“Bangun ... Pemalas!”Pagi-pagi, sudah terdengar teriakan Adista membangunkan kedua pemuda yang masih tertidur pulas ini.Gadis ini sudah heboh sendiri seakan hendak menempuh perjalanan jauh saja.Langit masih tampak gelap sehingga kedua pemuda ini enggan untuk bangkit dari tidurnya.“Masih gelap, Adista ... ada apa sih bangunin kami pagi-pagi?” ujar Rawindra yang matanya masih mengantuk berat.“Ayuk ... katanya mau ajak aku lihat matahari terbit?”Ucapan Adista ini langsung membuat Rawindra terbangun. Teringat olehnya janjinya kepada Adista yang belum dipenuhinya.“Kamu masih ingin melihat matahari terbit? Lumayan jauh kalau kita kembali ke tebing itu lagi!” ujar Rawindra.“Kita sembuyikan barang-barang kita saja dan pergi ke atas tebing tanpa membawaa apa-apa biar lebih cepat!” saran Adista.“Kak Sagara bagaimana?” tanya Rawindra.“Bangunin saja ... kalau tidak bisa bangun, tinggalin saja! Sepertinya aman daerah pinggir sungai ini!” sahut Adista.“Bagaimana kalau makhluk seperti har
“Kita berada di Alam Raksasa! Hati-hati ... bukan hanya tanamannya yang besar-besar di sini tapi makhluk yang menghuni alam ini juga!” seru Sagara.“Bahaya sekali Alam Raksasa ini! Apa buku kuno membahas secara jelas Alam Raksasa ini?” tanya Rawindra kepada Adista.“Alam Raksasa sebenarnya sudah diambang kehancuran di Alam Lelembut ini. Perang saudara yang tiada habisnya antara klan-klan raksasa ini membuat dunia mereka ini hancur berantakan dan banyak raksasa yang tewas karenanya. Begitu yang kubaca di buku kuno!” jelas Adista.“Kenapa para raksasa ini saling berperang? Apa karena perebutan wilayah?” tanya Rawindra.“Kalau di buku kuno ini disebutkan kalau awal pertikaian adalah wanita. Aku tidak tahu raksasa cantik mana yang memicu peperangan yang berkepanjangan di Negeri Raksasa ini karena tidak pernah disebutkan di buku kuno!” lanjut Adista.“Kalau menurutku sih, raksasa itu memang bodoh! Hanya berpikir tentang wanita dan harta saja sehingga mudah dipengaruhi oleh wanita yang meng
“Ketua mengundang kalian untuk ke rumahnya, tapi tinggalkan semua pedang yang kalian bawa, serta barang-barang kalian!” ujar kepala pasukan.“Bagaimana kalau mereka tiba-tiba menyerang kita yang tanpa senjata?” tanya Adista.“Kita harus mempercayai mereka kalau ingin mereka mempercayai kita. Salah satunya dengan menyerahkan senjata kita sebagai itikad baik!” sahut Rawindra.“Jangan khawatir, Adista ... kita akan melawan kalau mereka bertindak curang!” ujar Sagara.“Kami tidak akan melakukan itu! Kami masih punya jiwa pendekar di dalam hati kami yang diajarkan oleh ketua. Maaf kalau kami tadi telah menghina kalian. Bukan maksud kami bertindak seperti itu!” sahut kepala pasukan ini.“Kami tahu itu, Kisanak! Terima kasih juga telah memberi kami kesempatan untuk bertemu Ketua!” sahut Sagara.Mereka diantar melewati lagi barisnn pohon bambu yang hampir mirip dengan barisan formasi pohon bambu di Pulau Pedang saat Rawindra diuji oleh Master Arkantra.“Lihat! Pohon-pohon bambu itu tidak asin
"Apa benar kalau ketua kalian ini adalah Kultivator?" tanya Rawindra melanjutkan pertanyaan Sagara.“Kalian lihat sendiri saja nanti saat bertemu ketua kami nanti!” sahut kepala pasukan.Mereka dibawa masuk melalui sebuah lorong rahasia yang dijaga super ketat. Lorong yang panjang ini akhirnya membawa mereka keluar di dalam bangunan yang lebih mirip kota kecil yang seluruh langitnya ditutupi array.Seorang pria berjubah emas dengan motif naga tampak sudah menyambut mereka saat mereka muncul di atas permukaan.“Selamat datang di Kota Kultivator!” sambut pria berjubah emas ini.Mata Tiga Sekawan ini masih agak silau dengan terang Kota Kultivator ini karena perjalanan yang cukup panjang melalui lorong yang gelap.“Bagaimana perjalanan kalian di Alam Lelembut ini? Apa kalian sudah bertemu raksasa yang menghuni Alam Raksasa ini?” tanya pria berjubah emas.“Boleh kami tahu nama Kisanak?” tanya Rawindra sambil menghaturkan hormat.“Hahaha ... aku memang kurang sopan tidak memperkenalkan diri
