Hari telah berganti malam. Kini Fania mendandani Karina dengan memakaikan gaun yang ia belikan beberapa hari yang lalu.Karina merasa ada yang aneh dengan sikap sahabatnya ini. Namun, entah kenapa malam ini dia berubah menjadi wanita yang penurut. Fania memerintahkan banyak hal, ia juga dengan cepat menurut saja tanpa protes sedikit pun.Padahal, biasanya Karina akan memberontak jika Fania merusuh seperti sekarang. Tapi kali ini, Karina bak bayi kecil yang menurut dengan ibunya yang sedang didandani.“Fan, emang ini acara apa sih?” tanya Karina lagi dengan penasaran.“Kan dah gue kata, Rin. Ini acara spesial, ntar juga lo tahu sendiri!” timpal Fania terkikik.“Tau ah, jawaban lo kaya gitu terus dari tadi!” Karina kini cemberut.Namun, Fania tidak memperdulikannya. Fania mengambil ponsel yang berada di tas selempang. Ia sengaja memakai tas kecil agar bisa menyimpan ponselnya biar aman dari Karina.Devan sudah menghubungi jika semuanya sudah siap. Lalu Fania mengajak Karina untuk ke tem
Setelah sambungan telpon terputus. Wajah Fania kini tampak lesu, dan hal itu membuat Devan menjadi khawatir.“Sayang, kamu baik-baik saja ‘kan?”Karina dan Reihan juga ikut menatap ke arah Fania yang terdiam membeku.“Mas ... Pa-pah!” ucap Fania lirih. Matanya kini mengembun, membuat Devan semakin panik.“Iya, Sayang. Papah kenapa?” tanya Devan mencoba tenang.“Papah, masuk rumah sakit!” Fania berkata lirih, sembari terisak. Hatinya terasa sakit mendengar kabar buruk itu.Devan terkejut mendengar kabar itu. Sebab, saat ia terakhir bertemu dengan mertuanya. Dia melihat Alnando tampak sehat-sehat saja.“Ya, sudah. Kamu mau balik ke Jakarta?” tanya Devan kepada Fania. “Jika iya, biar Reihan memesankan tiket malam ini juga untuk kita kembali ke Jakarta!” sambung Devan lagi. Dan hal itu langsung diangguki oleh Fania.Karina memegang tangan Fania yang dingin. Ia mencoba memberi kekuatan untuk Fania agar bisa tenang.“Sabar ya, Fan. Doakan saja Papah lo baik-baik saja,” ucap Karina.Fania ha
Fania menceritakan semuanya kepada Devan sambil terisak. Hatinya hancur setelah apa yang dilakukan oleh Alnando kepadanya. Padahal Fania datang dengan begitu khawatir pada sang ayah. Lalu dengan entengnya Alnando berucap kepada Fania hingga membuat hati anaknya terluka seperti sekarang.Devan pun menenangi Fania, meski dalam hati ia juga ikut terluka. Seorang anak diperlakukan tidak baik oleh orang tuanya sendiri. Hal itu sangat bertolak belakang dengan keluarganya. Sebab, Devan selalu diberi kasih sayang dan kehangatan selama ia masih berstatus lajang.“Kamu, jangan berpikir macam-macam ya, mungkin Papah masih kecewa dengan perjanjian pernikahan kita yang 100 hari itu. Tapi, percayalah tidak ada orang tua yang tidak sayang kepada anaknya. Berpikir yang baik saja biar hasilnya juga nanti akan baik. Oke!” Devan berucap sembari mengelus pipi sang istri yang basah oleh air mata.Meski Fania hanya terdiam dan tak merespon. Devan memahami apa yang sedang istrinya rasakan.Hampir satu jam l
Dua minggu berlalu. Kini Alnando sudah sehat, meski belum sepenuhnya. Dan hal itu membuat Angela sedikit geram, karena kondisi suaminya bukannya memburuk malah lebih membaik.Angela mondar mandir sendiri di ruang tengah—kediaman Alnando. Karena hari ini, Alnando sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Angela akhirnya pulang untuk mempersiapkan kamar untuk menyambut suaminya.“Shanum, kamu yakin sudah memberikan obat itu? Kamu tidak lupa menukarnya ‘kan?” tanya Angela kepada Shanum di sambungan telpon.“I-ya, M-ah. A-ku sudah menukarnya!” Shanum menjawab dengan gugup. Bahkan ia sengaja keluar dari ruangan ayah tirinya agar Alnando tidak mendengar apa yang ia bicarakan dengan ibunya.Angela menghela napas panjang. “Harusnya obat itu bereaksi cepat, kayanya ada yang tidak beres. Ya, sudah kamu urus Alnando dulu. Mamah menyusul nanti!” ucap Angela yang langsung mematikan sambungan telponnya secara sepihak.Hati Shanum begitu lega. Ibunya tidak ada rasa curiga sedikit pun kepadanya.“Huh!
