Laki laki itu kembali menjelajahi kamar miliknya bersama dengan Nisha perlahan dia membuka lemari dan menemukan beberapa pakaian milik Nisha dadanya kembali menjadi sesak melihat pakaian yang baunya masih menguarkan aroma Nisha disana.
Sesuatu kemudian membuyarkan fokusnya ketika sebuah kotak hitam terjatuh dari atas lemari terdorong dengan rasa penasarannya Hasan membuka kotak itu yang berisi berkas-berkas tentang Nisha namun pandangannya lebih menarik pada rekap rekam medis milik Nisha.
Hasan mulai merenungkan hasil tes dan catatan medis Nisha. Dia ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Pada akhirnya, dia menemukan jawaban yang membuatnya semakin terpuruk. Rasa bersalah dan penyesalan kembali membanjiri hatinya.
Saat pandangannya jatuh pada patung Dewa Siwa yang diletakkan di atas meja nakas Nisha, Hasan merasa adanya perasaan marah yang mulai memuncak. Patung itu terlihat begitu tenang, seperti menggambarkan ketenangan yang jauh dari perasaannya saat ini. Tapi tanpa ragu, dia mengumpulkan beberapa pakaian dengan cepat, seakan ingin segera menjauh dari segala kenangan yang terus menghantuinya.
Dengan langkah terburu-buru, dia merapikan barang-barangnya dan segera mengepak beberapa pakaian malam itu juga. Dia memutuskan untuk terbang ke Mumbai, meskipun dia tahu dengan pasti bahwa kota itu hanya akan memicu kenangan-kenangan pahit tentang pertemuan pertamanya dengan Nisha. Namun, dalam momen ini, dia mengabaikan semua itu, terlalu terbebani oleh emosi yang memenuhi pikirannya.Segera, dia meninggalkan rumahnya dan menuju bandara.
…
Malam itu ketika Sonia baru saja menyelesaikan shiftnya dia kembali lagi mengunjungi kakaknya tak peduli sehebat apapun pertengkaran hebat mereka dia tetap tidak mau membuat Hasan merasa terpuruk sendiri.
Sonia keluar dari mobilnya begitu sampai di depan rumah Hasan dia sudah tidak kaget laggi jika rumah itu sudah terasa sepi semenjak kepergian Nisha.
“Hasan?”panggil Sonia sambil mengetuk daun pintu tersebut beberapa kali.
Tak ada jawaban kembali dia melakukan hal yang sama sambil memutar mutar Grendel pintu rumah tersebut Sonia sedikit tersentak begitu tahu rumahnya tidak terkunci.
Dia masuk begitu saja kemudian pandangannya tertuju pada kamar milik Hasan yang sudah tampak berantakan dengan lemari yang terbuka.
Matanya membulat hatinya sesuatu telah terjadi padanya kemudian dengan cepat menyimpulkan jika seseorang telah berbuat jahat pada kakaknya.
….
Hujan deras langsung menyambar begitu Hasan berada di ruang tunggu. Namun, dia tidak peduli. Dia menahan taksi yang sedang menunggu penumpang, kemudian langsung menyuruh sopirnya membawanya ke suatu tempat.
Hingga akhirnya, dia tiba dengan terburu-buru. Dia membanting pintu taksi tersebut dan memberikan sejumlah uang pada sopir. Sopir itu berteriak, memanggilnya untuk memberikan uang kembaliannya, namun dia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri.
"Hei, kau ingin kemana? Terlalu berbahaya untuk naik kesana. Tunggulah setelah badai reda," seru seseorang yang menjaga gerbang tempat tersebut.
Namun, siapa yang mampu menahan laki-laki yang sedang berduka ini? Hasan begitu saja menyerobot untuk masuk.
Tempat itu begitu jauh. Dia mendongak, menatap tempat yang berada di puncak yang jauh. Dari kejauhan, dia dapat mendengar suara loncengnya berbunyi, ditiup oleh angin. Tangga itu terlihat seperti membela hutan yang lebat.
