‘Nisha akan kulakukan apapun untukmu’ bisiknya dalam hati.
“Kumohon aku sangar mencintainya tunjukkan padaku akan kuberikan SEGALANYA apapun yang kau pinta,” teriaknya.
Kemudian entah datang darimana samar samar Hasan mendengar suara yang bergaung sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.
“Apa kau yakin ingin memberikan segalanya? Bahkan bagian dari dirimu?” itulah yang di dengarnya terakhir kali hingga kesadarannya sepenuhnya menghilang.
Cahaya menusuk nusuk penglihatannya saat dia mencoba untuk membuka matanya.Sesaat dia merasakan percikan-percikan air yanng begitu dingin dan mendapati seorang anak kecil yang berusia sekitar 10 tahun.
“Ah paman sudah bangun rupanya,” sapa anak itu sambil tersenyum manis.Perlahan Hasan bangkit memperbaiki posisinya.Dia melihat ke seekelilingtempaatnnya sedang berada keadaannya begitu semrawut dengan debu yang begitu banyak beterbangan.Suara klakson dan orang-orang yang menjajakan makanan dan suara tawar menawar.
“Paman sepertinya tersesat ya? Apakah paman tidak bisa berbahasa tamil?” tanya anak itu sekali lagi.Hasan menatap anak itu dengan sedikit lebih teliti ya anak itu mirip dengan orang yang sangat dikenalinya meskipun dia lebih muda namun hatinya berseru yakin jika dia itu adalah wanitanya.
“Nisha?” anak itu langsung menunjukkan ekspresi terkejutnya.
“Paman tahu namaku?” ujarnya.
‘ternyata benar kau,’ batin Hasan.
“Bagaimana bisa? Tadi aku yakin aku sedang berada di kuil…dimana kuilnya?” ujarnya yang ling lung dengan keadaan sekitar.
“Paman ini lucu ya kita bukan sedang berada di kuil kita sedang berada di pasar,” ucap anak ini cekikan menertawan keanehan Hasan.
“Nishaa!!!!...aduh anak itu dimana sih,” terlihat seorang wanita dengan kain sari lusuhnya dengan membawa beberapa kantong belanjaan mencari si pemilik nama yang di teriakkannya di tengah pasar.
Hasan dan Nisha langsung menoleh ke sumber suara itu,begitu mendengar namanya dipanggil anak itu berlari menuju ibunya yang tengah mencarinya ssesaat sang ibu mengomel padanya namun anak itu hanya tersenyum pada ibunya.Karena dia tahu kemarahan ibunya saat ini karena dia khawatir.
Hasan yang melihat hal itu hanya memandangi mereka dari jauh pandangan laki laki itu beralih pada lengannya yang sudah di perban kemudian tersenyum.
‘aku sudah menyangka kebaikan hatimu itu tercipta semenjak kau kecil dan aku mengenalinya dimanapun kau berada.’
…
Nisha meringis ketika mata pisau mengenai tangannya saat memotong bawang hal ini sangat dibencinya karena matanya selalu berair sehingga mengganggu penglihatannya dan akhirnya melukai ttangannya.
“Ibu aku tidak bisa bisakah aku melakukan hal yang lain saja,” keluhnya anak itu pada ibunya.
“Anak ini ! kau kan hanya memotong bawang saja kau akan terbiasa juga nantinya bersihkan lukamu dan lanjutkan itu lagi,” ujarnya dan anak itu hanya menurut saja dia membasuh wajahnya dan tangannya pada kendi yang ada di belakang dapur.
“Nisha ayo main,” ajak temannya pada anak itu.
“Aku sedang membantu ibu.” tolaknya takut jika wanita itu kembali murka padanya .
“Aku bawa karet banyak loh kau yakin tidak mau ikut main?” mata gadis itu langsung berbinar ketika kawannya itu menunjukkan sekantung karet gelang serta memerkan laret gelang lainnya yang menghiasi tangannya yang hampir memenuhi lengannya hingga bagian sikut.
