Share

Bab 6 A Little Atmosphere

Author: Sulfikar Pertiwi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Malam kembali menjelang namun suasana di daerah itu masih benar-benar sibuk, meski bukan perkataan kehidupan disana tidak pernah berhenti. Para lelaki berkumpul di rumah makan langganan mereka, tempat mereka melepaskan penat sambil menghisap sisha dan meminum chai diatas dipan-dipan yang disiapkan si pemilik rumah makan.

Meski kumuh, daerah itu masih terbilang favorit bagi mereka karena itu merupakan satu-satunya tempat yang memiliki kapasitas besar untuk menampung banyak pelanggan. Kadang hingga hari semakin larut, mereka melanjutkannya dengan bermain judi dengan taruhan seadanya.

“Sepertinya aku akan menambah istri lagi,” celetuk seorang pria yang usianya sudah mendekati setengah abad. Giginya sudah mulai menguning karena sudah tidak terhitung begitu banyak sisha yang dia hisap dari pipanya. Suara tawanya disertai batuk, dengan rambut janggut yang sudah memulai memutih dan bagian tengah kepalanya yang sudah mulai terkikis karena sudah rontok.

Para orang-orang yang ada disana, yang masih saja bisa dibilang teman, walaupun mereka mendekati orang tua ini hanya untuk menjilat beberapa receh darinya. Mereka saling berpandangan seakan mengatakan, saling melempar tanda tanya ‘bukannya dia sudah memiliki 4 istri?’ Salah satunya hanya merespon dengan menegdikkan bahunya saja, tidak mau pusing, toh yang akan memberi nafkah juga bukan mereka, dan selama para istrinya tidak keberatan, juga tidak apa-apa bukan.

“Memangnya mau menikahi siapa lagi? Andakan sudah menikahi semua wanita cantik yang ada disini,” ucapnya sambil tertawa agar orang tua itu tidak tersinggung. Dia berusaha berhati-hati jika masih mau ingin bekerja di kebunnya.

“Aku ingin menikahi anaknya Rajan,” entah mereka hanya menganggap itu hanyalah bualan tuannya karena sudah mabuk, atau hal itu memang benar adanya, tidak ada yang tahu.

“Rajan? Dia tidak punya anak gadis yang dapat mengimbangimu,” celetuk salah satunya.

“Anak tertuanya, jika dirawat hingga besar, kan akan menjadi cantik dan aku tidak mau jika dia sampai menjadi milik orang. Intinya, semua gadis yang ada di desa ini adalah milikku,” kembali pria paruh baya itu menenggak anggurnya.

Sementara itu, di sudut lain tempat itu, di balik dinding-dinding kayu yang sudah mulai rapuh termakan rayap, mendengarkan racauan para pria itu. Entah sudah sejak kapan, namun dia sudah mendengar segalanya, bahkan dia menghapal setiap detail deru nafas orang tersebut.

Ingatannya melayang pada kejadian tadi siang, tepat saat anak itu berkeluh kesah tentang segalanya padanya.

“Benarkah? Lalu bagaimana jika aku memutuskan aku tidak ingin menikah?” mendengar perkataan anak itu, sontak membuat mulut Hasan terkunci. Senyumnya yang sedari tadi merekah, sekarang langsung menjadi pudar.

“Apa maksudmu… Nisha… kau ini masih kecil, mengapa membahas tentang hal ini? Nikmati saja waktumu dengan bermain dengan teman-temanmu, bukankah itu jauh lebih menyenangkan,” ujarnya dengan tawa yang kembali meledak. Namun, gadis kecil itu tidak ikut tertawa seperti biasanya, wajahnya menjadi semakin murung.

Nisha menggeleng pelan, “Masa kanak-kanakku tidak akan lama lagi. Ibu sedang mempersiapkanku untuk siap berumah tangga. Aku akan dinikahkan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi aku mendengar jelas tentang semuanya di malam itu. Alasannya karena mereka sudah tidak sanggup lagi untuk menghidupi aku dan adikku. Biaya berobat sekarang mahal, Nisham sedang sakit, dan itu benar-benar menyakiti hati orang tuaku. Semenjak ayahku lumpuh karena dicelakai orang saat sedang mengumpulkan sampah, kami tidak bisa lagi berbuat banyak. Tidak ada yang menerimanya lagi sebagai pekerja, hingga orang itu datang dan menawarkan sesuatu… dia…” Nisha tidak melanjutkan kata-katanya karena air matanya telah jatuh mendahului perkataannya.

