"Begini Aisya ... aku dan Windra sudah memutuskan akan mengajakmu untuk pergi bersama ke Alam Manusia. Apa kamu berminat untuk pergi bersama kami?" tanya Amara.Aisya menaikkan sedikit bibirnya dengan dahinya yang berkerut seolah sedang berusaha mencerna ucapan Amara. "Aku tidak mengerti maksudmu, Amara! Untuk apa aku ikut dengan kalian? Bukankah kalian ini pasangan suami-istri?" ujarnya."Benar, Aisya ... kamu masih belum mengerti juga? Apa kamu benar-benar mencintai Windra?" tanya Iblis Amara sekali lagi dengan tegas."HAH!"Aisya benar-benar tidak mengerti maksud pembicaraan dari Iblis Amara. Hal ini membuat kesal Amara."Ya sudah kalau tidak mau ikut! Aku hanya tidak ingin Windra menyesal telah meninggalkanmu di Kota Pendekar ini. Kemungkinan kecil untuk Windra kembali lagi ke Alam Iblis ini walaupun dia menginginkannya," ujar Iblis Amara."Apa sebenarnya maksudmu, Amara? Jangan bertele-tele dan membingungkan ... langsung saja ke pokok permasalahan!" tegur Aisya."Hufh! Baiklah, a
Amara yang marah besar langsung berubah menjadi rasa kasihan saat melihat keadaan Shen Long. Tubuhnya kurus kering dan menderita semacam penyakit misterius yang sulit untuk disembuhkan."Kaisar Agung benar-benar menghukum berat Kaisar Naga yang gagal memenuhi perintahnya. Ada sebabnya Shen Long memberikan Kitab Jari sakti dan Pedang Naga Api ... itu semua atas perintah ayahmu, Amara."Aisya baru menjelaskan kondisi yang sebenarnya saat mereka menemui Shen Long yang lumpuh dan tidak mampu untuk bergerak sama sekali."Sadis sekali Kaisar Agung itu ... kenapa dia memburuku, Aisya?" tanya Rawindra."Aku tidak tahu, Windra ... semua itu ada hubungannya dengan masa lalumu yang terlupakan! Aku hanya diperintahkan ke Kota Pendekar ini untuk menahanmu tinggal di sini sampai ayah datang menemuimu, tapi aku tahu kalau Kaisar Agung berniat jahat padamu sehingga aku harus melanggar perintah ayah!" sahut Aisya."Lebih baik kita segera pergi dari Alam Lelembut ini, Windra ... Kaisar Agung masih membu
"Rawindra! Cepat ke sini!' Mendengar namanya dipanggil, remaja laki-laki yang tangan kirinya cacat itu sontak menoleh pada sang kakek yang juga sedang menggembala domba.Segera, ia menggelengkan kepala dan masih berlari. "Sebentar Kek! Windra lagi berusaha tangkap domba yang kabur, Kek!""Sudah! Biarkan saja! Nanti dia bisa pulang sendiri!" teriak kakeknya lagi."Tanggung, Kek! Windra sudah hampir berhasil!" sahut Rawindra ini–mengabaikan larangan pria tua yang masih kelihatan bugar itu. Hal ini membuat sang kakek kesal. "Astaga! Tanganmu hanya satu, Rawindra! Tidak akan berhasil menangkap anak domba yang gesit itu! Biarkan saja!'Namun, Rawindra masih terus bersikeras.Pemuda berusia 15 tahun itu memang pantang menyerah. Ia juga tak ingin dikasihani hanya karena tangan kirinya yang cacat oleh siapapun, termasuk sang kakek.Hanya saja…Bugh!Domba kecil yang berusaha ditangkapnya dengan mudah lolos dari sergapan Rawindra–membuat kepala pemuda ini terbentur batu besar di atas tanah
Seperti janjinya, Rawindra kini penuh semangat setiap bangun.Pagi-pagi sekali, ia mulai menggembalakan domba-domba yang dititipkan pemilik domba untuk digembalakan ke padang rumput.Tujuannya hanya satu: mengumpulkan biaya untuk mendaftar seleksi penerimaan anggota Perguruan Pedang Patah di Desa Matahari.Batas waktu pendaftaran yang tinggal seminggu lagi membuat Rawindra terus bersemangat membantu kakeknya agar mendapatkan biaya yang cukup untuk mendaftar masuk ke Perguruan Pedang Patah.Meski demikian, Rawindra agak cemas.Apakah kakeknya benar-benar akan membayarnya untuk tugas yang sebenarnya menjadi kewajibannya sehari-hari?Rawindra berusaha menepis pikiran buruknya. "Aku harus berhasil mendaftar dan lolos seleksi Perguruan Pedang Patah ini!" tekadnya dalam hati.Sementara itu, Kakek penggembala domba memperhatikan Rawindra dari jauh.Sejujurnya, dia sangat senang melihat Rawindra yang sangat rajin dan tanpa kenal lelah terus menggembalakan domba untuk mendapatkan biaya pendaft
