“Kemudian, keesokan harinya, uang sebanyak dua miliar keluar lagi dari rekening Bu Winda. Saya sudah konfirmasi melalui CCTV bank. Ziva sendiri yang pergi menarik uang itu dan transfer ke rekeningnya sendiri.”Hengky melempar foto ke atas meja dengan santai dan berkata dengan dingin, “Sudah temukan siapa yang ekspos?”“Sampai saat ini belum ditemukan. Orang itu sangat berhati-hati.” Santo terdiam sejenak, lalu bertanya, “Apa perlu suruh seseorang untuk beri Ziva peringatan?”Hengky berkata dengan dingin, “Nggak perlu.”Santo ragu-ragu sejenak, “Bagaimana kalau Roma tahu Bu Winda yang ....”Hengky tertawa sinis, “Kalau Ferdinand nggak bisa didik putranya sendiri dengan baik, aku rasa keluarga Dirawa juga akan hancur!”Bagaimana mungkin Santo tidak mengerti maksud Hengky? Dia segera menutup mulut dan tidak berkata apa-apa lagi, lalu keluar dari ruangan itu.Hengky memasukkan foto-foto yang berserakan di atas meja ke dalam amplop. Kemudian, dia meninggalkan perusahaan.Winda baring di rum
Winda segera menangkapnya, lalu menatap amplop dokumen di tangannya selama beberapa detik. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah.Winda menatap Hengky tidak percaya. Seketika di sorot matanya ada seberkas rasa sakit dan marah. Dia menggenggam erat amplop dokumen di tangannya dan bertanya, “Apa isi amplop ini? Surat cerai?”Hengky hanya menatap Winda dengan serius tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, Winda justru menganggap diamnya Hengky sebagai jawaban iya. Wajah Winda spontan menjadi pucat, lalu dia melemparkan amplop dokumen itu ke tempat sampah dan berkata dengan tegas, “Jangan harap aku akan cerai denganmu. Aku nggak akan tanda tangan.”Hengky mengangkat alisnya ketika mendengar nada bicara Winda yang tegas. Kemudian, dia mengulurkan tangannya dan mengeluarkan amplop dokumen dari tempat sampah. Setelah itu, dia melepaskan ikatan benang di belakang amplop tersebut.Winda hanya melihat Hengky melakukan itu semua dengan mata terbelalak tidak percaya. Pada detik berikutnya, mata
Dengan situasi keluarga Dirawa saat ini, jika mereka berani menyinggung keluarga Atmaja, pada dasarnya tindakan mereka hanya akan memutus jalan masa depan mereka sendiri. Jika Roma pintar, dia seharusnya tutup mulut begitu mengetahui hal ini, lalu berpura-pura tidak terjadi apa-apa.“Pintar juga kamu,” kata Hengky dengan ambigu.Mata Winda tiba-tiba berbinar. Dia berjalan ke depan Hengky, lalu mencondongkan tubuhnya ke dekat pria itu, lalu berkata, “Kamu selidiki hal ini ... karena kamu mengkhawatirkan aku?”Mata Hengky menjadi gelap sejenak ketika matanya bertemu dengan mata Winda yang jernih dan seperti sedang tersenyum. Kemudian, Hengky menyangkal dengan tenang.“Bukan.”“Kalau begitu karena apa?” Winda mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Hengky bisa mencium bibirnya hanya dengan sedikit mengangkat kepalanya.Hidung Hengky mencium aroma lembut yang unik di tubuh Winda. Jakun pria itu spontan bergerak naik turun, sorot mata pun menjadi lebih redup.Perubahan kecil pada pria itu tak l
Senyum di wajah Winda spontan membeku. Dia menatap Hengky dengan ekspresi bingung, sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Baru saja beberapa menit berlalu, mengapa Hengky seperti menjadi orang yang berbeda total dan bersikap dingin begitu padanya?“Ada apa denganmu?” tanya Winda sambil menatapnya dengan gugup. Bahkan dia menjadi lebih berhati-hati saat bicara.Namun di mata Hengky, penampilan Winda saat ini hanyalah akting untuk mendapatkan kepercayaannya. Hengky menarik kembali tatapannya dengan dingin, lalu berjalan cepat melewati Winda dan pergi dari vila.Sesaat kemudian, terdengar suara mesin mobil di luar vila. Hengky telah pergi ....Winda merasakan sakit di dalam hatinya. Dia tidak mengerti apa yang terjadi pada Hengky. Sebelumnya masih baik-baik saja. Mengapa tiba-tiba menjadi seperti ini lagi?Winda jelas-jelas merasa pria itu telah menaruh perasaan padanya. Akan tetapi, pada saat Winda mengira dia memiliki harapan, Hengky dapat membunuh harapan di hatinya itu kapan saj