“Ayo.” serunya dengan antusias lalu mereka bergandengan tangan meninggalkan bagian belakang dapur.
Karena terlalu asyik bermain hingga lupa akan tugasnya ibunya yang heran karena terlalu lama menunggu datang menghampirinya setelah puas mencari Nisha.
“Nisha dimana kau?” teriakan dari Neha itu langsung menyentakkan Nisha dari kegiatannya rekannya yang mendengar hal itu langsung memungut karet gelang yang ada di tanah dan langsung lari meninggalkan dirinya.
“Hei kau lupa dengan tugasmu ya? Cepat kemari,” namun anak yang takut terkena hukuman yang lebih berat dari sekedar memotong bawang itu hanya memilih untuk kabur.
“Heiiii Nisha!!! Anak ini awas saja jika kau kembali,”tak sanggup untuk mengejarnya Neha kembali di dapur dia melanjutkan kembali Kegiatan memasaknya sambil menggumam tidak jelas.
Suaminya yang mendengar hanya meresponnya dengan senyuman “Kau terlalu keras dengannya dia juga hanya anak anak Neha,” mendengar pembelaan yang di lakukan oleh suaminya itu Neha hanya menggenggam erat pisau yang di genggamnya.
“Terlalu keras? Kau bilang saat aku sudah seusia dia,aku sudah bisa melakukan hal hal rumah tangga apa yang dirasakannya masih belum apa-apa,” jengkelnya.
Rajan yang memang sudah mengetahui tabiat istrinya lagi lagi hanya tersenyum mendengarnya.
“Bagaimanapun dia juga hanya anak anak bukan? Kita tak bisa menimpakan apa yang pernah terjadi pada kita pada mereka,” sahutnya dengan lembut.
Mendengar hal itu Neha langsung terhenyak “Kau tahu kan aku melakukan ini untuk apa?” Neha yang tadi meledak ledak sekarang merendahkan suaranya yang laanggsung membuat suaminya bungkam.
…
Sekuat tenaga gadis itu melarikan diri padahal dikerjapun juga tidak kakinya langsung tersandung sebuah balok.Namun sesuatu langsung menangkapnya “Hei perhatikan jalanmu.” tegur orang itu Nisha mendapati laaki-laki berkacamata dengan pakaian compang camping.
“Paman?” sapanya.
“Jangan lari-lari nanti kau jatuh memangnya kau tidak bisa berjalan dengan baik,” ujarnya namun lagi-lagi gadis itu hanya tersenyum dan cekikan geli sendiri.
“Paman ini lama-lama terlihat seperti ibu ya sudah pandai mengomel.”
Hasan yang mendengar hal itu hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan senyumannya yang canggung.
“Kenapa kau lari-lari seperti itu?” Hasan mencoba untuk mengalihkan pembicaraan agar anak itu berhenti menertawakannnya.
Mendengar hal itu ekspresi anak itu langsung berubah dengan lesu dia mendudukkan dirinya dengan lemas seakann bahunya sangat berat.
“Kau ingin bercerita?” tanya Hasan.
“Aku dikejar oleh ibuku dia menyuruhku untuk membantunya namun aku malah kabur,” mendengar itu tawa Hasan langsung pecah.
“Aduh kau ini jadi karena itu kau lari ketakutan seperti di kejar hantu.”
Nisha hanya mengangguk sambil tersenyum malu-malu. Perasaannya yang tadinya begitu berat mulai mereda seiring dengan kehangatan yang dirasakannya dari kehadiran Hasan.
Hasan mendekat dan duduk di sebelah Nisha. “Nisha, kadang-kadang kita takut melakukan sesuatu karena kita belum tahu apa yang akan terjadi. Tapi tak apa-apa, belajarlah dari pengalaman ini,”
Nisha mengangkat kepalanya, melihat wajah Hasan dengan matanya yang penuh keyakinan. “Paman, apa kau juga takut pada sesuatu?” mendengar hal itu Hasan tertegun tentu saja dia punya ‘tentu dan aku harap ketakutan terbesarku adalah kau’
Hasan tersenyum tipis. “Tentu saja, setiap orang punya rasa takutnya masing-masing. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya dan tidak biarkan rasa takut mengendalikan kita.”
