Setibanya di rumah, Hasan segera meletakkan wadah pakaian basah di atas dipan kemudian menjemurnya. "Apa yang kau lakukan? Jika kau terlalu banyak bergerak, luka di kakimu akan terkena infeksi," teriak Hasan sambil melihat Nisha membawa kembali baskom yang berisi tumpukan cucian alat makan yang sudah dipakai.
“Paman, aku hanya terluka, bukan lumpuh. Berhentilah bereaksi berlebihan,” kata Nisha. Mendengar hal itu, Hasan hanya menghela nafas dan mendekati Nisha, merebut baskom itu dari tangannya.
“Tunggu di sini, biar aku saja,” ujar Hasan, kemudian menjauh dari gubuk. Nisha hanya menatap punggung Hasan yang pergi menuju sungai untuk membersihkan piring-piring tersebut.
“Aku ikut!” Nisha berlari mengejar Hasan. “Tidak, kau tinggal di sini saja,” ujar Hasan, mencoba mencegahnya.
“Tidak mau! Pokoknya aku ikut-aku ikut!” Nisha menghentakkan kakinya, meskipun kepala Nisha terasa pening karena gerakan tiba-tiba. Hasan memilih mengabaikan dan terus berjalan, dan Nisha terus mengikutinya.
“NISHA, BISAKAH KAU MENDENGARKAN? TOLONGLAH UNTUK SEDIKIT MENURUT,” tanpa sadar, Hasan telah membentak Nisha. Sayangnya, dia tidak menyadarinya dan meninggalkan Nisha begitu saja.
Nisha, yang pertama kali mendengar Hasan berteriak padanya, berdiri mematung, terpaku pada tempatnya. Tak lama kemudian, dia pergi dengan air mata yang berlinang, semakin menjauh dari Hasan.
Gadis itu terduduk di atas dipan sambil sesegukan, mengusap air matanya. Hasan melupakan sepenuhnya kehadiran istri di hadapannya saat ini. Mereka terpaut jauh, terpisah oleh waktu dan kedewasaan yang telah dikenal Hasan selama beberapa tahun ke depan.
Tanpa menyadarinya, Hasan telah menyakiti seorang anak kecil yang selalu percaya bahwa dia selalu berada di pihaknya. Dan orang itu adalah dia.
“Nisha?” panggil Neha, suaranya penuh dengan harapan, membuat Nisha tersentak dari lamunannya. Dengan cepat, Nisha menghapus air matanya, lalu mengangkat kepalanya untuk menatap wajah ibunya. Terlihat jelas bekas-bekas kelelahan dan beban hidup yang terpampang di wajah ibunya.
“Ibu?” balas Nisha, suaranya penuh dengan kekhawatiran. Matanya masih mencerminkan riuh rendah emosinya.
Pandangan ibunya meluncur ke arah jemuran yang penuh dengan pakaian basah yang baru saja selesai dicuci. Kemudian, pandangannya beralih pada Nisha yang duduk di dipan.
“Kau sudah mengerti, rupanya. Baguslah,” ujar ibunya, meskipun nada acuh tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kelegaannya. Ia seakan telah mempersiapkan diri untuk hal ini.
“Bagaimana Nisham?” tanyanya. Namun, Neha tak segera memberi jawaban. Ia hanya terdiam sejenak, sebelum akhirnya menghela nafas dengan berat. Ia melangkah mendekati Nisha, lalu memegang lembut kedua bahu anaknya.
“Nisha, dengarkan aku… Apa kau menyayangi saudaramu?” suaranya lembut, mengandung kehangatan. Gadis itu hanya mengangguk, ekspresinya polos, namun penuh dengan rasa kasih dan kepedulian. Tentu saja, hal itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Nisha sangat mencintai Nisham.
Neha kemudian menyentuh dagu Nisha, mendongakkannya agar mata mereka bertatapan. Wajah polos anaknya itu memancarkan kecerahan, bahkan di tengah beratnya situasi.