Jika akalnya sedang mengambil alih, dia tidak akan mau mengambil risiko ini. Tangga-tangganya terbuat dari batuan yang disusun sehingga membentuk tangga. Kini, tangga-tangganya mulai diselimuti oleh lumut-lumut. Hal ini bisa berakibat fatal jika seseorang tidak berhati-hati.
Hasan hanya membawa lampu lentera yang dengan susah payah dia nyalakan di bawah hujan dan angin yang menerpa. Dengan perlahan, dia mulai menapaki tangga-tangga itu. Dia berpegangan erat pada penyangga tangga yang terbuat dari bambu yang sudah mulai dimakan oleh rayap. Tangga ini mulai terguncang ketika dia memegangnya terlalu erat.
Semakin dia mendaki, semakin dia mendekati tempat itu. Suara loncengnya semakin terdengar jelas di telinganya. Namun, tepat saat dia mencoba melangkah lagi, kakinya terpeleset dan lenteranya terjatuh. Dia berpegangan pada akar pohon yang sudah menjalar dekat tangga.
Dia meringis dengan ngeri, menatap turunan yang curam. Tubuhnya bisa saja hancur jika dia tidak berpegangan dengan cepat. Dengan susah payah, dia mengangkat badannya agar bisa naik. Hatinya berteriak, mencemooh pada sesuatu yang sedang menunggu di sana, "Kau pikir aku akan menyerah begitu saja?"
Dalam hati Hasan, ada semangat yang membara yang tak terduga. Matanya memancarkan api perjuangan ketika dia menatap puncak bukit yang hampir tercapai. Dia bisa merasakan denyut adrenalin mengalir dengan deras dalam darahnya, mengingatkannya bahwa saat ini adalah pertempuran antara dirinya dan takdir yang memanggilnya.
Langkahnya naik semakin perlahan, tetapi penuh ketetapan. Meskipun lututnya gemetar dan tangan berpegangan erat pada penyangga bambu yang semakin rapuh, dia tak mundur. Setiap anak tangga yang dia taklukkan, dia rasakan sebagai kemenangan atas ketidaksempurnaannya.
Kian mendekati puncak, suara lonceng semakin keras menggema di telinganya. Angin yang semakin deras berusaha merobohkan tekadnya, tetapi dia tetap berdiri teguh. Dia telah menyatu dengan tekad terdalamnya, mengabaikan segala rintangan dan ketakutan yang mencoba mengepungnya.
Tanpa peringatan, kakinya terpeleset lagi. Namun kali ini, naluri bertahan hidupnya bekerja cepat. Dengan refleks yang tajam, dia meraih tepi batu dengan jari-jarinya, kukunya mencengkeram kuat pada permukaan yang kasar. Napasnya terengah-engah, sementara matanya tetap fokus pada tujuan yang begitu dekat.
Dengan upaya terakhir yang tak terhitung, akhirnya dia berhasil mencapai anak tangga terakhir. Tubuhnya terkulai lelah, tetapi dalam hatinya berkobar kepuasan yang mendalam. Matanya tertuju pada lonceng besar yang berdiri di hadapannya, menjadi simbol pengorbanan dan perjuangannya.
Dengan kekuatan yang tersisa, Hasan meraih tali lonceng dan menariknya dengan sepenuh tenaga. Suara lonceng bergemuruh di seluruh hutan, seolah-olah menyampaikan kemenangan dan tekadnya kepada seluruh alam semesta.
Dengan hati yang penuh dengan rasa sakit dan kemarahan, Hasan menatap Dewa Siwa dengan tatapan tajam. Perasaan yang berkobar dalam dirinya melepaskan ikatan yang selama ini dia sembunyikan. Kemudian dengan suara yang gemetar namun penuh amarah dengan penuh tuntutan yang sudah dia pendam sebelum datang kesini,"bagaimana mungkin kau bisa membiarkan ini terjadi? Bagaimana mungkin kau bisa merenggut istriku dariku, saat aku sedang berjuang untuk menyelamatkannya?"
