Kaki Hengky berhenti sejenak. Dia melepaskan tangan Winda, lalu berkata dengan nada ringan, “Nggak perlu.”Seketika, mata Winda memancarkan kesedihan yang dia rasakan. Kehangatan di telapak tangannya berangsur-angsur menghilang. Dia mengerutkan bibirnya. Tepat ketika Hengky hendak pergi membuka pintu mobil, Winda melemparkan dirinya ke dalam pelukan pria itu.Tubuh Hengky spontan membeku. Dia mengerutkan kening dan mengulurkan tangan untuk mendorong Winda menjauh darinya. Namun, dia tiba-tiba suara tangisan Winda terdengar di telinganya, “Biarkan aku peluk sebentar, oke?”Suara Winda sangat pelan dan serak, penuh dengan kelelahan dan kesedihan. Suaranya juga sedikit bergetar dan tercekat.Gerakan tangan Hengky yang hendak mendorong Winda berhenti. Pada akhirnya, dia memegang tengkuk Winda dan memeluknya dengan erat.Winda memeluk erat pinggang Hengky dengan kedua tangannya. Dia membenamkan wajahnya di dada pria itu dan mencium aroma dingin unik di tubuh pria itu. Sesaat kemudian, dia b
Winda tahu Sekar sedang tersulut emosi, jadi dia memilih menundukkan kepala dan tetap diam.Akan tetapi, wajah Hengky justru menjadi muram ketika melihat Winda diam saja. Dia menoleh dan berkata pada Sekar, “Dia dan Martin pergi menemui Yanwar untuk urusan pekerjaan. Aku tahu hal ini. Aku saja nggak peduli, kenapa Nenek dan Tante yang emosi?”Keterkejutan melintas di mata Winda ketika mendengar Hengky berbohong kepada Sekar untuk membela dirinya. Dia menatap pria bertubuh tinggi di sampingnya. Perasaan hangat pelan-pelan mengalir ke dalam hatinya.Winda berpikir sejenak, lalu dia berkata kepada Sekar dengan hormat, “Nenek, maafkan aku.”Sekar awalnya ingin menegur Winda. Namun, sikap Winda membuat semua kata-kata itu tercekat. Sekar tiba-tiba merasa serba salah, mau menegur salah, tidak menegur juga salah.Begitu melihat Sekar terdiam, Dita takut Sekar akan melepaskan Winda begitu saja. Jadi dia segera berkata, “Kamu kira hanya dengan minta maaf, semua masalah langsung selesai? Kamu ta
Karena luka di kakinya belum sembuh, Winda hanya membersihkan diri sebentar. Selesai berbenah, waktu sudah menunjukkan pukul satu.Winda tidak tahu apakah karena Hengky tidak berada di sampingnya, tiba-tiba dia jadi tidak bisa tidur. Suasana di dalam kamar begitu sunyi, tapi pikirannya sangat kacau.Winda telah mematikan lampu. Dia menatap langit-langit kamar yang gelap, lalu menutup matanya. Namun sesaat kemudian, dia membuka matanya lagi. Dia terus berguling-guling di atas tempat tidur, tetap saja tidak bisa tidur.Oleh karena itu, dia pun menyalakan lampu meja dan duduk. Kemudian, dia mengambil ponselnya dan melihat, baru pukul 1:40. Di saat seperti ini, Hengky seharusnya sudah tertidur sejak tadi.Winda menghela napas panjang. Tepat ketika dia hendak mematikan ponselnya, tiba-tiba dia melihat pesan teks yang belum dibaca. Jadi dia pun membuka pesan itu.Pesan itu dari Samuel, hanya tiga kata, semua sudah beres.Mata Winda seketika berbinar. Dia cepat-cepat membuka aplikasi Instagra
Roma membaca pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak keluarga Purnawa. Sorot matanya menjadi dingin. Dia melemparkan ponselnya ke kursi sebelahnya dengan kesal lalu menyalakan mobil.Setelah menyalakan mesin mobil, Roma menginjak pedal gas sepenuhnya. Mobilnya pun melaju dengan cepat, menerobos lima atau enam kali lampu merah tanpa henti.Roma terus mengebut ugal-ugalan di sepanjang jalan, tanpa ada niat untuk berhenti. Sesekali ada mobil yang lewat di jalan yang sama. Begitu melihat kecepatan mobil Roma yang seperti sudah tidak sayang nyawanya lagi, mereka ketakutan dan segera memutar setir untuk menyingkir ke pinggir.Roma sama sekali tidak memiliki keraguan. Seandainya bukan karena sudah malam, tidak banyak mobil atau pejalan kaki di jalan, pasti sudah terjadi kecelakaan akibat kecepatan mobilnya itu.Sesampainya di rumah, Roma memarkir mobilnya di dalam garasi. Baru saja berjalan ke depan pintu rumahnya, dia melihat Yuna berdiri di depan pintu. Seketika Roma tersenyum sinis.“Peremp
“Memangnya kenapa kalau aku pukul kamu?” Roma mencubit Yuna dengan kuat dan mengangkat wajah perempuan itu, “Terus terang saja, kamu hanyalah mainan di tanganku. Aku ambil aku hanya karena aku ingin main denganmu. Sekarang aku sudah bosan, kamu boleh pergi.”Yuna mengangkat tangannya dan menampar wajah Roma lalu membentaknya, “Roma, kamu benar-benar binatang!”Roma menyentuh sudut bibirnya yang ditampar Yuna dengan lidah. Kemudian, dia tertawa sinis dan mencekik leher Yuna. Pada detik berikutnya, dia menampar wajah Yuna berulang kali, seolah-olah dia sedang melampiaskan amarahnya pada perempuan itu.Sorot mata Roma berangsur-angsur menjadi ganas. Senyum senang merekah di bibirnya. Mata Yuna pun berubah dari yang marah pada awalnya menjadi ngeri dan takut.Entah berapa lama waktu berlalu, Roma mengayunkan pergelangan tangannya yang sakit. Akhirnya dia baru berhenti. Pada saat ini, Yuna sudah tidak memiliki tenaga untuk menangis lagi. Wajah cantiknya dipenuhi dengan bekas luka tamparan.
