Dua minggu berlalu. Kini Alnando sudah sehat, meski belum sepenuhnya. Dan hal itu membuat Angela sedikit geram, karena kondisi suaminya bukannya memburuk malah lebih membaik.Angela mondar mandir sendiri di ruang tengah—kediaman Alnando. Karena hari ini, Alnando sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Angela akhirnya pulang untuk mempersiapkan kamar untuk menyambut suaminya.“Shanum, kamu yakin sudah memberikan obat itu? Kamu tidak lupa menukarnya ‘kan?” tanya Angela kepada Shanum di sambungan telpon.“I-ya, M-ah. A-ku sudah menukarnya!” Shanum menjawab dengan gugup. Bahkan ia sengaja keluar dari ruangan ayah tirinya agar Alnando tidak mendengar apa yang ia bicarakan dengan ibunya.Angela menghela napas panjang. “Harusnya obat itu bereaksi cepat, kayanya ada yang tidak beres. Ya, sudah kamu urus Alnando dulu. Mamah menyusul nanti!” ucap Angela yang langsung mematikan sambungan telponnya secara sepihak.Hati Shanum begitu lega. Ibunya tidak ada rasa curiga sedikit pun kepadanya.“Huh!
Fania kini sudah bersama Karina menuju tempat untuk memilih gaun pengantin. Setelah memakan waktu hampir setengah jam perjalanan. Kini mereka berdua sudah sampai di depan butik yang berada di kawasan Jakarta Barat.“Jadi, lo sudah bertemu dengan keluarga Reihan?” tanya Fania setelah menutup pintu mobil.Karina mengangguk. “Aku tadinya takut, jika keluarga Rei akan mempersulit hubunganku dengannya. Tapi, ternyata mereka menyambutku penuh kehangatan,” ungkap Karina merasa terharu.“Syukurlah, Rin. Gue senang dengarnya.” Fania memeluk Karina.Karina dan Fania masuk ke dalam butik yang langsung disambut oleh pegawai butik itu.Mereka berdua disuruh menunggu sampai pemilik butik datang. Karina pun mengajak Fania duduk di ruang tunggu yang sudah disediakan.“Kabar bokap lo gimana, Fan?” tanya Karina sembari meminum teh yang dibuatkan oleh pegawai butik.Fania menggeleng. “Gue benar-benar sudah tak dianggap anak oleh bokap gue!”“Maksud lo?”Fania pun menceritakan kejadian waktu di rumah sak
Bab 23. Hari Bahagia“Lepaskan tangan istriku, atau kamu mau mendekam di penjara!” Suara Devan dengan lantang saat mendekat ke arah Fania.Devan yang tadinya sedang mengobrol dengan rekan bisnisnya. Ia dibuat gelisah karena istrinya tak kunjung datang. Akhirnya, ia berinisiatif mencari Fania. Namun, tidak disangka saat ia akan menuju ke arah lift ke lantai lima yaitu ruang rias berada.Pandangannya langsung menatap ke arah lorong, di mana ia melihat secara langsung tangan istrinya dicekam oleh pria yang beberapa bulan lalu telah mengusik istrinya di kampus.Devan pun langsung mendekat dan mengancam pria itu siapa lagi kalau bukan Riko.Riko yang mendengar ancaman dari Devan. Dia pun langsung melepas pergelangan tangan mantan kekasihnya itu.Fania berlari mendekat ke arah Devan dan memeluk tubuh suaminya sangat erat.“Makasih, Mas. Untung kamu cepat datang!” ucap Fania ketakutan.“Sudah jangan takut, ada aku di sini!” Devan membelai rambut istrinya.Riko yang memandang Fania memeluk l
“Apa kabar, Mas?” tanya Alya yang mendekat ke arah Devan.“Baik,” sahut Devan sedikit gugup. Sudah lama balik ke Jakarta?”Devan teringat saat ia berada di mobil setelah acara wisuda istrinya. Dia melihat Alya, yang baru keluar dari gedung itu juga. Tebakannya jika itu Alya, semakin yakin. Dia tidak salah melihat.Alya pun mengangguk. “Semenjak suamiku meninggal. Aku langsung balik ke sini,” ujarnya lirih membuat Devan terkejut.“Apa? Meninggal?”Alya mengangguk dengan tersenyum getir.“Aku turut berduka cita, Al. Maaf, aku tidak tahu kabar hal itu,” ungkap Devan. Dia memang tidak tahu sama sekali jika suami mantan kekasihnya itu tiada.“Tidak masalah, Mas. Lagi pula meninggalnya suamiku juga mendadak,” terang Alya.Di saat itu pula, ada seorang anak laki-laki berumur dua tahunan yang mendekat ke arah mereka.“Unda ... Unda,” panggilnya seraya menghampiri Alya yang berdiri di hadapan Devan.Alya langsung menangkup tubuh mungil bocah laki-laki itu yang menggelayut ke kaki jenjangnya.“
