"Giliran ditunggu-tunggu tidak muncul," keluh Fredy kecewa. "Atau semua itu omong kosong?"
Cerita penduduk tentang keangkeran hutan bunian ternyata mitos belaka. Mereka melewati hutan itu dengan lancar, tanpa ada makhluk yang memberhentikan mobil untuk menumpang ke kota atau sekedar tebar pesona. Barangkali tidak ada bunian yang tertarik sehingga enggan menampakkan diri. Mereka tahu yang mengendarai mobil adalah Fredy, seorang pemuda yang berharap dapat bercinta dengan makhluk selain manusia. Malam Jumat kliwon adalah malam di mana mereka seharusnya muncul. Penduduk sampai tidak ada yang berani lewat setelah hari gelap, saking santernya cerita itu. "Mereka ngeri melihatmu," ujar Cakra. "Jadi tidak berani muncul." "Wajahku seram ya?" "Kelewat keren. Jadi mereka tidak percaya kalau kamu manusia." "Aku tahu kamu lagi bicara tentang diri sendiri. Kamu tidak pantas jadi anak petani." Aku bukan anak petani, sahut Jaka dalam hati. Aku anak saudagar kaya yang hartanya disedekahkan pada ayahmu untuk menghindari perjanjian leluhur. Tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya karena kamu tidak tahu apa-apa. Mereka adalah dua anak muda yang memiliki kepribadian berbeda. Cakra tidak takut bertemu dengan makhluk bunian tapi bukan untuk bercinta, sementara Fredy sudah terobsesi semenjak dewasa, bahkan menunggu kedatangan utusan kerajaan untuk menjemput. Maka itu ia berpakaian seperti pangeran. Cakra berpakaian ala putera mahkota karena dibelikan Priscillia model begitu. Jadi tidak ada pilihan. Ia tidak mungkin mengenakan pakaian yang ada di rumah, pesta ulang tahun pacarnya dihadiri kalangan borjuis. "Sejujurnya pesonamu tidak bisa disembunyikan dengan memanggul pacul," puji Ambu selesai berdandan tadi. "Mutiara tidak hilang kilaunya meski mandi lumpur." "Jadi keinginan Ambu membuat aku jelek gagal malam ini." "Aku ingin anakku terlepas dari perjanjian." Ambu seharusnya bangga mempunyai menantu puteri kerajaan. Kehidupan keluarga Paman Wikudara meningkat pesat sejak terpilih jadi sang pangeran. Kepergiannya membawa berkah. Tapi Ambu lebih baik kehilangan semua harta daripada kehilangan anak semata wayang. Cakra sebenarnya memiliki dua adik, tapi mereka meninggal waktu usia lima dan enam tahun. Barangkali orang tuanya trauma untuk mempunyai anak lagi. Kematian itu tidak perlu terjadi andai mereka tidak meninggalkan kota dan harta. Penanganan dokter jauh lebih memberi harapan ketimbang dukun beranak. Kelap-kelip lampu yang membingkai nama hotel menyambut kedatangan mereka di pelataran lobi. Cakra turun dari dalam taksi, kemudian taksi melaju lagi menuju ke tempat parkir di basement. Penerima tamu menuruni anak tangga lobi dengan langkah gemulai. Cakra kira dua perempuan cantik itu datang untuk menyambutnya, ia bersiap-siap, ternyata mereka lewat begitu saja. Sebuah mobil mewah keluaran terbaru berhenti di pelataran. Sopir segera keluar dan membukakan pintu belakang. Seorang pria berpenampilan gagah turun dari dalam mobil. Gadis cantik itu ternyata tidak tertipu oleh casing. Mereka tahu mana orang miss queen dan mana crazy rich. Senyum dan rasa hormatnya seakan bermata. Semua orang mengira pria itu adalah bangsawan terkemuka di kota ini, padahal utusan kerajaan yang menyamar. Mahameru berjalan dikawal tiga prajurit pilihan; Brajaseta, Artasena, dan Linungga. Mereka adalah komandan