Tubuhnya bergetar dan sesenggukan, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Getaran yang melanda tubuhnya mengungkapkan betapa dalamnya kesedihan yang dirasakannya. Hasan dengan seketika merasakan dadanya sesak, seolah-olah diremas oleh kekuatan yang tak terlihat. Dalam keadaan yang penuh perhatian, Hasan pelan-pelan menarik Nisha ke dalam pelukannya, berusaha untuk menghiburnya dengan penuh kehati-hatian. Gadis itu kemudian pasrah, dan tangisnya semakin menjadi-jadi saat Hasan memeluknya dengan erat. Dia mengusap-usap lembut pundak gadis itu, memberikan dukungan dan kenyamanan yang dia butuhkan, berusaha menenangkannya hingga tangisnya mereda.

Sementara itu, di kediaman Rajan dan Neha sendiri, mereka seperti orang yang benar-benar kebingungan. Suhu tubuh Nisham meningkat, dan satu-satunya cara yang mereka bisa lakukan hanyalah mengompres tubuh anak itu yang semakin melemah.

Keduanya saling menatap dengan ekspresi cemas dan khawatir. Mereka merasa terjebak dalam situasi yang sulit, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Nisham yang terbaring lemah di tempat tidur, tampak semakin tak berdaya dengan setiap detik yang berlalu.

Rajan berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun dalam hatinya ia merasakan kepanikan yang semakin menguat. Ia merasa terbebani dengan tanggung jawab sebagai seorang ayah, yang harus melindungi dan merawat anaknya. Neha, ibu Nisham, juga tidak kalah gelisah. Ia berusaha mencari cara untuk mengatasi kenaikan suhu tubuh anaknya yang semakin mengkhawatirkan.

Mereka berdua merasa terbatas dalam pengetahuan dan keterampilan mereka dalam menghadapi situasi seperti ini. Namun, mereka tidak akan menyerah begitu saja. Dengan tekad yang kuat, mereka mencoba melakukan yang terbaik untuk membantu Nisham.

Rajan segera mengambil kain bersih dan menyiramkannya dengan air dingin. Ia dengan lembut menempelkan kain basah tersebut di dahi Nisham, berharap bisa menurunkan suhu tubuhnya. Neha juga berusaha membantu dengan mengusap-usap tangan dan kaki Nisham untuk memberikan kehangatan dan kenyamanan.

Namun, meskipun mereka berusaha sekuat tenaga, mereka merasa terbatas dalam upaya mereka. Mereka tidak memiliki peralatan medis yang memadai, dan tidak tahu apa penyebab pasti kenaikan suhu tubuh Nisham. Mereka merasa terisolasi dan tidak tahu harus meminta bantuan dari siapa.

Dalam kebingungan dan kekhawatiran, Rajan dan Neha berharap ada seseorang yang bisa memberikan petunjuk atau bantuan. Mereka berharap ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikiran mereka. Namun, saat ini, satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah tetap berada di samping Nisham, mencoba yang terbaik untuk merawatnya dan mengurangi penderitaannya.

“Ambilkan adikmu selimut  cepat," perintah Neha pada Nisha dengan nada yang cemas. Tanpa membuang waktu, anak itu segera berlari menuju sudut ruangan tempat mereka menyimpan satu-satunya selimut yang mereka miliki. Selimut itu usang, terbuat dari sisa-sisa kain goni yang dijahit dengan penuh upaya oleh ibunya.

Nisha menyerahkan selimut tersebut pada ibunya, dan dengan cepat tubuh kembarannya yang sedang mengalami menggigil yang hebat langsung ditutupi oleh selimut. Melihat ibu dan ayahnya yang mulai menggosok-gosok masing-masing telapak kaki adiknya itu, Nisha juga mengambil alih di bagian tangan kanan Nisham untuk menggosok telapak tangan sambil berharap rasa menggigil yang hebat yang sedang dialami adiknya itu berhenti.