“Nisha… Tuan Santo menawarkan bantuan. Dia akan membawa Nisham ke rumah sakit. Saudaramu akan mendapatkan pelayanan yang terbaik.” Suaranya penuh dengan harapan, mencoba menemukan titik terang dalam kegelapan yang menghimpit. Bagaimanapun juga, Nisha hanya seorang anak kecil yang berpikir bahwa dunia ini selalu berada di sisinya. Tentu saja, ia merasa sangat senang mendengar bahwa saudaranya akan sembuh.
Nisha tahu bahwa Tuan Santo adalah orang kaya. Mata kecilnya berbinar gembira mendengar kabar itu. "Itu artinya Nisham akan sembuh dan bisa bermain denganku, bukan begitu, Bu? Kapan? Kapan Tuan Santo akan membawanya ke rumah sakit?"
Neha tersenyum getir melihat antusiasme anaknya namun dia hanya berusaha untuk menepisnya lagian anaknya ini akan memiliki hidup yang jauh lebih layak dan itu merupakan bentuk kasih sayangnya.Dia hanya perlu mempersiapkan Nisha lebih baik lagi. "Tidak hanya itu, dia juga akan menjamin hidupmu. Kau selalu menginginkan makan ayam panggang dan memiliki pakaian yang bagus-bagus, bukan?" Ibunya bertanya lagi, ingin memastikan bahwa Nisha benar-benar mendambakan semua itu.
Dengan polosnya, Nisha mengangguk dengan penuh semangat. "Aku sangat ingin itu semua, Bu, tapi sepertinya itu akan memakan waktu lama. Aku berjanji, ketika cita-citaku menjadi seorang guru tercapai, aku akan membelikan semua makanan yang ibu inginkan," ujarnya dengan senyum ceria.
Ibunya tersenyum lembut dan mencoba menjelaskan lebih lanjut, "Tidak, Nak, kau tidak perlu melakukan itu. Bahkan kau tidak perlu bekerja." Mendengar ini, Nisha mengernyitkan keningnya, penasaran.
"Mengapa, Bu?" Tanyanya dengan rasa ingin tahu yang menguat.
"Astaga Nisha, kau ini bodoh sekali! Kita ini orang miskin. Bahkan ayahmu dan aku hanya mampu memberi makan kalian hanya dua kali sehari. Pendidikan hanya untuk orang-orang kaya saja Nisha mengapa kau tidak menyadarinya. Kau harus menyadari bahwa kita tidak akan pernah bisa seperti mereka," Neha meluapkan keputusasaannya dengan kata-kata tajam.
"Lebih baik kau segera mengubur impianmu, karena tidak peduli seberapa lama, itu tidak akan pernah terwujud," bentaknya dengan keras. Nisha hanya bisa menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, hatinya hancur berkeping-keping.
"Lebih baik kau belajar lebih banyak tentang apa yang dihadapi dalam kehidupan berumah tangga. Kau akan dijodohkan dengan Tuan Santo, dan ingat, jangan pernah membuatku malu dengan membuatnya memulangkanmu padaku," Neha menambahkan dengan nada tegas, mencoba membuat anaknya memahami kenyataan yang keras, sementara hati Nisha terasa seperti remuk redam.
“Aku tidak mau menikah dengannya!” teriak Nisha.
“Nisha! Sejak kapan bicaramu menjadi seperti ini padaku? Sepertinya aku kurang mengajarimu ya, kemari,” Neha yang emosinya yang langsung memuncak tanpa memikirkan apa yang terjadi langsng menjambak anaknya dan menyeretnya ke tanah.
“Ibu, lepaskan, ini sakit,” keluh anak itu, berusaha untuk melepaskan cengkraman ibunya tak ada yang bisa dia lakukan kecuali hanya menggenggam tangan ibunya hanya untuk memohon agar ibunya berhenti menyakitinya.
Namun Neha sudah dibutakan oleh emosinya tidak peduli akan kesakitan yang dialami putrinya pikirannya saat ini hanyalah mengetahui jika Nisha anak yang membangkang dan tidak mau mendengarkan perkataannya.