pasukan pengawal istana. Utusan kerajaan itu mendapat kabar para bangsawan kota berkumpul di hotel bintang lima ini. Klan Bimantara juga hadir. Calon pangeran pasti ada di antara tamu undangan. Malam ini mereka harus berhasil menjalankan titah baginda ratu. Padahal orang yang dicari ada di depan mata, bahkan tersenggol oleh Mahameru. Pria itu tidak berusaha untuk minta maaf. Arogan sekali. Ia menaiki anak tangga lobi dengan gaya bangsawan nomor satu di kota ini. Cakra jadi keki. Ia menyentuh bahu Linungga yang berjalan paling belakang, dan berkata, "Bro, bosmu saudagar barang pecah belah ya?" "Kok tahu?" "Mukanya kaku kayak tempayan." Mahameru tidak terpancing. Ia tahu bangsa manusia hobi bullying, sesuatu yang sangat tabu di kerajaan, bisa perang antar suku. Hobi yang lagi trending di negerinya adalah mancing mania dengan caddy cantik. Brajaseta yang temperamental datang menghampiri, dan bertanya, "Anda ngomong apa tadi?" Cakra menjawab tanpa rasa takut sedikit pun, ilmu bela diri klan Bimantara cukup untuk menghadapi cecunguk macam begini, "Muka bos kalian hancur kayak tempayan pecah." "Apa itu tempayan?" Cakra mengusap-usap kepala, sambil menggerutu, "Kalian manusia apa jin tidak tahu tempayan?" Cakra bengong melihat mereka pergi meninggalkannya. Baru kali ini bangsawan tidak tersinggung dibilang jin. Padahal ia sudah siap-siap minta maaf dengan alasan khilaf. Mahameru dan ketiga pengawalnya dipersilakan masuk dengan ramah oleh security yang berjaga di pintu. Giliran Cakra hendak masuk, pria berpakaian ala polisi itu menahannya. "Maaf," kata security. "Anda tidak boleh masuk." Cakra kaget. "Loh kenapa? Saya bawa kartu undangan." "Saya hanya menjalankan tugas. Tolong hargai saya." "Anda mestinya hargai saya," balik Cakra kesal. "Saya ini pacar gadis yang merayakan ulang tahun." "Saya cuma menjalankan perintah." "Perintah siapa?" "Aku," jawab Dirgantara sambil muncul di pintu dengan wajah angker. Beliau adalah papi Priscillia. "Kau tidak layak ada di pesta anakku." Cakra jadi mati gaya. Ia sebetulnya ingin menghindari pertemuan dengan pria itu. Gonggongannya bikin panas kuping. Dirgantara sengaja memelihara beberapa herder untuk memburunya jika nekat berkunjung ke rumah. Maka itu Cakra menyebutnya komandan herder. "Tidak tahu malu datang ke pesta dengan baju dari anakku," dengus Dirgantara sinis. "Jadi sopirnya saja tidak pantas." Pria itu juga menggaji beberapa herder untuk mengintai gerak-gerik mereka. Priscillia sudah sembunyi-sembunyi order baju di butik dan dikirim lewat paket, tapi masih terendus juga. "Saya sebenarnya tidak tertarik menghadiri pesta puteri bapak," kata Cakra mencoba menahan malu dari jilatan mata tamu yang hendak masuk. "Priscillia memaksa saya untuk datang." "Dan aku memaksa kamu untuk pergi!" Setiap perlakuan Dirgantara sangat menyinggung harga diri. Ia pasti sudah mengabsen penghuni kebun binatang kalau bukan di tempat umum. Cinta berbeda kasta sungguh berat perjuangannya. "Apa yang membuatmu masih berdiri di situ?" hardik Dirgantara. "Lekas pergi!" Priscillia muncul dari dalam dan menegur ayahnya, "Papi apa-apaan sih? Bikin malu saja." "Kamu bikin malu," sergah Dirgantara. "Anak gembel diundang. Kamu sudah merendahkan tamu lain." "Ini pestaku! Aku berhak mengundang siapa yang kumau!" "Kalau bicara soal hak, maka kamu juga harus bicara hak orang