Fania tak menyangka jika seseorang yang di hadapannya kini benar-benar mirip dengan ibunya.“I ... i-bu?” panggil Fania sekali lagi.Wanita paruh baya itu mendekat menghampiri Fania yang terdiam kaku di tempat.“Nak .... I-ni ibu,” ucap Elfina lirih. Air matanya luruh begitu deras.Fania menggeleng pelan. Sungguh ini seperti mimpi, entah ini kenyataan atau tidak, ia merasa aneh dan bingung. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Fania masih terkejut akan semua ini.Elfina memegang wajah Fania dengan pelan saat ia sudah berdiri di jarak yang dekat. Tangannya bergetar saat jemari menyentuh pipi putrinya yang basah oleh air mata.“Maafkan Ibu, Nak. Maafkan, Ibu!” sesal Elfina yang langsung memeluk tubuh Fania.“Pasti saat ini kamu benci sama Ibu. Kamu marah pun tidak apa, Nak. Memang Ibu yang salah, kamu menderita selama ini karena Ibu, Ibu ... Ibu sangat menyesal, Nak,” sambung Elfina mengungkapkan semua penyesalannya selama ini.Sedangkan Fania, ia masih terdiam membisu dengan wajah yang bas
Setelah bertamu di rumah ibunya cukup lama. Fania dan Devan kini kembali ke hotel. Di perjalanan Fania banyak bertanya kepada suaminya tentang bagaimana dirinya bisa menemukan sang ibu.Devan pun menceritakan semuanya. Fania sudah tidak marah atau pun kecewa, ia sudah paham dan mengerti kenapa suaminya bisa sampai menyembunyikan hal ini begitu lama.“Maaf, ya, Mas. Aku sudah salah sangka sama kamu, padahal kamu sudah berusaha keras melakukan hal ini untukku,” ucap Fania lirih. Ia merasa bersalah kepada suaminya.Devan pun menyadari, tetapi ia juga tidak mempermasalahkan tuduhan istrinya.“Aku mengerti maksudmu, Sayang. Sudah nggak perlu dibahas, yang terpenting kamu sudah bertemu dengan ibu kandungmu,” sahut Devan.Fania kini tersenyum lebar. Ia sudah tidak sabar ingin bicarakan hal ini kepada ayahnya. Tetapi sayangnya, Alnando sedang dalam perjalanan pulang ke tanah air. Otomatis, Fania harus menunggu kurang lebih 14 jam untuk bisa menghubungi ayahnya.Fania dan Devan kini sudah samp
Suasana malam di Paris semakin dingin, ditambah salju yang mulai turun secara perlahan membuat hawa dingin terasa menembus sampai ke tulang.Devan yang sudah rapi memakai tuxedo warna abu tua, kini ia sedang dalam perjalanan menuju apartemen ibu mertuanya. Ia akan menjemput istrinya yang masih di sana dari tadi siang.Setelah menempuh perjalanan cukup lumayan lama, sebab jalanan ramai oleh kendaraan. Akhirnya, mobil BMW warna biru metalik kini sampai juga di tujuan halaman apartemen ibu mertuanya.Devan pun keluar dari mobil, lalu berjalan melangkah masuk ke lobi apartemen menuju lift.Saat sudah sampai di lantai 16, ia menekan tombol bel. Tidak lama, pintu pun di buka oleh Elfina yang sudah menunggunya dari tadi.“Malam, Bu. Di mana, Fania?” tanya Devan. Sebab, ia hanya melihat ibu mertua seorang diri.“Masuklah, dulu. Fania ada di kamar Ibu, masih berdandan,” ujar Elfina. Devan pun hanya mengangguk, lalu mendudukkan bokongnya di kursi ruang tamu.Tak berangsur lama, Fania muncul mem
Devan segera mengangkat tubuh istrinya setelah memberikan gelas yang berisi air hangat kepada Berliana. Ia akan membawa Fania ke rumah sakit terdekat dari kediaman sang ayah.Sopi pribadi Sam, sudah menunggu di depan pintu dan membukakan pintu mobil untuk mempermudah Devan masuk.“Hati-hati, Dev. Kami akan menyusul nanti,” ucap Berliana saat putranya sudah berada di dalam mobil. Devan hanya bisa mengangguk, dan tak lama mobil pun berjalan meninggalkan rumah.Sementara Sam dan Berliana bergegas masuk ke dalam dan ia akan segera menyusul putra dan menantunya itu ke rumah sakit.Di mobil, tepatnya Devan berada, hatinya begitu gelisah menatap istrinya yang masih memejamkan matanya sedari tadi. Ia sudah berusaha menepuk kedua pipinya. Namun, tetap saja Fania tidak sadarkan diri.Mobil yang membawa Devan dan juga Fania kini sudah sampai di rumah sakit terdekat. Devan segera membopong tubuh istrinya saat pintu di buka oleh sopir pribadi Sam.Devan membawa masuk Fania ke dalam rumah sakit.
