"Satu lagi yang perlu kau ketahui sebelum pergi," pesan Iblis Cinta. "Aku adalah bangsawan Asir, makhluk yang tidak peduli dengan urusan makhluk lain. Aku bisa melindungi dirimu kalau tinggal di Pondok Asmara karena siapapun tidak diijinkan untuk berbuat kegaduhan. Jadi ketika kau bermasalah di luar sana dan datang ke pondok ini, aku tidak bisa membantu." Cakra sudah duduk di punggung kuda siap-siap berangkat dengan perbekalan beberapa kantong keping perak dan emas. "Akan kuingat kata-katamu, Iblis Cinta," kata Cakra. "Sampai jumpa di duniaku." Cakra menghela kuda dan meninggalkan halaman Pondok Asmara. Ia pergi ke arah barat daya sesuai petunjuk Iblis Cinta, di wilayah itu hampir tidak ada kaum pemberontak. "Ia memilih jalan untuk sengsara demi baktinya pada orang tua," geleng Iblis Cinta. "Pengembaraan manusia di wilayah barat laksana kelinci di kandang serigala." "Betul, tuanku," ujar Nunggal Jati, kepala penjaga yang berdiri di sampingnya. "Aku berharap ia sampai dengan sela
Fredy memandang Mahameru dengan tidak percaya. "Bagaimana kau berani mengatakan temanku adalah calon pangeran yang sesungguhnya? Lalu kau anggap aku ini siapa? Aku ingin bertemu dengan baginda ratu! Kau sudah berbuat kesalahan besar!" "Klan yang disandangmu adalah klan pemberian Dwipa Agusti Bimantara. Ia mencoba mengelabui Cermin Mustika dengan menjadi petani dan menyerahkan seluruh hartanya kepada orang tuamu, sewaktu kamu masih bayi." Cerita itu sama persis dengan apa yang disampaikan Cakra. Mereka pasti bekerja sama untuk membelokkan sejarah! Semenjak kecil ia mempunyai nama Fredy Erlangga Agusti Bimantara, mengapa ketika dewasa tiba-tiba dipermasalahkan? "Keluarga kalian tidak tercatat dalam klan Bimantara. Orang tuamu rela memperdaya anaknya demi harta." "Kau mengada-ada! Aku curiga kau sudah bekerja sama dengan anak petani itu untuk memanipulasi fakta!" "Anak muda, tuduhanmu sangat tendensius," kata Mahameru menahan marah. "Jika kau dari bangsaku, kau pasti sudah dibuang
Iblis Cinta menatap pemuda yang turun dari kuda dengan tak percaya. Apakah dalam perantauan yang singkat itu sudah menjumpai masalah? Bukankah sudah dikatakan ia tidak dapat menolong? Cakra tersenyum melihat bangsawan Asir itu terbengong-bengong. "Ada apa, Iblis Cinta?" tanyanya. "Kau seperti melihat hantu saja, padahal hantu tidak ada di negeri ini." "Aku tidak bisa membantumu jika kau dalam masalah," sahut Iblis Cinta sambil memandang tajam pemuda yang berdiri di hadapannya. "Sebaiknya kau lekas pergi." "Aku datang sebagai nomaden bangsawan Asir. Kau menolak tamu yang singgah?" "Jadi kau datang bukan dikejar-kejar pemberontak?" "Aku datang karena strategi, bukan untuk minta bantuanmu. Jadi aku boleh masuk?" Iblis Cinta tertawa senang. "Tentu saja, aku terbuka menerima setiap tamu." Mereka masuk ke aula tamu. Cakra duduk menghadap sebuah meja kosong dan memanggil pelayan yang ada di sekitar. Pelayan laki-laki datang dan bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, tuan?" "Tolong se
Dewi Anjani duduk melamun di taman sari. Wajahnya kelihatan berkabut. Nirmala dan Gentong Ketawa datang dan duduk bersimpuh di hadapannya. "Tuan puteri sepertinya lagi bersedih," kata Nirmala. "Ada apa gerangan?" "Aku bermimpi lagi semalam, Bibi Nirmala," sahut Dewi Anjani. "Mimpi bertemu dengan kid slebew." "Lalu apa yang membuat tuan puteri bersedih?" tanya Gentong Ketawa. "Kemarin tetangga saya bersedih, hari ini wajahnya jadi jelek." "Kok bisa begitu, Paman Gentong?" "Soalnya kemarin wajahnya sudah jelek." Dewi Anjani tersenyum, lalu meminta pendapat pelayan berperut buncit itu, "Apakah aku sudah cantik?" "Tuan puteri sangat cantik," puji Gentong Ketawa. "Perempuan tercantik di seluruh wilayah kerajaan, bulan saja kalah bersinar." "Mengapa kid slebew tidak mau melihat wajahku kalau aku perempuan tercantik? Ia pergi meninggalkan aku sampai suaraku parau memanggilnya." "Kid slebew lagi memanggul pacul di pematang sawah?" tanya Gentong Ketawa. "Aku berjumpa dengan