“Sepertinya aku terlalu memanjakanmu selama ini sampai kau lupa siapa yang merawatmu,” ujar Neha dengan suara parau,dan ekspresi wajahnya yang mencerminkan emosi dan kekesalan mendalam.Emosi telah mengambil alih pikirannya hingga dia tidak sadar dia sangat menyakiti anaknya saat itu.
Neha menghempaskan Nisha pada bagian belakang dapur pada kandang kosong bekas kambing.
“Selagi kau tidak mengiyakan pernikahan ini jangan harap kau bisa makan” tepat saat itu juga pintu kandang itu di tutup tangis Nisha semakin menjadi.
Kesakitan fisik dari kekerasan yang dilakukan ibunya bersanding dengan luka batin akibat kata-kata pedas yang baru saja didengarnya.Dia di kurung dalam kandang sambil meringkuk memeluk dirinya sendiri.
Nisha terduduk dalam kegelapan kandang bekas kambing, tubuhnya gemetar akibat rasa sakit fisik dan luka batin yang baru saja dialaminya. Tangisnya terhenti seiring dengan pintu kandang yang ditutup rapat oleh ibunya, meninggalkannya dalam keheningan yang menakutkan.Pada saat itu, Nisha menyadari bahwa dia benar-benar sendirian. Hatinya dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan. Dia merasakan kesepian yang begitu dalam, seolah-olah tidak ada harapan untuk keluar dari situasi ini. Tapi di tengah kegelapan dan keputusasaan, Nisha merasa ada semacam api keberanian yang menyala di dalam dirinya.Dengan perlahan, dia berusaha mengumpulkan kekuatannya. Meskipun badannya terasa lemah akibat kekerasan yang dialami. Dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk meloloskan diri dari situasi ini.Namun sepertinya percuma ibunya mungkin akan melakukan hal yang sama lagi padanya bahkan kemungkinan lebih parah dari sebelumnya.Sementara itu, di luar kandang, Neha masih terhanyut oleh amarahnya. Pikirann
Malam telah tiba dan keluarga kecil itu menyiapkan makan malam seadanya saja. Seperti biasa Neha hanya bisa menyiapkan sepotong roti. Rajan baru saja pulang dari memulung tadi pagi semua anggota keluarga ada disana namun salah satu dari anaknya.“Dimana Nisha?” tanya Rajan dengan heran. Namun Neha yang seharusnya tahu pasti akan jawaban dari pertanyaan itu.“Neha?” panggil Rajan pada istrinya.“Dia di kandang dan jangan sekali-kali kau mencoba untuk membebaskannya,” ujarnya. “Katakan dimana dia sekarang?” bentaknya. Mendengar suaranya itu Neha langsung bangkit dari tempat duduknya mencoba untuk menantang suaminya itu.“Ada apa denganmu? Mengapa kau menghukumnya? Pernikahan lagi?” tanya Rajan yang berhasil membuat Neha yang tadinya ingin meledak-ledak marah padanya karena terlalu memihak Nisha langsung terbungkam dan membuang pandangannya ke lantai.“Neha dia itu anakmu, kau harus ingat itu,” Kembali pria itu mendebatnya namun kemudian Neha menatapnya dengan marah.“Justru karena dia a
“Apa?” pekik Hasan saat baru saja menerima telepon dari rumah sakit. Membuat istrinya terkejut dan tanpa sadar menutup mulutnya. “Bagaimana dengan dokter lain?” tanyanya masih dengan gusar, disertai rasa panik. “Maaf, Dok, untuk saat ini hanya Anda, dokter ahli saraf di rumah sakit ini. Dokter lain takut untuk mengambil tindakan,” tangannya seketika gemetar hebat dan tanpa sadar menjatuhkan ponselnya. Pihak rumah sakit masih memanggil namanya di sana, namun tak mendapatkan jawaban apapun. Seketika dia teringat akan traumanya terhadap darah, dan itulah juga menjadi alasan mengapa dia tidak pernah ikut andil dalam tindakan operasi. Melihat suaminya yang memucat, Nisha langsung menghampirinya, memegang bahunya sambil tersenyum lembut padanya. “Ada apa?” tanyanya dengan suara halusnya. “A-ada operasi kemudian… dokter lain… darah… aku… Nisha, aku tak bisa,” ucapannya tergelagap, namun Nisha menatapnya dengan tatapan khasnya yang selalu membuat Hasan teduh. Nisha membawa Hasan dalam pel
