Seperti yang sudah disepakati oleh Fania dan Devan. Kini Fania berkunjung ke apartemen milik Karina.Setelah menempuh jarak kurang lebih tiga puluh menit. Fania akhirnya sampai di kediaman sahabatnya. Karina langsung menyambut kedatangan Fania dengan antusias.“Ya ampun, Rin. Gue capek banget, njir. Jalanan macet banget, g**a!” Fania duduk di sofa ruang tengah sembari mengipas kipas wajahnya dengan telapak tangan.“Yaelah, cuman tinggal duduk doang di mobil. Bilang capek! Capek tuh menyetir sendiri, baru capek!” gerutu Karina dengan menuangkan jus jeruk ke gelas. Lalu ia sodorkan ke Fania.Fania menerima, tanpa berucap ia langsung menenggak abis jus jeruk buatan Karina itu.“Haus? Apa doyan?” ledek Karina.“Dua-duanya.”Karina tersenyum. “Tumben lo ke sini? Ada apa?” tanya Karina penasaran.“Pengen main aja. Sama mau ngajak kamu holiday,” sahut Fania.“Holiday?” Karina mengulang.Fania mengangguk. “Aku disuruh sama om Devan untuk liburan, kan kita baru saja wisuda, siapa tahu kita bos
Hari telah berganti malam. Kini Fania mendandani Karina dengan memakaikan gaun yang ia belikan beberapa hari yang lalu.Karina merasa ada yang aneh dengan sikap sahabatnya ini. Namun, entah kenapa malam ini dia berubah menjadi wanita yang penurut. Fania memerintahkan banyak hal, ia juga dengan cepat menurut saja tanpa protes sedikit pun.Padahal, biasanya Karina akan memberontak jika Fania merusuh seperti sekarang. Tapi kali ini, Karina bak bayi kecil yang menurut dengan ibunya yang sedang didandani.“Fan, emang ini acara apa sih?” tanya Karina lagi dengan penasaran.“Kan dah gue kata, Rin. Ini acara spesial, ntar juga lo tahu sendiri!” timpal Fania terkikik.“Tau ah, jawaban lo kaya gitu terus dari tadi!” Karina kini cemberut.Namun, Fania tidak memperdulikannya. Fania mengambil ponsel yang berada di tas selempang. Ia sengaja memakai tas kecil agar bisa menyimpan ponselnya biar aman dari Karina.Devan sudah menghubungi jika semuanya sudah siap. Lalu Fania mengajak Karina untuk ke tem
Setelah sambungan telpon terputus. Wajah Fania kini tampak lesu, dan hal itu membuat Devan menjadi khawatir.“Sayang, kamu baik-baik saja ‘kan?”Karina dan Reihan juga ikut menatap ke arah Fania yang terdiam membeku.“Mas ... Pa-pah!” ucap Fania lirih. Matanya kini mengembun, membuat Devan semakin panik.“Iya, Sayang. Papah kenapa?” tanya Devan mencoba tenang.“Papah, masuk rumah sakit!” Fania berkata lirih, sembari terisak. Hatinya terasa sakit mendengar kabar buruk itu.Devan terkejut mendengar kabar itu. Sebab, saat ia terakhir bertemu dengan mertuanya. Dia melihat Alnando tampak sehat-sehat saja.“Ya, sudah. Kamu mau balik ke Jakarta?” tanya Devan kepada Fania. “Jika iya, biar Reihan memesankan tiket malam ini juga untuk kita kembali ke Jakarta!” sambung Devan lagi. Dan hal itu langsung diangguki oleh Fania.Karina memegang tangan Fania yang dingin. Ia mencoba memberi kekuatan untuk Fania agar bisa tenang.“Sabar ya, Fan. Doakan saja Papah lo baik-baik saja,” ucap Karina.Fania ha