“Nisha orang baik bagaimana bisa kau melakukan ini padanya apa yang dia lakukan sampai kau melakukan ini padanya…mengapa haruss dia? mengapa kau tidak timpakan saja padaku?dia begitu mempercayaimu namun yang kau perbuat padanya hanyalah menyiksanya”
Hasan yang awalnya tidak percaya pada hal-hal demikian tentang keberadaan Tuhan menjadikan hal ini adalah usaha terakhirnya meruntuhkan harga dirinya.Dia mencemooh dirinya sendiri yang awalnya tidak pernah percayapada sesuatu yang di Tuhankan semenjak keluarganya di renggut.
‘Nisha akan kulakukan apapun untukmu’ bisiknya dalam hati.“Kumohon aku sangar mencintainya tunjukkan padaku akan kuberikan SEGALANYA apapun yang kau pinta,” teriaknya.Kemudian entah datang darimana samar samar Hasan mendengar suara yang bergaung sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.“Apa kau yakin ingin memberikan segalanya? Bahkan bagian dari dirimu?” itulah yang di dengarnya terakhir kali hingga kesadarannya sepenuhnya menghilang.Cahaya menusuk nusuk penglihatannya saat dia mencoba untuk membuka matanya.Sesaat dia merasakan percikan-percikan air yanng begitu dingin dan mendapati seorang anak kecil yang berusia sekitar 10 tahun.“Ah paman sudah bangun rupanya,” sapa anak itu sambil tersenyum manis.Perlahan Hasan bangkit memperbaiki posisinya.Dia melihat ke seekelilingtempaatnnya sedang berada keadaannya begitu semrawut dengan debu yang begitu banyak beterbangan.Suara klakson dan orang-orang yang menjajakan makanan dan suara tawar menawar.“Paman sepertinya tersesat ya? Apakah pa
Malam kembali menjelang namun suasana di daerah itu masih benar-benar sibuk, meski bukan perkataan kehidupan disana tidak pernah berhenti. Para lelaki berkumpul di rumah makan langganan mereka, tempat mereka melepaskan penat sambil menghisap sisha dan meminum chai diatas dipan-dipan yang disiapkan si pemilik rumah makan. Meski kumuh, daerah itu masih terbilang favorit bagi mereka karena itu merupakan satu-satunya tempat yang memiliki kapasitas besar untuk menampung banyak pelanggan. Kadang hingga hari semakin larut, mereka melanjutkannya dengan bermain judi dengan taruhan seadanya. “Sepertinya aku akan menambah istri lagi,” celetuk seorang pria yang usianya sudah mendekati setengah abad. Giginya sudah mulai menguning karena sudah tidak terhitung begitu banyak sisha yang dia hisap dari pipanya. Suara tawanya disertai batuk, dengan rambut janggut yang sudah memulai memutih dan bagian tengah kepalanya yang sudah mulai terkikis karena sudah rontok. Para orang-orang yang ada disana, yang
Pagi mulai menyinsing karena semua kesibukan orang di gubuk itu baru berakhir pada saat subuh sudah menjelang maka mereka masih terlelap.Tetapi tidak dengan seorang gadis kecil yang sudah bangun lebih awal untuk mempersiapkan segalanya untuk pertama kalinya tanpa membuat ibunya murka terlebih dahulu.Hari itu cukup tenang dan damai Nisha mulai membereskan dapur dan memungut beberapa pakaian kotor di ruangan itu.Satu persatu alat-alat makan yang hanya tersedia seadanya dia singkirkan dan disatukan didalam sebuah wadah yang cukup besar untuk dibawa ke anak sungai yang airnya sudah sedikit keruh.Hal ini dikarenakan hujan deras yang terjadi semalam.Karena tubuh mungilnya tidak mampu membawanya sekaligus dia mendahulukan cucian kotornya terlebih dahulu.Dengan berhati hati gaadis itu menapaki jalan bebatuan yang sudah berlumut hal yang menjadi alasannya tidak mau memakai alas kaki saat menuju sungai.Karena alih-alih meringankan masalah dia hanya akan membuatnya
