Jantung Winda berdegup kuat seolah sedang mengatakan bahwa dia sedang benar-benar bahagia. Hengky melirik Winda sambil sedikit mengerutkan dahinya. Dia menarik tangan itu kembali dan mendorong Winda menjauh. Hengky bangkit dari tempat tidur. "Klik.” Terdengar suara saklar lampu ditekan. Lampu di kamar tidur itu menyala. Winda kaget, dia menutup matanya dengan selimut. Hengky kemudian turun dari kasur dan mengenakan sandalnya. Dia mengambil sekotak rokok, menghidupkannya. Mata Hengky menatap Winda tajam. Dia kemudian berkata dengan nada suara yang rendah dan sensual, tapi terasa sangat dingin, "Aku nggak tertarik main drama sama kamu. Ngomong terus terang, kamu mau apa?”Winda mengangkat selimutnya kemudian duduk. Dia menatap wajah laki-laki yang dingin itu dan berkata dengan sangat tegas, "Aku mau kamu.”Hengky sedikit menggerakkan jarinya, abu rokok jatuh. Dia menyipitkan mata dan berkata, "Oh ya?” Nada bicara itu terdengar sangat dingin. Seperti sedang mengejek. Winda tersenyum
“Kamu nggak nyesel?’ Hengky bertanya dengan suara serak. "Kenapa aku harus menyesal?” Winda balik bertanya.Mendengar kata-kata Winda, Hengky menyipitkan matanya yang dingin, kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Winda hingga membuat Winda duduk berlutut di atas ranjang. Sedetik kemudian bibir tipisnya menempel di bibir Winda. Hengky, dengan sikap sangat mendominasi, melahap bibir manis Winda.Hengky melepaskan Winda hingga membuat wanita itu jatuh ke dalam pelukannya. Winda refleks mengambil napas panjang setelah ciuman panas itu. Tanda merah merayap di ujung telinganya tanpa ia sadari.Hengky menggigit bibir bawahnya. Dia mengambil kondom dari meja samping tempat tidur, membungkuk mendekati wanita itu dan berbisik di telinganya, "Bantuin."Winda meraih kondom itu dan dengan santai melemparkannya ke tempat sampah di samping tempat tidur. Winda lalu mengaitkan lengannya di leher Hengky dan berbisik, "Nggak usah pakai."Hengky menyipitkan matanya dan meraih pinggang Winda. Dia m
Winda meringkuk dalam dekapan pria itu, kepalanya tertumpu pada pundak Hengky. Ekspresi Winda dipenuhi kebahagiaan.Mendengar pertanyaan itu, Hengky menjawab dengan nada kesal, "Willy yang minta aku kasih itu ke kamu.”Winda menatapnya, senyuman di sudut bibirnya meredup. Winda seakan kebingungan menghadapi sikap tiba-tiba Hengky yang tampak tidak sabar.Sepertinya Winda terlalu percaya diri. Winda kira karena Hengky memperhatikan dia yang sering pilek dan demam, jadi Hengky membelikan vitamin untuknya. Apa daya, ternyata malah Willy yang menyiapkan vitamin itu.Winda menarik nafas dalam-dalam, mencoba menetralkan emosinya. Winda sebenarnya masih ingin berbincang dengan Hengky, tetapi sepertinya Hengky tidak berniat untuk itu. Dia langsung mematikan lampu.Dalam kegelapan Winda tidak bisa melihat apa-apa. Dia berusaha beradaptasi sejenak sebelum akhirnya berbaring di atas bantal.Winda bergeser ke arah Hengky, masuk lebih dalam ke dalam dekapannya. Winda melingkarkan tangannya di ping
Namun, suasana hati Winda hanya bertahan beberapa detik sebelum dia menutup pintu dan melemparkan dirinya ke tempat tidur Hengky lagi. Winda menikmati sisa aroma tubuh Hengky yang segar di kasurnya.Winda merasa masih agak mengantuk, jadi dia menarik selimutnya dan segera tertidur lagi. Winda tidur sampai hampir tengah hari ketika dia tiba-tiba terbangun oleh suara dering telepon.Winda memandang telepon dengan heran. Dia berguling ke sisi tempat tidur, dan memeriksa kembali sebelum yakin bahwa itu adalah panggilan dari kantor polisi.Winda segera menjawab telepon, menempelkan headset ke telinganya. "Halo, ini Winda. Ada yang bisa saya bantu?"Sebuah suara laki-laki dari seberang sana menjawab, "Halo, Bu Winda. Saya polisi, dari Polres, nama saya Galih."Winda bertanya, "Pak Galih, ada yang bisa saya bantu?"Galih menjelaskan, "Begini, Bu Winda. Apa Anda mengenal Yuna? Dia bilang ingin bertemu sama Ibu sebelum memberikan keterangan lengkap tentang kasus ini. Bisa datang ke rumah sakit