Related chapters

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   Bab 7 Riverbank Bonding

    Pagi mulai menyinsing karena semua kesibukan orang di gubuk itu baru berakhir pada saat subuh sudah menjelang maka mereka masih terlelap.Tetapi tidak dengan seorang gadis kecil yang sudah bangun lebih awal untuk mempersiapkan segalanya untuk pertama kalinya tanpa membuat ibunya murka terlebih dahulu.Hari itu cukup tenang dan damai Nisha mulai membereskan dapur dan memungut beberapa pakaian kotor di ruangan itu.Satu persatu alat-alat makan yang hanya tersedia seadanya dia singkirkan dan disatukan didalam sebuah wadah yang cukup besar untuk dibawa ke anak sungai yang airnya sudah sedikit keruh.Hal ini dikarenakan hujan deras yang terjadi semalam.Karena tubuh mungilnya tidak mampu membawanya sekaligus dia mendahulukan cucian kotornya terlebih dahulu.Dengan berhati hati gaadis itu menapaki jalan bebatuan yang sudah berlumut hal yang menjadi alasannya tidak mau memakai alas kaki saat menuju sungai.Karena alih-alih meringankan masalah dia hanya akan membuatnya

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   Bab 8 Isolation

    Setibanya di rumah, Hasan segera meletakkan wadah pakaian basah di atas dipan kemudian menjemurnya. "Apa yang kau lakukan? Jika kau terlalu banyak bergerak, luka di kakimu akan terkena infeksi," teriak Hasan sambil melihat Nisha membawa kembali baskom yang berisi tumpukan cucian alat makan yang sudah dipakai.“Paman, aku hanya terluka, bukan lumpuh. Berhentilah bereaksi berlebihan,” kata Nisha. Mendengar hal itu, Hasan hanya menghela nafas dan mendekati Nisha, merebut baskom itu dari tangannya.“Tunggu di sini, biar aku saja,” ujar Hasan, kemudian menjauh dari gubuk. Nisha hanya menatap punggung Hasan yang pergi menuju sungai untuk membersihkan piring-piring tersebut.“Aku ikut!” Nisha berlari mengejar Hasan. “Tidak, kau tinggal di sini saja,” ujar Hasan, mencoba mencegahnya.“Tidak mau! Pokoknya aku ikut-aku ikut!” Nisha menghentakkan kakinya, meskipun kepala Nisha terasa pening karena ger

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   Bab 9 Light in the Shadows

    Nisha terduduk dalam kegelapan kandang bekas kambing, tubuhnya gemetar akibat rasa sakit fisik dan luka batin yang baru saja dialaminya. Tangisnya terhenti seiring dengan pintu kandang yang ditutup rapat oleh ibunya, meninggalkannya dalam keheningan yang menakutkan.Pada saat itu, Nisha menyadari bahwa dia benar-benar sendirian. Hatinya dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan. Dia merasakan kesepian yang begitu dalam, seolah-olah tidak ada harapan untuk keluar dari situasi ini. Tapi di tengah kegelapan dan keputusasaan, Nisha merasa ada semacam api keberanian yang menyala di dalam dirinya.Dengan perlahan, dia berusaha mengumpulkan kekuatannya. Meskipun badannya terasa lemah akibat kekerasan yang dialami. Dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk meloloskan diri dari situasi ini.Namun sepertinya percuma ibunya mungkin akan melakukan hal yang sama lagi padanya bahkan kemungkinan lebih parah dari sebelumnya.Sementara itu, di luar kandang, Neha masih terhanyut oleh amarahnya. Pikirann

