Tubuh baru yang dia miliki membuat Karna bisa bergerak kesana-kemari dengan tenaga yang luar biasa melimpah.
Saat hendak beranjak pergi, tiba-tiba saja sebuah bola terang yang melayang mendekat dan menarik perhatian Karna. Sebelum Karna bisa menyentuhnya, bola cahaya itu tiba-tiba membesar dan menelan tubuhnya seutuhnya. Saat Karna membuka mata dia sudah berada di tempat lain, tempatnya di sebuah tanah lapang yang dikelilingi bukit yang indah dan hijau. “Dimana ini?” Karna bertanya-tanya. Sebab, hutan terlarang yang ia tinggali tadi jelas gelap gulita, karena hari masih tengah malam. “Akhirnya kita bertemu, Pangeran Karna!” Suara dari belakang punggung Karna membuat pria itu menoleh. Di belakangnya, berdiri seorang kakek tua dengan jenggot panjang. Kakek itu berwajah tegas, mengenakan surjan hijau, dan blangkon hitam. Karna menaikkan alis dan berkata pelan, “Kakek siapa? Apa maksud kakek?” Pertanyaan Karna membuat Kakek itu tersenyum tipis dan melangkah membelakanginya. ”Pertemuan kita hari ini sudah kutunggu sejak ratusan tahun lamanya, Pangeran. Akhirnya, setelah sekian lama, datang juga kesempatanku untuk melatihmu dalam mempelajari seni perang.” ujar si kakek tua sembari menepuk pundak Karna. “Tunggu dulu. Aku masih belum mengerti, Kek. Sebenarnya, kakek ini siapa? Lalu, kenapa aku bisa berada di sini?” Kakek itu tertawa pelan, “Aku adalah leluhurmu, Pangeran Karna. Aku sudah lama menunggu kamu, sebagai keturunan terpilih yang akan mewarisi Pedang Api.” Karna terheran, “Pedang Api?” “Ya. Pedang itu legendaris dan butuh kekuatan yang mumpuni untuk hanya sekedar mengangkatnya. Saat ini, pedang itu tertancap di bagian tengah kerajaanmu.” Ucapan kakek itu membuat Karna teringat akan sebuah pedang yang memang tertancap di bagian tengah kerajaan. Tepatnya, di dekat arena latihan bela diri prajurit. Pedang itu diselimuti api abadi dan konon bisa menyebabkan orang yang memegangnya akan terbakar. Dan siapapun yang tersayat pedang itu akan kehabisan darah. Setelah berbincang singkat, Karna mengetahui bahwa kakek itu bernama Ki Karysan Pawitra, leluhurnya dari 10 generasi lalu. Cara bicaranya bijak, tapi tegas dan perfeksionis. Oleh karena itu, belum sempat Karna mencari tahu lebih banyak tentang Ki Pawitra, kakek itu telah lebih dulu menyuruhnya untuk berdiri dan mulai latihan. Hari itu juga, perjalanan Karna dimulai dari pelatihan fisik dan beladiri. Melalui kekuatan yang kakek tua itu miliki, dia mengubah tanah lapang yang dikelilingi bukit menjadi pesisir pantai dan menyuruh Karna untuk berlari membelah perairan dangkal. Setelah itu, dia menyuruh Karna untuk berlari naik-turun bukit sembari membawa sebuah gelondong kayu di punggung, melakukan gerakan menahan kuda-kuda berjam-jam, dan melatih kelenturan tangan dan kakinya dengan melakukan split. Karna berhasil melewati semua latihan itu dengan baik, karena dia telah berkali-kali lipat lebih keras, menempa fisiknya dibandingkan anak-anak lain di Kerajaan. Hasil latihan yang baik membuat Ki Pawitra mengangguk-ngangguk dan merasa cukup. Oleh karena itu, sebelum masuk ke dalam sesi selanjutnya, dia memberikan Karna segelas air putih yang memiliki energi kuning keemasan di sekitarnya. “Minumlah. Pulihkan tubuhmu. Setelah ini, kita akan belajar ilmu tenaga dalam dan pedang”. Mendengar itu, Karna langsung menatap penuh semangat ke arah Ki Pawitra, tapi pria tua itu sudah mengubah air mukanya menjadi datar. Sebab, pembelajaran ilmu tenaga dalam dan pedang memiliki hakikat pemahaman yang jauh berbeda dengan pembelajaran fisik. Jelas ini adalah kelemahan Karna, mengingat dia tak pernah sama sekali mempelajari keduanya. Mereka pun kembali berpindah dari pantai menuju ke atas bukit. Di atas bukit itu, ada sebuah batu besar yang atasnya cekung. Sembari menggunakan ilmu peringan tubuh