"Capek banget!"
Cakra duduk menggelosor di bawah pohon jengkol dengan nafas tersengal-sengal. Ia biasa menggunakan ballpoint untuk menulis di atas kertas, pada saat menggunakan cangkul untuk bekerja di atas lahan tentu saja ia keteteran. "Sekarang kau merasakan perjuangan mencari sesuap nasi itu sangat berat!" Abah tertawa melihat anaknya sangat kepayahan, padahal baru sebentar bekerja. Abah adalah petani kecil, tinggal di rumah bilik di kaki gunung, dengan beberapa tetangga bernasib sama. Bedanya petani ini mampu menelurkan anak jadi sarjana. Wisuda bulan kemarin adalah pengukuhan Cakra jadi seorang pengangguran. Cakra sudah melayangkan lamaran ke beberapa kantor perusahaan di kota, tapi belum ada panggilan. Untuk sementara, ia mencangkul di ladang membantu ayahnya. Abah satu-satunya warga kampung yang bahagia jadi orang miskin. Hidup dalam keterbatasan membuatnya nyaman. Sungguh orang tua aneh, sebab durhaka untuk disebut gila. "Cita-cita Abah akhirnya kesampaian," kata Ambu suatu kali. "Hidup tenang jadi orang miskin." "Jadi orang miskin kok tenang?" protes Cakra. "Aku benci tiap hari makan petai." "Kau bisa makan jengkol kalau tidak suka petai." "Sama saja! Baunya sekompleks!" Konon Abah keturunan bangsawan. Ia seorang saudagar kaya raya. Hartanya dihibahkan ke orang kepercayaan sejak Cakra lahir, dan memilih tinggal di kaki gunung. Cerita ini membuat Cakra menyesal lahir ke dunia. "Abah itu sangat sayang padamu," ujar Ambu melihat muka Cakra dilipat kayak kardus bekas. "Maka itu Abah menyerahkan hartanya pada Erlangga. Ia memilih tinggal di kampung jadi petani sederhana." "Sayang sama anak bukan begitu," bantah Cakra. "Abah membuat anak sengsara seumur-umur." "Masa depanmu makin suram kalau bergelimang harta." Ucapan itu terdengar aneh di telinga Cakra. Orang banyak harta masa depannya pasti cemerlang. Kekayaan adalah jaminan nomor satu, tanpa harta masalah gampang datang. Ambu kebanyakan makan ubi bakar sehingga otaknya sulit berpikir jernih. "Kamu tidak tahu apa yang dikhawatirkan orang tuamu," ucap Ambu dengan wajah berkabut. "Apalah artinya harta kalau kami mesti kehilangan anak satu-satunya." Cakra makin bingung. Ia curiga Abah memperoleh harta lewat pesugihan, maka itu disedekahkan agar anaknya tidak jadi tumbal. Pesugihan apa kredit rumah bisa over alih? "Kau adalah turunan kedelapan dari Raden Mas Arya Bimantara." Ambu memandang anaknya dengan sinar mata menabur misteri. "Leluhurmu itu mengadakan perjanjian dengan penguasa kerajaan di tatar selatan Sunda...." Kemudian mengalir cerita turun-temurun pada abad empat belas lampau. Raden Mas Arya Bimantara adalah bangsawan terkemuka di jaman Kerajaan Sunda. Alkisah, ia ikut rombongan Prabu Linggabuana mengantarkan puteri Dyah Pitaloka Citraresmi untuk dinikahkan dengan raja Majapahit. Rombongan diterima di pesanggrahan Bubat. Gajah Mada mendesak raja Majapahit untuk menerima puteri mahkota sebagai upeti, bukan calon permaisuri. Sebelum Hayam Wuruk mengeluarkan titah, mahapatih Majapahit telah mengerahkan pasukan ke pesanggrahan Bubat. Raja Sunda merasa terhina dan memutuskan untuk melawan meski membawa prajurit sedikit. Rombongan Prabu Linggabuana dikabarkan tewas semua, termasuk Dyah Pitaloka yang