Senyum di wajah Winda spontan membeku. Dia menatap Hengky dengan ekspresi bingung, sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Baru saja beberapa menit berlalu, mengapa Hengky seperti menjadi orang yang berbeda total dan bersikap dingin begitu padanya?“Ada apa denganmu?” tanya Winda sambil menatapnya dengan gugup. Bahkan dia menjadi lebih berhati-hati saat bicara.Namun di mata Hengky, penampilan Winda saat ini hanyalah akting untuk mendapatkan kepercayaannya. Hengky menarik kembali tatapannya dengan dingin, lalu berjalan cepat melewati Winda dan pergi dari vila.Sesaat kemudian, terdengar suara mesin mobil di luar vila. Hengky telah pergi ....Winda merasakan sakit di dalam hatinya. Dia tidak mengerti apa yang terjadi pada Hengky. Sebelumnya masih baik-baik saja. Mengapa tiba-tiba menjadi seperti ini lagi?Winda jelas-jelas merasa pria itu telah menaruh perasaan padanya. Akan tetapi, pada saat Winda mengira dia memiliki harapan, Hengky dapat membunuh harapan di hatinya itu kapan saj
Begitu pulang ke rumah, Hengky mendapati pintu kamarnya terbuka. Dia spontan mengerutkan kening. Dia pun mengulurkan tangan untuk menyalakan lampu, lalu berjalan ke samping tempat tidur.Winda yang baring di tempat tidur Hengky meringkuk di dalam selimut, tidur dengan nyenyak. Sorot mata Hengky melembut sesaat. Namun, begitu dia teringat dengan kejadian tadi sore, sikapnya kembali menjadi dingin.“Siapa yang izinkan kamu tidur di sini? Bangun, kembali ke kamarmu sendiri.”Suara Hengky yang dingin bergema di telinga Winda. Perempuan itu mendengus pelan, lalu membuka matanya dengan perlahan-lahan.Baru saja mata terbuka sedikit, cahaya yang menyilaukan membuatnya segera menutup matanya lagi. Sesaat kemudian, dia baru membuka mata dan beradaptasi dengan cahaya di kamar.Pada detik Winda melihat Hengky, dia tampak terkejut dan senang. Namun, begitu dia melihat ekspresi dingin di wajah pria itu, senyuman di bibirnya seketika menghilang.Winda mengangkat selimut dan cepat-cepat turun dari te
Winda ragu-ragu sejenak. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk mengangkat telepon.“Ada apa?” tanya Winda.James merasa kesal ketika mendengar nada bicara Winda yang ketus. Akan tetapi, begitu James ingat kalau dia telah menampar Winda, dia pun tidak jadi menyalahkan Winda.“Sekarang kamu datang ke perusahaan sebentar,” kata James. “Keluarga Gunawan sudah mengalah. Mereka setuju untuk tanda tangan perjanjian akuisisi. Tapi Jefri bilang kamu harus hadir, dia baru mau tanda tangan.”Winda spontan tertawa sinis, “Katakan saja padanya, meskipun aku hadir di sana, aku nggak akan bela dia, nggak akan perjuangkan keuntungan apa pun bagi keluarga Gunawan.”James terdiam selama beberapa detik. Kemudian, terdengar suara seorang pemuda. Karena suaranya agak serak, Winda tidak mengenali suara itu adalah suara Jefri.“Ini aku, Jefri.” Jefri berpikir Winda pasti tidak mengenali suaranya, dia pun langsung berkata, “Kamu akan tanda tangan kalau kamu datang ke sini. Aku nggak akan ingkar janji. Anggap sa
Suara Carol sangat keras. Selain mereka, ada orang lain di ujung tempat parkir. Mereka spontan menoleh ketika mendengar suara.Posisi Winda berdiri kebetulan membelakangi orang-orang itu. Begitu Winda mendengar ada suara langkah kaki di belakangnya, dia seketika menjadi waspada. Dia bahkan hendak mendorong Carol dan pergi.Sebaliknya, Carol langsung tersenyum sinis ketika melihat seseorang datang. Dia mencengkeram pergelangan tangan Winda dengan erat dan mengancamnya, “Kalau kamu nggak janji padaku, aku akan biarkan orang-orang itu melihat seperti apa kamu, Winda! Aku rasa kamu nggak ingin masuk berita utama karena hal seperti ini, kan?”Winda berusaha keras menarik tangannya dari cengkeraman Carol. Akan tetapi, Carol menggunakan seluruh tenaganya, sama sekali tidak berniat melepaskan Winda.Setelah mendengar suara langkah kaki di belakangnya semakin dekat, mata Winda tiba-tiba menjadi tajam. Dia pun hendak langsung mengambil tindakan. Tiba-tiba, sosok seseorang lewat dengan cepat dan