“Aku tidak mengerti dengan ibuku,” keluh gadis itu mendengar hal itu Hasan mengernyit.
“Kau mungkin tidak mengerti dengan ibumu namun ibumu tahu tentang dirimu.”
“Benarkah? bahkan alasanku untuk tidak mau menikah?”
Malam kembali menjelang namun suasana di daerah itu masih benar-benar sibuk, meski bukan perkataan kehidupan disana tidak pernah berhenti. Para lelaki berkumpul di rumah makan langganan mereka, tempat mereka melepaskan penat sambil menghisap sisha dan meminum chai diatas dipan-dipan yang disiapkan si pemilik rumah makan. Meski kumuh, daerah itu masih terbilang favorit bagi mereka karena itu merupakan satu-satunya tempat yang memiliki kapasitas besar untuk menampung banyak pelanggan. Kadang hingga hari semakin larut, mereka melanjutkannya dengan bermain judi dengan taruhan seadanya. “Sepertinya aku akan menambah istri lagi,” celetuk seorang pria yang usianya sudah mendekati setengah abad. Giginya sudah mulai menguning karena sudah tidak terhitung begitu banyak sisha yang dia hisap dari pipanya. Suara tawanya disertai batuk, dengan rambut janggut yang sudah memulai memutih dan bagian tengah kepalanya yang sudah mulai terkikis karena sudah rontok. Para orang-orang yang ada disana, yang
Pagi mulai menyinsing karena semua kesibukan orang di gubuk itu baru berakhir pada saat subuh sudah menjelang maka mereka masih terlelap.Tetapi tidak dengan seorang gadis kecil yang sudah bangun lebih awal untuk mempersiapkan segalanya untuk pertama kalinya tanpa membuat ibunya murka terlebih dahulu.Hari itu cukup tenang dan damai Nisha mulai membereskan dapur dan memungut beberapa pakaian kotor di ruangan itu.Satu persatu alat-alat makan yang hanya tersedia seadanya dia singkirkan dan disatukan didalam sebuah wadah yang cukup besar untuk dibawa ke anak sungai yang airnya sudah sedikit keruh.Hal ini dikarenakan hujan deras yang terjadi semalam.Karena tubuh mungilnya tidak mampu membawanya sekaligus dia mendahulukan cucian kotornya terlebih dahulu.Dengan berhati hati gaadis itu menapaki jalan bebatuan yang sudah berlumut hal yang menjadi alasannya tidak mau memakai alas kaki saat menuju sungai.Karena alih-alih meringankan masalah dia hanya akan membuatnya
Setibanya di rumah, Hasan segera meletakkan wadah pakaian basah di atas dipan kemudian menjemurnya. "Apa yang kau lakukan? Jika kau terlalu banyak bergerak, luka di kakimu akan terkena infeksi," teriak Hasan sambil melihat Nisha membawa kembali baskom yang berisi tumpukan cucian alat makan yang sudah dipakai.“Paman, aku hanya terluka, bukan lumpuh. Berhentilah bereaksi berlebihan,” kata Nisha. Mendengar hal itu, Hasan hanya menghela nafas dan mendekati Nisha, merebut baskom itu dari tangannya.“Tunggu di sini, biar aku saja,” ujar Hasan, kemudian menjauh dari gubuk. Nisha hanya menatap punggung Hasan yang pergi menuju sungai untuk membersihkan piring-piring tersebut.“Aku ikut!” Nisha berlari mengejar Hasan. “Tidak, kau tinggal di sini saja,” ujar Hasan, mencoba mencegahnya.“Tidak mau! Pokoknya aku ikut-aku ikut!” Nisha menghentakkan kakinya, meskipun kepala Nisha terasa pening karena ger