Suaranya serak dan penuh emosi ketika ia berbicara kepada istrinya yang lemah di hadapannya. "Nisha, aku di sini... Tolong, tetaplah bersamaku," bisiknya dengan suara gemetar, berharap kata-kata itu akan sampai ke Nisha, bahkan dalam keadaan seperti ini. Namun, meskipun usahanya sekuat tenaga, detak jantung Nisha semakin redup. Cahaya di matanya semakin memudar, dan Nisha terlihat tenang seperti dalam tidur yang damai. Saat tangan Hasan terus memegang erat tangan Nisha, air matanya tak tertahankan lagi, mengalir deras tanpa bisa ia cegah. Waktu seolah-olah berhenti ketika detak jantung Nisha akhirnya berhenti. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kini berubah menjadi tempat yang hening, sunyi, dan penuh duka. Hasan merasakan hatinya hancur, seolah-olah seluruh dunia yang ia kenal runtuh di depan matanya. Pandangannya tertuju pada monitor yang menampilkan garis lurus. "Tidak... tidak... Nisha? Nisha? Apa kau meninggalkanku?... Cepat, ambilkan alat defibrilator," titah Ha
"Kau membagi ini denganku.Tapi mengapa kau tidak ingin berbagi ini dengan suamimu?" Nisha menatap mata Sonia dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan kerapuhan. "Aku takut, Sonia. Aku takut melihat ekspresi di wajah Hasan saat dia tahu. Aku takut itu akan menjadi beban berat baginya." Sonia merasakan kebingungan dan perasaan campur aduk yang tengah dialami Nisha. Suara Nisha penuh dengan rasa sakit dan keragu-raguan. "Tapi, apa yang akan kau lakukan saat waktunya tiba dan kau harus pergi? Apa yang akan terjadi pada Hasan?" Nisha meneteskan air mata dengan perlahan, mencoba mengendalikan emosinya yang semakin tercabik-cabik. "Aku ingin menghabiskan sisa waktu yang aku punya dengan kedamaian, Sonia. Aku ingin menjalani sisa hidupku tanpa mengantarkannya pada duka yang lebih dalam. Aku tak ingin menyakiti Hasan." Sonia merasa hatinya teriris melihat istri kakaknya yang begitu rapuh. Dia meraih pundak Nisha dengan lembut. "Aku tahu kau Sangat menyayanginya hingga tak mau membeba
Laki laki itu kembali menjelajahi kamar miliknya bersama dengan Nisha perlahan dia membuka lemari dan menemukan beberapa pakaian milik Nisha dadanya kembali menjadi sesak melihat pakaian yang baunya masih menguarkan aroma Nisha disana. Sesuatu kemudian membuyarkan fokusnya ketika sebuah kotak hitam terjatuh dari atas lemari terdorong dengan rasa penasarannya Hasan membuka kotak itu yang berisi berkas-berkas tentang Nisha namun pandangannya lebih menarik pada rekap rekam medis milik Nisha. Hasan mulai merenungkan hasil tes dan catatan medis Nisha. Dia ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Pada akhirnya, dia menemukan jawaban yang membuatnya semakin terpuruk. Rasa bersalah dan penyesalan kembali membanjiri hatinya. Saat pandangannya jatuh pada patung Dewa Siwa yang diletakkan di atas meja nakas Nisha, Hasan merasa adanya perasaan marah yang mulai memuncak. Patung itu terlihat begitu tenang, seperti menggambarkan ketenangan yang jauh dari p
