"Hati-hati," pesan Abah ketika Cakra pamit pergi. "Lekas pulang kalau acara sudah selesai."
"Ya." Abah curiga melihat sopir taksi demikian gagah dan berpenampilan rapi. Agak janggal mengenakan kacamata hitam malam-malam begini. Barangkali ingin menutupi mata dari pemandangan kampung yang menjemukan. Kebanyakan warga yang duduk-duduk di beranda berusia lanjut. Sopir itu duduk menunggu dengan sabar di belakang kemudi. "Perasaanku agak lain sama sopir itu," kata Abah. "Benar kan taksi ini yang di booking Priscillia?" "Benar," sahut Cakra. "Nomor polisinya cocok dengan nomor yang dikirim." "Sopirnya membuat Abah ragu." "Keren banget ya?" "Jangan-jangan bunian." Bunian adalah makhluk astral yang suka menampakkan diri dalam paras rupawan. Mereka kadang menjadi bagian dari komunitas manusia dan menjalankan aktivitas sebagaimana biasa. Misinya merayu manusia ikut ke negerinya yang sangat indah sehingga lupa untuk pulang. "Abah ini ada-ada saja." Cakra tersenyum. "Memangnya sopir taksi tidak boleh ganteng apa?" "Jarang sekali sopir taksi keren begitu." "Jarang juga taksi masuk ke kampung kita. Jadi malam ini pengalaman yang sangat berkesan buat aku." "Kalau ada orang tanya, jangan sekali-kali kamu mengaku Cakra Agusti Bimantara." "Aku lebih senang mengaku kid slebew," tukas Cakra kecut. "Aku berangkat." Cakra pergi meninggalkan ayahnya. Membuka pintu taksi dan duduk di sebelah sopir. Ia tidak enak duduk di belakang, kayak juragan besar. Lagi pula, ia bisa mengobrol santai untuk dua jam perjalanan. "Siap berangkat?" tanya sopir. "Ya," jawab Cakra singkat. Taksi melaju meninggalkan halaman dan melintasi jalan kecil perkampungan. Abah seakan baru sadar. Ia menepuk jidat. "Aduh, aku lupa mencatat nomornya." "Hatiku tidak enak," kata Ambu sambil berdiri di beranda memandang kepergian anaknya. "Aku merasa kepergian anak kita untuk waktu yang lama." "Ambu tidak boleh ngomong begitu," tegur Abah halus. "Anak kita sudah berjanji untuk segera pulang." "Semoga ia tidak ingkar janji." "Ia pasti pulang." Abah berjalan menaiki beranda. "Kita siap-siap untuk lomba galah asin." "Kita kurang satu pemain." "Ajak tetangga." Ambu langsung mendelik. "Janda muda itu?" "Biasa saja ngomongnya." Sementara itu taksi mulai meninggalkan perkampungan dan menelusuri jalan beraspal di tengah areal persawahan. Purnama mulai menampakkan sinarnya. "Kamu itu kelewat keren jadi sopir taksi," komentar Cakra. "Ayahku sampai mencurigaimu bunian." Pengemudi itu tersenyum samar. Celaka, keluh Cakra dalam hati. Mentang-mentang omongan tidak dibayar, ia malas menjawab. Perjalanan pasti membosankan. Taksi online macam begini bikin kapok. Sopirnya pelit bicara. Untuk perjalanan yang lumayan jauh, penumpang perlu teman mengobrol, kadang teman curhat. Atau sopir ini benar-benar bunian? "Kamu pasti menyangka aku bunian," ujar sopir santai. "Karena aku tidak banyak bicara." Cakra tersenyum. "Aku mencoba maklum, mulutmu tidak di booking oleh Priscillia." "Aku banyak diam karena aku lagi berpikir. Apa yang menarik pada dirimu selain wajah rupawan sehingga Priscillia rela berkorban untukmu?" Cakra tertawa geli. "Aku juga tidak tahu apa yang menarik pada diriku." "Baju yang dipakai itu pacarmu yang beli kan?" Pertanyaan itu cukup lancang