Nisha terduduk dalam kegelapan kandang bekas kambing, tubuhnya gemetar akibat rasa sakit fisik dan luka batin yang baru saja dialaminya. Tangisnya terhenti seiring dengan pintu kandang yang ditutup rapat oleh ibunya, meninggalkannya dalam keheningan yang menakutkan.Pada saat itu, Nisha menyadari bahwa dia benar-benar sendirian. Hatinya dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan. Dia merasakan kesepian yang begitu dalam, seolah-olah tidak ada harapan untuk keluar dari situasi ini. Tapi di tengah kegelapan dan keputusasaan, Nisha merasa ada semacam api keberanian yang menyala di dalam dirinya.Dengan perlahan, dia berusaha mengumpulkan kekuatannya. Meskipun badannya terasa lemah akibat kekerasan yang dialami. Dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk meloloskan diri dari situasi ini.Namun sepertinya percuma ibunya mungkin akan melakukan hal yang sama lagi padanya bahkan kemungkinan lebih parah dari sebelumnya.Sementara itu, di luar kandang, Neha masih terhanyut oleh amarahnya. Pikirann
Malam telah tiba dan keluarga kecil itu menyiapkan makan malam seadanya saja. Seperti biasa Neha hanya bisa menyiapkan sepotong roti. Rajan baru saja pulang dari memulung tadi pagi semua anggota keluarga ada disana namun salah satu dari anaknya.“Dimana Nisha?” tanya Rajan dengan heran. Namun Neha yang seharusnya tahu pasti akan jawaban dari pertanyaan itu.“Neha?” panggil Rajan pada istrinya.“Dia di kandang dan jangan sekali-kali kau mencoba untuk membebaskannya,” ujarnya. “Katakan dimana dia sekarang?” bentaknya. Mendengar suaranya itu Neha langsung bangkit dari tempat duduknya mencoba untuk menantang suaminya itu.“Ada apa denganmu? Mengapa kau menghukumnya? Pernikahan lagi?” tanya Rajan yang berhasil membuat Neha yang tadinya ingin meledak-ledak marah padanya karena terlalu memihak Nisha langsung terbungkam dan membuang pandangannya ke lantai.“Neha dia itu anakmu, kau harus ingat itu,” Kembali pria itu mendebatnya namun kemudian Neha menatapnya dengan marah.“Justru karena dia a
“Apa?” pekik Hasan saat baru saja menerima telepon dari rumah sakit. Membuat istrinya terkejut dan tanpa sadar menutup mulutnya. “Bagaimana dengan dokter lain?” tanyanya masih dengan gusar, disertai rasa panik. “Maaf, Dok, untuk saat ini hanya Anda, dokter ahli saraf di rumah sakit ini. Dokter lain takut untuk mengambil tindakan,” tangannya seketika gemetar hebat dan tanpa sadar menjatuhkan ponselnya. Pihak rumah sakit masih memanggil namanya di sana, namun tak mendapatkan jawaban apapun. Seketika dia teringat akan traumanya terhadap darah, dan itulah juga menjadi alasan mengapa dia tidak pernah ikut andil dalam tindakan operasi. Melihat suaminya yang memucat, Nisha langsung menghampirinya, memegang bahunya sambil tersenyum lembut padanya. “Ada apa?” tanyanya dengan suara halusnya. “A-ada operasi kemudian… dokter lain… darah… aku… Nisha, aku tak bisa,” ucapannya tergelagap, namun Nisha menatapnya dengan tatapan khasnya yang selalu membuat Hasan teduh. Nisha membawa Hasan dalam pel
Suaranya serak dan penuh emosi ketika ia berbicara kepada istrinya yang lemah di hadapannya. "Nisha, aku di sini... Tolong, tetaplah bersamaku," bisiknya dengan suara gemetar, berharap kata-kata itu akan sampai ke Nisha, bahkan dalam keadaan seperti ini. Namun, meskipun usahanya sekuat tenaga, detak jantung Nisha semakin redup. Cahaya di matanya semakin memudar, dan Nisha terlihat tenang seperti dalam tidur yang damai. Saat tangan Hasan terus memegang erat tangan Nisha, air matanya tak tertahankan lagi, mengalir deras tanpa bisa ia cegah. Waktu seolah-olah berhenti ketika detak jantung Nisha akhirnya berhenti. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kini berubah menjadi tempat yang hening, sunyi, dan penuh duka. Hasan merasakan hatinya hancur, seolah-olah seluruh dunia yang ia kenal runtuh di depan matanya. Pandangannya tertuju pada monitor yang menampilkan garis lurus. "Tidak... tidak... Nisha? Nisha? Apa kau meninggalkanku?... Cepat, ambilkan alat defibrilator," titah Ha