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   BAB 10 Forbidden Dreams

    Malam telah tiba dan keluarga kecil itu menyiapkan makan malam seadanya saja. Seperti biasa Neha hanya bisa menyiapkan sepotong roti. Rajan baru saja pulang dari memulung tadi pagi semua anggota keluarga ada disana namun salah satu dari anaknya.“Dimana Nisha?” tanya Rajan dengan heran. Namun Neha yang seharusnya tahu pasti akan jawaban dari pertanyaan itu.“Neha?” panggil Rajan pada istrinya.“Dia di kandang dan jangan sekali-kali kau mencoba untuk membebaskannya,” ujarnya. “Katakan dimana dia sekarang?” bentaknya. Mendengar suaranya itu Neha langsung bangkit dari tempat duduknya mencoba untuk menantang suaminya itu.“Ada apa denganmu? Mengapa kau menghukumnya? Pernikahan lagi?” tanya Rajan yang berhasil membuat Neha yang tadinya ingin meledak-ledak marah padanya karena terlalu memihak Nisha langsung terbungkam dan membuang pandangannya ke lantai.“Neha dia itu anakmu, kau harus ingat itu,” Kembali pria itu mendebatnya namun kemudian Neha menatapnya dengan marah.“Justru karena dia a

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   BAB 1 Last Momentum

    “Apa?” pekik Hasan saat baru saja menerima telepon dari rumah sakit. Membuat istrinya terkejut dan tanpa sadar menutup mulutnya. “Bagaimana dengan dokter lain?” tanyanya masih dengan gusar, disertai rasa panik. “Maaf, Dok, untuk saat ini hanya Anda, dokter ahli saraf di rumah sakit ini. Dokter lain takut untuk mengambil tindakan,” tangannya seketika gemetar hebat dan tanpa sadar menjatuhkan ponselnya. Pihak rumah sakit masih memanggil namanya di sana, namun tak mendapatkan jawaban apapun. Seketika dia teringat akan traumanya terhadap darah, dan itulah juga menjadi alasan mengapa dia tidak pernah ikut andil dalam tindakan operasi. Melihat suaminya yang memucat, Nisha langsung menghampirinya, memegang bahunya sambil tersenyum lembut padanya. “Ada apa?” tanyanya dengan suara halusnya. “A-ada operasi kemudian… dokter lain… darah… aku… Nisha, aku tak bisa,” ucapannya tergelagap, namun Nisha menatapnya dengan tatapan khasnya yang selalu membuat Hasan teduh. Nisha membawa Hasan dalam pel

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   BAB 2 Nisha's Secret

    Suaranya serak dan penuh emosi ketika ia berbicara kepada istrinya yang lemah di hadapannya. "Nisha, aku di sini... Tolong, tetaplah bersamaku," bisiknya dengan suara gemetar, berharap kata-kata itu akan sampai ke Nisha, bahkan dalam keadaan seperti ini. Namun, meskipun usahanya sekuat tenaga, detak jantung Nisha semakin redup. Cahaya di matanya semakin memudar, dan Nisha terlihat tenang seperti dalam tidur yang damai. Saat tangan Hasan terus memegang erat tangan Nisha, air matanya tak tertahankan lagi, mengalir deras tanpa bisa ia cegah. Waktu seolah-olah berhenti ketika detak jantung Nisha akhirnya berhenti. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kini berubah menjadi tempat yang hening, sunyi, dan penuh duka. Hasan merasakan hatinya hancur, seolah-olah seluruh dunia yang ia kenal runtuh di depan matanya. Pandangannya tertuju pada monitor yang menampilkan garis lurus. "Tidak... tidak... Nisha? Nisha? Apa kau meninggalkanku?... Cepat, ambilkan alat defibrilator," titah Ha

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   BAB 3 Next Step

    "Kau membagi ini denganku.Tapi mengapa kau tidak ingin berbagi ini dengan suamimu?" Nisha menatap mata Sonia dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan kerapuhan. "Aku takut, Sonia. Aku takut melihat ekspresi di wajah Hasan saat dia tahu. Aku takut itu akan menjadi beban berat baginya." Sonia merasakan kebingungan dan perasaan campur aduk yang tengah dialami Nisha. Suara Nisha penuh dengan rasa sakit dan keragu-raguan. "Tapi, apa yang akan kau lakukan saat waktunya tiba dan kau harus pergi? Apa yang akan terjadi pada Hasan?" Nisha meneteskan air mata dengan perlahan, mencoba mengendalikan emosinya yang semakin tercabik-cabik. "Aku ingin menghabiskan sisa waktu yang aku punya dengan kedamaian, Sonia. Aku ingin menjalani sisa hidupku tanpa mengantarkannya pada duka yang lebih dalam. Aku tak ingin menyakiti Hasan." Sonia merasa hatinya teriris melihat istri kakaknya yang begitu rapuh. Dia meraih pundak Nisha dengan lembut. "Aku tahu kau Sangat menyayanginya hingga tak mau membeba