Devan yang terdiam membuat tebakkan Fania semakin yakin, jika Alya bukan hanya teman biasa.“Alya itu ....,” Devan menjeda kalimatnya. Ia tidak sanggup untuk berterus terang dengan istrinya. Ia takut Fania akan semakin cemburu jika tahu kebenaran tentang Alya—mantan kekasihnya itu.“Sudah lah, Mas. Tanpa kamu memberi tahu juga aku sudah paham!” timpal Fania. Ia langsung menghadap ke jendela pintu mobil menatap kota Jakarta yang kini mulai mendung.Devan langsung terbungkam kembali. Namun, hatinya bicara jika ia harus jujur kepada sang istri.“Maaf, Sayang. Ya, kamu benar. Alya bukan hanya sekedar teman biasa. Dia ... Dia mantan kekasihku dulu,” ungkap Devan lirih. Berharap jika istrinya tidak semakin marah jika tahu kebenarannya.Fania tidak terkejut, sebab yang ia tebak adalah kebenaran.“Oh!” hanya satu kata yang keluar dari mulut Fania. Ia menatap ke arah jalanan kembali.Devan yang mendengar jawaban singkat dari sang istri kini dibuat frustasi. Dia baru melihat kemarahan istrinya
Sore hari yang seharusnya dingin karena turunnya hujan. Namun, berbeda bagi sepasang suami-istri yang telah menghabiskan waktu sore hari dengan beradu keringat. Hawa panas begitu terasa di tubuh mereka berdua yang kini terbaring lemas di atas ranjang. Fania tertidur di atas d**a Devan, ketika puncak kenikmatan mereka berdua terlepas. “Terima kasih, Sayang.” Devan berkata kepada Fania yang tampak kelelahan. Fania hanya mengangguk tanpa menjawab. Devan memahami karena ia tahu pergulatan sore ini Fania lebih banyak beraksi. Dan hal itu sangat Devan sukai. Ia pun membelai rambut hitam sang istri yang nyaman tertidur di atas d**anya. Tidak terasa mereka berdua tidur terlelap. Padahal seharusnya mereka membersihkan diri. Namun, efek kelelahan membuat mereka tidak sadar dan tertidur begitu saja ditambah lagi di luar sana sedang diguyur hujan lebat. Berbeda di tempat lain, yakni di kediaman Alya. Alya yang sedang menatap ke arah jendela melihat hujan yang turun begitu deras. Ia teringat d
Orang itu tersenyum kepada Fania. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan istri dari mantan kekasihnya itu. Ya, dia adalah Alya.“Hei! Kamu istri Elnathan ‘kan?” tanya Alya menyapa kepada Fania.Fania tersenyum canggung. “Elnathan?” ulang Fania memastikan.“Eh, bukan. Maksud aku, Devan. Maaf aku memanggilnya Elnathan,” ucap Alya.Fania yang mendengar hanya tersenyum. “Oh, gitu ya.”“Senang bisa bertemu dengan kamu lagi. Maaf sewaktu di mall, aku mengajak mas El ngobrol. Tapi, aku tidak ada maksud hal lain, kok. Kamu jangan mikir yang tidak-tidak, ya,” terang Alya. Ia merasa tidak enak waktu itu saat melihat raut wajah Fania yang tak biasa.Fania mengangguk. “Iya, tidak masalah, kok.” Hanya itu yang Fania katakan. Padahal sudah jelas mereka kemarin bertengkar gara-gara Fania cemburu kepada Alya.“Syukurlah, aku takutnya kamu cemburu,” ucap Alya seraya memegang lengan Fania.Fania sebenarnya sedikit risih. Akan tetapi, ia mencoba bersikap biasa saja.“Tidak, kok, Mbak. Buat apa c
Setelah acara selesai. Fania kini pamit pulang kepada teman kampusnya—Claudia. Bahkan Fania tidak menyangka jika desainer yang menjadi brand temannya itu adalah milik Alya—mantan kekasih suaminya.“Sumpah, gue nggak percaya kalo brand ini ternyata milik dia! Mana dia tadi sombong banget lagi,” gerutu Fania saat dalam perjalanan pulang.Fania yang bingung mau ke mana lagi, akhirnya ia memutuskan untuk mampir ke cafe milik temannya. Fania sudah mengabari Devan terlebih dahulu, dan suaminya pun sudah mengizinkan.Setelah memarkirkan mobilnya. Fania turun lalu memilih duduk di pinggir jendela, dan juga memesan minuman cokelat dingin.Pandangan Fania kini teralihkan kepada ponselnya yang berdering. Di sana tertera ada nama sahabatnya.“Halo, Rin.” Fania menyapa setelah menekan tombol hijau.Karina yang mendengar dan melihat wajah Fania langsung berteriak. “Fania ....! Gue kangen banget sama lo. Lo apa kabar? Baik ‘kan pastinya?” tanya Karina berturut membuat Fania tertawa.“Astaga, Rin. Ki