipaten?" Mahameru yang sedang menikmati hidangan pagi menatap prajurit di hadapannya tanpa berkedip. "Ya tuanku," jawab prajurit senior. "Satu pleton anggota pasukan lagi menyusul." Pria gagah yang menyamar dengan berpakaian pendekar itu terduduk lemas di kursi, menunda makan. Pencarian jadi semakin sulit. Cakra sangat cerdik sehingga dapat mengelabui prajurit yang berjaga di perbatasan. Penampilan Cakra sungguh meyakinkan sebagai anak buah Tabib Kebab yang hendak mencari bumbu di hutan. Mereka baru sadar telah terperdaya saat pekerja yang biasa mencari bumbu muncul. "Calon terpilih bisa mati kelaparan di Hutan Gerimis," kata Bagaspati yang menemani mahapatih makan pagi. Mereka bersantap di sebuah restoran penginapan mewah. "Hutan itu sangat indah dan asri, namun tak ada penyambung kehidupan." "Ia terlalu pintar untuk mati kelaparan," kata Mahameru. "Aku malu pada baginda ratu, melaksanakan tugas kecil saja tidak mampu." "Maafkan aku sela
"Jadi Mahameru gagal memboyong calon pangeran ke istana?" Lelaki berbadan tegap dan berwajah tampan itu tertawa senang mendengar penuturan ahli nujum. Semua tokoh golongan hitam hadir dalam perjamuan itu, di antaranya Tongkat Bertuah, si Sanggul Miring, Bidadari Penabur Cinta, dan Setan Pajak. "Apakah pemuda yang bernama Cakra Agusti Bimantara itu berilmu tinggi, Renggana? Ia pantas bersanding dengan Srikiti kalau benar demikian." Gadis berparas cantik yang duduk di sampingnya menggerutu, "Memangnya aku cangklong ditawarkan kepada setiap lelaki?" "Aku tidak menawarkan kamu kepada setiap lelaki, aku menawarkan anakku kepada lelaki dari bangsa manusia. Aku sangat ingin memiliki cucu dari perkawinan antar bangsa." Pangeran Penamburan menatap ayahnya separuh protes. "Jadi aku tidak berguna bagi Daddy?" "Tentu saja sangat berguna! Aku ingin kau menikah dengan Dewi Anjani agar kita bisa menguasai seluruh wilayah kerajaan!" Pangeran Penamburan adalah putra sulung Tapak Mega. Ia gemb
Hari menjelang senja. Cakra melambatkan lari kuda dan berhenti di bawah pohon rindang. Kuda sangat lincah dan tangguh, larinya jauh lebih cepat dari kuda Thoroughbred pemegang Guinness World Records. "Kau belum punya nama, aku kasih nama apa ya?" ujar Cakra sambil menambatkan tali kuda pada akar yang menonjol di permukaan tanah. "Aku kasih nama Kylian Mbappe...fansnya pasti marah. Aku kasih nama koruptor...kamu pasti marah. Ya sudah...Gemblung saja." Kuda ini membutuhkan cukup banyak air. Cakra membawa bumbung panjang untuk persediaan. Satu tabung bambu cukup untuk persediaan air satu hari. Untuknya, wedang lemon separuh kantong cukup untuk beberapa hari perjalanan. Cakra diberi tahu Gayatri kalau di Hutan Gerimis tidak ada persediaan air dan makanan. Hanya pendekar yang memiliki ilmu Cipta Saji berani mengembara di hutan itu. Banyak pohon buah-buahan tumbuh tapi tidak pernah berbuah. Umbi-umbian juga begitu. "Aku tidak percaya di hutan ini tidak ada yang bisa dimakan atau dimin