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   BAB 4 Mysterious Epiphany

    Laki laki itu kembali menjelajahi kamar miliknya bersama dengan Nisha perlahan dia membuka lemari dan menemukan beberapa pakaian milik Nisha dadanya kembali menjadi sesak melihat pakaian yang baunya masih menguarkan aroma Nisha disana. Sesuatu kemudian membuyarkan fokusnya ketika sebuah kotak hitam terjatuh dari atas lemari terdorong dengan rasa penasarannya Hasan membuka kotak itu yang berisi berkas-berkas tentang Nisha namun pandangannya lebih menarik pada rekap rekam medis milik Nisha. Hasan mulai merenungkan hasil tes dan catatan medis Nisha. Dia ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Pada akhirnya, dia menemukan jawaban yang membuatnya semakin terpuruk. Rasa bersalah dan penyesalan kembali membanjiri hatinya. Saat pandangannya jatuh pada patung Dewa Siwa yang diletakkan di atas meja nakas Nisha, Hasan merasa adanya perasaan marah yang mulai memuncak. Patung itu terlihat begitu tenang, seperti menggambarkan ketenangan yang jauh dari p

Latest chapter

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   BAB 10 Forbidden Dreams

    Malam telah tiba dan keluarga kecil itu menyiapkan makan malam seadanya saja. Seperti biasa Neha hanya bisa menyiapkan sepotong roti. Rajan baru saja pulang dari memulung tadi pagi semua anggota keluarga ada disana namun salah satu dari anaknya.“Dimana Nisha?” tanya Rajan dengan heran. Namun Neha yang seharusnya tahu pasti akan jawaban dari pertanyaan itu.“Neha?” panggil Rajan pada istrinya.“Dia di kandang dan jangan sekali-kali kau mencoba untuk membebaskannya,” ujarnya. “Katakan dimana dia sekarang?” bentaknya. Mendengar suaranya itu Neha langsung bangkit dari tempat duduknya mencoba untuk menantang suaminya itu.“Ada apa denganmu? Mengapa kau menghukumnya? Pernikahan lagi?” tanya Rajan yang berhasil membuat Neha yang tadinya ingin meledak-ledak marah padanya karena terlalu memihak Nisha langsung terbungkam dan membuang pandangannya ke lantai.“Neha dia itu anakmu, kau harus ingat itu,” Kembali pria itu mendebatnya namun kemudian Neha menatapnya dengan marah.“Justru karena dia a

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   Bab 9 Light in the Shadows

    Nisha terduduk dalam kegelapan kandang bekas kambing, tubuhnya gemetar akibat rasa sakit fisik dan luka batin yang baru saja dialaminya. Tangisnya terhenti seiring dengan pintu kandang yang ditutup rapat oleh ibunya, meninggalkannya dalam keheningan yang menakutkan.Pada saat itu, Nisha menyadari bahwa dia benar-benar sendirian. Hatinya dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan. Dia merasakan kesepian yang begitu dalam, seolah-olah tidak ada harapan untuk keluar dari situasi ini. Tapi di tengah kegelapan dan keputusasaan, Nisha merasa ada semacam api keberanian yang menyala di dalam dirinya.Dengan perlahan, dia berusaha mengumpulkan kekuatannya. Meskipun badannya terasa lemah akibat kekerasan yang dialami. Dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk meloloskan diri dari situasi ini.Namun sepertinya percuma ibunya mungkin akan melakukan hal yang sama lagi padanya bahkan kemungkinan lebih parah dari sebelumnya.Sementara itu, di luar kandang, Neha masih terhanyut oleh amarahnya. Pikirann