yang dia punya, Ki Pawitra melayang duduk bersila di atas batu itu, sementara Karna berdiri di depannya. "Tenaga dalam bukanlah sesuatu yang bisa dilihat dengan mata, Karna," Ki Pawitra berkata sebagai pembuka. "Ia adalah aliran energi yang berasal dari inti jiwamu, sesuatu yang harus kau pahami, kendalikan, dan salurkan dengan keselarasan pikiran serta tubuhmu." lanjutnya pelan. "Bagaimana aku bisa mulai memahami tenaga dalam ini, Ki?" Ki Pawitra menunjuk ke dadanya sendiri. "Pertama-tama, rasakan. Duduklah bersila, pejamkan matamu, dan fokuskan seluruh pikiranmu ke dalam dirimu. Dengarkan aliran napasmu, rasakan setiap denyut nadimu. Itu adalah gerbang pertama untuk memahami tenaga dalammu." Karna mengikuti perintah itu. Ia duduk bersila di atas rumput, memejamkan matanya, dan berusaha memusatkan pikirannya. "Bayangkan energi itu seperti air yang mengalir di sungai. Jangan kau paksa alirannya. Biarkan ia mengalir secara alami, tapi tetaplah sadar akan ke mana ia mengalir. Jika kau terlalu tegang, sungai itu akan keruh. Jika kau terlalu santai, airnya takkan mengalir dengan kuat." Perlahan-lahan, Karna mulai merasakan sesuatu. Sebuah kehangatan yang aneh tapi menenangkan muncul dari dalam dadanya, seperti api kecil yang baru saja menyala. "Bagus," ujar Ki Pawitra, senyumnya tipis. "Sekarang, kau harus belajar untuk mengendalikannya. Fokuskan energi itu ke tanganmu, lalu salurkan ke telapak tanganmu. Jangan buru-buru. Rasakan bagaimana energi itu bergerak. Kau adalah tuannya, bukan budaknya." Karna mencoba. Ia mengarahkan pikirannya ke kehangatan itu, membayangkan energi itu berpindah ke lengannya. Awalnya sulit, seperti menarik air dari sumur yang sangat dalam. Tapi setelah beberapa saat, ia mulai merasakan sesuatu yang mengalir di sepanjang lengannya, hingga akhirnya tiba di telapak tangannya. "Jangan puas dulu," ujar Ki Pawitra dengan tegas. "Tenaga dalam bukan sekadar soal memindahkan energi. Kau harus bisa mengeluarkannya dengan tepat dan terarah. Bayangkan energi itu seperti anak panah yang harus kau lepaskan dengan kecepatan dan ketepatan." Ki Pawitra berdiri dan menghampiri Karna. Ia mengambil sebuah daun kecil dari pohon di dekat mereka, lalu meletakkannya di atas batu. "Coba arahkan energimu ke daun ini. Jangan kau bayangkan menghancurkannya, tapi pikirkan bagaimana energi itu bisa menyentuh dan mempengaruhinya." Karna membuka matanya dan mulai menatap daun itu dengan penuh konsentrasi. Ia mengangkat tangannya, merasakan energi yang mengalir di telapaknya. Dengan napas yang stabil, ia mendorong energinya keluar. Awalnya, tidak ada yang terjadi. Namun, setelah beberapa kali mencoba, angin tipis yang membawa jejak energinya berhasil menggoyangkan daun itu, meski hanya sedikit. Ki Pawitra mengangguk puas. "Itu baru langkah awal, Karna. Ingat, latihan tenaga dalam membutuhkan kesabaran, pengendalian, dan pemahaman mendalam. Hari ini kau telah memulai perjalananmu, tapi perjalanan ini masih panjang." ** Sebulan telah berlalu sejak Karna memulai latihannya bersama Ki Pawitra. Karna yang awalnya hanyalah pemuda tak berguna tanpa tenaga dalam kini telah menjelma menjadi pemuda matang dengan tatapan menusuk. Dalam sebulan, tingkat ilmu tenaga dalamnya sudah berkembang menjadi menengah dan Karna pun sudah bisa membelah batu dengan tangan kosong. Progress yang ada membuat Ki Pawitra mengangguk puas. Oleh karenanya, setelah selesai latihan pagi itu, saat mereka duduk di bawah pohon rindang untuk beristirahat, Ki Pawitra mendekati Karna dan menyerahkan sebuah kertas yang digulung rapat. Saat dibuka, hanya satu hal yang menarik perhatian Karna, "Sayembara Pengangkatan Pedang Api." Ki Pawitra memandang Karna dengan tajam. "Ikutilah sayembara ini, Karna. Jemput takdirmu, jemput pedang itu. Namun, ingat. Ini lebih dari