Sore hari yang seharusnya dingin karena turunnya hujan. Namun, berbeda bagi sepasang suami-istri yang telah menghabiskan waktu sore hari dengan beradu keringat. Hawa panas begitu terasa di tubuh mereka berdua yang kini terbaring lemas di atas ranjang. Fania tertidur di atas d**a Devan, ketika puncak kenikmatan mereka berdua terlepas. “Terima kasih, Sayang.” Devan berkata kepada Fania yang tampak kelelahan. Fania hanya mengangguk tanpa menjawab. Devan memahami karena ia tahu pergulatan sore ini Fania lebih banyak beraksi. Dan hal itu sangat Devan sukai. Ia pun membelai rambut hitam sang istri yang nyaman tertidur di atas d**anya. Tidak terasa mereka berdua tidur terlelap. Padahal seharusnya mereka membersihkan diri. Namun, efek kelelahan membuat mereka tidak sadar dan tertidur begitu saja ditambah lagi di luar sana sedang diguyur hujan lebat. Berbeda di tempat lain, yakni di kediaman Alya. Alya yang sedang menatap ke arah jendela melihat hujan yang turun begitu deras. Ia teringat d
Orang itu tersenyum kepada Fania. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan istri dari mantan kekasihnya itu. Ya, dia adalah Alya.“Hei! Kamu istri Elnathan ‘kan?” tanya Alya menyapa kepada Fania.Fania tersenyum canggung. “Elnathan?” ulang Fania memastikan.“Eh, bukan. Maksud aku, Devan. Maaf aku memanggilnya Elnathan,” ucap Alya.Fania yang mendengar hanya tersenyum. “Oh, gitu ya.”“Senang bisa bertemu dengan kamu lagi. Maaf sewaktu di mall, aku mengajak mas El ngobrol. Tapi, aku tidak ada maksud hal lain, kok. Kamu jangan mikir yang tidak-tidak, ya,” terang Alya. Ia merasa tidak enak waktu itu saat melihat raut wajah Fania yang tak biasa.Fania mengangguk. “Iya, tidak masalah, kok.” Hanya itu yang Fania katakan. Padahal sudah jelas mereka kemarin bertengkar gara-gara Fania cemburu kepada Alya.“Syukurlah, aku takutnya kamu cemburu,” ucap Alya seraya memegang lengan Fania.Fania sebenarnya sedikit risih. Akan tetapi, ia mencoba bersikap biasa saja.“Tidak, kok, Mbak. Buat apa c
Setelah acara selesai. Fania kini pamit pulang kepada teman kampusnya—Claudia. Bahkan Fania tidak menyangka jika desainer yang menjadi brand temannya itu adalah milik Alya—mantan kekasih suaminya.“Sumpah, gue nggak percaya kalo brand ini ternyata milik dia! Mana dia tadi sombong banget lagi,” gerutu Fania saat dalam perjalanan pulang.Fania yang bingung mau ke mana lagi, akhirnya ia memutuskan untuk mampir ke cafe milik temannya. Fania sudah mengabari Devan terlebih dahulu, dan suaminya pun sudah mengizinkan.Setelah memarkirkan mobilnya. Fania turun lalu memilih duduk di pinggir jendela, dan juga memesan minuman cokelat dingin.Pandangan Fania kini teralihkan kepada ponselnya yang berdering. Di sana tertera ada nama sahabatnya.“Halo, Rin.” Fania menyapa setelah menekan tombol hijau.Karina yang mendengar dan melihat wajah Fania langsung berteriak. “Fania ....! Gue kangen banget sama lo. Lo apa kabar? Baik ‘kan pastinya?” tanya Karina berturut membuat Fania tertawa.“Astaga, Rin. Ki
Siang itu seorang wanita setelah melakukan pekerjaannya yaitu melaksanakan fashion show untuk karya terbarunya, ia melajukan mobilnya menuju sebuah kantor milik orang yang begitu berharga dalam hatinya.Ya. Orang itu adalah Alya Wardani, seorang desainer brand AL Louis yang terkenal di Ibukota. Bahkan brandnya sudah mulai berkembang di mancanegara.Mobil Alya sudah tiba di sebuah gedung kantor elite di kawasan Jakarta Pusat. Yakni di kantor Devandra Company. Setelah mobil terparkir, ia keluar lalu berjalan masuk ke lobby munuju meja resepsionis.“Permisi, saya mau bertemu dengan Tuan Elnathan. Apa dia ada di ruangan?” tanya Alya langsung.Seorang wanita yang duduk di kursi resepsionis pun memberikan senyuman dan berkata, “Ada di ruangannya. Kalo boleh tahu Anda siapa, ya? Ada keperluan apa dengan pak Elnathan?” wanita itu berbalik tanya.“Saya rekan bisnisnya.” Alya menjawab seadanya.“Oh, baik. Ruangannya ada di lantai 5,” ucap wanita itu dengan memberikan access pintu kepada Alya.“
