“Kamu serius?” tanya Devan memastikan.Fania mengangguk cepat. “Serius, Mas. Dan postur tubuhnya sama persis dengan wanita yang saat itu aku lihat di trotoar. Kamu ingat ‘kan, Mas?”Devan masih tampak berpikir kali ini. Lalu ia berkata, “Ya, sudah. Setelah acara selesai kita bahas hal ini lagi,” ujarnya kepada sang istri.Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukkan pintu. Membuat Devan langsung bergegas berdiri dan berjalan ke arah pintu lalu membukanya.“Malam, Tuan. Ini pesanan bajunya sudah sampai,” ucap salah satu pihak hotel.“Terima kasih. Ini untukmu.” Devan mengambil paper bag di tangan pihak hotel dengan memberikan uang tip kepadanya.Setelah pihak hotel pergi, ia pun menutup pintunya kembali. Dan berjalan mendekat ke arah sofa di mana sang istri sedang duduk dengan menatap ke layar ponselnya.“Ini bajumu, Sayang. Lebih baik kamu lekas berganti.” Devan menyerahkan paper bag berwarna cokelat itu ke hadapan istrinya.Fania yang sudah menerima ia pun masuk ke dalam kamar mand
Devan membelalak tak percaya. Namanya sama persis dengan mendiang mertuanya yang rumornya menghilang karena kecelakaan.Ia pun langsung menutup dokumen itu, lalu menatap ke arah kepala pelayan ketring kembali dengan berkata, “Apa pegawaimu yang bernama Elfina Almora itu sudah lama bekerja denganmu?”Mister langsung mengangguk. “Sudah 5 tahun, Tuan.”Devan tercengang. Itu waktu yang sangat lama. “Baiklah, aku meminta data ini. Dan aku harap kamu perlakukan pegawaimu yang bernama Elfina Almora dengan baik, kalau bisa naikkan jabatannya. Di data ini dia sebagai pegawai pencuci piring ‘kan?”Mister mengangguk kembali. “Tapi, Tuan. Apa harus di naikkan jabatannya?”“Iya, harus. Dan tolong segani dia, jangan berikan pekerjaan yang berat-berat. Jika sampai aku tahu, perusahaanmu sudah dipastikan akan gulung tikar secepatnya. Camkan itu!” tekan Devan kepada kepala pelayan ketring yang mengangguk mengerti.Devan pun memasukkan lembaran kertas itu ke dalam saku jasnya. Dia belum ingin bertemu d
Shanum yang mendengar nada bicara Riko gelagapan. Ia sedikit tidak percaya dengan ucapannya. Bukan mau menuduh yang tidak-tidak. Akan tetapi, bagi Shanum di usia yang mulai matang. Ia tidak mau menjalin hubungan dengan seseorang untuk bermain-main saja. Ia butuh sosok lelaki untuk mau menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius.“Oh, baguslah.” Hanya dua kata itu yang Shanum katakan kepada Riko.Riko akhirnya mengalihkan pembicaraannya ke hal yang lain. Dan tidak terasa mereka berdua berbincang cukup lama. Bahkan sampai habis waktu istirahat Shanum selesai.“Ya, sudah. Aku balik kerja dulu, ya. Terima kasih atas waktunya, Rik,” ucap Shanum saat hendak berdiri dari kursinya.“Iya, Sha, sama-sama. Makasih juga, ya, kamu sudah mau menerima ajakkanku. Hem, aku boleh menunggu kamu sampai selesai pemotretan?” tawar Riko kepada Shanum.Shanum seketika langsung menggeleng. “Tidak usah, Rik. Karena aku juga belum tahu akan selesai jam berapa, daripada kamu menunggu kelamaan!” tolak Shanum