sekadar sayembara. Ini adalah ujian bagi hatimu. Jika kau ingin melangkah ke sana, kau harus ingat satu hal—dendam adalah beban, bukan kekuatan." Karna mengepalkan tangannya dan mengangguk. "Aku mengerti, Ki. Aku tidak akan balas dendam, karena aku hanya ingin membuktikan bahwa aku pantas mendapatkan tempatku kembali”.Masih dengan jubah yang menutupi kepalanya, Karna dengan percaya diri berada di depan gerbang timur Istana Karmapura. Suasana di sekitar istana terlihat ramai dan pengamanannya benar-benar ketat. Pengawal dan prajurit terlihat di mana-mana. Jika biasanya mereka berpatroli dalam formasi dua orang, kini semua regu minimal memiliki empat orang.Melihat itu, Karna mengangguk-angguk dan terus menggenggam erat jubah yang ia pakai. Sebab, dia tidak ingin ketahuan sebelum bisa mendekati gerbang istana.Setelah berjalan beberapa langkah, Karna melihat sosok pamannya, Adipati Situmba yang berdiri di dekat gerbang. Dengan matanya yang tajam, pria itu mengamati setiap orang yang masuk dengan seksama. Tampaknya, Raja Durwasa memberi pamannya itu tugas untuk memastikan keamanan di bagian terluar istana. Wajah Adipati itu terus datar dan beberapa kali terlihat galak, apalagi saat beberapa orang ketahuan membawa berbagai senjata yang tak berhubungan dengan sayembara.Raut wajah pria itu kembali da
Waktu dimulainya sayembara pengangkatan pedang api telah tiba.Sambil bersembunyi dari para prajurit yang mengejarnya, Karna berdiri di balik patung yang berada tepat di atas balkon stadium. Masih dengan jubah yang menutupi kepalanya, Karna mengamati sayembara dengan tatapannya yang mengobservasi.Suara dari pukulan gong dan sorak-sorai semua orang memenuhi sebuah stadium yang megah—sengaja dibuat untuk acara sayembara Pedang Agni Narakastra hari ini. Sang Raja menganggukkan kepala, seketika sorak itu berhenti.“Diberkatilah semua! Aku menyambut para pangeran dan pendekar sekalian yang telah menghadiri sebuah kompetisi didalam sayembara ini. Apabila kalian merasa mampu silahkan tunjukkan kemampuan kalian!!” Raja Durwasa berkata dengan penuh wibawa.“Namun, jangan berpikir untuk melakukan kecurangan, karena Pedang Api sama sekali tak mentolerir kelemahan dalam segi apa pun. Apabila kalian tidak layak, maka bersiaplah untuk mendapatkan siksaan yang menyakitkan sebagai efek samping mem
Karna memegang pedang yang berapi itu dan mengalirkan tenaga dalamnya. Sedetik kemudian, pedang api itu padam dan seruan kaget langsung terdengar di sekitarnya. “Bagaimana bisa?!” “Apa yang terjadi?! Pangeran sampah itu bisa mengangkatnya?!” Hiruk pikuk yang heboh itu membuat Karna berjalan penuh percaya diri ke arah pohon yang harus ia tebas. Langkahnya stabil, dan pedang itu terasa ringan. Setelah berada di jarak yang dirasa cukup, Karna menatap pohon raksasa itu dan melakukan kuda-kuda. Kemudian, dalam satu kali ayunan yang disertai dengan teriakan, pedang Agni itu mengeluarkan tali api yang langsung menghanguskan pohon menjadi abu. Kerumunan terdiam dan semua orang benar-benar tercengang. Termasuk Raja Durwasa dan Pangeran Sisupala yang menatap dari kejauhan. Tidak ada satupun yang dapat menyangka bahwa pedang telah memilih Karna, pangeran terbuang yang lahir tanpa sedikitpun tenaga dalam!! Dari sekian ratus peserta yang unjuk kemampuan, ternyata hanya dirinyalah
‘Sudah sangat jelas sekarang, masa depan Karmapura ada ditangannya. Bila aku tidak memihakknya maka aku akan tersisih oleh waktu!’Takut, kagum, dan heran adalah perasaan rumit yang di rasakan oleh orang-orang saat ini. Cahaya emas yang menyilaukan itu membuat bagaikan pertunjukan sulap yang menyihir siapapun yang melihatnya.Ketika ingin melepaskan serangan balik yang mematikan, Karna mengurungkannya kembali, karena teringat oleh perkataan Ki Pawitra sebelum mereka berpisah.“Aku tidak akan menghukum kalian sekarang, karena masaku belum tiba. Namun saat aku sudah naik tahta, aku akan menghukum siapapun gang bersalah!” Usai mengatakan itu, tubuh emas yang dinaungi oleh Ki Pawitra yang menitipkan sebuah pesan itu, sekarang mulai tersadar dan tubuh manusia kembali. Lemas dan kehilangan keseimbangan karena tenaga dalam yang sudah menipis. Karna hampir saja mendarat dengan keras, namun Guru Seta berhasil menangkapnya supaya mendarat dengan selamat. Dalam keadaan setengah sadar, Guru Se