yang membayar semua ini." "Baik! Silakan Papi berpesta sama teman-teman Papi! Aku pergi!" Lalu Priscillia mengajak Cakra untuk meninggalkan hotel. "Kita rayakan berdua di tempat lain." Cakra menolak, "Tempatmu di sini." "Di sini kamu cuma dapat hinaan!" "Karena tempatku bukan di hotel berbintang." "Maka itu kita pergi." Cakra memandangnya dengan lembut. "Kamu masih cinta aku?" "Buat apa kamu tanya itu?" "Kamu lanjutkan pestamu, biarkan aku pulang." Mata Priscillia berkaca-kaca. "Kamu jangan pulang." "Ya sudah aku tunggu di luar." Cakra menyerahkan buket bunga yang dipegangnya. "Happy birthday, god bless you." "Terima kasih." Priscillia mengecup kuntum bunga dengan haru. "Kamu petik di halaman rumah ya?" "Aku tidak cukup uang untuk membelinya." Dirgantara kelihatan sangat muak mendengar obrolan mereka. "Masuklah," pinta Cakra. "Bersenang-senanglah di dalam." Priscillia belum beranjak juga dari tempatnya. Ia memandang kekasihnya dengan air mata mengalir pedih. Dirgantara kehilangan sabar. Ia menarik puterinya masuk ke ruang lobi. "Acara segera dimulai." Cakra memberi isyarat agar jangan membantah. Priscillia pergi dengan berat hati. Tamu undangan membuntuti mereka. Tinggallah Cakra sendiri terduduk lemas di pagar lobi merenungi nasib. Mahameru keluar dari lobi dan duduk di sisinya, kemudian berkomentar, "Purnama tertutup mega seakan bersedih melihat seorang lelaki tercampakan." "Lumayan puitis juga." Cakra tersenyum kecut. "Aku kira orang kaku macam Anda tidak punya kata-kata manis." "Aku bisa membawamu masuk sebagai tamuku." "Pasti ada syaratnya." "Aku sudah tanya semua tamu yang ada di dalam, tidak ada yang tahu orang yang kucari. Tinggal kamu belum ditanya. Apa kamu pernah dengar orang yang bernama Cakra Agusti Bimantara?" "Aku sendiri." Mahameru terdiam sejenak, kemudian berkata, "Purnama semakin bersedih." "Kenapa?" "Tampangmu kayak pangeran, sayang otakmu kayak keran ... bocor." Mahameru bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Cakra. "Sekalian saja bilang kalau kau kid slebew." "Itu sebutan tetanggaku."Taksi meluncur keluar dari basement dan berhenti mendadak di pelataran lobi hotel. Cakra yang duduk bersandar ke pagar lobi menengok. Kaca jendela taksi terbuka dan muncul kepala Fredy seraya berteriak, "Cepetan naik! Kita harus segera pergi!" "Aku menunggu acara selesai," sahut Cakra santai. "Sebentar lagi Priscillia keluar." Ia tidak mau pulang sebelum pacarnya muncul. Priscillia pasti kecewa. "Aku sudah ngomong sama pacarmu!" seru Fredy. "Ia minta kamu untuk segera pergi!" Cakra terpaksa menghampiri dan masuk ke mobil. Belum juga ia sempat memasang sabuk pengaman, taksi sudah melesat separuh terbang meninggalkan pelataran lobi. Fredy mengendarai taksi dengan gila-gilaan. Melalap habis kendaraan yang memadati jalan raya. Sulit merangsek maju lewat jalur kanan, menyalip lewat jalur lambat. Masa bodoh dengan bunyi klakson yang terdengar sengit dari mobil lain. "Kamu nyopir kayak dikejar setan," keluh Cakra. "Kalau begini caranya, bukan segera sampai ke rumah, tapi mampir di ruma
