Dengan situasi keluarga Dirawa saat ini, jika mereka berani menyinggung keluarga Atmaja, pada dasarnya tindakan mereka hanya akan memutus jalan masa depan mereka sendiri. Jika Roma pintar, dia seharusnya tutup mulut begitu mengetahui hal ini, lalu berpura-pura tidak terjadi apa-apa.“Pintar juga kamu,” kata Hengky dengan ambigu.Mata Winda tiba-tiba berbinar. Dia berjalan ke depan Hengky, lalu mencondongkan tubuhnya ke dekat pria itu, lalu berkata, “Kamu selidiki hal ini ... karena kamu mengkhawatirkan aku?”Mata Hengky menjadi gelap sejenak ketika matanya bertemu dengan mata Winda yang jernih dan seperti sedang tersenyum. Kemudian, Hengky menyangkal dengan tenang.“Bukan.”“Kalau begitu karena apa?” Winda mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Hengky bisa mencium bibirnya hanya dengan sedikit mengangkat kepalanya.Hidung Hengky mencium aroma lembut yang unik di tubuh Winda. Jakun pria itu spontan bergerak naik turun, sorot mata pun menjadi lebih redup.Perubahan kecil pada pria itu tak l
Senyum di wajah Winda spontan membeku. Dia menatap Hengky dengan ekspresi bingung, sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Baru saja beberapa menit berlalu, mengapa Hengky seperti menjadi orang yang berbeda total dan bersikap dingin begitu padanya?“Ada apa denganmu?” tanya Winda sambil menatapnya dengan gugup. Bahkan dia menjadi lebih berhati-hati saat bicara.Namun di mata Hengky, penampilan Winda saat ini hanyalah akting untuk mendapatkan kepercayaannya. Hengky menarik kembali tatapannya dengan dingin, lalu berjalan cepat melewati Winda dan pergi dari vila.Sesaat kemudian, terdengar suara mesin mobil di luar vila. Hengky telah pergi ....Winda merasakan sakit di dalam hatinya. Dia tidak mengerti apa yang terjadi pada Hengky. Sebelumnya masih baik-baik saja. Mengapa tiba-tiba menjadi seperti ini lagi?Winda jelas-jelas merasa pria itu telah menaruh perasaan padanya. Akan tetapi, pada saat Winda mengira dia memiliki harapan, Hengky dapat membunuh harapan di hatinya itu kapan saj
Begitu pulang ke rumah, Hengky mendapati pintu kamarnya terbuka. Dia spontan mengerutkan kening. Dia pun mengulurkan tangan untuk menyalakan lampu, lalu berjalan ke samping tempat tidur.Winda yang baring di tempat tidur Hengky meringkuk di dalam selimut, tidur dengan nyenyak. Sorot mata Hengky melembut sesaat. Namun, begitu dia teringat dengan kejadian tadi sore, sikapnya kembali menjadi dingin.“Siapa yang izinkan kamu tidur di sini? Bangun, kembali ke kamarmu sendiri.”Suara Hengky yang dingin bergema di telinga Winda. Perempuan itu mendengus pelan, lalu membuka matanya dengan perlahan-lahan.Baru saja mata terbuka sedikit, cahaya yang menyilaukan membuatnya segera menutup matanya lagi. Sesaat kemudian, dia baru membuka mata dan beradaptasi dengan cahaya di kamar.Pada detik Winda melihat Hengky, dia tampak terkejut dan senang. Namun, begitu dia melihat ekspresi dingin di wajah pria itu, senyuman di bibirnya seketika menghilang.Winda mengangkat selimut dan cepat-cepat turun dari te
Winda ragu-ragu sejenak. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk mengangkat telepon.“Ada apa?” tanya Winda.James merasa kesal ketika mendengar nada bicara Winda yang ketus. Akan tetapi, begitu James ingat kalau dia telah menampar Winda, dia pun tidak jadi menyalahkan Winda.“Sekarang kamu datang ke perusahaan sebentar,” kata James. “Keluarga Gunawan sudah mengalah. Mereka setuju untuk tanda tangan perjanjian akuisisi. Tapi Jefri bilang kamu harus hadir, dia baru mau tanda tangan.”Winda spontan tertawa sinis, “Katakan saja padanya, meskipun aku hadir di sana, aku nggak akan bela dia, nggak akan perjuangkan keuntungan apa pun bagi keluarga Gunawan.”James terdiam selama beberapa detik. Kemudian, terdengar suara seorang pemuda. Karena suaranya agak serak, Winda tidak mengenali suara itu adalah suara Jefri.“Ini aku, Jefri.” Jefri berpikir Winda pasti tidak mengenali suaranya, dia pun langsung berkata, “Kamu akan tanda tangan kalau kamu datang ke sini. Aku nggak akan ingkar janji. Anggap sa