Setibanya di rumah, Hasan segera meletakkan wadah pakaian basah di atas dipan kemudian menjemurnya. "Apa yang kau lakukan? Jika kau terlalu banyak bergerak, luka di kakimu akan terkena infeksi," teriak Hasan sambil melihat Nisha membawa kembali baskom yang berisi tumpukan cucian alat makan yang sudah dipakai.“Paman, aku hanya terluka, bukan lumpuh. Berhentilah bereaksi berlebihan,” kata Nisha. Mendengar hal itu, Hasan hanya menghela nafas dan mendekati Nisha, merebut baskom itu dari tangannya.“Tunggu di sini, biar aku saja,” ujar Hasan, kemudian menjauh dari gubuk. Nisha hanya menatap punggung Hasan yang pergi menuju sungai untuk membersihkan piring-piring tersebut.“Aku ikut!” Nisha berlari mengejar Hasan. “Tidak, kau tinggal di sini saja,” ujar Hasan, mencoba mencegahnya.“Tidak mau! Pokoknya aku ikut-aku ikut!” Nisha menghentakkan kakinya, meskipun kepala Nisha terasa pening karena ger
Nisha terduduk dalam kegelapan kandang bekas kambing, tubuhnya gemetar akibat rasa sakit fisik dan luka batin yang baru saja dialaminya. Tangisnya terhenti seiring dengan pintu kandang yang ditutup rapat oleh ibunya, meninggalkannya dalam keheningan yang menakutkan.Pada saat itu, Nisha menyadari bahwa dia benar-benar sendirian. Hatinya dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan. Dia merasakan kesepian yang begitu dalam, seolah-olah tidak ada harapan untuk keluar dari situasi ini. Tapi di tengah kegelapan dan keputusasaan, Nisha merasa ada semacam api keberanian yang menyala di dalam dirinya.Dengan perlahan, dia berusaha mengumpulkan kekuatannya. Meskipun badannya terasa lemah akibat kekerasan yang dialami. Dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk meloloskan diri dari situasi ini.Namun sepertinya percuma ibunya mungkin akan melakukan hal yang sama lagi padanya bahkan kemungkinan lebih parah dari sebelumnya.Sementara itu, di luar kandang, Neha masih terhanyut oleh amarahnya. Pikirann
Malam telah tiba dan keluarga kecil itu menyiapkan makan malam seadanya saja. Seperti biasa Neha hanya bisa menyiapkan sepotong roti. Rajan baru saja pulang dari memulung tadi pagi semua anggota keluarga ada disana namun salah satu dari anaknya.“Dimana Nisha?” tanya Rajan dengan heran. Namun Neha yang seharusnya tahu pasti akan jawaban dari pertanyaan itu.“Neha?” panggil Rajan pada istrinya.“Dia di kandang dan jangan sekali-kali kau mencoba untuk membebaskannya,” ujarnya. “Katakan dimana dia sekarang?” bentaknya. Mendengar suaranya itu Neha langsung bangkit dari tempat duduknya mencoba untuk menantang suaminya itu.“Ada apa denganmu? Mengapa kau menghukumnya? Pernikahan lagi?” tanya Rajan yang berhasil membuat Neha yang tadinya ingin meledak-ledak marah padanya karena terlalu memihak Nisha langsung terbungkam dan membuang pandangannya ke lantai.“Neha dia itu anakmu, kau harus ingat itu,” Kembali pria itu mendebatnya namun kemudian Neha menatapnya dengan marah.“Justru karena dia a