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   Bab 8 Isolation

    Setibanya di rumah, Hasan segera meletakkan wadah pakaian basah di atas dipan kemudian menjemurnya. "Apa yang kau lakukan? Jika kau terlalu banyak bergerak, luka di kakimu akan terkena infeksi," teriak Hasan sambil melihat Nisha membawa kembali baskom yang berisi tumpukan cucian alat makan yang sudah dipakai.“Paman, aku hanya terluka, bukan lumpuh. Berhentilah bereaksi berlebihan,” kata Nisha. Mendengar hal itu, Hasan hanya menghela nafas dan mendekati Nisha, merebut baskom itu dari tangannya.“Tunggu di sini, biar aku saja,” ujar Hasan, kemudian menjauh dari gubuk. Nisha hanya menatap punggung Hasan yang pergi menuju sungai untuk membersihkan piring-piring tersebut.“Aku ikut!” Nisha berlari mengejar Hasan. “Tidak, kau tinggal di sini saja,” ujar Hasan, mencoba mencegahnya.“Tidak mau! Pokoknya aku ikut-aku ikut!” Nisha menghentakkan kakinya, meskipun kepala Nisha terasa pening karena ger

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   Bab 7 Riverbank Bonding

    Pagi mulai menyinsing karena semua kesibukan orang di gubuk itu baru berakhir pada saat subuh sudah menjelang maka mereka masih terlelap.Tetapi tidak dengan seorang gadis kecil yang sudah bangun lebih awal untuk mempersiapkan segalanya untuk pertama kalinya tanpa membuat ibunya murka terlebih dahulu.Hari itu cukup tenang dan damai Nisha mulai membereskan dapur dan memungut beberapa pakaian kotor di ruangan itu.Satu persatu alat-alat makan yang hanya tersedia seadanya dia singkirkan dan disatukan didalam sebuah wadah yang cukup besar untuk dibawa ke anak sungai yang airnya sudah sedikit keruh.Hal ini dikarenakan hujan deras yang terjadi semalam.Karena tubuh mungilnya tidak mampu membawanya sekaligus dia mendahulukan cucian kotornya terlebih dahulu.Dengan berhati hati gaadis itu menapaki jalan bebatuan yang sudah berlumut hal yang menjadi alasannya tidak mau memakai alas kaki saat menuju sungai.Karena alih-alih meringankan masalah dia hanya akan membuatnya

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   Bab 6 A Little Atmosphere

    Malam kembali menjelang namun suasana di daerah itu masih benar-benar sibuk, meski bukan perkataan kehidupan disana tidak pernah berhenti. Para lelaki berkumpul di rumah makan langganan mereka, tempat mereka melepaskan penat sambil menghisap sisha dan meminum chai diatas dipan-dipan yang disiapkan si pemilik rumah makan. Meski kumuh, daerah itu masih terbilang favorit bagi mereka karena itu merupakan satu-satunya tempat yang memiliki kapasitas besar untuk menampung banyak pelanggan. Kadang hingga hari semakin larut, mereka melanjutkannya dengan bermain judi dengan taruhan seadanya. “Sepertinya aku akan menambah istri lagi,” celetuk seorang pria yang usianya sudah mendekati setengah abad. Giginya sudah mulai menguning karena sudah tidak terhitung begitu banyak sisha yang dia hisap dari pipanya. Suara tawanya disertai batuk, dengan rambut janggut yang sudah memulai memutih dan bagian tengah kepalanya yang sudah mulai terkikis karena sudah rontok. Para orang-orang yang ada disana, yang

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   BAB 5 Another Fate

    ‘Nisha akan kulakukan apapun untukmu’ bisiknya dalam hati.“Kumohon aku sangar mencintainya tunjukkan padaku akan kuberikan SEGALANYA apapun yang kau pinta,” teriaknya.Kemudian entah datang darimana samar samar Hasan mendengar suara yang bergaung sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.“Apa kau yakin ingin memberikan segalanya? Bahkan bagian dari dirimu?” itulah yang di dengarnya terakhir kali hingga kesadarannya sepenuhnya menghilang.Cahaya menusuk nusuk penglihatannya saat dia mencoba untuk membuka matanya.Sesaat dia merasakan percikan-percikan air yanng begitu dingin dan mendapati seorang anak kecil yang berusia sekitar 10 tahun.“Ah paman sudah bangun rupanya,” sapa anak itu sambil tersenyum manis.Perlahan Hasan bangkit memperbaiki posisinya.Dia melihat ke seekelilingtempaatnnya sedang berada keadaannya begitu semrawut dengan debu yang begitu banyak beterbangan.Suara klakson dan orang-orang yang menjajakan makanan dan suara tawar menawar.“Paman sepertinya tersesat ya? Apakah pa

