Beranda / Romansa / Perjanjian Leluhur / 01. Benci Orang Miskin

Share

Perjanjian Leluhur
Perjanjian Leluhur
Penulis: Enday Hidayat

01. Benci Orang Miskin

"Capek banget!"

Cakra duduk menggelosor di bawah pohon jengkol dengan nafas tersengal-sengal.

Ia biasa menggunakan ballpoint untuk menulis di atas kertas, pada saat menggunakan cangkul untuk bekerja di atas lahan tentu saja ia keteteran.

"Sekarang kau merasakan perjuangan mencari sesuap nasi itu sangat berat!"

Abah tertawa melihat anaknya sangat kepayahan, padahal baru sebentar bekerja.

Abah adalah petani kecil, tinggal di rumah bilik di kaki gunung, dengan beberapa tetangga bernasib sama.

Bedanya petani ini mampu menelurkan anak jadi sarjana. Wisuda bulan kemarin adalah pengukuhan Cakra jadi seorang pengangguran.

Cakra sudah melayangkan lamaran ke beberapa kantor perusahaan di kota, tapi belum ada panggilan. Untuk sementara, ia mencangkul di ladang membantu ayahnya.

Abah satu-satunya warga kampung yang bahagia jadi orang miskin. Hidup dalam keterbatasan membuatnya nyaman. Sungguh orang tua aneh, sebab durhaka untuk disebut gila.

"Cita-cita Abah akhirnya kesampaian," kata Ambu suatu kali. "Hidup tenang jadi orang miskin."

"Jadi orang miskin kok tenang?" protes Cakra. "Aku benci tiap hari makan petai."

"Kau bisa makan jengkol kalau tidak suka petai."

"Sama saja! Baunya sekompleks!"

Konon Abah keturunan bangsawan. Ia seorang saudagar kaya raya. Hartanya dihibahkan ke orang kepercayaan sejak Cakra lahir, dan memilih tinggal di kaki gunung.

Cerita ini membuat Cakra menyesal lahir ke dunia.

"Abah itu sangat sayang padamu," ujar Ambu melihat muka Cakra dilipat kayak kardus bekas. "Maka itu Abah menyerahkan hartanya pada Erlangga. Ia memilih tinggal di kampung jadi petani sederhana."

"Sayang sama anak bukan begitu," bantah Cakra. "Abah membuat anak sengsara seumur-umur."

"Masa depanmu makin suram kalau bergelimang harta."

Ucapan itu terdengar aneh di telinga Cakra. Orang banyak harta masa depannya pasti cemerlang. Kekayaan adalah jaminan nomor satu, tanpa harta masalah gampang datang.

Ambu kebanyakan makan ubi bakar sehingga otaknya sulit berpikir jernih.

"Kamu tidak tahu apa yang dikhawatirkan orang tuamu," ucap Ambu dengan wajah berkabut. "Apalah artinya harta kalau kami mesti kehilangan anak satu-satunya."

Cakra makin bingung. Ia curiga Abah memperoleh harta lewat pesugihan, maka itu disedekahkan agar anaknya tidak jadi tumbal. Pesugihan apa kredit rumah bisa over alih?

"Kau adalah turunan kedelapan dari Raden Mas Arya Bimantara." Ambu memandang anaknya dengan sinar mata menabur misteri. "Leluhurmu itu mengadakan perjanjian dengan penguasa kerajaan di tatar selatan Sunda...."

Kemudian mengalir cerita turun-temurun pada abad empat belas lampau.

Raden Mas Arya Bimantara adalah bangsawan terkemuka di jaman Kerajaan Sunda.

Alkisah, ia ikut rombongan Prabu Linggabuana mengantarkan puteri Dyah Pitaloka Citraresmi untuk dinikahkan dengan raja Majapahit. Rombongan diterima di pesanggrahan Bubat.

Gajah Mada mendesak raja Majapahit untuk menerima puteri mahkota sebagai upeti, bukan calon permaisuri. Sebelum Hayam Wuruk mengeluarkan titah, mahapatih Majapahit telah mengerahkan pasukan ke pesanggrahan Bubat.

Raja Sunda merasa terhina dan memutuskan untuk melawan meski membawa prajurit sedikit.

Rombongan Prabu Linggabuana dikabarkan tewas semua, termasuk Dyah Pitaloka yang memilih mengakhiri hidup dengan menancapkan tusuk konde ke jantung.

Raden Mas Arya Bimantara berhasil diselamatkan Nyi Ratu Suri, penguasa kerajaan tatar selatan. Sejak itu ia berikrar untuk mempererat hubungan antar keturunan mereka, di mana dalam setiap generasi ada pasangan terpilih untuk menjadi suami istri.

Pada generasi kedelapan, Cakra terpilih untuk mewakili klan Bimantara.

"Ambu tahu dari mana kalau aku calon terpilih?" tanya Cakra di akhir dongeng ibunya.

"Kamu satu-satunya lelaki dari generasi kedelapan klan Bimantara," jawab Ambu.

"Lalu apa hubungannya dengan harta yang dihibahkan sama Erlangga?" selidik Cakra ingin tahu. "Beruntung sekali orang itu."

Erlangga pasti hidup enak, dikelilingi perempuan dengan minuman anggur terkenal dari Perancis.