“Fania hamil?” ulang Elfina dan Berliana secara bersamaan. Devan tersenyum mengangguk.Baik Elfina maupun Berliana mereka saling memandang dan terharu kali ini. Kesedihan yang mereka rasakan adalah sebuah ungkapan kebahagiaan. Dan hal ini membuat raut wajah Sam tersenyum haru.Sebab, dirinya pernah membahas masalah momongan disaat menantunya menginginkan berkarier terlebih dahulu. Namun, sekarang impian memiliki seorang cucu terkabulkan. Semua terasa seperti mimpi baginya.“Ibu mau lihat Fania, Nak. Sudah boleh dijenguk?” tanya Elfina.“Boleh, Bu. Hayo, masuk, Fania sudah menunggu kalian sedari tadi,” sahut Devan dengan membuka pintu ruangan secara lebar.Semua masuk dan menemui Fania yang kini sedang duduk di atas brankar.“Ibu, Mami?” panggil Fania tersenyum.“Selamat, Nak, kamu akan menjadi seorang ibu,” kata Elfina seraya memeluk tubuh putrinya.“Terima kasih, Bu.”“Selamat, Sayang. Mami khawatir banget saat kamu pingsan tadi. Mami kira kamu nggak cocok masakan Mami,” ujar Berlian
Elfina langsung membuang muka saat bertatapan dengan mantan suaminya cukup lama.Ia pun mengusap jejak air mata yang menetes secara tiba-tiba. Ini adalah kedua kalinya dia melihat wajah sang mantan suami. Meski kali ini wajahnya cukup sangat jelas.“Elfina? Kamu masih dengar aku?” tanya Alnando sekali lagi.“Maaf, Pah, Ibu pamit ke kamar mandi,” sahut Fania lirih. Ia tahu apa yang sedang dirasakan oleh ibunya. Namun, niat dia membuat kejutan untuk ayahnya ternyata melukai hati sang ibu. Fania merasa bersalah sudah membuat ibunya sedih. Mungkin, ini terlalu cepat memberitahu sang ayah tentang ibunya yang masih hidup.Akan tetapi, Fania hanya ingin berbagi kebahagiaan, dari dalam lubuk hatinya ia berharap kedua orang tuanya bisa bersatu kembali.Alnando mengangguk lesu. “Papah, menyusul kamu ke Paris, ya. Kamu pulang minggu depan ‘kan?” tanyanya serius.“Iya, Pah. Tapi, Papah yakin mau ke sini?” Fania berbalik tanya. Sebab, Alnando baru saja kembali beberapa hari yang lalu.“Papah seri
Shanum berteriak saat melihat Alnando tersungkur di lantai. Ia dan Angela langsung mendekat ke arah Alnando dan Iyas yang sedang mencoba membangunkan majikannya.“Suamiku kenapa, Bi?” tanya Angela. Ia mencoba menepuk pipi suaminya, namun Alnando tetap saja tidak sadar.“Ta-tadi, Tuan, mengeluh dadanya sakit, Nyonya,” terang Iyas.Angela pun hanya mengangguk. Iya bahkan tersenyum tipis saat memunggungi pembatunya itu.“Yas, mobil sudah siap,” kata Joko saat masuk ke dalam rumah. Betapa terkejutnya dia saat melihat majikan laki-lakinya terkapar di lantai tak sadarkan diri.“Tuan!” suara Joko.“Joko, cepat ke sini! Angkat suamiku ke mobil. Kita harus bawa ke rumah sakit sekarang,” pinta Angela disaat Joko melirik Iyas untuk meminta jawaban apa yang terjadi.Iyas sendiri hanya mengedipkan kedua matanya agar Joko menuruti perintah Angela terlebih dahulu.Joko akhirnya menurut. Dan ia mencoba mengangkat majikannya di bantu oleh Iyas.Setelah Alnando berada di mobil. Iyas sebenarnya hendak i
Di Jakarta, tim dokter IGD masih menangani Alnando. Dan tidak lama, pintu ruangan pun terbuka, Angela langsung berdiri, sebab, salah satu perawat memanggil pihak keluarga pasien.“Saya istrinya, Sus. Bagaimana keadaan suami saya?” tanyanya dengan wajah yang memelas.“Silakan bertanya langsung ke Dokter, Bu,” ucap perawat wanita muda. Angela pun mengangguk, lalu ia masuk ke dalam ruangan.Dokter pun menyarankan untuk duduk di kursi yang di sediakan. Dokter Lukas mulai berbicara tentang permasalahan yang terjadi kepada pasien bernama Alnando.“Maaf, Nyonya. Sepertinya tuan Alnando mengalami kesalahan mengonsumsi obat. Setelah di cek, ternyata ada kandungan obat dengan dosis yang berlebihan. Efek dari obat itu membuat tuan Alnando mengalami sesak napas, bahkan sampai hilang kesadaran,” terang dokter Lukas.Angela tersenyum tipis mendengarnya. Sementara Shanum ia tampak gelisah.“Apakah obat itu berbahaya, Dok?” tanya Shanum dengan polos. Angela yang mendengar dibuat membelalak.“Saya ras