bagi seorang sopir. Cakra bisa melaporkan ke perusahaan taksi. Tapi malam ini adalah milik kebahagiaan. "Kau berbakat jadi paranormal," senyum Cakra kecut. "Belum setengah jam duduk bersama sudah mencium aroma gratis. Kau juga pasti tahu ukuran sepatu dan celana dalamku." Sopir taksi tahu kalimat itu adalah bentuk sindiran halus, maka ia buru-buru meluruskan, "Kau pasti menganggapku kurang ajar. Aku ngobrol sama Priscillia biasa ceplas-ceplos." "Jadi kau sering ngobrol sama Priscillia?" pandang Cakra surprise. "Kalian tetanggaan atau apa?" "Kami bersahabat semasa kuliah." "Kok aku tidak tahu ya?" "Pasti tidak tahu karena kamu jarang sekali datang ke kampusku. Priscillia terus yang berkunjung ke kampusmu." Mereka sudah cukup lama pacaran, tapi Cakra hanya tahu sedikit kehidupan Priscillia. Mereka banyak bertemu di kafe atau diskotik. Berkunjung ke rumahnya bisa dihitung dengan jari. "Kalau kalian sahabatan, berarti kau sudah tahu namaku," pancing Cakra. "Cakra Agusti Bimantara," senyum sopir tipis. "Nama itu cocok dengan penampilanmu saat ini, trah bangsawan." "Begitu lengkap kau tahu namaku. Apa kau juga begitu lengkap tahu tentang pacarku?" "Pertanyaan tricky. Tahu apa dulu? Kehidupan atau fisik?" "Dua-duanya." "Untuk fisik aku hanya tahu apa yang terlihat." "Aku juga." "Jangan kira aku percaya. Empat tahun pacaran bisa memperoleh semua yang diinginkan." Penganut kehidupan bebas, pikir Cakra tawar. Ucapannya secara tidak langsung membuka kedok sendiri. Tapi itu urusan masing-masing. "Bagaimana ceritanya baru lulus langsung jadi sopir taksi?" tanya Cakra ingin tahu. "Kepo ya?" "Sementara menunggu panggilan kerja, kebetulan ada taksi nganggur. Oh ya, sudah ngobrol ke mana-mana aku belum memperkenalkan diri. Namaku Fredy Erlangga." Erlangga, pikir Cakra terkejut. Nama itu mengingatkan pada orang yang sering disebut orang tuanya. Cakra bertanya dengan hati-hati, "Erlangga Agusti Bimantara nama ayahmu?" Fredy tersenyum. "Ayahku lumayan terkenal rupanya." Mungkinkah orang itu yang dimaksud orang tuanya? Cakra berniat mencari tahu sosoknya dan tidak menyangka mendapat informasi secepat ini. Tapi orang yang bernama Erlangga tentu tidak cuma satu. "Erlangga yang kukenal adalah eksportir tekstil." "Ayahku pengusaha tekstil sejak lama. Beliau biasa disebut saudagar. Tapi apa arti sebuah sebutan?" "Lalu taksi ini?" "Ayahku belum lama terjun dalam bisnis transportasi." "Setahuku punya perkebunan kopi juga." "Betul. Usaha turun-temurun." Cakra jadi yakin kalau ayah Fredy adalah anak buah kepercayaan Abah yang dititipi harta. Perkebunan kopi adalah bisnis warisan leluhur yang tidak boleh ditinggalkan. Fredy pasti tidak tahu sejarah itu, kecuali ayahnya bercerita. "Kau pernah dengar nama Dwipa Agusti Bimantara?" tanya Cakra. "Tidak." "Citraresmi?" "Siapa mereka?" Berarti Erlangga tidak pernah bercerita tentang asal usul kekayaannya. Barangkali Abah minta dirahasiakan untuk menghapus jejak masa lalu. "Mereka orang tuamu?" tanya Fredy penasaran. "Buat apa kau tahu kalau tidak pernah dengar?" "Aku sedikit heran, di antara kita ada kesamaan nama. Apa kita satu klan?" "Kira-kira pantas tidak? Kamu keluarga bangsawan, aku keluarga bangpakwan!" Cakra merasa tiada orang yang paling beruntung di