Begitu pulang ke rumah, Hengky mendapati pintu kamarnya terbuka. Dia spontan mengerutkan kening. Dia pun mengulurkan tangan untuk menyalakan lampu, lalu berjalan ke samping tempat tidur.Winda yang baring di tempat tidur Hengky meringkuk di dalam selimut, tidur dengan nyenyak. Sorot mata Hengky melembut sesaat. Namun, begitu dia teringat dengan kejadian tadi sore, sikapnya kembali menjadi dingin.“Siapa yang izinkan kamu tidur di sini? Bangun, kembali ke kamarmu sendiri.”Suara Hengky yang dingin bergema di telinga Winda. Perempuan itu mendengus pelan, lalu membuka matanya dengan perlahan-lahan.Baru saja mata terbuka sedikit, cahaya yang menyilaukan membuatnya segera menutup matanya lagi. Sesaat kemudian, dia baru membuka mata dan beradaptasi dengan cahaya di kamar.Pada detik Winda melihat Hengky, dia tampak terkejut dan senang. Namun, begitu dia melihat ekspresi dingin di wajah pria itu, senyuman di bibirnya seketika menghilang.Winda mengangkat selimut dan cepat-cepat turun dari te
Winda ragu-ragu sejenak. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk mengangkat telepon.“Ada apa?” tanya Winda.James merasa kesal ketika mendengar nada bicara Winda yang ketus. Akan tetapi, begitu James ingat kalau dia telah menampar Winda, dia pun tidak jadi menyalahkan Winda.“Sekarang kamu datang ke perusahaan sebentar,” kata James. “Keluarga Gunawan sudah mengalah. Mereka setuju untuk tanda tangan perjanjian akuisisi. Tapi Jefri bilang kamu harus hadir, dia baru mau tanda tangan.”Winda spontan tertawa sinis, “Katakan saja padanya, meskipun aku hadir di sana, aku nggak akan bela dia, nggak akan perjuangkan keuntungan apa pun bagi keluarga Gunawan.”James terdiam selama beberapa detik. Kemudian, terdengar suara seorang pemuda. Karena suaranya agak serak, Winda tidak mengenali suara itu adalah suara Jefri.“Ini aku, Jefri.” Jefri berpikir Winda pasti tidak mengenali suaranya, dia pun langsung berkata, “Kamu akan tanda tangan kalau kamu datang ke sini. Aku nggak akan ingkar janji. Anggap sa
Suara Carol sangat keras. Selain mereka, ada orang lain di ujung tempat parkir. Mereka spontan menoleh ketika mendengar suara.Posisi Winda berdiri kebetulan membelakangi orang-orang itu. Begitu Winda mendengar ada suara langkah kaki di belakangnya, dia seketika menjadi waspada. Dia bahkan hendak mendorong Carol dan pergi.Sebaliknya, Carol langsung tersenyum sinis ketika melihat seseorang datang. Dia mencengkeram pergelangan tangan Winda dengan erat dan mengancamnya, “Kalau kamu nggak janji padaku, aku akan biarkan orang-orang itu melihat seperti apa kamu, Winda! Aku rasa kamu nggak ingin masuk berita utama karena hal seperti ini, kan?”Winda berusaha keras menarik tangannya dari cengkeraman Carol. Akan tetapi, Carol menggunakan seluruh tenaganya, sama sekali tidak berniat melepaskan Winda.Setelah mendengar suara langkah kaki di belakangnya semakin dekat, mata Winda tiba-tiba menjadi tajam. Dia pun hendak langsung mengambil tindakan. Tiba-tiba, sosok seseorang lewat dengan cepat dan
Nada bicara Jefri tidak lagi arogan dan energik seperti dulu. Dia menatap Winda yang sudah lama tidak memiliki perasaan padanya lagi. Saat ini, bahkan ada perasaan minder di suara pria itu.Ekspresi Winda justru tetap tenang, seolah-olah dia menganggap Jefri sebagai orang asing.“Aku nggak mau hal ini terjadi untuk kedua kalinya.” Usai berkata, Winda hendak pergi.“Kamu benar-benar nggak bisa berikan jalan hidup untuk Gunawan Group?” Jefri menatap punggung Winda dan memohon, “Gunawan Group adalah hasil jerih payah papaku seumur hidupnya. Karena masalah ini pula, dia sampai harus dirawat di rumah sakit. Anggap saja aku mohon padamu, Winda. Bisakah kamu bantu aku?”Perasaan jijik terpancar di mata Winda, “Jefri, aku sudah bilang. Masalah ini nggak bisa dinegosiasikan lagi. Aku nggak bisa bantu kamu, juga nggak akan bantu kamu.”“Aku mohon ....”Jefri tiba-tiba berlutut. Pada saat mendengar suara di belakangnya, Winda spontan menoleh dan melihat Jefri sedang berlutut. Winda tampak terkeju