"Kau membagi ini denganku.Tapi mengapa kau tidak ingin berbagi ini dengan suamimu?" Nisha menatap mata Sonia dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan kerapuhan. "Aku takut, Sonia. Aku takut melihat ekspresi di wajah Hasan saat dia tahu. Aku takut itu akan menjadi beban berat baginya." Sonia merasakan kebingungan dan perasaan campur aduk yang tengah dialami Nisha. Suara Nisha penuh dengan rasa sakit dan keragu-raguan. "Tapi, apa yang akan kau lakukan saat waktunya tiba dan kau harus pergi? Apa yang akan terjadi pada Hasan?" Nisha meneteskan air mata dengan perlahan, mencoba mengendalikan emosinya yang semakin tercabik-cabik. "Aku ingin menghabiskan sisa waktu yang aku punya dengan kedamaian, Sonia. Aku ingin menjalani sisa hidupku tanpa mengantarkannya pada duka yang lebih dalam. Aku tak ingin menyakiti Hasan." Sonia merasa hatinya teriris melihat istri kakaknya yang begitu rapuh. Dia meraih pundak Nisha dengan lembut. "Aku tahu kau Sangat menyayanginya hingga tak mau membeba
Malam telah tiba dan keluarga kecil itu menyiapkan makan malam seadanya saja. Seperti biasa Neha hanya bisa menyiapkan sepotong roti. Rajan baru saja pulang dari memulung tadi pagi semua anggota keluarga ada disana namun salah satu dari anaknya.“Dimana Nisha?” tanya Rajan dengan heran. Namun Neha yang seharusnya tahu pasti akan jawaban dari pertanyaan itu.“Neha?” panggil Rajan pada istrinya.“Dia di kandang dan jangan sekali-kali kau mencoba untuk membebaskannya,” ujarnya. “Katakan dimana dia sekarang?” bentaknya. Mendengar suaranya itu Neha langsung bangkit dari tempat duduknya mencoba untuk menantang suaminya itu.“Ada apa denganmu? Mengapa kau menghukumnya? Pernikahan lagi?” tanya Rajan yang berhasil membuat Neha yang tadinya ingin meledak-ledak marah padanya karena terlalu memihak Nisha langsung terbungkam dan membuang pandangannya ke lantai.“Neha dia itu anakmu, kau harus ingat itu,” Kembali pria itu mendebatnya namun kemudian Neha menatapnya dengan marah.“Justru karena dia a
Nisha terduduk dalam kegelapan kandang bekas kambing, tubuhnya gemetar akibat rasa sakit fisik dan luka batin yang baru saja dialaminya. Tangisnya terhenti seiring dengan pintu kandang yang ditutup rapat oleh ibunya, meninggalkannya dalam keheningan yang menakutkan.Pada saat itu, Nisha menyadari bahwa dia benar-benar sendirian. Hatinya dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan. Dia merasakan kesepian yang begitu dalam, seolah-olah tidak ada harapan untuk keluar dari situasi ini. Tapi di tengah kegelapan dan keputusasaan, Nisha merasa ada semacam api keberanian yang menyala di dalam dirinya.Dengan perlahan, dia berusaha mengumpulkan kekuatannya. Meskipun badannya terasa lemah akibat kekerasan yang dialami. Dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk meloloskan diri dari situasi ini.Namun sepertinya percuma ibunya mungkin akan melakukan hal yang sama lagi padanya bahkan kemungkinan lebih parah dari sebelumnya.Sementara itu, di luar kandang, Neha masih terhanyut oleh amarahnya. Pikirann
