Dan malam harinya, Devan mengajak Fania untuk menghadiri acara makan malam yang diselenggarakan oleh keluarga besar ayahnya.Fania berdandan sangat anggun dan pastinya cantik. Ia memakai gaun berwarna cream dengan aksesoris pita di belakang pinggangnya. Rambutnya sengaja ia ikat satu dengan bagian bawah rambut yang terurai. Ia juga merubah gaya rambutnya bagian depan menjadi berponi.Devan bahkan sampai tidak berkedip saat melihat istrinya kini berdiri di ambang anak tangga sambil tersenyum.“Kenapa, Mas? Aneh, ya?” tanya Fania sembari melihat tampilannya kembali.Devan menggeleng pelan. “Tidak. Seperti ada yang berbeda darimu?” Devan masih saja mengamati istrinya.Fania yang mendengar terkikik. Ia sudah paham dengan apa yang suaminya katakan.“Oh itu, aku bikin poni. Menurutmu bagus enggak sih? Aku di poni kaya gini?” Fania berbalik tanya.“Ah, benar itu. Ponimu baru, pantas saja ada yang berbeda,” sahut Devan. Lalu ia berkata kembali, “Bagus, Kok. Kamu kelihatan makin imut.”Fania s
Wanita paruh baya itu langsung membuang muka dari hadapan Fania. Ia bahkan ingin masuk ke ruang sebelah tepatnya samping toilet, namun dengan cepat tangan Fania memegang lengannya dengan kuat.“Apa kamu Ibu?” tanya Fania sekali lagi. Kedua matanya mengembun seketika. Karena postur tubuh wanita yang ada di hadapannya sama persis seperti postur tubuh wanita yang ia lihat dua hari yang lalu.Wanita itu masih saja terbungkam, tanpa melihat ke arah Fania.“Maaf, aku bukan ibumu,” ucap suara wanita itu. Membuat Fania melepaskan cengkeraman jemarinya di lengannya.“Siapa namamu? Jika namamu Elfina, berarti kamu adalah ibuku. Aku masih paham bentuk tubuh ibuku. Aku sangat hafal dengan suara ibuku. Kamu pasti ibu ‘kan?” tanya Fania kembali memastikan.Wanita paruh baya dengan berambut pendek lurus masih saja tak bergeming menanggapi ucapan Fania. Ia pun menyeka air matanya yang kini berjatuhan.‘Takdir macam apa ini, Tuhan?’ gumamnya dalam hati.Namun, tidak lama kepala pelayan ketring acara k
“Kamu serius?” tanya Devan memastikan.Fania mengangguk cepat. “Serius, Mas. Dan postur tubuhnya sama persis dengan wanita yang saat itu aku lihat di trotoar. Kamu ingat ‘kan, Mas?”Devan masih tampak berpikir kali ini. Lalu ia berkata, “Ya, sudah. Setelah acara selesai kita bahas hal ini lagi,” ujarnya kepada sang istri.Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukkan pintu. Membuat Devan langsung bergegas berdiri dan berjalan ke arah pintu lalu membukanya.“Malam, Tuan. Ini pesanan bajunya sudah sampai,” ucap salah satu pihak hotel.“Terima kasih. Ini untukmu.” Devan mengambil paper bag di tangan pihak hotel dengan memberikan uang tip kepadanya.Setelah pihak hotel pergi, ia pun menutup pintunya kembali. Dan berjalan mendekat ke arah sofa di mana sang istri sedang duduk dengan menatap ke layar ponselnya.“Ini bajumu, Sayang. Lebih baik kamu lekas berganti.” Devan menyerahkan paper bag berwarna cokelat itu ke hadapan istrinya.Fania yang sudah menerima ia pun masuk ke dalam kamar mand
Devan membelalak tak percaya. Namanya sama persis dengan mendiang mertuanya yang rumornya menghilang karena kecelakaan.Ia pun langsung menutup dokumen itu, lalu menatap ke arah kepala pelayan ketring kembali dengan berkata, “Apa pegawaimu yang bernama Elfina Almora itu sudah lama bekerja denganmu?”Mister langsung mengangguk. “Sudah 5 tahun, Tuan.”Devan tercengang. Itu waktu yang sangat lama. “Baiklah, aku meminta data ini. Dan aku harap kamu perlakukan pegawaimu yang bernama Elfina Almora dengan baik, kalau bisa naikkan jabatannya. Di data ini dia sebagai pegawai pencuci piring ‘kan?”Mister mengangguk kembali. “Tapi, Tuan. Apa harus di naikkan jabatannya?”“Iya, harus. Dan tolong segani dia, jangan berikan pekerjaan yang berat-berat. Jika sampai aku tahu, perusahaanmu sudah dipastikan akan gulung tikar secepatnya. Camkan itu!” tekan Devan kepada kepala pelayan ketring yang mengangguk mengerti.Devan pun memasukkan lembaran kertas itu ke dalam saku jasnya. Dia belum ingin bertemu d