‘Nisha akan kulakukan apapun untukmu’ bisiknya dalam hati.“Kumohon aku sangar mencintainya tunjukkan padaku akan kuberikan SEGALANYA apapun yang kau pinta,” teriaknya.Kemudian entah datang darimana samar samar Hasan mendengar suara yang bergaung sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.“Apa kau yakin ingin memberikan segalanya? Bahkan bagian dari dirimu?” itulah yang di dengarnya terakhir kali hingga kesadarannya sepenuhnya menghilang.Cahaya menusuk nusuk penglihatannya saat dia mencoba untuk membuka matanya.Sesaat dia merasakan percikan-percikan air yanng begitu dingin dan mendapati seorang anak kecil yang berusia sekitar 10 tahun.“Ah paman sudah bangun rupanya,” sapa anak itu sambil tersenyum manis.Perlahan Hasan bangkit memperbaiki posisinya.Dia melihat ke seekelilingtempaatnnya sedang berada keadaannya begitu semrawut dengan debu yang begitu banyak beterbangan.Suara klakson dan orang-orang yang menjajakan makanan dan suara tawar menawar.“Paman sepertinya tersesat ya? Apakah pa
Malam kembali menjelang namun suasana di daerah itu masih benar-benar sibuk, meski bukan perkataan kehidupan disana tidak pernah berhenti. Para lelaki berkumpul di rumah makan langganan mereka, tempat mereka melepaskan penat sambil menghisap sisha dan meminum chai diatas dipan-dipan yang disiapkan si pemilik rumah makan. Meski kumuh, daerah itu masih terbilang favorit bagi mereka karena itu merupakan satu-satunya tempat yang memiliki kapasitas besar untuk menampung banyak pelanggan. Kadang hingga hari semakin larut, mereka melanjutkannya dengan bermain judi dengan taruhan seadanya. “Sepertinya aku akan menambah istri lagi,” celetuk seorang pria yang usianya sudah mendekati setengah abad. Giginya sudah mulai menguning karena sudah tidak terhitung begitu banyak sisha yang dia hisap dari pipanya. Suara tawanya disertai batuk, dengan rambut janggut yang sudah memulai memutih dan bagian tengah kepalanya yang sudah mulai terkikis karena sudah rontok. Para orang-orang yang ada disana, yang
Malam telah tiba dan keluarga kecil itu menyiapkan makan malam seadanya saja. Seperti biasa Neha hanya bisa menyiapkan sepotong roti. Rajan baru saja pulang dari memulung tadi pagi semua anggota keluarga ada disana namun salah satu dari anaknya.“Dimana Nisha?” tanya Rajan dengan heran. Namun Neha yang seharusnya tahu pasti akan jawaban dari pertanyaan itu.“Neha?” panggil Rajan pada istrinya.“Dia di kandang dan jangan sekali-kali kau mencoba untuk membebaskannya,” ujarnya. “Katakan dimana dia sekarang?” bentaknya. Mendengar suaranya itu Neha langsung bangkit dari tempat duduknya mencoba untuk menantang suaminya itu.“Ada apa denganmu? Mengapa kau menghukumnya? Pernikahan lagi?” tanya Rajan yang berhasil membuat Neha yang tadinya ingin meledak-ledak marah padanya karena terlalu memihak Nisha langsung terbungkam dan membuang pandangannya ke lantai.“Neha dia itu anakmu, kau harus ingat itu,” Kembali pria itu mendebatnya namun kemudian Neha menatapnya dengan marah.“Justru karena dia a
Nisha terduduk dalam kegelapan kandang bekas kambing, tubuhnya gemetar akibat rasa sakit fisik dan luka batin yang baru saja dialaminya. Tangisnya terhenti seiring dengan pintu kandang yang ditutup rapat oleh ibunya, meninggalkannya dalam keheningan yang menakutkan.Pada saat itu, Nisha menyadari bahwa dia benar-benar sendirian. Hatinya dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan. Dia merasakan kesepian yang begitu dalam, seolah-olah tidak ada harapan untuk keluar dari situasi ini. Tapi di tengah kegelapan dan keputusasaan, Nisha merasa ada semacam api keberanian yang menyala di dalam dirinya.Dengan perlahan, dia berusaha mengumpulkan kekuatannya. Meskipun badannya terasa lemah akibat kekerasan yang dialami. Dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk meloloskan diri dari situasi ini.Namun sepertinya percuma ibunya mungkin akan melakukan hal yang sama lagi padanya bahkan kemungkinan lebih parah dari sebelumnya.Sementara itu, di luar kandang, Neha masih terhanyut oleh amarahnya. Pikirann
