Ketika melihat foto itu, Hengky menggenggam mouse dengan sangat erat sampai-sampai menimbulkan suara retak yang sangat nyaring. Kedua bola matanya terlihat begitu muram seolah ada kabut yang menutupi, dan dengan bola matanya itu dia menatap erat tampak samping wajah Winda. Dua orang yang berdiri persis di hadapan Winda, kalau bukan Jefri dan Carol, siapa lagi?Mengingat baru saja kemarin malam Winda dekat-dekat dan bertingkah manja padanya, tatapan Hengky menjadi makin sinis lagi.Setelah begitu banyak yang Winda lakukan padanya, hampir saja Hengky jatuh hati padanya. Namun setelah apa yang Hengky lihat ini, tampaknya itu semua hanyalah sandiwara. Winda benar-benar tidak takut untuk merendahkan dirinya hanya demi memikat Jefri! Hengky menggertakkan giginya dengan kencang untuk mengendalikan diri dari rasa malu yang dia terima, tapi reaksinya itu tetap menarik perhatian orang di sekelilingnya. Ketika suara retakan mouse-nya berbunyi saja, semua orang langsung menoleh ke arahnya. Lani ju
“Sudah, aku tahu kamu bakal bilang apa. Kalau dia benar-benar peduli kamu ada di mana, pasti dia yang duluan hubungin kamu,” ujar Yolanda seraya menaruh ponsel Winda ke dalam tas, “Yuk, kita pergi makan dulu. Aku sudah lapar banget.”Setelah masuk ke mobil, Winda mengecek ponselnya sekali lagi dan mengurungkan niatnya untuk mengabari Hengky. Dalam hati dia juga sebenarnya ingin melihat apakah Hengky khawatir jika dia pulang malam dan menghubunginya duluan.Restoran hotpot baru yang ingin mereka datangi lokasinya ta jauh dari tempat tinggal Yolanda, sekitar 20 menit menggunakan mobil sudah bisa sampai. Setelah tiba di lokasi tujuan, ternyata restoran itu benar-benar ramainya bukan main. Untung saja Yolanda sudah melakukan reservasi. Jika tidak, mereka harus mengantre mungkin sampai 2-3 jam.Demi menjaga kerahasiaan, Winda, dia sengaja memesan ruang privat yang ada di lantai dua. Ketika sedang memesan makanan, Yolanda juga sengaja memesan beberapa alkohol untuk mereka berdua.“Kamu baru
“Harusnya kamu langsung kabari aku pas kecelakaan mobil,” ujar Yolanda dengan wajah yang kini jadi terlihat cemas. “Tapi kamu nggak kenapa-napa, ‘kan?”“Waktu itu Hengky nabrakkin mobilnya ke mobil yang nabrak aku. Aku nggak apa-apa, tapi Hengky sama Santo ….”Winda jadi teringat kembali dengan kondisi Hengky di rumah sakit kemarin ketika berbicara soal lukanya. Seketika itu juga Winda pun jadi cemas.Yolanda bisa bernapas lega mengetahui Winda baik-baik saja. “Suami kamu jantan benar, nggak kayak si Jefri yang lemah itu. Padahal dulu kamu suka sama si Jefri, tapi dia malah bersekongkol sama adik tiri kamu untuk nyakitin kamu. Memang sudah buta dia. Cepat atau lambat dia pasti bakal nyesal sudah menyia-nyiakan kamu yang cantik begini.”Jefri memang sudah menyesal, tapi itu benar-benar tulus dari hatinya atau hanya karena sekadar ingin terus memanfaatkan Winda, tidak ada yang tahu.“Mungkin dulu meman mataku saja yang nggak beres, tapi sekarang akhirnya sudah sembuh,” ujar Winda meledek
Itu karena Winda tidak akan bersikap lunak, ataupun mengampuni keluarga Gunawan!Yolanda sampai tertegun sesaat melihat jawaban Winda, lalu dia berkata, “Winda, kamu sudah banyak berubah dibanding dulu, ya.”“Oh, jelas,” jawab Winda dengan mata bercahaya.Bagaimanapun juga Winda sudah pernah melewati pengalaman yang mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan. Kalau dia masih tetap lugu seperti dulu, konyol sekali. Namun, itu membuat Yolanda jadi merasa sedikit asing dengan Winda yang sekarang, dan itu hanya bisa dia rasakan ketika sedang membicarakan Luna. Selain itu, Yolanda juga merasa Winda seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Namun karena Winda tidak ingin membahasnya, Yolanda juga tidak mau terlalu ikut campur.“Jadi kamu sama Hengky sekarang …. Kamu benar-benar suka sama dia, atau karena waktu itu dia nolongin kamu …?”Dulu Winda selalu memenuhi kemauan Jefri, dan Yolanda pernah bertanya mengapa Winda mau melakukan itu. Saat itu Winda tidak menjelaskannya dengan detail, dia h