Hanya saja, masalah ini tiba-tiba terungkap. Winda tidak tahu apakah Ziva mendengarkan sarannya dan memutuskan kontrak dengan Roma dan meninggalkan Kota Jenela sesegara mungkin.Ziva menggosok telapak tangannya dengan gugup, sambil sesekali menatap Martin yang duduk di seberangnya, dengan sedikit gurat merah di pipinya.Ini adalah pertama kalinya Ziva sedekat ini dengan Martin. Pria itu jauh lebih tampan dan menawan di kehidupan nyata daripada di depan kamera. Apalagi mengingat pria itu datang ke sini khusus untuk menemuinya, pipi Ziva menjadi semakin merah.“Pak Martin.” Ziva tersenyum tipis, sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dengan jari-jarinya, lalu berkata dengan lembut, “Soal bergabung dengan Golden Artemis, aku mungkin masih perlu sedikit waktu.”Pada awalnya, Ziva berencana untuk membicarakan hal itu dengan Roma. Namun tidak disangka, Winda akan mengungkap masalah Yuna dengan begitu mendadak, membuat Ziva kaget dan tidak tahu harus berbuat apa. Kalau sekarang dia
Ziva menatap Martin dengan pucat. Garis pertahanan terakhir di dalam hatinya benar-benar telah runtuh. Dia buru-buru menjelaskan, “Bukan begitu, bukan aku. Aku hanya ambil foto. Bukan aku yang ekspos.”Martin tersenyum tipis, matanya menatap Ziva seperti sedang menatap mangsa yang sudah memakan umpannya, “Aku percaya bukan kamu. Tapi apakah Roma akan percaya? Bagaimanapun, semua foto dan video itu diambil dari kamu.”“Aku ....” Ziva hendak menjelaskan, tiba-tiba dia menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Dia melihat senyum tipis di bibir Martin, seketika dia merasakan hawa dingin yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. “Kamu sedang selidiki aku?”Martin berkata tanpa ragu-ragu, “Karena perusahaan mau mengontrak kamu, maka kami harus lakukan pemeriksaan terhadap latar belakang kamu. Aku juga bukan sengaja mau selidiki kamu, hanya kebetulan saja.”Penjelasan itu cukup masuk akal. Meskipun Ziva masih memiliki keraguan di hatinya, dia juga tidak dapat menemukan alasan lain mengapa M
“Kemudian, keesokan harinya, uang sebanyak dua miliar keluar lagi dari rekening Bu Winda. Saya sudah konfirmasi melalui CCTV bank. Ziva sendiri yang pergi menarik uang itu dan transfer ke rekeningnya sendiri.”Hengky melempar foto ke atas meja dengan santai dan berkata dengan dingin, “Sudah temukan siapa yang ekspos?”“Sampai saat ini belum ditemukan. Orang itu sangat berhati-hati.” Santo terdiam sejenak, lalu bertanya, “Apa perlu suruh seseorang untuk beri Ziva peringatan?”Hengky berkata dengan dingin, “Nggak perlu.”Santo ragu-ragu sejenak, “Bagaimana kalau Roma tahu Bu Winda yang ....”Hengky tertawa sinis, “Kalau Ferdinand nggak bisa didik putranya sendiri dengan baik, aku rasa keluarga Dirawa juga akan hancur!”Bagaimana mungkin Santo tidak mengerti maksud Hengky? Dia segera menutup mulut dan tidak berkata apa-apa lagi, lalu keluar dari ruangan itu.Hengky memasukkan foto-foto yang berserakan di atas meja ke dalam amplop. Kemudian, dia meninggalkan perusahaan.Winda baring di rum
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a