“Kamu tahu tidak rumor mengenai Pulau Pedang ini?’ tanya Sagara setelah mereka semua berada di atas cabang pohon yang besar yang sanggup menampung mereka bertiga.“Aku tidak tahu! Rumor mengenai apa, Kak Sagara?” tanya Rawindra.“Aku dengar dari orangtuaku kalau Pulau Pedang ini merupakan perbatasan antara dua alam yaitu Alam Manusia dan Alam Lelembut!” jawab Sagara.“Alam Lelembut itu apa, Kak Sagara?” tanya Rawindra dengan polosnya.“Aku lupa kalau kakekmu tidak banyak menceritakan situasi di luar Desa Matahari padamu, Windra. Alam Lelembut itu alam yang berisi penghuni makhluk lain yang bukan manusia, tapi bisa juga ada manusia yang tinggal di sana,” sahut Sagara."Aku tadinya menduga kalau Alam Lelembut ini hanyalah dongeng dari orangtua kita untuk menakuti kita, tapi alam ini ternyata benar-benar ada!' seru Adista."Aku juga menduga demikian, malahan aku pikir penghuni Alam Lelembut adalah hantu yang menyeramkan!" sahut Sagara. “Setelah mendengar cerita dari orangtuaku ternyata A
“Kurang ajar kau! Beraninya hanya sama wanita saja!” teriak Sagara yang marah karena Adista ditampar keras oleh sosok yang berdiri di hadapan mereka ini.BUGH!“Jangan banyak bicara kau! Kalau ingin kau dan kekasih kau ini selamat, cepat katakan ada di mana si Tangan Buntung! Jangan korbankan hidup kalian untuk orang seperti dia!” seru sosok ini sambil memukul dada Sagara.“Kamu seharusnya sudah mati! Sudah diampuni tapi masih saja kelakuanmu jahat! Benar-benar tidak bisa dibiarkan hidup!” sahut Sagara.“DIAAM! Kamu boleh bicara kalau hanya sedang ditanya saja!” teriak sosok ini. “Kalau masih bungkam juga, aku akan membunuh kalian berdua dan kubuang ke jurang!”“Kamu benar-benar sudah gila! Kamu bisa dihukum mati! Apa salah pendekar itu terhadapmu sampai kamu sedemikian dendamnya? Kami hanya berdua ke sini untuk jalan-jalan, tidak bersama Si Tangan Buntung yang kamu sebutkan!” sahut Sagara.“Jangan dibunuh dulu bos! Serahkan sama kami perempuan cantik itu, sayang kalau dibunuh begitu
“Wah! Benar-benar indah!” seru Adista begitu mereka bertiga tiba di atas tebing yang menurut Rawindra adalah Lembah Rahasia ini.“Bagaimana cara kita turun ke lembah ini, Windra?” tanya Sagara.“Aku belum sempat melihatnya tapi sekilas aku melihaat ada jalanan turun seperti tangga yang menuju ke arah bawah tebing!” sahut Rawindra.“Benar sekali katamu, Windra!” ujar Adista.“Benar apanya?” tanya pemuda ini.“Indah sekali pemandangan dari atas tebing ini. Mataharinya kok tidak kelihatan ya? Brrr ... dingin sekali di sini!”Adista menggigil kedinginan.Rawindra tanpa ragu langsung memeluk tubuh Adista yang membuat wajah gadis ini memerah.“Bagaimana sekarang? Masih dingin?” tanya Rawindra.Tindakan Rawindra ini tidak luput dari perhatiann Sagara.Pemuda ini masih belum berani mengungkapkan isi hatinya kepada Adista sementara gadis ini tampak semakin dekat dengan Rawindra.“Benar, Windra! Ada undakan yang mirip tangga di pinggiran tebing yang menuju ke bawah!” teriak Sagara.“Aku duluan!