Adipati Situmba kemudian memanggil pelayan, dan menyuruhnya untuk memasukkan itu ke dalam makanan dan minuman Pangeran Karna sebelum pergi berperang. Keesokan harinya dimana sebentar lagi Pasukan besar Karmapura dibawah pimpinan Pangeran Karna pun sudah melakukan persiapan.Dia pemberkatan sebelum berangkat bertempur pun dimulai. Pangeran Sisupala dan Pangeran Karna meminta doa restu kepada ibunya, Bunda Ratu Maharani.Namun saat Karna meminta Restu. Bunda Ratu merespon dengan mengacuhkan dan tidak mau memandangnya. Seakan tidak mau merestui kepergian Karna.Namun hal itu tidak dihiraukan olehnya dan melakukan sesinterakhir pemberkatan itu, yaitu tradisi memakan kue kelapa. Dalam tradisi sebelum berperang kue kelapa adalah lambang doa dan restu yang Maha kuasa agar mendapatkan keselamatan dan kemenangan. Dari kejauhan Pangeran Sisupala menghampiri Pamannya, Adipati Situmba dan berkata,“Paman, sudah kah kau pastikan kalau nanti Karna akan memakan kue beracun itu!” “Jangan khaw
Radya Setra adalah tanah perbatasan yang sangat lapang, dimana sering menjadi lokasi peperangan. Sebagian tanah itu berwarna merah karena darah yang tertumpah saat peperangan.Segelintir pasukan dan orang yang percaya padanya pun berperang dengan jumlah yang kalah banyak dengan Singowulan. Mereka memiliki prajurit enam belas batalyon atau enam belas ribu prajurit. Sedangkan Kerajaan Karmapura hanya tiga belas batalyon atau tiga belas ribu prajurit. Namun kalah jumlah tidak membuat Panglima Karna gentar.Pasukan berkuda, tombak, dan panah dari kedua belah pihak sudah berbaris rapi. Di barisan pasukan Karmapura yang pimpin oleh Panglima Karna telah siap di belakang pasukan terdepan. Sedangkan Sang Raja berada di tengah paling belakang.Dari kejauhan, kubu Kerajaan Wiryata pun menyadari bahwa Pangeran Karna yang lemah menjadi Panglima Perang. Hal itu sontak membuat Panglima mereka tertawa meremehkan, mengenai apa yang mereka lihat.“Apakah Kerajaan Karmapura tidak mempunyai orang lain ya
Pasukan Karmapura Radya telah membawa kemenangan dibawah pimpinan Pangeran Karna. Hal tersebut telah mencelikkan mata orang-orang, yang telah meremehkannya. Dan berubah menjadi kebanggan akan kemampuan Pangeran Karna yang telah melumpuhkan Raja Wirya dan memecahkan ilusi Raja Wirya itu. Yang sebelumnya belum pernah ada yang berhasil memecahkannya. Kini, telah menjadi bukti yang tidak terelakkan.Di lorong menuju Ruang Sidang Istana, Raja Wirya yang terikat berusaha memberontak. Permintaan yang ingin Raja itu lontarkan tidak mau didengar oleh Karna. “Maafkan aku, sekarang engkau adalah tawanan Kerajaan kami. Menyerah saja janganlah memperkeruh suasana dengan permintaanmu itu!!” Karna mendorong kecil sang Raja agar berjalan lebih cepat.“Salam Ayahanda.. lihatlah.. anakmu ini sudah melaksanakan sumpahnya. Dan membawa Raja Wirya ke hadapanmu Ayah.” Setibanya Karna didalam ruang sidang, Karna memberi salam dan disambut meriah semua orang yang melontarkan pujian kepadanya.“Kami semua ti