memilih mengakhiri hidup dengan menancapkan tusuk konde ke jantung. Raden Mas Arya Bimantara berhasil diselamatkan Nyi Ratu Suri, penguasa kerajaan tatar selatan. Sejak itu ia berikrar untuk mempererat hubungan antar keturunan mereka, di mana dalam setiap generasi ada pasangan terpilih untuk menjadi suami istri. Pada generasi kedelapan, Cakra terpilih untuk mewakili klan Bimantara. "Ambu tahu dari mana kalau aku calon terpilih?" tanya Cakra di akhir dongeng ibunya. "Kamu satu-satunya lelaki dari generasi kedelapan klan Bimantara," jawab Ambu. "Lalu apa hubungannya dengan harta yang dihibahkan sama Erlangga?" selidik Cakra ingin tahu. "Beruntung sekali orang itu." Erlangga pasti hidup enak, dikelilingi perempuan dengan minuman anggur terkenal dari Perancis. "Abah bertanya pada orang pintar bagaimana mengelabui perjanjian itu, katanya Abah harus merubah nasib jadi orang miskin. Dengan begitu kau lolos dari perjanjian leluhur." "Pasti ada konspirasi," kata Cakra curiga. "Paranormal itu pasti orangnya Erlangga." "Kita lihat saja, apakah ada yang menjemputmu?" "Siapa yang sudi menjemputku? Bryan saja benci melihat cowok miskin. Hampir tiap hari aku diseruduk." Bryan adalah kerbau semata wayang untuk membajak sawah, sahabat pemarah setiap kali mendengar keluh kesahnya. Cakra sebenarnya mau unfriend, tapi tidak punya teman lagi di dunia ini. Ada pacar satu, namanya Priscillia, tapi tidak direstui orang tua karena perbedaan kasta. "Kalau sudah tiba waktunya, utusan kerajaan datang di malam purnama untuk menjemput calon terpilih. Seperti yang terjadi pada Paman Wikudara, klan generasi ketujuh. Ia dijemput empat orang berpakaian dandy dengan modus mengajak dinner. Sejak itu ia tidak pernah kembali lagi." "Tahunya utusan kerajaan dari mana?" tanya Cakra. "Bisa saja Paman Wiku diculik orang suruhan kompetitor bisnisnya." "Kejadiannya begitu di setiap generasi," jawab Ambu. "Aku tahu dari nenekmu sebelum meninggal." Cakra selaku kid jaman now tidak percaya dengan cerita turun-temurun itu. Yang jelas, memberikan harta secara cuma-cuma pada orang lain adalah sebuah kebodohan. Jaman now banyak terjadi pertumpahan darah cuma gara-gara uang receh. "Aku curiga orang tuaku mengarang cerita agar aku tidak kecewa dengan namaku," keluh Cakra sambil mengusap tanduk kerbau. "Cakra Agusti Bimantara, nama itu terlalu mewah untuk orang miskin. Bagaimana menurutmu, Bryan?" Kerbau melenguh keras sehingga lidahnya terlihat dan menanduk Cakra. Pemuda yang berjongkok di pematang itu spontan jatuh terjengkang ke sawah. "Kau juga ternyata tidak setuju," gerutu Cakra seraya membersihkan tubuh yang belepotan lumpur. "Namaku diganti saja jadi Cakra...duh gusti blangsak tiara tara!" Kerbau kembali menerjang. Cakra lagi-lagi jatuh terduduk di lumpur. "Kau benci aku ngomong blangsak, Bryan?" geram Cakra keki. "Kau benci aku jadi orang miskin? Aku juga benci!" Kerbau menundukkan kepala siap-siap menyeruduk lagi. Cakra bangkit dan berlari menghindar. Binatang itu mengejar. Bokongnya kena seruduk dan jatuh nyungsep ke sawah. Mukanya belepotan lumpur. "Sudah, Bryan!" sergah Abah yang duduk beristirahat di dangau. "Kasihan anakku!" Ajaib. Kerbau berhenti mengejar dan duduk santai di lumpur. Abah kelihatan