Plaak!Pukulan tangan Hirawan ditangkis seseorang."Jangan beraninya sama anak yang lemah! Lawan aku kalau berani!"Di hadapan Hirawan, kini berdiri pemuda berumur 15 tahun tapi mengenakan pakaian pendekar yang menyerupai bangsawan."Tidak perlu Tuan Muda yang melawannya, biar aku saja!" seru seorang gadis cantik yang juga seumuran dengan Tuan Mudanya ini."Siapa kalian? Kenapa ikut campur dengan urusanku! Aku hanya menyingkirkan anak cacat yang tidak berguna ini! Tidak semestinya kalian mencampuri urusanku!" seru Hirawan dengan sombongnya."Bagaimana, Tuan Muda? Apa aku patahkan tangan kirinya saja biar sama dengan pemuda cacat yang kehilangan tangan kirinya ini?" tanya gadis pelayan Tuan Muda ini."Bangs*t kalian! Aku tidak peduli siapa kalian! Berani mencampuri urusan kami berarti cari mati! Kalian tidak tahu siapa orangtuaku!" seru Iravan dengan sombongnya."Buat apa kita tahu siapa orang tuanya? Hanya pengecut yang berani mengandalkan orangtua saat nyawanya terancam!" ujar gadis
"Kek!" sapa Rawindra yang membawa Sagara dan Adista ke padang rumput tempat kakeknya biasa menggembalakan dombanya tapi kakeknya tidak ada di tempat.Sayangnya, pria tua itu tak terlihat di mana pun.Hanya ada domba-domba di sana tampak ditinggal sendiri tanpa pengawasan.Ini bukan kebiasaan kakeknya!"Kok kita ke padang rumput penuh domba ini, Windra?" tanya Sagara tiba-tiba."Aku mau mengabari kakek dahulu, Sagara! Tapi, kakek kemana, ya? Tidak biasanya kakek menghilang seperti ini?" tanya Rawindra yang agak bingung melihat sekelilingnya. Namun, setelah sekian lama menunggu, kakeknya masih belum kembali."Kita ke rumahmu saja, Windra! Mungkin kakekmu ada di sana!" saran Sagara akhirnya.Rawindra mengangguk lemas. "Seharusnya kakek masih berada di sini untuk menggembalakan domba! Aku khawatir ada sesuatu yang terjadi pada kakek!" sahutnya.Kening Sagara dan Adista mengerut."Kalau begitu, kita harus bergegas ke rumahmu, Windra! Semoga kakekmu baik-baik saja di sana!" ajak gadis pela
Rawindra menatap kakeknya dengan pandangan yang aneh saat kakeknya menanyakan jumlah domba yang ada saat dia tidak menjumpai kakeknya di padang rumput ini."Untuk apa kakek menanyakan jumlah domba yang ada di padang rumput saat kakek tidak ada? Apa ada domba yang hilang, Kek?" tanya Rawindra."Jawab dahulu pertanyaan kakek tadi barulah kamu boleh mengajukan pertanyaan!" sahut Ki Bratajaya."Tunggu dulu, Kek! Windra baru sadar tadi ada yang aneh dengan jumlah domba di padang rumput ini! Tadi, banyak sekali domba yang ada memenuhi seluruh padang rumput, sedangkan sekarang hanya sedikit domba yang ada!" ujar Rawindra."Kamu tahu kalau domba yang sekarang adalah domba yang sebenarnya yang kita gembalakan ke tengah padang rumput!" kata Ki Bratajaya, yang mulai memahami arti kesalah pahaman antara dirinya dengan Rawindra mengenai keberadaannya di padang rumput ini."Tadi banyak Kek! Aku tidak bohong!" tegas Rawindra."Kakek tidak bilang kalau kamu bohong, Rawindra!" sahut Ki Bratajaya."Lan
Di sisi lain, Hirawan dan Iravan menjadi cacat akibat serangan Sagara dan Adista.Keduanya tidak mampu lagi meningkatkan tenaga dalam mereka serta berlatih ilmu bela diri.Namun, mereka tidak berani melampiaskan dendam mereka karena jabatan orang tua Sagara jauh melampaui jabatan orangtua mereka.Bahkan, ayah dan ibu mereka justru menyarankan Hirawan dan Iravan untuk minta maaf kepada Sagara.Orang tua mereka lebih takut diberhentikan oleh orangtua Sagara akibat kesalahan anaknya.Hal ini membuat dua bocah nakal itu marah.Sasaran balas dendam mereka adalah Rawindra yang dianggap sebagai sumber kemalangan mereka."Kita harus membalaskan sakit hati kita, Van!" seru Hirawan kepada Iravan yang masih kesulitan berjalan akibat hilangnya semua titik pengolahan tenaga dalam."Benar Wan! Kita harus melenyapkan pemuda cacat itu! Kalau bukan karena dia, tidak mungkin Tuan Muda Sagara membuat kita jadi seperti sekarang ini!" sahut Iravan."Kamu tahu rumah gembel itu?" tanya Hirawan yang juga kes