Dewi Anjani duduk melamun di taman sari. Wajahnya kelihatan berkabut. Nirmala dan Gentong Ketawa datang dan duduk bersimpuh di hadapannya. "Tuan puteri sepertinya lagi bersedih," kata Nirmala. "Ada apa gerangan?" "Aku bermimpi lagi semalam, Bibi Nirmala," sahut Dewi Anjani. "Mimpi bertemu dengan kid slebew." "Lalu apa yang membuat tuan puteri bersedih?" tanya Gentong Ketawa. "Kemarin tetangga saya bersedih, hari ini wajahnya jadi jelek." "Kok bisa begitu, Paman Gentong?" "Soalnya kemarin wajahnya sudah jelek." Dewi Anjani tersenyum, lalu meminta pendapat pelayan berperut buncit itu, "Apakah aku sudah cantik?" "Tuan puteri sangat cantik," puji Gentong Ketawa. "Perempuan tercantik di seluruh wilayah kerajaan, bulan saja kalah bersinar." "Mengapa kid slebew tidak mau melihat wajahku kalau aku perempuan tercantik? Ia pergi meninggalkan aku sampai suaraku parau memanggilnya." "Kid slebew lagi memanggul pacul di pematang sawah?" tanya Gentong Ketawa. "Aku berjumpa dengan
Hutan itu begitu sedap dipandang. Pepohonan hijau tumbuh secara teratur. Aneka macam bunga bermekaran. Rumput pendek tampak rapi. Tidak ada daun mati tergeletak, seakan daun tak pernah tua dan gugur. "Kalau tidak ada makhluk yang dijumpai, kepada siapa aku bertanya?" keluh Cakra bingung, sambil memacu kuda cukup kencang. Cakra sudah cukup jauh memasuki hutan, tapi belum ada tanda-tanda akan berakhir. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah deretan pepohonan. Cakra tidak masalah jika kemalaman. Hutan ini cukup nyaman untuk beristirahat, tidak terlihat binatang melata dan binatang buas berkeliaran. Ia bisa tidur di atas rumput dengan aman. Matahari hampir tergelincir di ufuk ketika Cakra tiba di sebuah rumah mungil terbuat dari kayu. Ia heran menemukan rumah terpencil di tengah hutan. "Siapa pula yang sudi hidup menyendiri di dalam kesunyian alam?" gumam Cakra sambil menarik tali kekang sehingga kuda berhenti. Cakra mendengar ada suara anak kecil menangis dari dalam rumah. Ia
Cakra bangun pagi-pagi menjelang matahari menampakkan sinarnya. Ia nyenyak sekali tidur di balai kayu. Tidak ada nyamuk mengganggu seperti di kampungnya. Di sudut balai sudah tersedia kendi berisi air untuk minum dan cuci muka. Minarti muncul dari dalam rumah, dan berkata, "Saya sudah sediakan air untuk tuan." "Ibu baik sekali," puji Cakra sambil mengucurkan air kendi ke wajahnya. "Aku jadi tidak enak sudah merepotkan." "Saya tidak punya apa-apa lagi selain air," jawab Minarti. "Hanya itu yang dapat disuguhkan untuk pagi ini." Cakra menuangkan air kendi ke dalam mulut untuk berkumur-kumur, kemudian disemburkan, setelah itu menenggaknya. "Air ini menyegarkan," kata Jaka. "Suami ibu sudah pulang?" "Belum, tuan," sahut Minarti dengan air muka gelisah. "Saya kuatir terjadi apa-apa dengannya." Cakra tersenyum dan berusaha menghibur, "Perkampungan di barat daya aman, tidak ada gangguan pemberontak." Mereka jarang sekali berbuat kerusuhan di daerah itu. Prajurit kadipaten berjaga-jag
Cakra melambatkan lari kuda ketika di kejauhan terlihat gapura kampung. Ada dua prajurit berjaga di pos. Ia mulanya mau mengambil jalan yang tidak biasa, tapi kuatir penjaga curiga karena bangsawan Asir selalu mengambil jalan umum. Satu prajurit berbadan kekar keluar dari dalam pos sambil membawa tombak ketika Jaka memasuki gapura. Ia membentangkan tombak menghalangi jalan. Cakra menghentikan kuda, kemudian memberi hormat dengan menganggukkan kepala sedikit. "Aku adalah pengembara muda dari klan bangsawan Asir." "Tolong tunjukkan tanda pengenal tuan," pinta prajurit ramah. Cakra mengeluarkan pataka emas dari balik baju. Keping pengenal itu diperoleh dari Iblis Cinta. Prajurit memeriksa lambang khusus pada pataka emas, lalu dikembalikan ke pemiliknya sambil berkata, "Silakan tuan lanjutkan perjalanan." "Kalau boleh aku tahu, kampung apa ini namanya?" tanya Cakra sopan. Padahal di atas gapura tertulis besar-besar nama kampung ini dengan aksara kuno, tapi Cakra tidak mengerti. U