Hutan itu begitu sedap dipandang. Pepohonan hijau tumbuh secara teratur. Aneka macam bunga bermekaran. Rumput pendek tampak rapi. Tidak ada daun mati tergeletak, seakan daun tak pernah tua dan gugur. "Kalau tidak ada makhluk yang dijumpai, kepada siapa aku bertanya?" keluh Cakra bingung, sambil memacu kuda cukup kencang. Cakra sudah cukup jauh memasuki hutan, tapi belum ada tanda-tanda akan berakhir. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah deretan pepohonan. Cakra tidak masalah jika kemalaman. Hutan ini cukup nyaman untuk beristirahat, tidak terlihat binatang melata dan binatang buas berkeliaran. Ia bisa tidur di atas rumput dengan aman. Matahari hampir tergelincir di ufuk ketika Cakra tiba di sebuah rumah mungil terbuat dari kayu. Ia heran menemukan rumah terpencil di tengah hutan. "Siapa pula yang sudi hidup menyendiri di dalam kesunyian alam?" gumam Cakra sambil menarik tali kekang sehingga kuda berhenti. Cakra mendengar ada suara anak kecil menangis dari dalam rumah. Ia
Cakra bangun pagi-pagi menjelang matahari menampakkan sinarnya. Ia nyenyak sekali tidur di balai kayu. Tidak ada nyamuk mengganggu seperti di kampungnya. Di sudut balai sudah tersedia kendi berisi air untuk minum dan cuci muka. Minarti muncul dari dalam rumah, dan berkata, "Saya sudah sediakan air untuk tuan." "Ibu baik sekali," puji Cakra sambil mengucurkan air kendi ke wajahnya. "Aku jadi tidak enak sudah merepotkan." "Saya tidak punya apa-apa lagi selain air," jawab Minarti. "Hanya itu yang dapat disuguhkan untuk pagi ini." Cakra menuangkan air kendi ke dalam mulut untuk berkumur-kumur, kemudian disemburkan, setelah itu menenggaknya. "Air ini menyegarkan," kata Jaka. "Suami ibu sudah pulang?" "Belum, tuan," sahut Minarti dengan air muka gelisah. "Saya kuatir terjadi apa-apa dengannya." Cakra tersenyum dan berusaha menghibur, "Perkampungan di barat daya aman, tidak ada gangguan pemberontak." Mereka jarang sekali berbuat kerusuhan di daerah itu. Prajurit kadipaten berjaga-jag
Cakra melambatkan lari kuda ketika di kejauhan terlihat gapura kampung. Ada dua prajurit berjaga di pos. Ia mulanya mau mengambil jalan yang tidak biasa, tapi kuatir penjaga curiga karena bangsawan Asir selalu mengambil jalan umum. Satu prajurit berbadan kekar keluar dari dalam pos sambil membawa tombak ketika Jaka memasuki gapura. Ia membentangkan tombak menghalangi jalan. Cakra menghentikan kuda, kemudian memberi hormat dengan menganggukkan kepala sedikit. "Aku adalah pengembara muda dari klan bangsawan Asir." "Tolong tunjukkan tanda pengenal tuan," pinta prajurit ramah. Cakra mengeluarkan pataka emas dari balik baju. Keping pengenal itu diperoleh dari Iblis Cinta. Prajurit memeriksa lambang khusus pada pataka emas, lalu dikembalikan ke pemiliknya sambil berkata, "Silakan tuan lanjutkan perjalanan." "Kalau boleh aku tahu, kampung apa ini namanya?" tanya Cakra sopan. Padahal di atas gapura tertulis besar-besar nama kampung ini dengan aksara kuno, tapi Cakra tidak mengerti. U
Cakra menghampiri tiga pendekar yang sedang melepas ikatan kuda mereka di depan kedai. Di wajah mereka terpancar kepuasan atas hidangan yang sangat lezat itu. "Ada apa anak muda?" tanya pendekar berbadan ceking melihat Cakra mendatanginya. Cakra tersenyum kecil. "Maaf, itu kuda saya." Pria separuh baya itu seolah baru sadar. "Oh iya, kuda ini sangat bagus. Maaf anak muda, aku hanya melihat warna, tapi bentuknya beda." "Tidak apa. Pendekar terpandang di kampung ini juga bisa silap." "Sudahlah. Jangan banyak basa-basi. Ada perlu apa denganku?" "Saya ingin berkelana ke negeri manusia." "Gampang sekali itu. Kau tinggal berendam di mata air pengukuhan, kemudian memilih satu dari empat gerbang yang hendak dituju. Aku kira bangsawan Asir akan melewati tes kepatutan dengan mudah karena terkenal cinta damai." "Aku sudah tahu kalau empat gerbang itu." "Lalu apa lagi yang kau mau tahu?" "Aku ingin bulan madu ke negeri manusia." "Wah, kalau itu susah mendapat ijin dari baginda ratu. Yan