Hari dengan cepat berlalu tidak terasa Devan dan Fania sudah sepuluh hari berada di negara Prancis. Dan saat ini mereka berdua sedang menikmati sarapan bersama dengan Samuel dan juga Berliana yang sengaja menginap di kediaman Sam.Di saat mereka sedang menikmati hidangan penutup. Samuel melirik ke arah Berliana yang berada di sampingnya. Ia mengkode dengan isyarat mata, dan Berliana yang mengerti ia hanya mengangguk menanggapi bahasa tubuh sang kekasih kepadanya.“Ehem ... Ada yang ingin Papah bicarakan sama kalian!” ucap Sam dengan menatap ke arah Putranya dan sang menantu.Devan yang sibuk mengunyah, ia langsung mendongak secara bersamaan dengan sang istri.“Bicara apa, Pah? Apa ini penting?” tanya Devan penasaran. Fania sendiri, dia lebih memilih diam untuk menyimak.Sam mengangguk tersenyum, “Iya, ini penting. Hem ... Papah sudah membicarakan ini dengan Berliana. Jika kami akan memutuskan untuk menikah bulan depan.”Hal itu membuat Devan tersenyum. Ia menengok ke arah istrinya. Fa
“Jangan menghindar, Ibu. Aku tahu Anda ibu kandung istriku. Tolong, kali ini biarkan saya bisa bicara denganmu sebentar,” ucap Devan dengan masih menahan pintu kamar apartemen itu dengan kuat.“Mau bicara apa? Katakan saja sekarang!” seru wanita itu dengan menatap Devan sangat tajam.Devan menggeleng. “Tidak sopan jika bicara di depan pintu seperti ini. Bolehkah saya, masuk? Kita bicara di dalam biar lebih enak dan leluasa?” tawar Devan dengan hati-hati.Wanita itu yang bernama Elfina, langsung mengiyakan permintaan pria di hadapannya kini. Entah kenapa ia yang tadinya sedikit terbawa emosi kini bisa luluh hanya karena perkataan pria di depannya itu sangat sopan padanya.“Silakan, masuk.” Elfina membuka pintu secara lebar. Lalu Devan langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen itu dan duduk di kursi sofa berwarna hitam.Elfina sendiri, ia langsung berjalan masuk ke arah dapur. Ia membuatkan teh manis hangat untuk tamunya yang kini duduk di ruang tamu.Sementara Devan, ia
Saat Devan mendengarkan dengan seksama. Tiba-tiba ponsel dalam saku jasnya berbunyi.Elfina yang tadi menjeda ucapannya kini terdiam. Karena menantunya langsung menyambar ponsel yang kini di pegang.“Maaf, Bu. Aku angkat panggilan sebentar,” ucap Devan yang langsung diangguki oleh ibu mertuanya.“Halo, Pah. Ada apa, ya?” tanya Devan kepada Samuel yang menghubungi.“Kamu bisa ke kantor sekarang? Ada yang mau papah bicarakan sama kamu,” titah Sam di seberang sana.Devan memandang ke arah ibu mertuanya yang masih terdiam sembari menatapnya sedari tadi.“Bisa, Pah. Aku akan ke sana sekarang.” Devan menjawab, lalu mematikan sambungannya dan menaruh ponselnya ke dalam saku jasnya kembali.“Maaf, Bu. Sepertinya aku harus pergi,” ucap Devan.Elfina pun mengerti. Ia hanya mengangguk. “Ya, Nak. Tidak apa-apa,” sahutnya.“Apa ibu ingin bertemu dengan Fania. Nanti biar aku cari waktu yang pas?” tanya Devan sebelum beranjak.“Maaf, Nak. Tolong sembunyikan dulu masalah ini. Bukan, bukan Ibu tidak i
Berliana bahkan sangat terkejut saat mendengar cerita tentang awal mula pertemuan sang menantu dan putranya. Fania juga menceritakan bagaimana ia bisa menikah dengan Devan. Dan yang paling mengejutkan adalah tentang perjanjian pernikahan yang dibuat oleh Fania sendiri.“Oh, jadi perjanjian yang dimaksud oleh Sam ini ternyata?” ucap Berliana dengan menggeleng.Fania hanya menyengir. “Maaf, Tante. Saat itu aku masih terlalu b***h. Sampai-sampai aku membuat perjanjian konyol itu.”“Ya, Tante, paham maksud kamu kok, Sayang. Apalagi pernikahan kamu karena perjodohan kakakmu dengan Devan.” Berliana menyadari hal itu. Ia sendiri saat itu sedang berada di Canada. Membuat ia tidak bisa ikut dalam acara pertunangan dan juga pernikahan Fania dan Devan.“Tapi, Tante. Seandainya saat itu Devan tidak meminta menikah denganku, mungkin aku tidak tahu hidupku akan seperti apa? Aku sekarang banyak bersyukur, Tant. Bisa menikah dengan lelaki yang begitu sempurna,” ungkap Fania bahagia.Berliana mengang