Fania kini sudah bersama Karina menuju tempat untuk memilih gaun pengantin. Setelah memakan waktu hampir setengah jam perjalanan. Kini mereka berdua sudah sampai di depan butik yang berada di kawasan Jakarta Barat.“Jadi, lo sudah bertemu dengan keluarga Reihan?” tanya Fania setelah menutup pintu mobil.Karina mengangguk. “Aku tadinya takut, jika keluarga Rei akan mempersulit hubunganku dengannya. Tapi, ternyata mereka menyambutku penuh kehangatan,” ungkap Karina merasa terharu.“Syukurlah, Rin. Gue senang dengarnya.” Fania memeluk Karina.Karina dan Fania masuk ke dalam butik yang langsung disambut oleh pegawai butik itu.Mereka berdua disuruh menunggu sampai pemilik butik datang. Karina pun mengajak Fania duduk di ruang tunggu yang sudah disediakan.“Kabar bokap lo gimana, Fan?” tanya Karina sembari meminum teh yang dibuatkan oleh pegawai butik.Fania menggeleng. “Gue benar-benar sudah tak dianggap anak oleh bokap gue!”“Maksud lo?”Fania pun menceritakan kejadian waktu di rumah sak
Bab 23. Hari Bahagia“Lepaskan tangan istriku, atau kamu mau mendekam di penjara!” Suara Devan dengan lantang saat mendekat ke arah Fania.Devan yang tadinya sedang mengobrol dengan rekan bisnisnya. Ia dibuat gelisah karena istrinya tak kunjung datang. Akhirnya, ia berinisiatif mencari Fania. Namun, tidak disangka saat ia akan menuju ke arah lift ke lantai lima yaitu ruang rias berada.Pandangannya langsung menatap ke arah lorong, di mana ia melihat secara langsung tangan istrinya dicekam oleh pria yang beberapa bulan lalu telah mengusik istrinya di kampus.Devan pun langsung mendekat dan mengancam pria itu siapa lagi kalau bukan Riko.Riko yang mendengar ancaman dari Devan. Dia pun langsung melepas pergelangan tangan mantan kekasihnya itu.Fania berlari mendekat ke arah Devan dan memeluk tubuh suaminya sangat erat.“Makasih, Mas. Untung kamu cepat datang!” ucap Fania ketakutan.“Sudah jangan takut, ada aku di sini!” Devan membelai rambut istrinya.Riko yang memandang Fania memeluk l
“Apa kabar, Mas?” tanya Alya yang mendekat ke arah Devan.“Baik,” sahut Devan sedikit gugup. Sudah lama balik ke Jakarta?”Devan teringat saat ia berada di mobil setelah acara wisuda istrinya. Dia melihat Alya, yang baru keluar dari gedung itu juga. Tebakannya jika itu Alya, semakin yakin. Dia tidak salah melihat.Alya pun mengangguk. “Semenjak suamiku meninggal. Aku langsung balik ke sini,” ujarnya lirih membuat Devan terkejut.“Apa? Meninggal?”Alya mengangguk dengan tersenyum getir.“Aku turut berduka cita, Al. Maaf, aku tidak tahu kabar hal itu,” ungkap Devan. Dia memang tidak tahu sama sekali jika suami mantan kekasihnya itu tiada.“Tidak masalah, Mas. Lagi pula meninggalnya suamiku juga mendadak,” terang Alya.Di saat itu pula, ada seorang anak laki-laki berumur dua tahunan yang mendekat ke arah mereka.“Unda ... Unda,” panggilnya seraya menghampiri Alya yang berdiri di hadapan Devan.Alya langsung menangkup tubuh mungil bocah laki-laki itu yang menggelayut ke kaki jenjangnya.“
Devan yang terdiam membuat tebakkan Fania semakin yakin, jika Alya bukan hanya teman biasa.“Alya itu ....,” Devan menjeda kalimatnya. Ia tidak sanggup untuk berterus terang dengan istrinya. Ia takut Fania akan semakin cemburu jika tahu kebenaran tentang Alya—mantan kekasihnya itu.“Sudah lah, Mas. Tanpa kamu memberi tahu juga aku sudah paham!” timpal Fania. Ia langsung menghadap ke jendela pintu mobil menatap kota Jakarta yang kini mulai mendung.Devan langsung terbungkam kembali. Namun, hatinya bicara jika ia harus jujur kepada sang istri.“Maaf, Sayang. Ya, kamu benar. Alya bukan hanya sekedar teman biasa. Dia ... Dia mantan kekasihku dulu,” ungkap Devan lirih. Berharap jika istrinya tidak semakin marah jika tahu kebenarannya.Fania tidak terkejut, sebab yang ia tebak adalah kebenaran.“Oh!” hanya satu kata yang keluar dari mulut Fania. Ia menatap ke arah jalanan kembali.Devan yang mendengar jawaban singkat dari sang istri kini dibuat frustasi. Dia baru melihat kemarahan istrinya