berwibawa di hadapan binatang itu, namun receh dalam kehidupan. Ia sudi bersusah payah mengolah lahan untuk mencari sesuap nasi, padahal bisa ongkang-ongkang kaki jika mengambil sebagian harta yang diberikan pada Erlangga. "Ada satu pertanyaan mengganjal di hatiku," kata Cakra selesai membersihkan tubuh di pancuran, duduk di sisi ayahnya. "Mengapa Paman Wiku yang terpilih mewakili generasi ketujuh? Apa ia lebih ganteng dari Abah?" "Aku bangsa manusia," sahut Abah. "Jadi tidak tahu kriteria calon suami untuk puteri kerajaan dari bangsa Incubus." "Susah banget mengakui kalau Abah lebih jelek dari Paman Wiku." "Berani kau menghina ayahmu." "Maka itu tetangga menyebutku kid slebew lantaran kurang ajar, konyol, slengean...." "Aku adalah ayahmu." "Yang bilang bapaknya kerbau siapa?" "Aku membawamu sejak lahir ke kampung ini untuk menyelamatkanmu dari perjanjian leluhur, bukan untuk meledekku di saat besar." Barangkali hanya kerbau yang percaya kisah takhayul itu, sebab di sawah cuma ada mereka bertiga. Cakra jadi ingin pergi ke kota untuk menyelidiki Erlangga. Ia curiga cerita ini berasal dari keluarga mereka sehingga Abah terperdaya! "Kesalahan besar kalau kamu tidak mempercayai cerita ini," ujar Abah. "Penjemputan calon terpilih sudah terjadi di setiap generasi." "Kesalahan terbesarku adalah lahir dari keluarga takhayul sehingga tercipta kisah takhayul." Cakra jadi penasaran untuk menunggu purnama tiba. Ia berharap utusan itu benar-benar datang dan akan dimintai bantuan untuk bikin surat sakti agar diterima kerja! "Jangan anggap bercanda cerita ini, anakku," tegur Abah dengan wajah muram. "Aku sudah berkorban segalanya untuk mempertahankan dirimu." Cakra tidak bercanda, ia tidak percaya!Ratu Purbasari tampak murung memandang cermin besar di sudut kamar. Cermin ajaib itu terlihat kosong tidak memberi petunjuk apapun. Ia kuatir Cermin Mustika murka karena situasi kerajaan sedikit kacau dengan adanya pemberontakan di wilayah barat. Negeri gemah ripah loh jinawi terkotori oleh tangan-tangan serakah. "Kekacauan terjadi bukan karena kesalahan kerajaan," hibur Pangeran Wikudara. "Ketamakan Tapak Mega untuk memisahkan wilayah barat membuat rakyat tercekam. Jadi tidak ada alasan Cermin Mustika murka kepada dinda." "Besok malam adalah purnama yang dijanjikan," keluh Ratu Purbasari. "Tanggal 23 kliwon adalah hari leluhur kita bersumpah di altar kehidupan." "Dengan demikian pemuda itu sudah genap berusia 23 tahun," kata Pangeran Wikudara sambil duduk di kursi bertahtakan permata. "Apakah peristiwa seperti ini pernah terjadi sebelumnya di jaman mendiang ibu suri?" "Belum pernah," sahut Ratu Purbasari dengan wajah mendung. "Cermin Mustika biasanya memberi kabar setiap perkemba
"Ayo segera siap-siap," kata Ambu sambil masuk ke kamar Cakra. "Sebentar lagi perlombaan galah asin dimulai." Galah asin adalah permainan tradisional yang dimainkan tiga sampai lima orang. Biasa dilombakan pada saat bulan purnama. "Kita hidup di abad berapa, Ambu?" Cakra menatap ibunya tanpa gairah. "Orang sudah bolak-balik ke bulan, kita masih berkutat di abad kegelapan." "Permainan galah asin adalah identitas kampung." "Tidak ada identitas yang lebih bergengsi?" sindir Jaka. Ambu memandang heran. "Ada apa denganmu? Biasanya tiap purnama main galah asin sampai larut malam." "Malam ini aku mau menghadiri ulang tahun pacarku." "Sudahlah, lupakan Priscillia. Ia tidak cocok untukmu." "Orang tuanya juga ngomong begitu," sahut Cakra keki. "Kalau cinta sudah berkibar, apa bisa berhenti?" Larangan itu muncul lantaran ia anak petani miskin. Puteri hartawan secantik Priscillia turun derajat kalau naik motor butut, padahal mereka yang merasakan bahagia itu. Mereka tidak peduli tahta dan