“Apa?” pekik Hasan saat baru saja menerima telepon dari rumah sakit. Membuat istrinya terkejut dan tanpa sadar menutup mulutnya. “Bagaimana dengan dokter lain?” tanyanya masih dengan gusar, disertai rasa panik. “Maaf, Dok, untuk saat ini hanya Anda, dokter ahli saraf di rumah sakit ini. Dokter lain takut untuk mengambil tindakan,” tangannya seketika gemetar hebat dan tanpa sadar menjatuhkan ponselnya. Pihak rumah sakit masih memanggil namanya di sana, namun tak mendapatkan jawaban apapun. Seketika dia teringat akan traumanya terhadap darah, dan itulah juga menjadi alasan mengapa dia tidak pernah ikut andil dalam tindakan operasi. Melihat suaminya yang memucat, Nisha langsung menghampirinya, memegang bahunya sambil tersenyum lembut padanya. “Ada apa?” tanyanya dengan suara halusnya. “A-ada operasi kemudian… dokter lain… darah… aku… Nisha, aku tak bisa,” ucapannya tergelagap, namun Nisha menatapnya dengan tatapan khasnya yang selalu membuat Hasan teduh. Nisha membawa Hasan dalam pel
Suaranya serak dan penuh emosi ketika ia berbicara kepada istrinya yang lemah di hadapannya. "Nisha, aku di sini... Tolong, tetaplah bersamaku," bisiknya dengan suara gemetar, berharap kata-kata itu akan sampai ke Nisha, bahkan dalam keadaan seperti ini. Namun, meskipun usahanya sekuat tenaga, detak jantung Nisha semakin redup. Cahaya di matanya semakin memudar, dan Nisha terlihat tenang seperti dalam tidur yang damai. Saat tangan Hasan terus memegang erat tangan Nisha, air matanya tak tertahankan lagi, mengalir deras tanpa bisa ia cegah. Waktu seolah-olah berhenti ketika detak jantung Nisha akhirnya berhenti. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kini berubah menjadi tempat yang hening, sunyi, dan penuh duka. Hasan merasakan hatinya hancur, seolah-olah seluruh dunia yang ia kenal runtuh di depan matanya. Pandangannya tertuju pada monitor yang menampilkan garis lurus. "Tidak... tidak... Nisha? Nisha? Apa kau meninggalkanku?... Cepat, ambilkan alat defibrilator," titah Ha
Malam telah tiba dan keluarga kecil itu menyiapkan makan malam seadanya saja. Seperti biasa Neha hanya bisa menyiapkan sepotong roti. Rajan baru saja pulang dari memulung tadi pagi semua anggota keluarga ada disana namun salah satu dari anaknya.“Dimana Nisha?” tanya Rajan dengan heran. Namun Neha yang seharusnya tahu pasti akan jawaban dari pertanyaan itu.“Neha?” panggil Rajan pada istrinya.“Dia di kandang dan jangan sekali-kali kau mencoba untuk membebaskannya,” ujarnya. “Katakan dimana dia sekarang?” bentaknya. Mendengar suaranya itu Neha langsung bangkit dari tempat duduknya mencoba untuk menantang suaminya itu.“Ada apa denganmu? Mengapa kau menghukumnya? Pernikahan lagi?” tanya Rajan yang berhasil membuat Neha yang tadinya ingin meledak-ledak marah padanya karena terlalu memihak Nisha langsung terbungkam dan membuang pandangannya ke lantai.“Neha dia itu anakmu, kau harus ingat itu,” Kembali pria itu mendebatnya namun kemudian Neha menatapnya dengan marah.“Justru karena dia a
Nisha terduduk dalam kegelapan kandang bekas kambing, tubuhnya gemetar akibat rasa sakit fisik dan luka batin yang baru saja dialaminya. Tangisnya terhenti seiring dengan pintu kandang yang ditutup rapat oleh ibunya, meninggalkannya dalam keheningan yang menakutkan.Pada saat itu, Nisha menyadari bahwa dia benar-benar sendirian. Hatinya dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan. Dia merasakan kesepian yang begitu dalam, seolah-olah tidak ada harapan untuk keluar dari situasi ini. Tapi di tengah kegelapan dan keputusasaan, Nisha merasa ada semacam api keberanian yang menyala di dalam dirinya.Dengan perlahan, dia berusaha mengumpulkan kekuatannya. Meskipun badannya terasa lemah akibat kekerasan yang dialami. Dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk meloloskan diri dari situasi ini.Namun sepertinya percuma ibunya mungkin akan melakukan hal yang sama lagi padanya bahkan kemungkinan lebih parah dari sebelumnya.Sementara itu, di luar kandang, Neha masih terhanyut oleh amarahnya. Pikirann