Fania menceritakan semuanya kepada Devan sambil terisak. Hatinya hancur setelah apa yang dilakukan oleh Alnando kepadanya. Padahal Fania datang dengan begitu khawatir pada sang ayah. Lalu dengan entengnya Alnando berucap kepada Fania hingga membuat hati anaknya terluka seperti sekarang.Devan pun menenangi Fania, meski dalam hati ia juga ikut terluka. Seorang anak diperlakukan tidak baik oleh orang tuanya sendiri. Hal itu sangat bertolak belakang dengan keluarganya. Sebab, Devan selalu diberi kasih sayang dan kehangatan selama ia masih berstatus lajang.“Kamu, jangan berpikir macam-macam ya, mungkin Papah masih kecewa dengan perjanjian pernikahan kita yang 100 hari itu. Tapi, percayalah tidak ada orang tua yang tidak sayang kepada anaknya. Berpikir yang baik saja biar hasilnya juga nanti akan baik. Oke!” Devan berucap sembari mengelus pipi sang istri yang basah oleh air mata.Meski Fania hanya terdiam dan tak merespon. Devan memahami apa yang sedang istrinya rasakan.Hampir satu jam l
Dua minggu berlalu. Kini Alnando sudah sehat, meski belum sepenuhnya. Dan hal itu membuat Angela sedikit geram, karena kondisi suaminya bukannya memburuk malah lebih membaik.Angela mondar mandir sendiri di ruang tengah—kediaman Alnando. Karena hari ini, Alnando sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Angela akhirnya pulang untuk mempersiapkan kamar untuk menyambut suaminya.“Shanum, kamu yakin sudah memberikan obat itu? Kamu tidak lupa menukarnya ‘kan?” tanya Angela kepada Shanum di sambungan telpon.“I-ya, M-ah. A-ku sudah menukarnya!” Shanum menjawab dengan gugup. Bahkan ia sengaja keluar dari ruangan ayah tirinya agar Alnando tidak mendengar apa yang ia bicarakan dengan ibunya.Angela menghela napas panjang. “Harusnya obat itu bereaksi cepat, kayanya ada yang tidak beres. Ya, sudah kamu urus Alnando dulu. Mamah menyusul nanti!” ucap Angela yang langsung mematikan sambungan telponnya secara sepihak.Hati Shanum begitu lega. Ibunya tidak ada rasa curiga sedikit pun kepadanya.“Huh!
Fania kini sudah bersama Karina menuju tempat untuk memilih gaun pengantin. Setelah memakan waktu hampir setengah jam perjalanan. Kini mereka berdua sudah sampai di depan butik yang berada di kawasan Jakarta Barat.“Jadi, lo sudah bertemu dengan keluarga Reihan?” tanya Fania setelah menutup pintu mobil.Karina mengangguk. “Aku tadinya takut, jika keluarga Rei akan mempersulit hubunganku dengannya. Tapi, ternyata mereka menyambutku penuh kehangatan,” ungkap Karina merasa terharu.“Syukurlah, Rin. Gue senang dengarnya.” Fania memeluk Karina.Karina dan Fania masuk ke dalam butik yang langsung disambut oleh pegawai butik itu.Mereka berdua disuruh menunggu sampai pemilik butik datang. Karina pun mengajak Fania duduk di ruang tunggu yang sudah disediakan.“Kabar bokap lo gimana, Fan?” tanya Karina sembari meminum teh yang dibuatkan oleh pegawai butik.Fania menggeleng. “Gue benar-benar sudah tak dianggap anak oleh bokap gue!”“Maksud lo?”Fania pun menceritakan kejadian waktu di rumah sak
Bab 23. Hari Bahagia“Lepaskan tangan istriku, atau kamu mau mendekam di penjara!” Suara Devan dengan lantang saat mendekat ke arah Fania.Devan yang tadinya sedang mengobrol dengan rekan bisnisnya. Ia dibuat gelisah karena istrinya tak kunjung datang. Akhirnya, ia berinisiatif mencari Fania. Namun, tidak disangka saat ia akan menuju ke arah lift ke lantai lima yaitu ruang rias berada.Pandangannya langsung menatap ke arah lorong, di mana ia melihat secara langsung tangan istrinya dicekam oleh pria yang beberapa bulan lalu telah mengusik istrinya di kampus.Devan pun langsung mendekat dan mengancam pria itu siapa lagi kalau bukan Riko.Riko yang mendengar ancaman dari Devan. Dia pun langsung melepas pergelangan tangan mantan kekasihnya itu.Fania berlari mendekat ke arah Devan dan memeluk tubuh suaminya sangat erat.“Makasih, Mas. Untung kamu cepat datang!” ucap Fania ketakutan.“Sudah jangan takut, ada aku di sini!” Devan membelai rambut istrinya.Riko yang memandang Fania memeluk l