Setibanya di rumah, Hasan segera meletakkan wadah pakaian basah di atas dipan kemudian menjemurnya. "Apa yang kau lakukan? Jika kau terlalu banyak bergerak, luka di kakimu akan terkena infeksi," teriak Hasan sambil melihat Nisha membawa kembali baskom yang berisi tumpukan cucian alat makan yang sudah dipakai.“Paman, aku hanya terluka, bukan lumpuh. Berhentilah bereaksi berlebihan,” kata Nisha. Mendengar hal itu, Hasan hanya menghela nafas dan mendekati Nisha, merebut baskom itu dari tangannya.“Tunggu di sini, biar aku saja,” ujar Hasan, kemudian menjauh dari gubuk. Nisha hanya menatap punggung Hasan yang pergi menuju sungai untuk membersihkan piring-piring tersebut.“Aku ikut!” Nisha berlari mengejar Hasan. “Tidak, kau tinggal di sini saja,” ujar Hasan, mencoba mencegahnya.“Tidak mau! Pokoknya aku ikut-aku ikut!” Nisha menghentakkan kakinya, meskipun kepala Nisha terasa pening karena ger
Pagi mulai menyinsing karena semua kesibukan orang di gubuk itu baru berakhir pada saat subuh sudah menjelang maka mereka masih terlelap.Tetapi tidak dengan seorang gadis kecil yang sudah bangun lebih awal untuk mempersiapkan segalanya untuk pertama kalinya tanpa membuat ibunya murka terlebih dahulu.Hari itu cukup tenang dan damai Nisha mulai membereskan dapur dan memungut beberapa pakaian kotor di ruangan itu.Satu persatu alat-alat makan yang hanya tersedia seadanya dia singkirkan dan disatukan didalam sebuah wadah yang cukup besar untuk dibawa ke anak sungai yang airnya sudah sedikit keruh.Hal ini dikarenakan hujan deras yang terjadi semalam.Karena tubuh mungilnya tidak mampu membawanya sekaligus dia mendahulukan cucian kotornya terlebih dahulu.Dengan berhati hati gaadis itu menapaki jalan bebatuan yang sudah berlumut hal yang menjadi alasannya tidak mau memakai alas kaki saat menuju sungai.Karena alih-alih meringankan masalah dia hanya akan membuatnya
Malam kembali menjelang namun suasana di daerah itu masih benar-benar sibuk, meski bukan perkataan kehidupan disana tidak pernah berhenti. Para lelaki berkumpul di rumah makan langganan mereka, tempat mereka melepaskan penat sambil menghisap sisha dan meminum chai diatas dipan-dipan yang disiapkan si pemilik rumah makan. Meski kumuh, daerah itu masih terbilang favorit bagi mereka karena itu merupakan satu-satunya tempat yang memiliki kapasitas besar untuk menampung banyak pelanggan. Kadang hingga hari semakin larut, mereka melanjutkannya dengan bermain judi dengan taruhan seadanya. “Sepertinya aku akan menambah istri lagi,” celetuk seorang pria yang usianya sudah mendekati setengah abad. Giginya sudah mulai menguning karena sudah tidak terhitung begitu banyak sisha yang dia hisap dari pipanya. Suara tawanya disertai batuk, dengan rambut janggut yang sudah memulai memutih dan bagian tengah kepalanya yang sudah mulai terkikis karena sudah rontok. Para orang-orang yang ada disana, yang
‘Nisha akan kulakukan apapun untukmu’ bisiknya dalam hati.“Kumohon aku sangar mencintainya tunjukkan padaku akan kuberikan SEGALANYA apapun yang kau pinta,” teriaknya.Kemudian entah datang darimana samar samar Hasan mendengar suara yang bergaung sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.“Apa kau yakin ingin memberikan segalanya? Bahkan bagian dari dirimu?” itulah yang di dengarnya terakhir kali hingga kesadarannya sepenuhnya menghilang.Cahaya menusuk nusuk penglihatannya saat dia mencoba untuk membuka matanya.Sesaat dia merasakan percikan-percikan air yanng begitu dingin dan mendapati seorang anak kecil yang berusia sekitar 10 tahun.“Ah paman sudah bangun rupanya,” sapa anak itu sambil tersenyum manis.Perlahan Hasan bangkit memperbaiki posisinya.Dia melihat ke seekelilingtempaatnnya sedang berada keadaannya begitu semrawut dengan debu yang begitu banyak beterbangan.Suara klakson dan orang-orang yang menjajakan makanan dan suara tawar menawar.“Paman sepertinya tersesat ya? Apakah pa