Nada bicara Jefri tidak lagi arogan dan energik seperti dulu. Dia menatap Winda yang sudah lama tidak memiliki perasaan padanya lagi. Saat ini, bahkan ada perasaan minder di suara pria itu.Ekspresi Winda justru tetap tenang, seolah-olah dia menganggap Jefri sebagai orang asing.“Aku nggak mau hal ini terjadi untuk kedua kalinya.” Usai berkata, Winda hendak pergi.“Kamu benar-benar nggak bisa berikan jalan hidup untuk Gunawan Group?” Jefri menatap punggung Winda dan memohon, “Gunawan Group adalah hasil jerih payah papaku seumur hidupnya. Karena masalah ini pula, dia sampai harus dirawat di rumah sakit. Anggap saja aku mohon padamu, Winda. Bisakah kamu bantu aku?”Perasaan jijik terpancar di mata Winda, “Jefri, aku sudah bilang. Masalah ini nggak bisa dinegosiasikan lagi. Aku nggak bisa bantu kamu, juga nggak akan bantu kamu.”“Aku mohon ....”Jefri tiba-tiba berlutut. Pada saat mendengar suara di belakangnya, Winda spontan menoleh dan melihat Jefri sedang berlutut. Winda tampak terkeju
Wajah Jefri menjadi pucat pasi. Sisa kepercayaan diri dan harga dirinya yang terakhir benar-benar hancur terinjak-injak oleh kata-kata James.Jefri tiba-tiba mengerti mengapa James yang sangat membencinya justru bersedia mendengarkan saran Winda untuk mengakuisisi Gunawan Group.Awalnya, Jefri benar-benar mengira ada keuntungan yang diincar James, sehingga dia terus menunda untuk menjual Gunawan Group. Namun, kata-kata yang James ucapkan dengan santai barusan telah membuat Jefri benar-benar sadar akan satu hal. Gunawan Group bukanlah apa-apa di depan James. James bersedia duduk di sini dan berbicara dengannya karena Winda.Apa yang James lakukan merupakan ancaman sekaligus tamparan, agar Jefri tahu kalau dirinya tidak pantas mendekati keluarga Atmaja. Kalau Jefri berani mengganggu Winda lagi, maka apa yang menimpa Jefri tidak hanya sesederhana kebangkrutan.Jefri menatap Winda dengan ekspresi rumit di wajahnya, merasakan penyesalan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Selama ini J
Winda tidak menyadari saat Jefri mendengar kata-kata itu, ada kilatan kebencian yang kuat di mata pria itu.Winda tidak berkata apa-apa lagi kepada Jefri. Dia langsung berbalik dan masuk ke dalam gedung.Di jalan raya tidak jauh dari sana, sebuah Rolls-Royce sedang menunggu lampu lalu lintas. Kaca jendela belakang diturunkan, memperlihatkan wajah tampan dengan garis wajah tegas. Pria itu memiliki aura yang dingin. Matanya menatap tajam pria dan perempuan yang tidak jauh dari situ dengan seringi di bibir tipisnya.Sesaat kemudian, jendela mobil dinaikkan dan menghalangi pandangan dari luar. Hengky berkata dengan dingin, “Jalan.”Santo menoleh ke arah Hengky dan berkata dengan ragu-ragu, “Pak Hengky, Bu Winda mungkin datang ke sini karena masalah mengakuisisi Gunawan–”Hengky mengangkat tangannya untuk memotong perkataan Santo, lalu dia berkata, “Kamu coba selidiki surat perjanjian yang ditandatangani Atmaja Group dan Gunawan Group. Antarkan ke ruanganku nanti sore.”“Baik, Pak Hengky.”
“Apa pendapat Pak Hengky tentang aku?” Rachel tersenyum menawan. Jarinya bergerak ke atas sedikit demi sedikit, ingin menyentuh jakun pria itu, “Apakah aku memenuhi syarat untuk menjadi Nyonya Pranoto?”Wajah Hengky menjadi semakin dingin. Rasa jijik yang kuat terpancar di matanya. Tepat ketika dia hendak mendorong Rachel menjauh, pintu kantornya tiba-tiba terbuka.“Bu Winda, Pak Hengky sedang ada ....”Kata terakhir “tamu” tersangkut di tenggorokan Santo. Dia menatap pemandangan “ambigu” di depannya dengan mata terbelalak lebar. Wajahnya seketika menjadi pucat karena ketakutan.Santo jelas tidak menyangka akan menghadapi situasi seperti ini. Dia menyesal karena masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia segera mengangkat kepala dan menatap wajah Hengky.Pada detik pandangan Hengky jatuh ke arah Winda, dia cepat-cepat mengambil tindakan karena nalurinya. Dia pun bergegas mendorong tangan Rachel.Wajah Hengky menjadi muram, tubuhnya memancarkan aura dingin yang kuat. Kemudian, dia