dunia selain Erlangga, mendapatkan harta dan gelar kehormatan secara cuma-cuma. Apakah ia tahu malam ini bakal kehilangan puteranya? Taksi melaju kencang memasuki kawasan hutan yang sepi. Di sepanjang jalan tidak terdapat perkampungan. Saung jerami untuk musafir beristirahat saja tidak ada. Hutan ini terkenal angker. Penduduk menyebutnya hutan bunian. Kendaraan yang lewat sering diberhentikan lelaki atau perempuan dengan paras rupawan. Mereka cari tumpangan ke kota atau menghilang begitu saja di ujung hutan. "Kalau ada perempuan cantik cari tumpangan, bagaimana?" tanya Fredy. "Kita tabrak atau dirudapaksa?" "Jadi kau percaya dengan cerita orang kampung? Malam Jumat kliwon, pada bulan purnama, di sepanjang jalan ini ramai oleh bunian yang mencari manusia yang disukai, kemudian dibawa ke negerinya dan tidak ingat pulang." "Takut?" "Kau bertanya pada orang yang salah." "Malam ini adalah malam penjemputan." Cakra terperangah. Jadi Fredy tahu mitos itu? Ayahnya pasti bercerita! Ia pura-pura bertanya, "Maksudnya?" "Malam ini aku akan dijemput utusan dari kerajaan Nusa Kencana. Aku berharap tidak dijemput di hutan ini. Kasihan kamu harus nyetir sendiri." "Kau kelihatannya senang dijemput." "Aku dijemput untuk memenuhi perjanjian leluhur, menikah dengan puteri mahkota. Siapa yang tidak senang jadi pangeran?" "Meski hidup di dimensi lain?" "Sejak dewasa aku berfantasi bisa hidup di dunia berbeda, meski jadi budak nafsu. Namanya puteri kerajaan pasti sangat rupawan." "Kau tidak bisa pulang selamanya." "Bukan tidak bisa pulang tapi tidak ingat pulang, karena Nusa Kencana sangat indah sehingga melenakan." "Latar belakang kita berbeda, jadi berpengaruh pada prinsip. Seindah-indahnya negeri mereka, aku lebih suka tinggal di negeri manusia.""Giliran ditunggu-tunggu tidak muncul," keluh Fredy kecewa. "Atau semua itu omong kosong?" Cerita penduduk tentang keangkeran hutan bunian ternyata mitos belaka. Mereka melewati hutan itu dengan lancar, tanpa ada makhluk yang memberhentikan mobil untuk menumpang ke kota atau sekedar tebar pesona. Barangkali tidak ada bunian yang tertarik sehingga enggan menampakkan diri. Mereka tahu yang mengendarai mobil adalah Fredy, seorang pemuda yang berharap dapat bercinta dengan makhluk selain manusia. Malam Jumat kliwon adalah malam di mana mereka seharusnya muncul. Penduduk sampai tidak ada yang berani lewat setelah hari gelap, saking santernya cerita itu. "Mereka ngeri melihatmu," ujar Cakra. "Jadi tidak berani muncul." "Wajahku seram ya?" "Kelewat keren. Jadi mereka tidak percaya kalau kamu manusia." "Aku tahu kamu lagi bicara tentang diri sendiri. Kamu tidak pantas jadi anak petani." Aku bukan anak petani, sahut Jaka dalam hati. Aku anak saudagar kaya yang hartanya disedekahkan pada