Setibanya di rumah, Hasan segera meletakkan wadah pakaian basah di atas dipan kemudian menjemurnya. "Apa yang kau lakukan? Jika kau terlalu banyak bergerak, luka di kakimu akan terkena infeksi," teriak Hasan sambil melihat Nisha membawa kembali baskom yang berisi tumpukan cucian alat makan yang sudah dipakai.“Paman, aku hanya terluka, bukan lumpuh. Berhentilah bereaksi berlebihan,” kata Nisha. Mendengar hal itu, Hasan hanya menghela nafas dan mendekati Nisha, merebut baskom itu dari tangannya.“Tunggu di sini, biar aku saja,” ujar Hasan, kemudian menjauh dari gubuk. Nisha hanya menatap punggung Hasan yang pergi menuju sungai untuk membersihkan piring-piring tersebut.“Aku ikut!” Nisha berlari mengejar Hasan. “Tidak, kau tinggal di sini saja,” ujar Hasan, mencoba mencegahnya.“Tidak mau! Pokoknya aku ikut-aku ikut!” Nisha menghentakkan kakinya, meskipun kepala Nisha terasa pening karena ger
Pagi mulai menyinsing karena semua kesibukan orang di gubuk itu baru berakhir pada saat subuh sudah menjelang maka mereka masih terlelap.Tetapi tidak dengan seorang gadis kecil yang sudah bangun lebih awal untuk mempersiapkan segalanya untuk pertama kalinya tanpa membuat ibunya murka terlebih dahulu.Hari itu cukup tenang dan damai Nisha mulai membereskan dapur dan memungut beberapa pakaian kotor di ruangan itu.Satu persatu alat-alat makan yang hanya tersedia seadanya dia singkirkan dan disatukan didalam sebuah wadah yang cukup besar untuk dibawa ke anak sungai yang airnya sudah sedikit keruh.Hal ini dikarenakan hujan deras yang terjadi semalam.Karena tubuh mungilnya tidak mampu membawanya sekaligus dia mendahulukan cucian kotornya terlebih dahulu.Dengan berhati hati gaadis itu menapaki jalan bebatuan yang sudah berlumut hal yang menjadi alasannya tidak mau memakai alas kaki saat menuju sungai.Karena alih-alih meringankan masalah dia hanya akan membuatnya
Malam kembali menjelang namun suasana di daerah itu masih benar-benar sibuk, meski bukan perkataan kehidupan disana tidak pernah berhenti. Para lelaki berkumpul di rumah makan langganan mereka, tempat mereka melepaskan penat sambil menghisap sisha dan meminum chai diatas dipan-dipan yang disiapkan si pemilik rumah makan. Meski kumuh, daerah itu masih terbilang favorit bagi mereka karena itu merupakan satu-satunya tempat yang memiliki kapasitas besar untuk menampung banyak pelanggan. Kadang hingga hari semakin larut, mereka melanjutkannya dengan bermain judi dengan taruhan seadanya. “Sepertinya aku akan menambah istri lagi,” celetuk seorang pria yang usianya sudah mendekati setengah abad. Giginya sudah mulai menguning karena sudah tidak terhitung begitu banyak sisha yang dia hisap dari pipanya. Suara tawanya disertai batuk, dengan rambut janggut yang sudah memulai memutih dan bagian tengah kepalanya yang sudah mulai terkikis karena sudah rontok. Para orang-orang yang ada disana, yang