“Apa kabar, Mas?” tanya Alya yang mendekat ke arah Devan.“Baik,” sahut Devan sedikit gugup. Sudah lama balik ke Jakarta?”Devan teringat saat ia berada di mobil setelah acara wisuda istrinya. Dia melihat Alya, yang baru keluar dari gedung itu juga. Tebakannya jika itu Alya, semakin yakin. Dia tidak salah melihat.Alya pun mengangguk. “Semenjak suamiku meninggal. Aku langsung balik ke sini,” ujarnya lirih membuat Devan terkejut.“Apa? Meninggal?”Alya mengangguk dengan tersenyum getir.“Aku turut berduka cita, Al. Maaf, aku tidak tahu kabar hal itu,” ungkap Devan. Dia memang tidak tahu sama sekali jika suami mantan kekasihnya itu tiada.“Tidak masalah, Mas. Lagi pula meninggalnya suamiku juga mendadak,” terang Alya.Di saat itu pula, ada seorang anak laki-laki berumur dua tahunan yang mendekat ke arah mereka.“Unda ... Unda,” panggilnya seraya menghampiri Alya yang berdiri di hadapan Devan.Alya langsung menangkup tubuh mungil bocah laki-laki itu yang menggelayut ke kaki jenjangnya.“
Pagi ini sesuai rencana Fania untuk berpindah di kediaman ayahnya. Ia dan Elfina sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Alnando.“Bi Darmi, titip rumah ini, ya,” ucap Fania saat sudah di depan pintu apartemen.“Iya, Nyonya. Hati-hati di jalan,” kata Darmi dengan rasa haru. Sebab, setelah menginap di rumah Alnando. Fania dan Devan akan langsung berpindah ke Paris.“Kalo ada apa-apa atau butuh apa pun. Jangan sungkan hubungi aku atau ke istriku, ya, Bi,” pesan Devan.“Baik, Tuan.”“Kami pamit dulu, Bi Darmi.” Elfina ikut bersuara kali ini.Darmi hanya mengangguk dan tersenyum.Devan mengajak istri dan ibu mertuanya untuk berjalan ke arah lobi apartemen. Sementara di sana pak Aris sudah menunggu sedari tadi.Setelah masuk ke dalam mobil. Pak Aris melajukan mobilnya mengarah ke kediaman Alnando.Sesampainya di rumah Alnando. Mereka langsung di sambut oleh bi Iyas dan pak Joko yang sudah menunggu.“Selamat datang nyonya Elfina, non Fania dan den Devan,” kata Iyas dan Joko secara bersamaa
“Lo, tunggu sini, ya. Ingat! Jangan ke mana-mana!” Fania memberi peringatan kepada Karina. Lalu ia pergi keluar dari toko pelengkapan bayi.Fania menengok kanan kiri. Lalu netranya pun melihat ada seorang satpam mall yang sedang berjalan ke arahnya. Fania langsung mendekati satpam itu, untuk meminta bantuan.“Pak, bisa minta tolong?” tanya Fania langsung.“Iya, Mbak. Apa yang bisa saya bantu?”“Temanku mau lahiran, Pak. Apa Bapak, bisa bantuin saya siapkan mobilnya ke lobi?” titah Fania sopan.“Baik, Mbak. Akan saya bantu. Kalo boleh tahu berapa nomor plat mobilnya?” tanya Satpam itu.“Hayo, Pak. Ikut saya ke dalam, soalnya itu mobil teman saya,” sahut Fania sembari berjalan masuk ke tempat perlengkapan bayi.Satpam itu pun mengekori di belakang Fania yang masuk ke tempat di mana Karina berada. Setelah memberitahu kepada Satpam itu plat mobil Karina. Karina kini dirangkul oleh Fania untuk berjalan ke arah lobi. Untungnya tempat perlengkapan bayi ada di lantai dasar, membuat Fania tida