"Hati-hati," pesan Abah ketika Cakra pamit pergi. "Lekas pulang kalau acara sudah selesai." "Ya." Abah curiga melihat sopir taksi demikian gagah dan berpenampilan rapi. Agak janggal mengenakan kacamata hitam malam-malam begini. Barangkali ingin menutupi mata dari pemandangan kampung yang menjemukan. Kebanyakan warga yang duduk-duduk di beranda berusia lanjut. Sopir itu duduk menunggu dengan sabar di belakang kemudi. "Perasaanku agak lain sama sopir itu," kata Abah. "Benar kan taksi ini yang di booking Priscillia?" "Benar," sahut Cakra. "Nomor polisinya cocok dengan nomor yang dikirim." "Sopirnya membuat Abah ragu." "Keren banget ya?" "Jangan-jangan bunian." Bunian adalah makhluk astral yang suka menampakkan diri dalam paras rupawan. Mereka kadang menjadi bagian dari komunitas manusia dan menjalankan aktivitas sebagaimana biasa. Misinya merayu manusia ikut ke negerinya yang sangat indah sehingga lupa untuk pulang. "Abah ini ada-ada saja." Cakra tersenyum. "Memangnya sopir tak
"Giliran ditunggu-tunggu tidak muncul," keluh Fredy kecewa. "Atau semua itu omong kosong?" Cerita penduduk tentang keangkeran hutan bunian ternyata mitos belaka. Mereka melewati hutan itu dengan lancar, tanpa ada makhluk yang memberhentikan mobil untuk menumpang ke kota atau sekedar tebar pesona. Barangkali tidak ada bunian yang tertarik sehingga enggan menampakkan diri. Mereka tahu yang mengendarai mobil adalah Fredy, seorang pemuda yang berharap dapat bercinta dengan makhluk selain manusia. Malam Jumat kliwon adalah malam di mana mereka seharusnya muncul. Penduduk sampai tidak ada yang berani lewat setelah hari gelap, saking santernya cerita itu. "Mereka ngeri melihatmu," ujar Cakra. "Jadi tidak berani muncul." "Wajahku seram ya?" "Kelewat keren. Jadi mereka tidak percaya kalau kamu manusia." "Aku tahu kamu lagi bicara tentang diri sendiri. Kamu tidak pantas jadi anak petani." Aku bukan anak petani, sahut Jaka dalam hati. Aku anak saudagar kaya yang hartanya disedekahkan pada
Taksi meluncur keluar dari basement dan berhenti mendadak di pelataran lobi hotel. Cakra yang duduk bersandar ke pagar lobi menengok. Kaca jendela taksi terbuka dan muncul kepala Fredy seraya berteriak, "Cepetan naik! Kita harus segera pergi!" "Aku menunggu acara selesai," sahut Cakra santai. "Sebentar lagi Priscillia keluar." Ia tidak mau pulang sebelum pacarnya muncul. Priscillia pasti kecewa. "Aku sudah ngomong sama pacarmu!" seru Fredy. "Ia minta kamu untuk segera pergi!" Cakra terpaksa menghampiri dan masuk ke mobil. Belum juga ia sempat memasang sabuk pengaman, taksi sudah melesat separuh terbang meninggalkan pelataran lobi. Fredy mengendarai taksi dengan gila-gilaan. Melalap habis kendaraan yang memadati jalan raya. Sulit merangsek maju lewat jalur kanan, menyalip lewat jalur lambat. Masa bodoh dengan bunyi klakson yang terdengar sengit dari mobil lain. "Kamu nyopir kayak dikejar setan," keluh Cakra. "Kalau begini caranya, bukan segera sampai ke rumah, tapi mampir di ruma