Mereka berhenti mendorong taksi setelah tiba di pinggir jalan sehingga tidak mengganggu lalu lalang kendaraan, jika ada. Malam begini kemungkinan kecil kendaraan berani lewat. "Perlu bantuan apa lagi?" tanya Cakra. "Asal jangan minta pijat plus plus." "Sudah pergi sana," jawab Fredy. "Jangan iri kalau cover girl bunian mengajakku kencan." "Aku pulang dulu ya. Hati-hati." "Kamu juga." "Bunian kayaknya berani muncul kalau kita pisah, ia tidak bingung pilih yang mana. Ada yang lebih ganteng tapi kere." "Semoga ia mendatangi aku, lumayan buat menghangatkan badan." Fredy duduk beristirahat di kabin. Cukup menguras tenaga juga mendorong mobil ke sisi jalan. Apes sekali ia malam ini, pertama kali jadi sopir taksi ban kempes di tengah hutan. Cakra sebenarnya tidak tega meninggalkan Fredy sendirian. Ia merasa tenang karena di hutan bunian tidak pernah terdengar ada perampokan. Barangkali keangkeran hutan ini membuat nyali mereka ciut. Cakra terpaksa pulang jalan kaki. Jarak tempuh ke
Ratu Purbasari terbangun dari tidurnya. Ia beranjak turun dari pembaringan. Biasanya ada petunjuk penting di Cermin Mustika jika ia terjaga secara mendadak. Kakinya segera melangkah ke cermin ajaib untuk mengetahui apa yang terjadi. Mungkinkah pemberontak itu berhasil menguasai wilayah barat padahal sudah dikirim beberapa ratus prajurit tambahan? Ratu Purbasari terkejut bercampur bahagia manakala di cermin terpampang seorang pemuda yang duduk bersandar di kursi taksi seperti kebingungan. Tapi mengapa ia membawa teman? Pasti bukan menunggu dijemput! Ratu Purbasari sebenarnya ingin menggunakan Sambung Kalbu untuk menghubungi Mahameru karena lebih praktis, tapi kuatir mahapatih berada di keramaian sehingga mengundang kecurigaan manusia. Ia terpaksa berkomunikasi lewat gadget. "Kau berada di mana?" tanya Purbasari setelah tersambung. "Patik baru saja masuk ke sebuah diskotik." Terdengar suara Mahameru di speaker gadget. "Lagi mengamati pengunjung berjoget." "Calon terpilih terjebak d
Fredy mengemudikan taksi dengan kencang. Taksi meluncur mulus di jalan raya seolah semua ban normal. Kecepatan ditambah, mobil tidak mengalami guncangan sedikit pun, padahal melewati jalan berlubang. "Aku sempat lihat sebelum berangkat ban masih kempes," cetus Fredy heran. "Keanehan apa lagi ini?" "Keanehan apapun kalau menyenangkan patut kita syukuri," kata Cakra. "Jadi jalan saja terus." Ia tidak peduli dengan segala keanehan yang terjadi. Yang penting cepat sampai di rumah. Malam sudah menjelang fajar. Abah dan Ambu pasti gelisah menunggu. Sangkaan mereka, ia pasti dijemput utusan kerajaan, padahal terjebak di hutan sialan ini. "Mobil jalan kan?" tanya Fredy. "Terbang juga boleh." "Maksudnya tidak bergerak di tempat." "Kamu lihat pepohonan terlewati, berarti taksi tidak bergerak di tempat." "Kamu tidak merasakan sesuatu yang ganjil?" "Nikmati saja keganjilan ini. Jangan banyak berpikir." Cakra sudah lelah memikirkan kejadian malam ini. Mereka banyak mengalami peristiwa yan
Sebuah bangunan besar bertingkat terbuat dari kayu langka terlihat sangat indah dengan lampu lampion bermodel unik dan antik. Di pelataran depan terdapat pendopo memanjang dengan partisi untuk menambatkan kuda, saat itu sudah terisi penuh. Pondok Asmara, begitu pengunjung menyebut penginapan itu, warga menyebut Pondok Maksiat. Satu-satunya rumah bordir yang ada di wilayah barat. Di penginapan ini bukan hanya tersedia layanan kebutuhan batin, tamu bebas berjudi dan pesta tuak semalam suntuk, asal tidak membuat keributan. Jika ada yang berani berbuat onar, beberapa penjaga berilmu tinggi siap mengusir. Jadi pondok itu aman untuk tamu yang sekedar singgah buat mengisi perut atau beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh. Beberapa kamar disediakan untuk pengelana rimba, sebutan bagi tamu yang sekedar mampir buat makan atau menginap. Sementara untuk pengelana cinta tersedia banyak kamar yang di dalamnya dihuni perempuan cantik. Mereka tidak menjajakan rayuan, tapi menunggu di dalam