Setibanya di rumah, Hasan segera meletakkan wadah pakaian basah di atas dipan kemudian menjemurnya. "Apa yang kau lakukan? Jika kau terlalu banyak bergerak, luka di kakimu akan terkena infeksi," teriak Hasan sambil melihat Nisha membawa kembali baskom yang berisi tumpukan cucian alat makan yang sudah dipakai.“Paman, aku hanya terluka, bukan lumpuh. Berhentilah bereaksi berlebihan,” kata Nisha. Mendengar hal itu, Hasan hanya menghela nafas dan mendekati Nisha, merebut baskom itu dari tangannya.“Tunggu di sini, biar aku saja,” ujar Hasan, kemudian menjauh dari gubuk. Nisha hanya menatap punggung Hasan yang pergi menuju sungai untuk membersihkan piring-piring tersebut.“Aku ikut!” Nisha berlari mengejar Hasan. “Tidak, kau tinggal di sini saja,” ujar Hasan, mencoba mencegahnya.“Tidak mau! Pokoknya aku ikut-aku ikut!” Nisha menghentakkan kakinya, meskipun kepala Nisha terasa pening karena ger
Pagi mulai menyinsing karena semua kesibukan orang di gubuk itu baru berakhir pada saat subuh sudah menjelang maka mereka masih terlelap.Tetapi tidak dengan seorang gadis kecil yang sudah bangun lebih awal untuk mempersiapkan segalanya untuk pertama kalinya tanpa membuat ibunya murka terlebih dahulu.Hari itu cukup tenang dan damai Nisha mulai membereskan dapur dan memungut beberapa pakaian kotor di ruangan itu.Satu persatu alat-alat makan yang hanya tersedia seadanya dia singkirkan dan disatukan didalam sebuah wadah yang cukup besar untuk dibawa ke anak sungai yang airnya sudah sedikit keruh.Hal ini dikarenakan hujan deras yang terjadi semalam.Karena tubuh mungilnya tidak mampu membawanya sekaligus dia mendahulukan cucian kotornya terlebih dahulu.Dengan berhati hati gaadis itu menapaki jalan bebatuan yang sudah berlumut hal yang menjadi alasannya tidak mau memakai alas kaki saat menuju sungai.Karena alih-alih meringankan masalah dia hanya akan membuatnya
Malam kembali menjelang namun suasana di daerah itu masih benar-benar sibuk, meski bukan perkataan kehidupan disana tidak pernah berhenti. Para lelaki berkumpul di rumah makan langganan mereka, tempat mereka melepaskan penat sambil menghisap sisha dan meminum chai diatas dipan-dipan yang disiapkan si pemilik rumah makan. Meski kumuh, daerah itu masih terbilang favorit bagi mereka karena itu merupakan satu-satunya tempat yang memiliki kapasitas besar untuk menampung banyak pelanggan. Kadang hingga hari semakin larut, mereka melanjutkannya dengan bermain judi dengan taruhan seadanya. “Sepertinya aku akan menambah istri lagi,” celetuk seorang pria yang usianya sudah mendekati setengah abad. Giginya sudah mulai menguning karena sudah tidak terhitung begitu banyak sisha yang dia hisap dari pipanya. Suara tawanya disertai batuk, dengan rambut janggut yang sudah memulai memutih dan bagian tengah kepalanya yang sudah mulai terkikis karena sudah rontok. Para orang-orang yang ada disana, yang
‘Nisha akan kulakukan apapun untukmu’ bisiknya dalam hati.“Kumohon aku sangar mencintainya tunjukkan padaku akan kuberikan SEGALANYA apapun yang kau pinta,” teriaknya.Kemudian entah datang darimana samar samar Hasan mendengar suara yang bergaung sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.“Apa kau yakin ingin memberikan segalanya? Bahkan bagian dari dirimu?” itulah yang di dengarnya terakhir kali hingga kesadarannya sepenuhnya menghilang.Cahaya menusuk nusuk penglihatannya saat dia mencoba untuk membuka matanya.Sesaat dia merasakan percikan-percikan air yanng begitu dingin dan mendapati seorang anak kecil yang berusia sekitar 10 tahun.“Ah paman sudah bangun rupanya,” sapa anak itu sambil tersenyum manis.Perlahan Hasan bangkit memperbaiki posisinya.Dia melihat ke seekelilingtempaatnnya sedang berada keadaannya begitu semrawut dengan debu yang begitu banyak beterbangan.Suara klakson dan orang-orang yang menjajakan makanan dan suara tawar menawar.“Paman sepertinya tersesat ya? Apakah pa