Mereka berhenti mendorong taksi setelah tiba di pinggir jalan sehingga tidak mengganggu lalu lalang kendaraan, jika ada. Malam begini kemungkinan kecil kendaraan berani lewat. "Perlu bantuan apa lagi?" tanya Cakra. "Asal jangan minta pijat plus plus." "Sudah pergi sana," jawab Fredy. "Jangan iri kalau cover girl bunian mengajakku kencan." "Aku pulang dulu ya. Hati-hati." "Kamu juga." "Bunian kayaknya berani muncul kalau kita pisah, ia tidak bingung pilih yang mana. Ada yang lebih ganteng tapi kere." "Semoga ia mendatangi aku, lumayan buat menghangatkan badan." Fredy duduk beristirahat di kabin. Cukup menguras tenaga juga mendorong mobil ke sisi jalan. Apes sekali ia malam ini, pertama kali jadi sopir taksi ban kempes di tengah hutan. Cakra sebenarnya tidak tega meninggalkan Fredy sendirian. Ia merasa tenang karena di hutan bunian tidak pernah terdengar ada perampokan. Barangkali keangkeran hutan ini membuat nyali mereka ciut. Cakra terpaksa pulang jalan kaki. Jarak tempuh ke
Ratu Purbasari terbangun dari tidurnya. Ia beranjak turun dari pembaringan. Biasanya ada petunjuk penting di Cermin Mustika jika ia terjaga secara mendadak. Kakinya segera melangkah ke cermin ajaib untuk mengetahui apa yang terjadi. Mungkinkah pemberontak itu berhasil menguasai wilayah barat padahal sudah dikirim beberapa ratus prajurit tambahan? Ratu Purbasari terkejut bercampur bahagia manakala di cermin terpampang seorang pemuda yang duduk bersandar di kursi taksi seperti kebingungan. Tapi mengapa ia membawa teman? Pasti bukan menunggu dijemput! Ratu Purbasari sebenarnya ingin menggunakan Sambung Kalbu untuk menghubungi Mahameru karena lebih praktis, tapi kuatir mahapatih berada di keramaian sehingga mengundang kecurigaan manusia. Ia terpaksa berkomunikasi lewat gadget. "Kau berada di mana?" tanya Purbasari setelah tersambung. "Patik baru saja masuk ke sebuah diskotik." Terdengar suara Mahameru di speaker gadget. "Lagi mengamati pengunjung berjoget." "Calon terpilih terjebak d
Fredy mengemudikan taksi dengan kencang. Taksi meluncur mulus di jalan raya seolah semua ban normal. Kecepatan ditambah, mobil tidak mengalami guncangan sedikit pun, padahal melewati jalan berlubang. "Aku sempat lihat sebelum berangkat ban masih kempes," cetus Fredy heran. "Keanehan apa lagi ini?" "Keanehan apapun kalau menyenangkan patut kita syukuri," kata Cakra. "Jadi jalan saja terus." Ia tidak peduli dengan segala keanehan yang terjadi. Yang penting cepat sampai di rumah. Malam sudah menjelang fajar. Abah dan Ambu pasti gelisah menunggu. Sangkaan mereka, ia pasti dijemput utusan kerajaan, padahal terjebak di hutan sialan ini. "Mobil jalan kan?" tanya Fredy. "Terbang juga boleh." "Maksudnya tidak bergerak di tempat." "Kamu lihat pepohonan terlewati, berarti taksi tidak bergerak di tempat." "Kamu tidak merasakan sesuatu yang ganjil?" "Nikmati saja keganjilan ini. Jangan banyak berpikir." Cakra sudah lelah memikirkan kejadian malam ini. Mereka banyak mengalami peristiwa yan