Laki laki itu kembali menjelajahi kamar miliknya bersama dengan Nisha perlahan dia membuka lemari dan menemukan beberapa pakaian milik Nisha dadanya kembali menjadi sesak melihat pakaian yang baunya masih menguarkan aroma Nisha disana. Sesuatu kemudian membuyarkan fokusnya ketika sebuah kotak hitam terjatuh dari atas lemari terdorong dengan rasa penasarannya Hasan membuka kotak itu yang berisi berkas-berkas tentang Nisha namun pandangannya lebih menarik pada rekap rekam medis milik Nisha. Hasan mulai merenungkan hasil tes dan catatan medis Nisha. Dia ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Pada akhirnya, dia menemukan jawaban yang membuatnya semakin terpuruk. Rasa bersalah dan penyesalan kembali membanjiri hatinya. Saat pandangannya jatuh pada patung Dewa Siwa yang diletakkan di atas meja nakas Nisha, Hasan merasa adanya perasaan marah yang mulai memuncak. Patung itu terlihat begitu tenang, seperti menggambarkan ketenangan yang jauh dari p
"Kau membagi ini denganku.Tapi mengapa kau tidak ingin berbagi ini dengan suamimu?" Nisha menatap mata Sonia dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan kerapuhan. "Aku takut, Sonia. Aku takut melihat ekspresi di wajah Hasan saat dia tahu. Aku takut itu akan menjadi beban berat baginya." Sonia merasakan kebingungan dan perasaan campur aduk yang tengah dialami Nisha. Suara Nisha penuh dengan rasa sakit dan keragu-raguan. "Tapi, apa yang akan kau lakukan saat waktunya tiba dan kau harus pergi? Apa yang akan terjadi pada Hasan?" Nisha meneteskan air mata dengan perlahan, mencoba mengendalikan emosinya yang semakin tercabik-cabik. "Aku ingin menghabiskan sisa waktu yang aku punya dengan kedamaian, Sonia. Aku ingin menjalani sisa hidupku tanpa mengantarkannya pada duka yang lebih dalam. Aku tak ingin menyakiti Hasan." Sonia merasa hatinya teriris melihat istri kakaknya yang begitu rapuh. Dia meraih pundak Nisha dengan lembut. "Aku tahu kau Sangat menyayanginya hingga tak mau membeba
Suaranya serak dan penuh emosi ketika ia berbicara kepada istrinya yang lemah di hadapannya. "Nisha, aku di sini... Tolong, tetaplah bersamaku," bisiknya dengan suara gemetar, berharap kata-kata itu akan sampai ke Nisha, bahkan dalam keadaan seperti ini. Namun, meskipun usahanya sekuat tenaga, detak jantung Nisha semakin redup. Cahaya di matanya semakin memudar, dan Nisha terlihat tenang seperti dalam tidur yang damai. Saat tangan Hasan terus memegang erat tangan Nisha, air matanya tak tertahankan lagi, mengalir deras tanpa bisa ia cegah. Waktu seolah-olah berhenti ketika detak jantung Nisha akhirnya berhenti. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kini berubah menjadi tempat yang hening, sunyi, dan penuh duka. Hasan merasakan hatinya hancur, seolah-olah seluruh dunia yang ia kenal runtuh di depan matanya. Pandangannya tertuju pada monitor yang menampilkan garis lurus. "Tidak... tidak... Nisha? Nisha? Apa kau meninggalkanku?... Cepat, ambilkan alat defibrilator," titah Ha