Laki laki itu kembali menjelajahi kamar miliknya bersama dengan Nisha perlahan dia membuka lemari dan menemukan beberapa pakaian milik Nisha dadanya kembali menjadi sesak melihat pakaian yang baunya masih menguarkan aroma Nisha disana. Sesuatu kemudian membuyarkan fokusnya ketika sebuah kotak hitam terjatuh dari atas lemari terdorong dengan rasa penasarannya Hasan membuka kotak itu yang berisi berkas-berkas tentang Nisha namun pandangannya lebih menarik pada rekap rekam medis milik Nisha. Hasan mulai merenungkan hasil tes dan catatan medis Nisha. Dia ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Pada akhirnya, dia menemukan jawaban yang membuatnya semakin terpuruk. Rasa bersalah dan penyesalan kembali membanjiri hatinya. Saat pandangannya jatuh pada patung Dewa Siwa yang diletakkan di atas meja nakas Nisha, Hasan merasa adanya perasaan marah yang mulai memuncak. Patung itu terlihat begitu tenang, seperti menggambarkan ketenangan yang jauh dari p
"Kau membagi ini denganku.Tapi mengapa kau tidak ingin berbagi ini dengan suamimu?" Nisha menatap mata Sonia dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan kerapuhan. "Aku takut, Sonia. Aku takut melihat ekspresi di wajah Hasan saat dia tahu. Aku takut itu akan menjadi beban berat baginya." Sonia merasakan kebingungan dan perasaan campur aduk yang tengah dialami Nisha. Suara Nisha penuh dengan rasa sakit dan keragu-raguan. "Tapi, apa yang akan kau lakukan saat waktunya tiba dan kau harus pergi? Apa yang akan terjadi pada Hasan?" Nisha meneteskan air mata dengan perlahan, mencoba mengendalikan emosinya yang semakin tercabik-cabik. "Aku ingin menghabiskan sisa waktu yang aku punya dengan kedamaian, Sonia. Aku ingin menjalani sisa hidupku tanpa mengantarkannya pada duka yang lebih dalam. Aku tak ingin menyakiti Hasan." Sonia merasa hatinya teriris melihat istri kakaknya yang begitu rapuh. Dia meraih pundak Nisha dengan lembut. "Aku tahu kau Sangat menyayanginya hingga tak mau membeba
Suaranya serak dan penuh emosi ketika ia berbicara kepada istrinya yang lemah di hadapannya. "Nisha, aku di sini... Tolong, tetaplah bersamaku," bisiknya dengan suara gemetar, berharap kata-kata itu akan sampai ke Nisha, bahkan dalam keadaan seperti ini. Namun, meskipun usahanya sekuat tenaga, detak jantung Nisha semakin redup. Cahaya di matanya semakin memudar, dan Nisha terlihat tenang seperti dalam tidur yang damai. Saat tangan Hasan terus memegang erat tangan Nisha, air matanya tak tertahankan lagi, mengalir deras tanpa bisa ia cegah. Waktu seolah-olah berhenti ketika detak jantung Nisha akhirnya berhenti. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kini berubah menjadi tempat yang hening, sunyi, dan penuh duka. Hasan merasakan hatinya hancur, seolah-olah seluruh dunia yang ia kenal runtuh di depan matanya. Pandangannya tertuju pada monitor yang menampilkan garis lurus. "Tidak... tidak... Nisha? Nisha? Apa kau meninggalkanku?... Cepat, ambilkan alat defibrilator," titah Ha