Shanum yang mendengar nada bicara Riko gelagapan. Ia sedikit tidak percaya dengan ucapannya. Bukan mau menuduh yang tidak-tidak. Akan tetapi, bagi Shanum di usia yang mulai matang. Ia tidak mau menjalin hubungan dengan seseorang untuk bermain-main saja. Ia butuh sosok lelaki untuk mau menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius.“Oh, baguslah.” Hanya dua kata itu yang Shanum katakan kepada Riko.Riko akhirnya mengalihkan pembicaraannya ke hal yang lain. Dan tidak terasa mereka berdua berbincang cukup lama. Bahkan sampai habis waktu istirahat Shanum selesai.“Ya, sudah. Aku balik kerja dulu, ya. Terima kasih atas waktunya, Rik,” ucap Shanum saat hendak berdiri dari kursinya.“Iya, Sha, sama-sama. Makasih juga, ya, kamu sudah mau menerima ajakkanku. Hem, aku boleh menunggu kamu sampai selesai pemotretan?” tawar Riko kepada Shanum.Shanum seketika langsung menggeleng. “Tidak usah, Rik. Karena aku juga belum tahu akan selesai jam berapa, daripada kamu menunggu kelamaan!” tolak Shanum
Hari dengan cepat berlalu tidak terasa Devan dan Fania sudah sepuluh hari berada di negara Prancis. Dan saat ini mereka berdua sedang menikmati sarapan bersama dengan Samuel dan juga Berliana yang sengaja menginap di kediaman Sam.Di saat mereka sedang menikmati hidangan penutup. Samuel melirik ke arah Berliana yang berada di sampingnya. Ia mengkode dengan isyarat mata, dan Berliana yang mengerti ia hanya mengangguk menanggapi bahasa tubuh sang kekasih kepadanya.“Ehem ... Ada yang ingin Papah bicarakan sama kalian!” ucap Sam dengan menatap ke arah Putranya dan sang menantu.Devan yang sibuk mengunyah, ia langsung mendongak secara bersamaan dengan sang istri.“Bicara apa, Pah? Apa ini penting?” tanya Devan penasaran. Fania sendiri, dia lebih memilih diam untuk menyimak.Sam mengangguk tersenyum, “Iya, ini penting. Hem ... Papah sudah membicarakan ini dengan Berliana. Jika kami akan memutuskan untuk menikah bulan depan.”Hal itu membuat Devan tersenyum. Ia menengok ke arah istrinya. Fa
“Jangan menghindar, Ibu. Aku tahu Anda ibu kandung istriku. Tolong, kali ini biarkan saya bisa bicara denganmu sebentar,” ucap Devan dengan masih menahan pintu kamar apartemen itu dengan kuat.“Mau bicara apa? Katakan saja sekarang!” seru wanita itu dengan menatap Devan sangat tajam.Devan menggeleng. “Tidak sopan jika bicara di depan pintu seperti ini. Bolehkah saya, masuk? Kita bicara di dalam biar lebih enak dan leluasa?” tawar Devan dengan hati-hati.Wanita itu yang bernama Elfina, langsung mengiyakan permintaan pria di hadapannya kini. Entah kenapa ia yang tadinya sedikit terbawa emosi kini bisa luluh hanya karena perkataan pria di depannya itu sangat sopan padanya.“Silakan, masuk.” Elfina membuka pintu secara lebar. Lalu Devan langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen itu dan duduk di kursi sofa berwarna hitam.Elfina sendiri, ia langsung berjalan masuk ke arah dapur. Ia membuatkan teh manis hangat untuk tamunya yang kini duduk di ruang tamu.Sementara Devan, ia
Saat Devan mendengarkan dengan seksama. Tiba-tiba ponsel dalam saku jasnya berbunyi.Elfina yang tadi menjeda ucapannya kini terdiam. Karena menantunya langsung menyambar ponsel yang kini di pegang.“Maaf, Bu. Aku angkat panggilan sebentar,” ucap Devan yang langsung diangguki oleh ibu mertuanya.“Halo, Pah. Ada apa, ya?” tanya Devan kepada Samuel yang menghubungi.“Kamu bisa ke kantor sekarang? Ada yang mau papah bicarakan sama kamu,” titah Sam di seberang sana.Devan memandang ke arah ibu mertuanya yang masih terdiam sembari menatapnya sedari tadi.“Bisa, Pah. Aku akan ke sana sekarang.” Devan menjawab, lalu mematikan sambungannya dan menaruh ponselnya ke dalam saku jasnya kembali.“Maaf, Bu. Sepertinya aku harus pergi,” ucap Devan.Elfina pun mengerti. Ia hanya mengangguk. “Ya, Nak. Tidak apa-apa,” sahutnya.“Apa ibu ingin bertemu dengan Fania. Nanti biar aku cari waktu yang pas?” tanya Devan sebelum beranjak.“Maaf, Nak. Tolong sembunyikan dulu masalah ini. Bukan, bukan Ibu tidak i