Devan untung saja bisa mengalihkan pembicaraannya tentang masalah ibu mertuanya. Dia pun terpaksa masih merahasiakan hal ini, karena baginya dia butuh waktu yang tepat untuk memberitahu kepada istrinya. Devan pun terpaksa berbohong jika perkembangan tentang wanita itu belum menemui titik terang.“Iya, Mas. Tidak masalah, kok, aku harap semoga ada kemajuannya. Aku sudah tidak sabar mendengar kebenaran tentang ibuku.” Fania berkata dari dalam lubuk hatinya.“Iya, Sayang. Akan aku usahakan,” sahut Devan tersenyum canggung.Malam pun semakin larut, mereka menikmati makan malam bersama hanya bertiga karena Berliana sendiri, sudah kembali ke kediamannya.Sam yang sudah selesai makan, ia langsung memakan makanan hidangan penutup.“Oh, ya, Dev. Setelah mempertimbangkan, sepertinya papah akan melangsungkan pernikahan di sini saja, Dev. Papah juga tidak akan menggelar pesta mewah. Cukup mengundang kerabat, dan saudara. Bagaimana menurutmu?” tanya Sam kepada putranya yang duduk di seberang meja.
Pagi ini sesuai rencana Fania untuk berpindah di kediaman ayahnya. Ia dan Elfina sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Alnando.“Bi Darmi, titip rumah ini, ya,” ucap Fania saat sudah di depan pintu apartemen.“Iya, Nyonya. Hati-hati di jalan,” kata Darmi dengan rasa haru. Sebab, setelah menginap di rumah Alnando. Fania dan Devan akan langsung berpindah ke Paris.“Kalo ada apa-apa atau butuh apa pun. Jangan sungkan hubungi aku atau ke istriku, ya, Bi,” pesan Devan.“Baik, Tuan.”“Kami pamit dulu, Bi Darmi.” Elfina ikut bersuara kali ini.Darmi hanya mengangguk dan tersenyum.Devan mengajak istri dan ibu mertuanya untuk berjalan ke arah lobi apartemen. Sementara di sana pak Aris sudah menunggu sedari tadi.Setelah masuk ke dalam mobil. Pak Aris melajukan mobilnya mengarah ke kediaman Alnando.Sesampainya di rumah Alnando. Mereka langsung di sambut oleh bi Iyas dan pak Joko yang sudah menunggu.“Selamat datang nyonya Elfina, non Fania dan den Devan,” kata Iyas dan Joko secara bersamaa
“Lo, tunggu sini, ya. Ingat! Jangan ke mana-mana!” Fania memberi peringatan kepada Karina. Lalu ia pergi keluar dari toko pelengkapan bayi.Fania menengok kanan kiri. Lalu netranya pun melihat ada seorang satpam mall yang sedang berjalan ke arahnya. Fania langsung mendekati satpam itu, untuk meminta bantuan.“Pak, bisa minta tolong?” tanya Fania langsung.“Iya, Mbak. Apa yang bisa saya bantu?”“Temanku mau lahiran, Pak. Apa Bapak, bisa bantuin saya siapkan mobilnya ke lobi?” titah Fania sopan.“Baik, Mbak. Akan saya bantu. Kalo boleh tahu berapa nomor plat mobilnya?” tanya Satpam itu.“Hayo, Pak. Ikut saya ke dalam, soalnya itu mobil teman saya,” sahut Fania sembari berjalan masuk ke tempat perlengkapan bayi.Satpam itu pun mengekori di belakang Fania yang masuk ke tempat di mana Karina berada. Setelah memberitahu kepada Satpam itu plat mobil Karina. Karina kini dirangkul oleh Fania untuk berjalan ke arah lobi. Untungnya tempat perlengkapan bayi ada di lantai dasar, membuat Fania tida