"Abah bertanya pada orang pintar bagaimana mengelabui perjanjian itu, katanya Abah harus merubah nasib jadi orang miskin. Dengan begitu kau lolos dari perjanjian leluhur."

"Pasti ada konspirasi," kata Cakra curiga. "Paranormal itu pasti orangnya Erlangga."

"Kita lihat saja, apakah ada yang menjemputmu?"

"Siapa yang sudi menjemputku? Bryan saja benci melihat cowok miskin. Hampir tiap hari aku diseruduk."

Bryan adalah kerbau semata wayang untuk membajak sawah, sahabat pemarah setiap kali mendengar keluh kesahnya.

Cakra sebenarnya mau unfriend, tapi tidak punya teman lagi di dunia ini. Ada pacar satu, namanya Priscillia, tapi tidak direstui orang tua karena perbedaan kasta.

"Kalau sudah tiba waktunya, utusan kerajaan datang di malam purnama untuk menjemput calon terpilih. Seperti yang terjadi pada Paman Wikudara, klan generasi ketujuh. Ia dijemput empat orang berpakaian dandy dengan modus mengajak dinner. Sejak itu ia tidak pernah kembali lagi."

"Tahunya utusan kerajaan dari mana?" tanya Cakra. "Bisa saja Paman Wiku diculik orang suruhan kompetitor bisnisnya."

"Kejadiannya begitu di setiap generasi," jawab Ambu. "Aku tahu dari nenekmu sebelum meninggal."

Cakra selaku kid jaman now tidak percaya dengan cerita turun-temurun itu. Yang jelas, memberikan harta secara cuma-cuma pada orang lain adalah sebuah kebodohan. Jaman now banyak terjadi pertumpahan darah cuma gara-gara uang receh.

"Aku curiga orang tuaku mengarang cerita agar aku tidak kecewa dengan namaku," keluh Cakra sambil mengusap tanduk kerbau. "Cakra Agusti Bimantara, nama itu terlalu mewah untuk orang miskin. Bagaimana menurutmu, Bryan?"

Kerbau melenguh keras sehingga lidahnya terlihat dan menanduk Cakra. Pemuda yang berjongkok di pematang itu spontan jatuh terjengkang ke sawah.

"Kau juga ternyata tidak setuju," gerutu Cakra seraya membersihkan tubuh yang belepotan lumpur. "Namaku diganti saja jadi Cakra...duh gusti blangsak tiara tara!"

Kerbau kembali menerjang. Cakra lagi-lagi jatuh terduduk di lumpur.

"Kau benci aku ngomong blangsak, Bryan?" geram Cakra keki. "Kau benci aku jadi orang miskin? Aku juga benci!"

Kerbau menundukkan kepala siap-siap menyeruduk lagi. Cakra bangkit dan berlari menghindar. Binatang itu mengejar. Bokongnya kena seruduk dan jatuh nyungsep ke sawah. Mukanya belepotan lumpur.

"Sudah, Bryan!" sergah Abah yang duduk beristirahat di dangau. "Kasihan anakku!"

Ajaib. Kerbau berhenti mengejar dan duduk santai di lumpur. Abah kelihatan berwibawa di hadapan binatang itu, namun receh dalam kehidupan. Ia sudi bersusah payah mengolah lahan untuk mencari sesuap nasi, padahal bisa ongkang-ongkang kaki jika mengambil sebagian harta yang diberikan pada Erlangga.

"Ada satu pertanyaan mengganjal di hatiku," kata Cakra selesai membersihkan tubuh di pancuran, duduk di sisi ayahnya. "Mengapa Paman Wiku yang terpilih mewakili generasi ketujuh? Apa ia lebih ganteng dari Abah?"

"Aku bangsa manusia," sahut Abah. "Jadi tidak tahu kriteria calon suami untuk puteri kerajaan dari bangsa Incubus."

"Susah banget mengakui kalau Abah lebih jelek dari Paman Wiku."

"Berani kau menghina ayahmu."

"Maka itu tetangga menyebutku kid slebew lantaran kurang ajar, konyol, slengean...."

"Aku adalah ayahmu."

"Yang bilang bapaknya kerbau siapa?"

"Aku membawamu sejak lahir ke kampung ini untuk menyelamatkanmu dari perjanjian leluhur, bukan untuk meledekku di saat besar."

Barangkali hanya kerbau yang percaya kisah takhayul itu, sebab di sawah cuma ada mereka bertiga.

Cakra jadi ingin pergi ke kota untuk menyelidiki Erlangga. Ia curiga cerita ini berasal dari keluarga mereka sehingga Abah terperdaya!

"Kesalahan besar kalau kamu tidak mempercayai cerita ini," ujar Abah. "Penjemputan calon terpilih sudah terjadi di setiap generasi."

"Kesalahan terbesarku adalah lahir dari keluarga takhayul sehingga tercipta kisah takhayul."

Cakra jadi penasaran untuk menunggu purnama tiba. Ia berharap utusan itu benar-benar datang dan akan dimintai bantuan untuk bikin surat sakti agar diterima kerja!

"Jangan anggap bercanda cerita ini, anakku," tegur Abah dengan wajah muram. "Aku sudah berkorban segalanya untuk mempertahankan dirimu."

Cakra tidak bercanda, ia tidak percaya!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sofya Bowta
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status