Taksi meluncur keluar dari basement dan berhenti mendadak di pelataran lobi hotel. Cakra yang duduk bersandar ke pagar lobi menengok. Kaca jendela taksi terbuka dan muncul kepala Fredy seraya berteriak, "Cepetan naik! Kita harus segera pergi!" "Aku menunggu acara selesai," sahut Cakra santai. "Sebentar lagi Priscillia keluar." Ia tidak mau pulang sebelum pacarnya muncul. Priscillia pasti kecewa. "Aku sudah ngomong sama pacarmu!" seru Fredy. "Ia minta kamu untuk segera pergi!" Cakra terpaksa menghampiri dan masuk ke mobil. Belum juga ia sempat memasang sabuk pengaman, taksi sudah melesat separuh terbang meninggalkan pelataran lobi. Fredy mengendarai taksi dengan gila-gilaan. Melalap habis kendaraan yang memadati jalan raya. Sulit merangsek maju lewat jalur kanan, menyalip lewat jalur lambat. Masa bodoh dengan bunyi klakson yang terdengar sengit dari mobil lain. "Kamu nyopir kayak dikejar setan," keluh Cakra. "Kalau begini caranya, bukan segera sampai ke rumah, tapi mampir di ruma
Mereka berhenti mendorong taksi setelah tiba di pinggir jalan sehingga tidak mengganggu lalu lalang kendaraan, jika ada. Malam begini kemungkinan kecil kendaraan berani lewat. "Perlu bantuan apa lagi?" tanya Cakra. "Asal jangan minta pijat plus plus." "Sudah pergi sana," jawab Fredy. "Jangan iri kalau cover girl bunian mengajakku kencan." "Aku pulang dulu ya. Hati-hati." "Kamu juga." "Bunian kayaknya berani muncul kalau kita pisah, ia tidak bingung pilih yang mana. Ada yang lebih ganteng tapi kere." "Semoga ia mendatangi aku, lumayan buat menghangatkan badan." Fredy duduk beristirahat di kabin. Cukup menguras tenaga juga mendorong mobil ke sisi jalan. Apes sekali ia malam ini, pertama kali jadi sopir taksi ban kempes di tengah hutan. Cakra sebenarnya tidak tega meninggalkan Fredy sendirian. Ia merasa tenang karena di hutan bunian tidak pernah terdengar ada perampokan. Barangkali keangkeran hutan ini membuat nyali mereka ciut. Cakra terpaksa pulang jalan kaki. Jarak tempuh ke
Ratu Purbasari terbangun dari tidurnya. Ia beranjak turun dari pembaringan. Biasanya ada petunjuk penting di Cermin Mustika jika ia terjaga secara mendadak. Kakinya segera melangkah ke cermin ajaib untuk mengetahui apa yang terjadi. Mungkinkah pemberontak itu berhasil menguasai wilayah barat padahal sudah dikirim beberapa ratus prajurit tambahan? Ratu Purbasari terkejut bercampur bahagia manakala di cermin terpampang seorang pemuda yang duduk bersandar di kursi taksi seperti kebingungan. Tapi mengapa ia membawa teman? Pasti bukan menunggu dijemput! Ratu Purbasari sebenarnya ingin menggunakan Sambung Kalbu untuk menghubungi Mahameru karena lebih praktis, tapi kuatir mahapatih berada di keramaian sehingga mengundang kecurigaan manusia. Ia terpaksa berkomunikasi lewat gadget. "Kau berada di mana?" tanya Purbasari setelah tersambung. "Patik baru saja masuk ke sebuah diskotik." Terdengar suara Mahameru di speaker gadget. "Lagi mengamati pengunjung berjoget." "Calon terpilih terjebak d
Fredy mengemudikan taksi dengan kencang. Taksi meluncur mulus di jalan raya seolah semua ban normal. Kecepatan ditambah, mobil tidak mengalami guncangan sedikit pun, padahal melewati jalan berlubang. "Aku sempat lihat sebelum berangkat ban masih kempes," cetus Fredy heran. "Keanehan apa lagi ini?" "Keanehan apapun kalau menyenangkan patut kita syukuri," kata Cakra. "Jadi jalan saja terus." Ia tidak peduli dengan segala keanehan yang terjadi. Yang penting cepat sampai di rumah. Malam sudah menjelang fajar. Abah dan Ambu pasti gelisah menunggu. Sangkaan mereka, ia pasti dijemput utusan kerajaan, padahal terjebak di hutan sialan ini. "Mobil jalan kan?" tanya Fredy. "Terbang juga boleh." "Maksudnya tidak bergerak di tempat." "Kamu lihat pepohonan terlewati, berarti taksi tidak bergerak di tempat." "Kamu tidak merasakan sesuatu yang ganjil?" "Nikmati saja keganjilan ini. Jangan banyak berpikir." Cakra sudah lelah memikirkan kejadian malam ini. Mereka banyak mengalami peristiwa yan