Setelah kepergian Elfina. Devan langsung menahan istrinya agar tidak memaksa kehendak sang ibu.“Sudah, tidak perlu kamu paksa Ibu agar mau tinggal di rumah Papah. Mungkin, ada hal yang tidak ingin Ibu beri tahu ke kamu, jadi kamu harus menjaga privasi Ibu, ya,” ucap Devan lirih. Berharap jika istrinya akan mengerti.Fania mengangguk pelan. “Iya, Mas. Kamu benar juga.”“Iya, sudah kamu mau ikut bareng aku ke toko atau mau diantar pak Aris?” tanya Devan saat sarapan selesai.“Aku ikut kamu saja, Mas.”Devan tersenyum. “Aku tunggu di bawah,” sahutnya dengan keluar ke arah pintu untuk mengambil mobil di basemen.Fania lebih dulu membereskan meja makan terlebih dahulu sebelum dia keluar. Setelah selesai, ia berjalan ke kamar ibunya untuk berpamitan.“Bu, Fania ke toko, ya,” ucapnya setelah mengetuk pintu.Tidak ada sahutan sama sekali dari kamar ibunya. Membuat hati Fania sedih kali ini. Ia merasa bersalah telah berbicara masalah untuk tinggal di rumah papahnya.Fania berjalan meninggalka
“Pak Devan?” sapa orang itu saat melihat ke arah Devan. Dia bahkan beranjak dari kursinya lalu mengulur tangan kanannya kepada Devan yang sedikit terkejut.“Anton?” panggil Devan singkat. “Kamu sudah di Jakarta berarti?” tanya Devan langsung. Karena setahu Devan, Anton waktu itu pindah ke Kalimantan.“Iya, Pak. Saya pindah ke sini lagi,” jawab Anton sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Kerja apa kamu sekarang? Kalau belum kerja, kamu bisa balik ke kantor saya lagi,” ajak Devan. Namun, dengan cepat Anton menggeleng.“Maaf, pak Devan. Bukan saya menolak rezeki, tetapi saya sudah buka usaha sendiri di sini, Pak,” sahut Anton sopan.Devan tersenyum mendengarnya. “Wah, bagus itu. Apa usahamu?”“Warung nasi padang, Pak. Itu yang seberang sana,” unjuk Anton ke warung usahanya dekat minimarket.“Oh, ya, kapan-kapan aku mampir,” ucap Devan. Ia juga bertanya tujuannya ke sini. Lalu Anton pun memberitahu tempat Angkringan yang buka hingga pagi, tempatnya memang tidak jauh dari lokasi s
Seseorang yang datang ke kantor Devan hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari si empu ruangan yang terdengar sinis kepadanya.“Sebelumnya aku mau meminta maaf, karena sudah lancang duduk di sini. Dan tujuan kedatanganku, hanya ingin memberikan ini padamu,” kata orang itu dengan mengeluarkan satu lembar kertas undangan pernikahan ke hadapan Devan.Devan masih terdiam menatap undangan di atas mejanya. “Kau akan menikah?” tanyanya singkat.Alya mengangguk. Memang benar yang datang ke kantor saat ini adalah Alya mantan kekasihnya dulu. Orang yang dulu pernah merencanakan menjebak istrinya di apartemen milik Riko.“Ya, ada seseorang yang melamarku satu bulan yang lalu. Aku kira, tak ada salahnya aku membuka hatiku lagi untuk orang lain. Aku sudah sadar jika kita tak ditakdirkan untuk bersama,” sahut Alya.“Ya, kamu sadar juga,” ucap Devan.Alya hanya tersenyum kecut mendengar jawaban Devan padanya.“Aku minta maaf, jika aku banyak salah. Sepertinya hanya itu saja kedatanganku ke sini,” k
Satu minggu kemudian. Seusai mengikuti sidang seminggu yang lalu, Fania dan Devan seperti memulai kehidupan yang baru. Meski sebenarnya, Beni masih menjadi buronan, tetapi Devan sudah menyerahkan semua keputusan kepada pak Gunawan selaku kepala kepolisian Jakarta Selatan.Elfina sementara masih tinggal di apartemen Fania untuk sementara waktu. Dan pagi ini seperti yang sudah dijanjikan oleh Fania kepada ibu dan ibu mertuanya yaitu mengajak ke toko bunga serta keliling Jakarta. Membuat Fania dan Elfina kini dalam perjalanan menjemput Berliana di kediaman Sam.Setelah sampai, ternyata Berliana sudah menunggu di ruang tamu bersama dengan Sam yang sedang menikmati secangkir teh dengan membaca koran surat kabar.“Hai, Mami!” sapa Fania dengan mendekat ke arah ruang tamu. Lalu bersalaman dengan Sam dan juga Berliana yang kini berdiri.“Hai, Sayang. Kita langsung jalan atau kalian mau mampir di sini dulu?” tanya Berliana setelah bersalaman dengan Elfina.“Langsung jalan saja, ya, Mi. Karena