Cakra menghampiri tiga pendekar yang sedang melepas ikatan kuda mereka di depan kedai. Di wajah mereka terpancar kepuasan atas hidangan yang sangat lezat itu. "Ada apa anak muda?" tanya pendekar berbadan ceking melihat Cakra mendatanginya. Cakra tersenyum kecil. "Maaf, itu kuda saya." Pria separuh baya itu seolah baru sadar. "Oh iya, kuda ini sangat bagus. Maaf anak muda, aku hanya melihat warna, tapi bentuknya beda." "Tidak apa. Pendekar terpandang di kampung ini juga bisa silap." "Sudahlah. Jangan banyak basa-basi. Ada perlu apa denganku?" "Saya ingin berkelana ke negeri manusia." "Gampang sekali itu. Kau tinggal berendam di mata air pengukuhan, kemudian memilih satu dari empat gerbang yang hendak dituju. Aku kira bangsawan Asir akan melewati tes kepatutan dengan mudah karena terkenal cinta damai." "Aku sudah tahu kalau empat gerbang itu." "Lalu apa lagi yang kau mau tahu?" "Aku ingin bulan madu ke negeri manusia." "Wah, kalau itu susah mendapat ijin dari baginda ratu. Yan
Cakra duduk di panggung kehormatan dan jadi pusat perhatian. Mereka heran bagaimana pemuda itu dapat menjadi tamu istimewa Nyai Penghasut Birahi, duduk bersanding dengan tokoh utama golongan putih dan bangsawan berpengaruh di kadipaten. Gagak Jantan, tokoh golongan putih yang paling disegani di wilayah barat, sempat dibuat heran. Ia bertanya, "Siapa kau anak muda? Aku kira kau jadi tamu kehormatan bukan karena wajahmu sangat tampan. Kau apanya Nyai?" "Aku pengembara muda dari bangsawan Asir," sahut Cakra tenang. "Aku belum pernah bertemu dengan sang penari." "Jangan bohong. Apa kau calon suaminya? Nyai tidak mungkin mengundangmu secara khusus kalau tidak memiliki kedudukan istimewa. Aku baru melihatmu. Kau pasti bangsawan Asir yang baru keluar mengembara." "Kau betul. Aku mengembara untuk suatu keperluan." "Keperluanmu untuk bersenang-senang." "Bersenang-senang dengan cara yang tidak biasa." "Maksudnya?" "Aku datang ke Puri Mentari untuk bertemu dengan tokoh utama golongan
Mereka mendarat di atap tanpa menimbulkan suara pada genteng sirap yang diinjak. Minarti menutup kembali kisi-kisi atap. Kemudian ia mengenakan pakaian yang sudah disiapkan di atas sirap. "Bagaimana mereka bisa percaya keping emas sisa lima?" tanya Cakra heran. "Padahal semuanya cuma ada delapan puluh keping." Minarti tersenyum kecil. "Itulah laki-laki. Mereka tidak melihat caraku menghitung, mereka melihat tubuhku yang tanpa busana." "Kau pasti mempengaruhi mereka dengan ajian Pemikat Cinta. Secepat apapun kau menghitung, tokoh utama pasti dapat melihat kecurangan itu." "Hanya calon terpilih yang tidak tertarik melihat kemolekanku, padahal sangat dekat." "Aku bukan calon terpilih," bantah Cakra. "Sudahlah, jangan berdusta di depanku. Sepasang Gagak Putih pasti tahu kau adalah manusia. Maka itu aku segera membawamu ke atap karena Gagak Betina sangat menginginkan untuk bercinta dengan manusia." "Gagak Jantan pasti marah." "Bukan karena bercintanya, tapi karena kau calon pangera
Malam sangat larut ketika Cakra tiba di ujung kampung. Ia melambatkan lari kuda. Suasana sangat sepi. Penduduk sudah beranjak ke peraduan untuk menyongsong hari esok. "Rumah-rumah ini disewakan, tapi pemilik satu pun tak ada yang duduk di luar," gumam Cakra cemas. "Apa mungkin sudah penuh?" Barangkali Jaka mesti tidur seperti gelandangan. Tapi tidur di sisi jalan takut terlindas kereta kuda yang sering lewat. Lagi pula, mana ada bangsawan jadi gembel? Kecuali bangsawan bangkrut! Cakra tersenyum saat melihat kakek berjubah hitam duduk di beranda sebuah rumah dengan secangkir minuman di meja. "Akhirnya ada juga rumah sewa yang kosong." Cakra turun dari kuda dan memasuki halaman. Di pintu pagar terdapat sederet tulisan aksara kuno. Barangkali papan nama rumah sewa ini. "Permisi," kata Cakra. "Saya kemalaman di jalan. Apa ada kamar untuk bermalam?" Kakek berjanggut pendek itu memandang heran. "Apa kau tidak baca tulisan di depan itu? Rumah ini tidak disewakan, tapi dijual!" Cakra