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   BAB 4 Mysterious Epiphany

    Laki laki itu kembali menjelajahi kamar miliknya bersama dengan Nisha perlahan dia membuka lemari dan menemukan beberapa pakaian milik Nisha dadanya kembali menjadi sesak melihat pakaian yang baunya masih menguarkan aroma Nisha disana. Sesuatu kemudian membuyarkan fokusnya ketika sebuah kotak hitam terjatuh dari atas lemari terdorong dengan rasa penasarannya Hasan membuka kotak itu yang berisi berkas-berkas tentang Nisha namun pandangannya lebih menarik pada rekap rekam medis milik Nisha. Hasan mulai merenungkan hasil tes dan catatan medis Nisha. Dia ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Pada akhirnya, dia menemukan jawaban yang membuatnya semakin terpuruk. Rasa bersalah dan penyesalan kembali membanjiri hatinya. Saat pandangannya jatuh pada patung Dewa Siwa yang diletakkan di atas meja nakas Nisha, Hasan merasa adanya perasaan marah yang mulai memuncak. Patung itu terlihat begitu tenang, seperti menggambarkan ketenangan yang jauh dari p

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   BAB 3 Next Step

    "Kau membagi ini denganku.Tapi mengapa kau tidak ingin berbagi ini dengan suamimu?" Nisha menatap mata Sonia dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan kerapuhan. "Aku takut, Sonia. Aku takut melihat ekspresi di wajah Hasan saat dia tahu. Aku takut itu akan menjadi beban berat baginya." Sonia merasakan kebingungan dan perasaan campur aduk yang tengah dialami Nisha. Suara Nisha penuh dengan rasa sakit dan keragu-raguan. "Tapi, apa yang akan kau lakukan saat waktunya tiba dan kau harus pergi? Apa yang akan terjadi pada Hasan?" Nisha meneteskan air mata dengan perlahan, mencoba mengendalikan emosinya yang semakin tercabik-cabik. "Aku ingin menghabiskan sisa waktu yang aku punya dengan kedamaian, Sonia. Aku ingin menjalani sisa hidupku tanpa mengantarkannya pada duka yang lebih dalam. Aku tak ingin menyakiti Hasan." Sonia merasa hatinya teriris melihat istri kakaknya yang begitu rapuh. Dia meraih pundak Nisha dengan lembut. "Aku tahu kau Sangat menyayanginya hingga tak mau membeba

  • Perjalanan Waktu: Menyelamatkan Istriku   BAB 2 Nisha's Secret

    Suaranya serak dan penuh emosi ketika ia berbicara kepada istrinya yang lemah di hadapannya. "Nisha, aku di sini... Tolong, tetaplah bersamaku," bisiknya dengan suara gemetar, berharap kata-kata itu akan sampai ke Nisha, bahkan dalam keadaan seperti ini. Namun, meskipun usahanya sekuat tenaga, detak jantung Nisha semakin redup. Cahaya di matanya semakin memudar, dan Nisha terlihat tenang seperti dalam tidur yang damai. Saat tangan Hasan terus memegang erat tangan Nisha, air matanya tak tertahankan lagi, mengalir deras tanpa bisa ia cegah. Waktu seolah-olah berhenti ketika detak jantung Nisha akhirnya berhenti. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kini berubah menjadi tempat yang hening, sunyi, dan penuh duka. Hasan merasakan hatinya hancur, seolah-olah seluruh dunia yang ia kenal runtuh di depan matanya. Pandangannya tertuju pada monitor yang menampilkan garis lurus. "Tidak... tidak... Nisha? Nisha? Apa kau meninggalkanku?... Cepat, ambilkan alat defibrilator," titah Ha

DMCA.com Protection Status