"Ternyata sampai juga," kata Fredy sambil membelokkan taksi memasuki pelataran Pondok Asmara. "Aku sangka kayak di hutan bunian, cuma bolak-balik." Fredy menghentikan taksi di depan pintu masuk. Malam sudah menjelang pagi. Suasana kelihatan sepi. Satu pun tidak ada makhluk yang lalu lalang. Mereka turun. "Kayaknya penginapan," komentar Cakra. "Banyak kuda tamu di pendopo." "Penginapan apa rumah hantu?" celoteh Fredy. "Sepi banget." "Mereka bangsa pemalas. Di kita jam segini sudah berkeliaran mencari rejeki." "Namanya penginapan untuk tempat beristirahat. Mereka pasti bangun siang. Di penginapan masa mencari rejeki?" "Banyak yang mencari rejeki di penginapan." "Rumah bordir maksudnya?" "Otakmu bawaannya ngeres saja. Penginapan itu tempat mencari rejeki bagi pegawainya." "Berarti benar bangsa pemalas. Pegawai jam segini belum bangun." "Untuk lebih jelasnya kita masuk. Siapa tahu tidak ada penerima tamu, atau tidak buka dua puluh empat jam." "Tunggu sebentar," ujar Fredy, lang
Kakek renta berbadan ceking muncul dari dalam penginapan dengan tergesa-gesa, di belakangnya mengejar perempuan gembrot mengenakan sarung dengan wajah kesal. "Jangan kabur perampok!" teriak perempuan itu. "Enak saja bilang aku perampok! Aku sudah merampok apa?" "Merampok diriku!" "Aku sudah bilang kantong uangku ketinggalan! Aku bayar nanti!" "Modus! Kantong kemenyan dibawa, masa kantong uang lupa?" "Kalau aku lupa bawa kantong kemenyan, terus aku ngamar pakai apa?" "Ada apa, Tongkat Bertuah?" tegur Iblis Cinta yang baru selesai memperbaiki penyok-penyok kecil pada taksi. "Pagi buta begini sudah bikin gaduh." "Tarif lontemu kemahalan," lapor Tongkat Bertuah. "Padahal perempuan sisa." "Kurang ajar! Minta dilayani tiga kali bilang perempuan sisa!" "Berapa bayaranmu, Cemani?" tanya Iblis Cinta. "Tiga keping emas." Iblis Cinta terkejut. "Mahal sekali!" "Untuk tiga ronde, tuanku." Iblis Cinta bertanya pada Tongkat Bertuah, "Kau merasa kemahalan sekeping emas untuk sekali main?
Cakra memiliki dua pilihan untuk keluar dari negeri ini, pergi ke mata air pengukuhan di istana atau mencari Ki Gendeng Sejagat. Dua-duanya adalah pilihan buruk. Pergi ke istana berarti ia harus menikah dengan puteri kerajaan dan mengkhianati cinta Priscillia. Sementara mencari pertapa sakti itu adalah perbuatan sia-sia. Ia sudah puluhan tahun menghilang dari dunia perkelahian. Namun semangatnya untuk mencari gerbang keluar tidak luntur. Ia sudah berjanji ke orang tuanya untuk segera pulang, dan ia tidak pernah ingkar janji. Lagi pula, tidak ada makhluk di jagad raya ini yang segala tahu meski berilmu tinggi. Iblis Cinta belum tentu sepenuhnya benar. Jadi mungkin saja ada jalan lain selain gerbang labirin. Kabar tentang kedatangan mereka sudah tersebar ke seluruh penghuni pondok, sehingga ketika ada tamu keluar dari sebuah kamar, wanita penghuni kamar itu meminta pelayan untuk segera menghubungi mereka seolah takut keduluan oleh temannya. "Apakah di antara kalian ada yang berkena