Suara Carol sangat keras. Selain mereka, ada orang lain di ujung tempat parkir. Mereka spontan menoleh ketika mendengar suara.Posisi Winda berdiri kebetulan membelakangi orang-orang itu. Begitu Winda mendengar ada suara langkah kaki di belakangnya, dia seketika menjadi waspada. Dia bahkan hendak mendorong Carol dan pergi.Sebaliknya, Carol langsung tersenyum sinis ketika melihat seseorang datang. Dia mencengkeram pergelangan tangan Winda dengan erat dan mengancamnya, “Kalau kamu nggak janji padaku, aku akan biarkan orang-orang itu melihat seperti apa kamu, Winda! Aku rasa kamu nggak ingin masuk berita utama karena hal seperti ini, kan?”Winda berusaha keras menarik tangannya dari cengkeraman Carol. Akan tetapi, Carol menggunakan seluruh tenaganya, sama sekali tidak berniat melepaskan Winda.Setelah mendengar suara langkah kaki di belakangnya semakin dekat, mata Winda tiba-tiba menjadi tajam. Dia pun hendak langsung mengambil tindakan. Tiba-tiba, sosok seseorang lewat dengan cepat dan
Nada bicara Jefri tidak lagi arogan dan energik seperti dulu. Dia menatap Winda yang sudah lama tidak memiliki perasaan padanya lagi. Saat ini, bahkan ada perasaan minder di suara pria itu.Ekspresi Winda justru tetap tenang, seolah-olah dia menganggap Jefri sebagai orang asing.“Aku nggak mau hal ini terjadi untuk kedua kalinya.” Usai berkata, Winda hendak pergi.“Kamu benar-benar nggak bisa berikan jalan hidup untuk Gunawan Group?” Jefri menatap punggung Winda dan memohon, “Gunawan Group adalah hasil jerih payah papaku seumur hidupnya. Karena masalah ini pula, dia sampai harus dirawat di rumah sakit. Anggap saja aku mohon padamu, Winda. Bisakah kamu bantu aku?”Perasaan jijik terpancar di mata Winda, “Jefri, aku sudah bilang. Masalah ini nggak bisa dinegosiasikan lagi. Aku nggak bisa bantu kamu, juga nggak akan bantu kamu.”“Aku mohon ....”Jefri tiba-tiba berlutut. Pada saat mendengar suara di belakangnya, Winda spontan menoleh dan melihat Jefri sedang berlutut. Winda tampak terkeju
Wajah Jefri menjadi pucat pasi. Sisa kepercayaan diri dan harga dirinya yang terakhir benar-benar hancur terinjak-injak oleh kata-kata James.Jefri tiba-tiba mengerti mengapa James yang sangat membencinya justru bersedia mendengarkan saran Winda untuk mengakuisisi Gunawan Group.Awalnya, Jefri benar-benar mengira ada keuntungan yang diincar James, sehingga dia terus menunda untuk menjual Gunawan Group. Namun, kata-kata yang James ucapkan dengan santai barusan telah membuat Jefri benar-benar sadar akan satu hal. Gunawan Group bukanlah apa-apa di depan James. James bersedia duduk di sini dan berbicara dengannya karena Winda.Apa yang James lakukan merupakan ancaman sekaligus tamparan, agar Jefri tahu kalau dirinya tidak pantas mendekati keluarga Atmaja. Kalau Jefri berani mengganggu Winda lagi, maka apa yang menimpa Jefri tidak hanya sesederhana kebangkrutan.Jefri menatap Winda dengan ekspresi rumit di wajahnya, merasakan penyesalan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Selama ini J
Winda tidak menyadari saat Jefri mendengar kata-kata itu, ada kilatan kebencian yang kuat di mata pria itu.Winda tidak berkata apa-apa lagi kepada Jefri. Dia langsung berbalik dan masuk ke dalam gedung.Di jalan raya tidak jauh dari sana, sebuah Rolls-Royce sedang menunggu lampu lalu lintas. Kaca jendela belakang diturunkan, memperlihatkan wajah tampan dengan garis wajah tegas. Pria itu memiliki aura yang dingin. Matanya menatap tajam pria dan perempuan yang tidak jauh dari situ dengan seringi di bibir tipisnya.Sesaat kemudian, jendela mobil dinaikkan dan menghalangi pandangan dari luar. Hengky berkata dengan dingin, “Jalan.”Santo menoleh ke arah Hengky dan berkata dengan ragu-ragu, “Pak Hengky, Bu Winda mungkin datang ke sini karena masalah mengakuisisi Gunawan–”Hengky mengangkat tangannya untuk memotong perkataan Santo, lalu dia berkata, “Kamu coba selidiki surat perjanjian yang ditandatangani Atmaja Group dan Gunawan Group. Antarkan ke ruanganku nanti sore.”“Baik, Pak Hengky.”
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a