“Bangun ... Pemalas!”Pagi-pagi, sudah terdengar teriakan Adista membangunkan kedua pemuda yang masih tertidur pulas ini.Gadis ini sudah heboh sendiri seakan hendak menempuh perjalanan jauh saja.Langit masih tampak gelap sehingga kedua pemuda ini enggan untuk bangkit dari tidurnya.“Masih gelap, Adista ... ada apa sih bangunin kami pagi-pagi?” ujar Rawindra yang matanya masih mengantuk berat.“Ayuk ... katanya mau ajak aku lihat matahari terbit?”Ucapan Adista ini langsung membuat Rawindra terbangun. Teringat olehnya janjinya kepada Adista yang belum dipenuhinya.“Kamu masih ingin melihat matahari terbit? Lumayan jauh kalau kita kembali ke tebing itu lagi!” ujar Rawindra.“Kita sembuyikan barang-barang kita saja dan pergi ke atas tebing tanpa membawaa apa-apa biar lebih cepat!” saran Adista.“Kak Sagara bagaimana?” tanya Rawindra.“Bangunin saja ... kalau tidak bisa bangun, tinggalin saja! Sepertinya aman daerah pinggir sungai ini!” sahut Adista.“Bagaimana kalau makhluk seperti har
“Kita berada di Alam Raksasa! Hati-hati ... bukan hanya tanamannya yang besar-besar di sini tapi makhluk yang menghuni alam ini juga!” seru Sagara.“Bahaya sekali Alam Raksasa ini! Apa buku kuno membahas secara jelas Alam Raksasa ini?” tanya Rawindra kepada Adista.“Alam Raksasa sebenarnya sudah diambang kehancuran di Alam Lelembut ini. Perang saudara yang tiada habisnya antara klan-klan raksasa ini membuat dunia mereka ini hancur berantakan dan banyak raksasa yang tewas karenanya. Begitu yang kubaca di buku kuno!” jelas Adista.“Kenapa para raksasa ini saling berperang? Apa karena perebutan wilayah?” tanya Rawindra.“Kalau di buku kuno ini disebutkan kalau awal pertikaian adalah wanita. Aku tidak tahu raksasa cantik mana yang memicu peperangan yang berkepanjangan di Negeri Raksasa ini karena tidak pernah disebutkan di buku kuno!” lanjut Adista.“Kalau menurutku sih, raksasa itu memang bodoh! Hanya berpikir tentang wanita dan harta saja sehingga mudah dipengaruhi oleh wanita yang meng
“Ketua mengundang kalian untuk ke rumahnya, tapi tinggalkan semua pedang yang kalian bawa, serta barang-barang kalian!” ujar kepala pasukan.“Bagaimana kalau mereka tiba-tiba menyerang kita yang tanpa senjata?” tanya Adista.“Kita harus mempercayai mereka kalau ingin mereka mempercayai kita. Salah satunya dengan menyerahkan senjata kita sebagai itikad baik!” sahut Rawindra.“Jangan khawatir, Adista ... kita akan melawan kalau mereka bertindak curang!” ujar Sagara.“Kami tidak akan melakukan itu! Kami masih punya jiwa pendekar di dalam hati kami yang diajarkan oleh ketua. Maaf kalau kami tadi telah menghina kalian. Bukan maksud kami bertindak seperti itu!” sahut kepala pasukan ini.“Kami tahu itu, Kisanak! Terima kasih juga telah memberi kami kesempatan untuk bertemu Ketua!” sahut Sagara.Mereka diantar melewati lagi barisnn pohon bambu yang hampir mirip dengan barisan formasi pohon bambu di Pulau Pedang saat Rawindra diuji oleh Master Arkantra.“Lihat! Pohon-pohon bambu itu tidak asin
"Apa benar kalau ketua kalian ini adalah Kultivator?" tanya Rawindra melanjutkan pertanyaan Sagara.“Kalian lihat sendiri saja nanti saat bertemu ketua kami nanti!” sahut kepala pasukan.Mereka dibawa masuk melalui sebuah lorong rahasia yang dijaga super ketat. Lorong yang panjang ini akhirnya membawa mereka keluar di dalam bangunan yang lebih mirip kota kecil yang seluruh langitnya ditutupi array.Seorang pria berjubah emas dengan motif naga tampak sudah menyambut mereka saat mereka muncul di atas permukaan.“Selamat datang di Kota Kultivator!” sambut pria berjubah emas ini.Mata Tiga Sekawan ini masih agak silau dengan terang Kota Kultivator ini karena perjalanan yang cukup panjang melalui lorong yang gelap.“Bagaimana perjalanan kalian di Alam Lelembut ini? Apa kalian sudah bertemu raksasa yang menghuni Alam Raksasa ini?” tanya pria berjubah emas.“Boleh kami tahu nama Kisanak?” tanya Rawindra sambil menghaturkan hormat.“Hahaha ... aku memang kurang sopan tidak memperkenalkan diri
Ketiga sahabat ini saling berpandangan untuk memutuskan apa akan memberitahukan kitab yang mereka cari atau tidak kepada Sang Kultivator yang sikapnya masih misterius menurut mereka.“Kalau aku tidak mengetahui kitab seperti apa yang sedang kalian cari di sini, bagaimana aku bisa membantu kalian?” ujar Sang Kultivator.Ucapan Sang Kultivator tidak salah. Kalau mereka tidak memberitahukan kitab apa yang mereka cari, tentu saja Sang Kultivator tidak akan bisa mencarikannya untuk mereka.“Maaf, Ketua ... bukan kami tidak percaya kepada Ketua! Kitab yang kami cari adalah Kitab Rahasia Pendekar. Apa Ketua pernah mendengarnya?” tanya Rawindra yang memutuskan untuk memberitahukan yang sebenarnya.Sang Kultivator ini memikirkan sejenak pertanyaan Rawindra sambil memegang dagunya.“Aku tidak pernah mendengarnya. Apa kalian yakin kalau kitab ini ada di Alam Raksasa?’ tanya Sang Kultivator. "Apa isi Kitab Rahasia Pendekar ini? Apa kalian mencarinya untuk Ketua Perguruan Pedang Patah di Pulau Ped