Sebuah bangunan besar bertingkat terbuat dari kayu langka terlihat sangat indah dengan lampu lampion bermodel unik dan antik. Di pelataran depan terdapat pendopo memanjang dengan partisi untuk menambatkan kuda, saat itu sudah terisi penuh. Pondok Asmara, begitu pengunjung menyebut penginapan itu, warga menyebut Pondok Maksiat. Satu-satunya rumah bordir yang ada di wilayah barat. Di penginapan ini bukan hanya tersedia layanan kebutuhan batin, tamu bebas berjudi dan pesta tuak semalam suntuk, asal tidak membuat keributan. Jika ada yang berani berbuat onar, beberapa penjaga berilmu tinggi siap mengusir. Jadi pondok itu aman untuk tamu yang sekedar singgah buat mengisi perut atau beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh. Beberapa kamar disediakan untuk pengelana rimba, sebutan bagi tamu yang sekedar mampir buat makan atau menginap. Sementara untuk pengelana cinta tersedia banyak kamar yang di dalamnya dihuni perempuan cantik. Mereka tidak menjajakan rayuan, tapi menunggu di dalam
"Ternyata sampai juga," kata Fredy sambil membelokkan taksi memasuki pelataran Pondok Asmara. "Aku sangka kayak di hutan bunian, cuma bolak-balik." Fredy menghentikan taksi di depan pintu masuk. Malam sudah menjelang pagi. Suasana kelihatan sepi. Satu pun tidak ada makhluk yang lalu lalang. Mereka turun. "Kayaknya penginapan," komentar Cakra. "Banyak kuda tamu di pendopo." "Penginapan apa rumah hantu?" celoteh Fredy. "Sepi banget." "Mereka bangsa pemalas. Di kita jam segini sudah berkeliaran mencari rejeki." "Namanya penginapan untuk tempat beristirahat. Mereka pasti bangun siang. Di penginapan masa mencari rejeki?" "Banyak yang mencari rejeki di penginapan." "Rumah bordir maksudnya?" "Otakmu bawaannya ngeres saja. Penginapan itu tempat mencari rejeki bagi pegawainya." "Berarti benar bangsa pemalas. Pegawai jam segini belum bangun." "Untuk lebih jelasnya kita masuk. Siapa tahu tidak ada penerima tamu, atau tidak buka dua puluh empat jam." "Tunggu sebentar," ujar Fredy, lang
Kakek renta berbadan ceking muncul dari dalam penginapan dengan tergesa-gesa, di belakangnya mengejar perempuan gembrot mengenakan sarung dengan wajah kesal. "Jangan kabur perampok!" teriak perempuan itu. "Enak saja bilang aku perampok! Aku sudah merampok apa?" "Merampok diriku!" "Aku sudah bilang kantong uangku ketinggalan! Aku bayar nanti!" "Modus! Kantong kemenyan dibawa, masa kantong uang lupa?" "Kalau aku lupa bawa kantong kemenyan, terus aku ngamar pakai apa?" "Ada apa, Tongkat Bertuah?" tegur Iblis Cinta yang baru selesai memperbaiki penyok-penyok kecil pada taksi. "Pagi buta begini sudah bikin gaduh." "Tarif lontemu kemahalan," lapor Tongkat Bertuah. "Padahal perempuan sisa." "Kurang ajar! Minta dilayani tiga kali bilang perempuan sisa!" "Berapa bayaranmu, Cemani?" tanya Iblis Cinta. "Tiga keping emas." Iblis Cinta terkejut. "Mahal sekali!" "Untuk tiga ronde, tuanku." Iblis Cinta bertanya pada Tongkat Bertuah, "Kau merasa kemahalan sekeping emas untuk sekali main?