Devan menaruh ponselnya di jasnya kembali. Disaat itu pula Fania mendekat dan bertanya siapa yang menghubungi.“Pak Gunawan yang menelpon tadi, Sayang.” Devan berkata seraya mendekat ke arah istrinya.Fania hanya mengangguk meski sebenarnya dia ingin bertanya lagi, tetapi dia urungkan. Sebab, melihat ibunya yang begitu terpuruk saat ini, ia merasa kasihan. Ada sedikit rasa cemburu, kenapa ibunya begitu kehilangan Bisma dibandingkan saat ayahnya tiada.Banyak sekali yang ingin Fania ketahui, tetapi ia tidak mau membuka masa lalu ibunya kembali.“Ibu, yakin tidak apa-apa?” tanya Fania ikut berjongkok. Elfina pun mengangguk.“Benar, Nak. Ibu tak apa-apa, kok. Hayo kita pulang, sepertinya bakalan hujan,” sahut Elfina dengan menatap ke atas melihat awan yang kini sudah berubah menjadi awan gelap.Fania mengangguk. Di perjalanan menuju kediaman rumah Bisma. Elfina menatap ke arah wanita paruh baya dan ia pun berterima kasih karena sudah mau mengantarkan dirinya ke makam teman lamanya itu.“
Bab 103. Berkunjung ke rumah Bisma Devan mengangguk saat istrinya bertanya tentang dirinya yang sudah melaporkan Angela. Sebenarnya, Devan bukan hanya melaporkan Angela, tetapi dia juga melaporkan Shanum dan juga Beni. Dia ingin memberi peringatan kepada Angela agar dia sadar jika dirinya adalah otak dibalik rencana melenyapkan Alnando. “Terus, apa yang kamu katakan kepada Shanum, Mas? Apa kamu mengabulkan belas kasihnya, saat dia mengemis padamu?” tanya Fania lagi penasaran. Devan menggeleng. “Tidak, aku tidak menanggapi, Sayang. Aku sudah memperingatkan Shanum, jika dia mau memohon pun aku tidak akan pernah mencabut tuntutanku. Karena nyawa harus dibalas dengan nyawa juga!” tegas Devan. Fania tersenyum kali ini. “Baguslah, Mas. Harusnya seperti itu. Biar ibu tiriku jera juga. Aku sudah muak juga dengan sandiwara Angela,” ucap Fania. Dengan berani menyebut nama ibu tirinya kepada Devan. Devan yang mendengar dia tertawa renyah kali ini. Bukan karena mengejek, tetapi mendengar is
Jujur saja Shanum sangat syok mendengar ucapan dari pak Gunawan. Setelah itu, dia pun bertanya siapa yang melaporkan ibunya. Karena ia ingin menemui orang itu agar bisa mempertimbangkan tuntutannya kepada sang ibu.Pak Gunawan akhirnya memberitahu Shanum siapa orang yang telah melaporkan ibunya itu.Dan kini Shanum yang berada di dalam mobilnya dibuat gusar. Ia tak menduga jika yang melaporkan ibunya adalah suami adik tirinya.“Aku harus menemui Devan sekarang. Aku harus membebaskan, Mamah,” ucap Shanum. Namun, sebelum dia melajukan mobilnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melihat siapa yang telah menghubunginya.Setelah membaca nama di layar ponsel. Shanum pun segera mengangkat.“Mamah, sekarang sedang ditahan di kantor polisi. Apa kamu punya cara agar Mamah bisa bebas?” tanya Shanum setelah menyapa.“Apa? Di tahan?” tanya Beni terkejut.“Iya, ada yang diam-diam menaruh kamera pengintai di seluruh ruangan rumah, dan Mamah dinyatakan bersalah karena ada bukti yang kuat saat Mamah m