Chapter 2 : TUBUH EMAS

Setelah melewati gerbang Istana dan berjalan mendekati perbatasan ibu kota, Karna terus menutupi kepalanya dengan jubah yang diberikan seorang pelayan kepadanya.

Dengan langkah yang terseok-seok dia melewati tanah yang tidak rata. Sekuat tenaga ia terus berjalan melewati hari yang sudah mulai gelap. 

Semenjak meninggalkan istana, Karna sama sekali belum minum dan istirahat, tapi dia terus memaksakan diri untuk berjalan. Sebab, akan gawat apabila ada pendekar yang bertemu dengannya.

Di tengah kondisi seperti ini, Karna tak mau menambah masalah yang tak perlu. Namun, tiba-tiba saja dirinya tertegun karena langkah kakinya ternyata membawanya ke hutan terlarang. .

Hutan itu dihuni oleh iblis-iblis dan juga mahkluk-makhluk yang belum ditaklukkan oleh prajurit istana. Oleh karena itu, di peta, daerah itu diberi warna merah.

Tak hanya itu, Karna juga pernah dengar bahwa para iblis itu dilindungi oleh sosok Dewa Perang yang masih simpang siur keberadaannya.

Selangkah demi selangkah Karna berjalan menyusuri hutan terlarang itu.

Suara burung gagak dan desiran ular membuatnya berusaha untuk meningkatkan kewaspadaan dengan berjaga lebih seksama.

“Siapa itu?!” 

Karna tiba-tiba saja tersentak kaget dan mulai memasang kuda-kuda saat melihat sebuah bayangan hitam yang melesat dan menghilang cepat.

Karna lalu mengikuti bayangan itu dan menemukan seekor kijang kencana yang terbelit cabang tanaman berduri. 

Dengan tenaga yang tersisa, Karna berusaha menolong kijang kencana itu. Sebab, tiba-tiba saja, dia menatap refleksi dirinya di diri si kijang.

Lemah dan tak bisa melepaskan diri dari jerat berduri.

“Tenanglah, aku akan melepaskan jerat ini!” 

Pangeran mengelus kepala Kijang itu sebelum berusaha secepat mungkin melepaskan Kijang dari duri yang menancap. 

Setelah Kijang Kencana itu berlari menjauh, tanpa disadari oleh Karna, kijang itu berganti wujud menjadi seorang pria bertubuh tinggi dan memakai baju kebesaran berwarna perak keemasan yang menyilaukan. 

Pria itu menatap Karna dengan pandangan dalam sebelum menghilang dalam gelap.

Karna sendiri tak memandang ke arah mana Kijang itu pergi dan memilih untuk berusaha naik ke dalam sebuah batu besar. Setelah berhasil, dirinya memutuskan untuk bersila dan meditasi sejenak. 

Mengolah nafas dan berusaha menenangkan diri. 

Namun, tanpa sadar Karna bermeditasi sambil menyebut nama Dewa Perang yang sosoknya pernah Karna dengar sebagai mitos hutan terlarang. 

Hari berganti hari. 

Tak terasa sudah empat puluh hari Karna terus bermeditasi tanpa makan dan minum. Perlahan, Karna merasa bahwa ada seseorang yang memanggil namanya.

“Karna..”

Dengan tubuhnya mulai kurus, dan dijalari oleh lumut dan tanaman dari bebatuan, Karna yang mendengar namanya dipanggil, membuka mata perlahan

”Bangunlah dari meditasimu, Karna! Aku menerimanya. Apa yang kau inginkan dariku?!”

Kilauan dari seorang pria terlihat sangat silau. Melayang di depannya dengan transparan. Melihat itu, Karna terperanjat tapi tetap tidak bergerak dari posisinya.

“Siapakah?!”

“Aku adalah Dewa Perang. Bukankah kamu selalu menyebutku di dalam meditasimu, Karna? Kini aku datang menemuimu!” ucap si pria yang ternyata adalah sosok Dewa Perang.

Mendengar itu, Karna tersentak dan berusaha untuk berlutut. “Maafkan aku yang tidak menyadari wujud darimu Dewa.”

“Kamu telah menyelamatkan aku dalam wujud kijang kencana dan telah menyenangkan hatiku dengan meditasimu. Ajukanlah permohonan. Aku akan memenuhinya!”

“Aku ingin bertanya, Dewa. Apakah tujuan dari kelahiranku? Jika memungkinkan, aku hanya ingin mendapatkan kembali hakku sebagai Putra Mahkota.” 

“Baiklah. Hanya itu?” 

Dewa Perang itu mendekatinya dan menyentuh lukanya. 

Dewa itu tersenyum tipis, karena Karna sama sekali tak meminta kekuatan, melainkan hanya meminta haknya sebagai Putra Mahkota yang memang direnggut darinya sejak Sisupala lahir.

Bagaikan sulap, sepancar cahaya muncul dari tapak tangan sang Dewa sehingga membuat tubuh dan luka-luka Karna yang sebelumnya memburuk sembuh. 

Rasa sakitnya yang menghilang membuat Karna tertegun.

“Terimakasih atas kebaikanmu, Dewa!!” 

Dengan sangat antusias, Karna berkali-kali tersungkur dan bersujud.

Namun, tindakannya itu berhenti saat sang dewa menengadahkan tangannya dan sebuah sebutir biji delima berwarna merah. Dewa Perang itu lalu meraih pergelangan tangannya dan menyuruhnya untuk makan.

Pangeran memandangi buah itu dengan perasaan bingung, tapi tanpa berpikir lama, dia menelan buah itu.

Tiba-tiba saja, seluar cahaya silau dari mulut dan tubuhnya.

“Apa yang terjadi?!” 

Karna benar-benar bingung dan kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan. Bukankah dia hanya meminta haknya sebagai Putra Mahkota tanpa meminta yang lain?

Seakan mengerti kebingungannya, sang Dewa Perang terbang ke atas dan memperbesar wujudnya ”Pangeran Karna. Aku mempercepat pengaktifan tubuh emas yang memang merupakan milikmu yang sejati. Mulai saat ini, akan ada leluhur yang akan menemanimu dan membimbing mu dalam perjalanan jati diri! Jangan takabur, karena takdirmu amat besar, Pangeran!” 

Usai mengucapkan itu, sang Dewa pergi dan menghilang.

Perkataan Dewa Perang membuatnya bingung, tapi tiba-tiba saja dia bisa merasakan sebuah api menyala dalam alam bawah sadarnya.

Inti tenaga dalam!

Karna tersentak dan jantungnya berdetak keras. 

Apakah itu berarti dia bisa mulai melatih kekuatannya?!

Bersambung..