Galih tertegun sejenak sebelum akhirnya dia mengulurkan tangan seraya berkata, “Halo, Bu Winda.”Winda tersenyum dan menyambut tangan Galih. Kemudian dia langsung berkata ke pokok permasalahan yang ingin dibahasnya, “Apa sekarang saya bisa bertemu dengan Yuna?”“Bisa, kok,” jawab Galih sambil mengulurkan tangannya untuk membuka pintu bangsal.Kemudian dia melangkah masuk dan berbalik ke arah Winda seraya berkata, “Waktu berkunjung hanya ada 20 menit. Berdasarkan peraturan, saya harus berada di tempat bersama Ibu selama kalian berdua mengobrol.”Winda mengangguk setuju lalu mengikuti Galih masuk ke area bangsal di mana Yuna ditempatkan di bagian bangsal mandiri. Winda berjalan masuk ke dalam area bangsal dan menemukan ada seseorang yang sedang berbaring di atas ranjang dengan tubuh yang dibalut kain kasa. Sepertinya orang itu mengalami luka yang cukup parah. Yuna langsung menoleh ketika mendengar ada orang yang datang menghampiri bangsalnya. Matanya sesaat terpaku ke arah Winda yang d
“Kalau begitu, kamu harus mati bersamaku!” seru Yuna sambil tersenyum sadis dan hendak menikam Winda dengan pisau buah di tangannya. Galih bergegas menghampiri Yuna lalu mencengkeram dan memutar tangannya ke belakang. Pisau yang digenggamnya langsung terlepas dan terjatuh di atas lantai. Kemudian Galih menekan tubuh Yuna ke atas lantai. “Lepaskan!” seru Yuna berusaha memberontak.Kemudian dia kembali berteriak, “Winda, aku nggak akan melepaskanmu, sekalipun aku mati dan jadi hantu!”“Kalau begitu, aku tunggu sampai kamu mati,” balas Winda acuh tak acuh. Kemudian Winda mengalihkan pandangannya ke arah Galih dan berkata, “Pak Galih, saya akan pergi kalau memang tidak ada hal lain lagi yang perlu dibicarakan.”Yuna langsung tampak gelisah dan terus memberontak setelah mendengar Winda akan pergi begitu saja. Luka-lukanya yang masih dalam masa pengobatan kembali terbuka dan kembali mengalirkan darah yang merembes ke perban yang menutup lukanya. Namun, anehnya Yuna tidak terlihat sakit de
Martin membuang wajahnya lalu memuntahkan ampas apel yang dimakannya. Dia juga melemparkan sisa apel yang sempat dia gigit tadi ke dalam tempat sampah. Kemudian dia menatap sinis ke arah Yanwar dengan tatapan penuh kebencian seraya berkata, “Memangnya kamu pikir siapa kamu sampai berani menyebut ibuku!”Yanwar benar-benar terkejut dengan tatapan penuh kebencian yang diperlihatkan Martin kepadanya sampai membuat Yanwar jatuh terduduk di atas sofa. Kemarahan yang bergejolak di dalam hatinya seketika menghilang tidak berbekas. Namun, kebencian di mata Martin justru terlihat semakin ganas setelah melihat Yanwar diam dan tidak bisa berkata-kata. “Ngomong, dong! Kenapa diam saja? Kenapa? Kamu malu, ya!” seru Martin sinis. Yanwar menatapnya dengan ekspresi campur aduk lalu berkata, “Nak ....”“Jangan panggil aku kayak gitu!” seru Martin penuh amarah. Kemudian dia berdiri dan menunjuk Yanwar seraya berkata, “Kamu nggak berhak manggil aku begitu!”Raut wajah Yanwar terlihat sedih dan menye
“Aku salah mengajarmu,” ujar Yanwar dengan raut wajah lelah dan tatapan redup. Martin menyeka darah yang muncul di sudut mulutnya lalu menatap Yanwar dengan tatapan dingin seraya berkata, “Apa ini masih belum cukup buat kamu? Kamu boleh menamparku lagi kalau masih belum cukup.”Ekspresi wajah Yanwar terlihat dipenuhi dengan rasa sakit. Dia buru-buru meraih lengan Martin lalu berkata dengan nada memohon, “Martin, Papa mohon jangan lakukan hal seperti ini lagi, oke? Papa minta maaf sama kamu atas semua kesalahan Papa. Semua kesalahan Papa nggak ada hubungannya sama Winda. Kamu jangan lagi ....”Martin mengibaskan lengannya agar Yanwar melepaskan genggamannya di lengan Martin, lalu Martin berkata dengan nada sinis, “Kamu memohon sama aku kayak gini pastinya bukan karena Winda, kan? Aku yakin, semua ini pasti karena Winda adalah anak dari perempuan itu. Kamu sakit hati banget karena itu? Asal kamu tahu saja ya, aku semakin nggak mau lepasin perempuan itu karena tingkahmu ini.”Yanwar tida