Mungkin Winda saja yang terlalu banyak berharap. Mana mungkin Hengky peduli apakah Winda makan di rumah atau tidak.“Nggak usah siapin aku makan malam, Bi Citra. Ini aku lagi makan di luar bareng temanku. Hengky sudah pulang?”“Pak Hengky ….”Hengky menganggukkan kepalanya, dan Bi Citra pun melanjutkan, “Pak Hengky sudah pulang. Dia yang minta tolong saya tanyain Bu Winda kapan pulang. Apa perlu saya siapin makan untuk nanti Ibu pulang?”Alis Hengky langsung mengernyit seketika mendengar ucapan itu. Apa yang baru saja Bi Citra katakan adalah idenya sendiri. Dia hanya menundukkan kepalanya berpura-pura tidak melihat ketika Hengky memelototinya. Winda yang mendengar itu juga terkejut dan merasa tidak percaya dengan apa yang dia dengar tadi. Hengky yang menanyakan kapan dia pulang dan apakah ingin disiapkan makan malam? Apakah matahari sudah terbit di barat? Mengingat sikap Hengky yang dingin dan cuek, Winda tidak menganggap ucapan itu dengan serius. Dia pikir paling hanya Bi Citra saja y
Penjelasan dari Winda masih terus terngiang di telinganya. Lucunya, baru saja beberapa hari berlalu, Winda sudah menemui Jefri lagi. Hengky sungguh polos mengira Winda sudah berubah. Hampir saja dia percaya dengan rayuan manisnya.Di satu sisi, Winda tidak tahu bahwa Hengky salah paham mengira malam ini dia tidak pulang karena ingin menemui Jefri, padahal sebenarnya dia sedang bersama dengan Yolanda. Dan lagi, sikap Hengky yang cuek dan nada bicaranya yang dingin itu juga membuat Winda merasa sedikit kecewa.Melihat suasana hati Winda yang tiba-tiba lesu dan tampak seperti sedang sakit hati, Yolanda bisa menerka kira-kira apa yang telah terjadi. Dia pun mendekat dan bertanya pada Winda, “Kamu nggak apa-apa? Dia ada bilang apa …?”Mendengar Yolanda bertanya dengan penuh perhatian, Winda melayangkan senyum ke arahnya dan hanya menggelengkan kepala. Yolanda pun tidak banyak bertanya lagi karena Winda juga tidak ingin bercerita. Dia mengangkat gelasnya dan berkata, “Sudah, nggak usah dipik
Begitu keluar dari restoran, Yolanda disambut oleh seorang pemuda yang tampangnya cukup ganteng di depan. Setelah memastikan kalau orang itu adalah pengemudi yang akan mengantar mereka pulang, pemuda itu pun membawa Yolanda dan Winda ke area parkiran.Yolanda mengambil kunci dari tas Winda dan mendudukkan Winda di kursi belakang.“Pergi ke Lotus Residence,” kata Yolanda kepada si pemuda yang mengemudikan mobil mereka. Namun pemuda itu malah ragu ketika melihat kunci yang diberikan kepadanya adalah kunci Maserati.“Kenapa diam saja? Ayo jalan,” kata Yolanda.“Tapi mobil ini mahal banget, aku takut ….”“Kamu nggak bisa nyetir?”“Bisa ….”“Kalau begitu ayo cepat!”Selama perjalanan, pemuda itu mengemudikan mobilnya dengan sangat hati-hati. Winda yang sudah teler akibat efek alkohol cuma bersandar di bahu Yolanda tanpa berbicara apa-apa. Di jam itu jalanan sedang cukup padat, jadi mereka baru tiba di Lotus Residence setengah jam kemudian. Dengan mengandalkan ingatannya, Yolanda mengarahkan
Winda merasa jauh lebih baik setelah dia muntah. Bau muntahan masih menempel di hidungnya, jadi Winda segera menyalakan exhaust dan mandi untuk membersihkan badannya dari bau muntah dan alkohol yang masih tersisa.Baru saja tersadar sedikit, uap yang keluar dari air panas lagi-lagi membuat sisa alkohol dalam darah kembali naik ke kepala. Winda buru-buru mengelap badannya yang basah dan keluar memakai gaun mandi.Melihat ranjangnya yang kosong, Winda berpikir sejenak dan memutuskan untuk mendatangi kamar tidur tempat Hengky beristirahat. Hanya dibatasi oleh pintu, dari dalam kamar itu tidak terdengar suara sedikit pun. Winda hanya berdiri di depan dengan jantung yang berdegup kencang. Dia menarik napas dalam-dalam dan membuka pintunya.Pintunya tidak terkunci, jadi Winda membuka pintu sampai terbuka sepenuhnya. Lampu kamar tidak ada yang menyala, tirai jendela juga tertutup rapat tanpa ada sedikit pun cahaya yang masuk. Winda tidak bisa melihat dengan jelas situasi di dalam, jadi menutu
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a