‘Nisha akan kulakukan apapun untukmu’ bisiknya dalam hati.“Kumohon aku sangar mencintainya tunjukkan padaku akan kuberikan SEGALANYA apapun yang kau pinta,” teriaknya.Kemudian entah datang darimana samar samar Hasan mendengar suara yang bergaung sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.“Apa kau yakin ingin memberikan segalanya? Bahkan bagian dari dirimu?” itulah yang di dengarnya terakhir kali hingga kesadarannya sepenuhnya menghilang.Cahaya menusuk nusuk penglihatannya saat dia mencoba untuk membuka matanya.Sesaat dia merasakan percikan-percikan air yanng begitu dingin dan mendapati seorang anak kecil yang berusia sekitar 10 tahun.“Ah paman sudah bangun rupanya,” sapa anak itu sambil tersenyum manis.Perlahan Hasan bangkit memperbaiki posisinya.Dia melihat ke seekelilingtempaatnnya sedang berada keadaannya begitu semrawut dengan debu yang begitu banyak beterbangan.Suara klakson dan orang-orang yang menjajakan makanan dan suara tawar menawar.“Paman sepertinya tersesat ya? Apakah pa
Laki laki itu kembali menjelajahi kamar miliknya bersama dengan Nisha perlahan dia membuka lemari dan menemukan beberapa pakaian milik Nisha dadanya kembali menjadi sesak melihat pakaian yang baunya masih menguarkan aroma Nisha disana. Sesuatu kemudian membuyarkan fokusnya ketika sebuah kotak hitam terjatuh dari atas lemari terdorong dengan rasa penasarannya Hasan membuka kotak itu yang berisi berkas-berkas tentang Nisha namun pandangannya lebih menarik pada rekap rekam medis milik Nisha. Hasan mulai merenungkan hasil tes dan catatan medis Nisha. Dia ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Pada akhirnya, dia menemukan jawaban yang membuatnya semakin terpuruk. Rasa bersalah dan penyesalan kembali membanjiri hatinya. Saat pandangannya jatuh pada patung Dewa Siwa yang diletakkan di atas meja nakas Nisha, Hasan merasa adanya perasaan marah yang mulai memuncak. Patung itu terlihat begitu tenang, seperti menggambarkan ketenangan yang jauh dari p
"Kau membagi ini denganku.Tapi mengapa kau tidak ingin berbagi ini dengan suamimu?" Nisha menatap mata Sonia dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan kerapuhan. "Aku takut, Sonia. Aku takut melihat ekspresi di wajah Hasan saat dia tahu. Aku takut itu akan menjadi beban berat baginya." Sonia merasakan kebingungan dan perasaan campur aduk yang tengah dialami Nisha. Suara Nisha penuh dengan rasa sakit dan keragu-raguan. "Tapi, apa yang akan kau lakukan saat waktunya tiba dan kau harus pergi? Apa yang akan terjadi pada Hasan?" Nisha meneteskan air mata dengan perlahan, mencoba mengendalikan emosinya yang semakin tercabik-cabik. "Aku ingin menghabiskan sisa waktu yang aku punya dengan kedamaian, Sonia. Aku ingin menjalani sisa hidupku tanpa mengantarkannya pada duka yang lebih dalam. Aku tak ingin menyakiti Hasan." Sonia merasa hatinya teriris melihat istri kakaknya yang begitu rapuh. Dia meraih pundak Nisha dengan lembut. "Aku tahu kau Sangat menyayanginya hingga tak mau membeba
Suaranya serak dan penuh emosi ketika ia berbicara kepada istrinya yang lemah di hadapannya. "Nisha, aku di sini... Tolong, tetaplah bersamaku," bisiknya dengan suara gemetar, berharap kata-kata itu akan sampai ke Nisha, bahkan dalam keadaan seperti ini. Namun, meskipun usahanya sekuat tenaga, detak jantung Nisha semakin redup. Cahaya di matanya semakin memudar, dan Nisha terlihat tenang seperti dalam tidur yang damai. Saat tangan Hasan terus memegang erat tangan Nisha, air matanya tak tertahankan lagi, mengalir deras tanpa bisa ia cegah. Waktu seolah-olah berhenti ketika detak jantung Nisha akhirnya berhenti. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kini berubah menjadi tempat yang hening, sunyi, dan penuh duka. Hasan merasakan hatinya hancur, seolah-olah seluruh dunia yang ia kenal runtuh di depan matanya. Pandangannya tertuju pada monitor yang menampilkan garis lurus. "Tidak... tidak... Nisha? Nisha? Apa kau meninggalkanku?... Cepat, ambilkan alat defibrilator," titah Ha