Ketiga sahabat ini saling berpandangan untuk memutuskan apa akan memberitahukan kitab yang mereka cari atau tidak kepada Sang Kultivator yang sikapnya masih misterius menurut mereka.“Kalau aku tidak mengetahui kitab seperti apa yang sedang kalian cari di sini, bagaimana aku bisa membantu kalian?” ujar Sang Kultivator.Ucapan Sang Kultivator tidak salah. Kalau mereka tidak memberitahukan kitab apa yang mereka cari, tentu saja Sang Kultivator tidak akan bisa mencarikannya untuk mereka.“Maaf, Ketua ... bukan kami tidak percaya kepada Ketua! Kitab yang kami cari adalah Kitab Rahasia Pendekar. Apa Ketua pernah mendengarnya?” tanya Rawindra yang memutuskan untuk memberitahukan yang sebenarnya.Sang Kultivator ini memikirkan sejenak pertanyaan Rawindra sambil memegang dagunya.“Aku tidak pernah mendengarnya. Apa kalian yakin kalau kitab ini ada di Alam Raksasa?’ tanya Sang Kultivator. "Apa isi Kitab Rahasia Pendekar ini? Apa kalian mencarinya untuk Ketua Perguruan Pedang Patah di Pulau Ped
Kota Kultivator merupakan kota yang sebenarnya sangat terkenal di kalangan tertentu di dunia persilatan dan kultivasi.Kota ini merupakan tempat persembunyian dan peristirahatan yang sangat direkomendasikan oleh pendekar ataupun kultivator yang ingin hidup tenang di kotaa ini.Tidak ada pendekar dan kultivator manapun yang berani macam-macam di Kota Kultivator.Kota ini memiliki aturan yang jelas, yaitu tidak ada sisi baik ataupun buruk di dalam Kota Kultivator ini.Semua pendekar dan kultivator baik aliran putih ataupun hitam, apabila sudah berada di dalam Kota Kultivator ini, tidak boleh melakukan kekerasaan apalagi sampai berujung ada yang tewas.Apabila mereka sampai melakukannya, maka hukuman yang akan mereka terima adalah diusir dari Kota Kultivator dan berujung juga dengan kematian.Jadi, tidak heran kalau Kota Kultivator menjadi tempat favorit untuk dikunjungi pendekar dan kultivator manapun.Baik pendekar yang menjadi buruan ataupun pendekar yang memburu ini tidak boleh salin
Sagara dan Adista tampak tidak terlalu mempedulikan kecurigaan Rawindra.“Ayuk! Kita keluar dan nikmati makanannya!” ajak Adista.“Apa kalian ini tidak curiga sama sekali? Bagaimana kalau makanannya sudah diberi ramuan yang bisa membuat kita tidak sadarkan diri?” tanya Rawindra.“Kenapa sih kamu ini terus curiga terhadap Sang Kultivator?’ tanya Sagara.“Kita ini bukan siapa-siapa, Kak Sagara ... kenapa Sang Kultivaator memberi kita fasilitas yang begitu mewah? Apa yang sedang direncanakan olehnya?” tanya Rawindra.“Kalau dia ingin membunuh kita, kenapa harus dengan susah payah memberikan kita fasilitas mewah seperti ini? Dia bisa saja membunuh kita tadi, tapi tidak dilakukannya! Mungkin memang Sang Kultivator ini adalah orang yang baik hati!” sahut Sagara.“Tuan Muda benar, Windra! Kita nikmati saja dahulu fasilitas yang diberikan oleh Sang Kultivator. Besok kita tanyakan padanya, bagaimana menurutmu?” saran Adista untuk menenangkan hati Rawindra.Hati pemuda ini masih belum tenang, t
Sang Kultivator sudah berada di halaman rumahnya saat Rawindra menemuinya pagi-pagi sekali."Kamu sudah siap untuk mempelajari Penyerapan Energi Chi ini, Rawindra?' tanya Sang Kultivator padanya.“Siap, Ketua! Kok ketua tahu namaku?” tanya Rawindra."Aku tahu semuanya! Aku jelaskan dahulu ya apa yang dimaksud dengan Penyerapan Chi?" kata Saang Kultivator kepada Rawindra."Baik, ketua!" jawab Rawindra dengan tegas."Kamu harus belajar mengolah tubuhmu dengan baik agar energi chi bisa mengalir dengan lancar melalui seluruh meredianmu dari pusat dantian yang kamu miliki ini, Rawindra!" jelas Sang Kultivator."Bagaimana cara melatih Penyerapan Energi Chi ini, ketua?” tanya Rawindra."Hahaha ... kamu sudah tidak sabar ya untuk mempelajarinya secara langsung?" tanya Sang Kultivator sambil tertawa senang."Aku siap, ketua!" sahut Rawindra."Kamu harus mulai bermeditasi untuk memusatkan pikiranmu, Rawindra! Meditasi adalah segalanya dalam berkultivasi agar seluruh pengolahan energi chi di dal