Setelah kepergian Elfina. Devan langsung menahan istrinya agar tidak memaksa kehendak sang ibu.“Sudah, tidak perlu kamu paksa Ibu agar mau tinggal di rumah Papah. Mungkin, ada hal yang tidak ingin Ibu beri tahu ke kamu, jadi kamu harus menjaga privasi Ibu, ya,” ucap Devan lirih. Berharap jika istrinya akan mengerti.Fania mengangguk pelan. “Iya, Mas. Kamu benar juga.”“Iya, sudah kamu mau ikut bareng aku ke toko atau mau diantar pak Aris?” tanya Devan saat sarapan selesai.“Aku ikut kamu saja, Mas.”Devan tersenyum. “Aku tunggu di bawah,” sahutnya dengan keluar ke arah pintu untuk mengambil mobil di basemen.Fania lebih dulu membereskan meja makan terlebih dahulu sebelum dia keluar. Setelah selesai, ia berjalan ke kamar ibunya untuk berpamitan.“Bu, Fania ke toko, ya,” ucapnya setelah mengetuk pintu.Tidak ada sahutan sama sekali dari kamar ibunya. Membuat hati Fania sedih kali ini. Ia merasa bersalah telah berbicara masalah untuk tinggal di rumah papahnya.Fania berjalan meninggalka
“Pak Devan?” sapa orang itu saat melihat ke arah Devan. Dia bahkan beranjak dari kursinya lalu mengulur tangan kanannya kepada Devan yang sedikit terkejut.“Anton?” panggil Devan singkat. “Kamu sudah di Jakarta berarti?” tanya Devan langsung. Karena setahu Devan, Anton waktu itu pindah ke Kalimantan.“Iya, Pak. Saya pindah ke sini lagi,” jawab Anton sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Kerja apa kamu sekarang? Kalau belum kerja, kamu bisa balik ke kantor saya lagi,” ajak Devan. Namun, dengan cepat Anton menggeleng.“Maaf, pak Devan. Bukan saya menolak rezeki, tetapi saya sudah buka usaha sendiri di sini, Pak,” sahut Anton sopan.Devan tersenyum mendengarnya. “Wah, bagus itu. Apa usahamu?”“Warung nasi padang, Pak. Itu yang seberang sana,” unjuk Anton ke warung usahanya dekat minimarket.“Oh, ya, kapan-kapan aku mampir,” ucap Devan. Ia juga bertanya tujuannya ke sini. Lalu Anton pun memberitahu tempat Angkringan yang buka hingga pagi, tempatnya memang tidak jauh dari lokasi s
Seseorang yang datang ke kantor Devan hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari si empu ruangan yang terdengar sinis kepadanya.“Sebelumnya aku mau meminta maaf, karena sudah lancang duduk di sini. Dan tujuan kedatanganku, hanya ingin memberikan ini padamu,” kata orang itu dengan mengeluarkan satu lembar kertas undangan pernikahan ke hadapan Devan.Devan masih terdiam menatap undangan di atas mejanya. “Kau akan menikah?” tanyanya singkat.Alya mengangguk. Memang benar yang datang ke kantor saat ini adalah Alya mantan kekasihnya dulu. Orang yang dulu pernah merencanakan menjebak istrinya di apartemen milik Riko.“Ya, ada seseorang yang melamarku satu bulan yang lalu. Aku kira, tak ada salahnya aku membuka hatiku lagi untuk orang lain. Aku sudah sadar jika kita tak ditakdirkan untuk bersama,” sahut Alya.“Ya, kamu sadar juga,” ucap Devan.Alya hanya tersenyum kecut mendengar jawaban Devan padanya.“Aku minta maaf, jika aku banyak salah. Sepertinya hanya itu saja kedatanganku ke sini,” k
Satu minggu kemudian. Seusai mengikuti sidang seminggu yang lalu, Fania dan Devan seperti memulai kehidupan yang baru. Meski sebenarnya, Beni masih menjadi buronan, tetapi Devan sudah menyerahkan semua keputusan kepada pak Gunawan selaku kepala kepolisian Jakarta Selatan.Elfina sementara masih tinggal di apartemen Fania untuk sementara waktu. Dan pagi ini seperti yang sudah dijanjikan oleh Fania kepada ibu dan ibu mertuanya yaitu mengajak ke toko bunga serta keliling Jakarta. Membuat Fania dan Elfina kini dalam perjalanan menjemput Berliana di kediaman Sam.Setelah sampai, ternyata Berliana sudah menunggu di ruang tamu bersama dengan Sam yang sedang menikmati secangkir teh dengan membaca koran surat kabar.“Hai, Mami!” sapa Fania dengan mendekat ke arah ruang tamu. Lalu bersalaman dengan Sam dan juga Berliana yang kini berdiri.“Hai, Sayang. Kita langsung jalan atau kalian mau mampir di sini dulu?” tanya Berliana setelah bersalaman dengan Elfina.“Langsung jalan saja, ya, Mi. Karena