Kini yang dirasakan oleh Fania adalah kekecewaan paling dalam kepada sang suami yang telah mengingkari janjinya sendiri.Fania melajukan mobilnya entah tujuannya akan ke mana. Ia bahkan berkendara bukan ke arah jalanan apartemen. Melainkan melajukan mobil ke arah pantai Mutiara yang terdapat di Jakarta Utara.Namun, belum juga sampai. Tiba-tiba hujan datang begitu deras. Fania menurunkan kaca spion sampingnya. Lalu ia menadahkan tangannya keluar jendela mengenai air hujan.Telapak tangan Fania kini basah oleh derasan air hujan yang turun dengan deras. Bukan hanya tangannya yang basah, tetapi wajahnya juga basah oleh derasan air mata yang turun tiada henti.‘Sesakit ini ternyata, padahal aku udah lama nggak merasakan hal seperti ini. Tapi kali ini sakitnya benar-benar terasa, kenapa kamu tega sih, Mas! Membohongiku?’ batin Fania sangat kecewa.Setelah sampai di tujuan. Fania tidak turun, ia lebih memilih melihat ombak dari dalam mobil. Kebetulan mobil terparkir di pembatasan bibir pan
Dua jam kemudian.Devan membawa Fania ke rumah sakit terdekat di Jakarta Utara. Karena jika ia membawa ke Jakarta Selatan, yang ada akan memakan waktu lama apalagi keadaan hujan deras yang pastinya akan terkena macet.Fania kini sedang di tangani oleh dokter IGD. Devan berulang kali mondar mandir di depan pintu dengan berharap jika Fania baik-baik saja.‘Semoga kamu baik-baik saja ya, Sayang. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika kamu sampai kenapa-napa,' gumam Devan seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.Devan pun akhirnya mendudukkan b****g di kursinya bangku depan kamar IGD. Namun, tidak lama kemudian. Seorang perawat wanita keluar menghampirinya.“Dari pihak keluarga pasien?” tanya Perawat itu.“Saya, Sus. Bagaimana keadaan istri saya?” Devan berbalik tanya dengan cemas.“Silakan tanyakan langsung kepada dokter, Pak. Dokter meminta Bapak masuk ke dalam,” titah Perawat dengan membukakan pintu untuk Devan.Devan mengangguk. Lalu masuk ke dalam ruang IGD menem
Devan terbangun karena sentuhan di kepalanya. Ia mendongak, lalu tersenyum saat melihat istrinya sudah sadarkan diri.“Sayang, kamu sudah bangun? Gimana keadaanmu? Masih pusing atau apa ada yang sakit?” tanya Devan begitu panjang membuat Fania menggeleng dengan tersenyum.“Aku baik-baik saja, Mas.”“Syukurlah, aku sangat khawatir saat kamu tak sadarkan diri. Maafkan aku, Sayang. Karena aku ka—,”“Terima kasih, Mas. Atas kepedulianmu, maaf aku membuatmu repot,” sela Fania. Ia seakan-akan melupakan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu.Devan tersenyum. “Aku tidak merasa repot sama sekali. Semua ini salahku, tolong maafkan aku, Sayang,” mohon Devan sekali lagi.Fania pun mengangguk. Jujur saja, hatinya masih merasa kecewa kepada sang suami. Namun, melihat kepedulian yang dilakukan suaminya membuat sebagian hatinya luluh begitu saja.“Kamu mau makan? Aku suapkan buburnya, ya?” tanya Devan.“Boleh, Mas.”Sebelum menyuapi sang istri. Devan lebih dulu membantu Fania untuk duduk. Setelah s
Setelah membalas pesan dari sang mantan. Fania meletakkan kembali ponsel suaminya di atas meja. Lalu ia meraba wajah sang suami membuat suaminya terbangun akan sentuhan darinya.“Sayang, kamu sudah bangun? Kenapa kamu turun ke sini, harusnya kamu panggil aku saja?” tanya Devan dengan panik saat melihat wajah istrinya berada di hadapannya.Bahkan Fania sampai menyeret tiang infusnya dan itu membuat Devan sangat cemas.“Aku sudah baikkan, Mas. Kamu nggak perlu segitunya khawatir ke aku,” ucap lirih Fania.“Bukan begitu, Sayang. Aku hanya tidak ingin kamu kenapa-napa. Tapi, syukurlah kalo kamu sudah baikkan. Kamu mau sarapan? Sepertinya sarapan pagi kamu sebentar lagi akan di antar,” sahut Devan.Fania mengangguk. Lalu berkata, “Aku mau ke kamar mandi dulu, Mas. Kamu bantu aku, ya?”“Hayo,” jawab Devan langsung.Devan dengan sigap membantu membukakan pintu kamar mandi lalu dengan cekatan ia mendorong tiang infusnya masuk ke dalam setelah sang istri masuk terlebih dahulu.Tidak lama saat