Devan menaruh ponselnya di jasnya kembali. Disaat itu pula Fania mendekat dan bertanya siapa yang menghubungi.“Pak Gunawan yang menelpon tadi, Sayang.” Devan berkata seraya mendekat ke arah istrinya.Fania hanya mengangguk meski sebenarnya dia ingin bertanya lagi, tetapi dia urungkan. Sebab, melihat ibunya yang begitu terpuruk saat ini, ia merasa kasihan. Ada sedikit rasa cemburu, kenapa ibunya begitu kehilangan Bisma dibandingkan saat ayahnya tiada.Banyak sekali yang ingin Fania ketahui, tetapi ia tidak mau membuka masa lalu ibunya kembali.“Ibu, yakin tidak apa-apa?” tanya Fania ikut berjongkok. Elfina pun mengangguk.“Benar, Nak. Ibu tak apa-apa, kok. Hayo kita pulang, sepertinya bakalan hujan,” sahut Elfina dengan menatap ke atas melihat awan yang kini sudah berubah menjadi awan gelap.Fania mengangguk. Di perjalanan menuju kediaman rumah Bisma. Elfina menatap ke arah wanita paruh baya dan ia pun berterima kasih karena sudah mau mengantarkan dirinya ke makam teman lamanya itu.“
Bab 103. Berkunjung ke rumah Bisma Devan mengangguk saat istrinya bertanya tentang dirinya yang sudah melaporkan Angela. Sebenarnya, Devan bukan hanya melaporkan Angela, tetapi dia juga melaporkan Shanum dan juga Beni. Dia ingin memberi peringatan kepada Angela agar dia sadar jika dirinya adalah otak dibalik rencana melenyapkan Alnando. “Terus, apa yang kamu katakan kepada Shanum, Mas? Apa kamu mengabulkan belas kasihnya, saat dia mengemis padamu?” tanya Fania lagi penasaran. Devan menggeleng. “Tidak, aku tidak menanggapi, Sayang. Aku sudah memperingatkan Shanum, jika dia mau memohon pun aku tidak akan pernah mencabut tuntutanku. Karena nyawa harus dibalas dengan nyawa juga!” tegas Devan. Fania tersenyum kali ini. “Baguslah, Mas. Harusnya seperti itu. Biar ibu tiriku jera juga. Aku sudah muak juga dengan sandiwara Angela,” ucap Fania. Dengan berani menyebut nama ibu tirinya kepada Devan. Devan yang mendengar dia tertawa renyah kali ini. Bukan karena mengejek, tetapi mendengar is
Jujur saja Shanum sangat syok mendengar ucapan dari pak Gunawan. Setelah itu, dia pun bertanya siapa yang melaporkan ibunya. Karena ia ingin menemui orang itu agar bisa mempertimbangkan tuntutannya kepada sang ibu.Pak Gunawan akhirnya memberitahu Shanum siapa orang yang telah melaporkan ibunya itu.Dan kini Shanum yang berada di dalam mobilnya dibuat gusar. Ia tak menduga jika yang melaporkan ibunya adalah suami adik tirinya.“Aku harus menemui Devan sekarang. Aku harus membebaskan, Mamah,” ucap Shanum. Namun, sebelum dia melajukan mobilnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melihat siapa yang telah menghubunginya.Setelah membaca nama di layar ponsel. Shanum pun segera mengangkat.“Mamah, sekarang sedang ditahan di kantor polisi. Apa kamu punya cara agar Mamah bisa bebas?” tanya Shanum setelah menyapa.“Apa? Di tahan?” tanya Beni terkejut.“Iya, ada yang diam-diam menaruh kamera pengintai di seluruh ruangan rumah, dan Mamah dinyatakan bersalah karena ada bukti yang kuat saat Mamah m