“Kau pasti akan menderita saat ingin bersatu dengan wanitamu nanti!!” Kutukan itu menggema di seluruh ruangan. Walaupun sepertinya terdengar kejam. Didalam benak Karna tidak ada derita apapun yang akan menghalanginya. Keyakinan itu membuat dirinya tidak menghiraukan kutukan dari Sang Putri. “Beraninya kau mengutuk anggota Kerajaan. Sungguh tidak bermoral. Bawa dia ke bilik penyesalan selama tujuh hari!!” Raja Durwasa yang memerintah langsung direspon oleh prajurit di dalam ruang sidang dan membawa Sang Putri ke dalam Bilik Penyesalan. Sebuah bilik yang memang dihuni oleh orang-orang yang telah lalai dan melakukan kesalahan. *** “Pedang Agni.. kau telah berjasa kepadaku! Terimakasih!” Pangeran Karna menyadari akan jasa pedang pusakanya. Tidak bisa dibayangkan apabila dirinya tidak mendapat pertolongan dari pedang pusaka untuk menunaikan sumpahnya. Pastilah dia akan bernasib sama dengan Sisupala “Pangeran.. itu semua sudah menjadi tugasku.. Siapa wanita itu.. dia beran
Mata tajam Raja Santanu menatap lurus ke arahnya ketika mengucapkan kalimat itu. Seolah menggali sesuatu dari dalam dirinya. Seolah menantang tabir penyamaran yang Karna kenakan dengan begitu hati-hati.Karna mengepalkan tangannya tanpa sadar. Jari-jarinya menegang. Apakah Raja Santanu tahu sesuatu? Ataukah ini hanya permainan kata untuk menguji dirinya?Rushali berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun penuh perhatian. Karna tidak tahu apakah gadis itu juga menangkap ketegangan yang kini membalut dirinya.Ia berusaha mengendalikan napasnya."Tidak... Aku terlalu banyak berpikir. Jika dia tahu siapa aku sebenarnya, dia pasti sudah bertindak sejak tadi. Ini hanya ujian mental. Aku tidak boleh goyah."Namun, ketidakpastian itu tetap mengusik."Jika Raja Santanu benar-benar tahu, mengapa ia tidak langsung mengungkapkannya? Atau... apakah dia sedang menunggu momen yang tepat?"Karna menimbang setiap kemungkinan, memutarkan logikanya bagaikan pisau yang diasah. Apakah ucapan itu hanya p
Pagi yang Ceria di Istana KalinggaMatahari pagi mulai menampakkan sinarnya, memancarkan kehangatan lembut yang menerangi taman istana. Aroma dupa yang menenangkan bercampur dengan embun pagi, menciptakan suasana damai yang jarang dirasakan oleh Karna dan Rushali dalam perjalanan mereka.Rushali membuka pintu kamarnya, rambutnya masih sedikit berantakan setelah istirahat yang panjang. Ia meregangkan tubuh sambil menikmati udara segar pagi itu. Pandangannya jatuh ke arah pendopo kecil di sudut istana, tempat Karna duduk bersila dalam posisi meditasi.Rushali menghentikan langkahnya, merasa malu karena ia baru saja bangun, sementara Karna sudah tampak begitu fokus dan tenang. Namun, Karna yang tampaknya merasakan kehadirannya, membuka satu matanya dan melemparkan ucapan menyindir.“Lepas sekali tidurmu, baru bangun jam segini!” ucap Karna dengan nada santai.Rushali yang masih setengah sadar menatapnya dengan mata menyipit. “Aku memang baru bangun, tapi kau tidak perlu mengingatkannya d
Ornamen ukiran berbentuk burung garuda dan bunga teratai menghiasi setiap sudut pintu gerbang, menandakan kearifan lokal yang kuat. Di kejauhan, istana terlihat megah dengan atap berlapis emas yang memantulkan sinar matahari sore.Mereka disambut oleh para prajurit dan pelayan istana yang telah bersiap dengan senyum ramah. Seorang abdi istana melangkah maju, memberikan hormat kepada keduanya."Yang Mulia Raja Santanu menantikan kehadiran Tuan dan Nona," katanya, mempersilakan mereka masuk dengan gestur yang penuh hormat.Rushali memandang Karna dengan sedikit ragu. "Apa menurutmu semua ini tidak berlebihan? Aku tidak merasa kita hanya tamu biasa," bisiknya.Karna mengangguk pelan. "Kita tetap harus waspada. Raja Santanu mungkin memiliki tujuan tertentu."Mereka melangkah melewati aula istana yang dihiasi ukiran khas Jawa, dengan tembok bercat putih gading dan tiang kayu jati berukir rumit. Sesampainya di balairung, Raja Santanu berdiri dari singgasananya. Ia adalah sosok yang berwibaw
Langkah kaki Karna dan Rushali terdengar sayup di tengah sunyinya hutan yang seolah enggan mengungkap rahasianya. Di tangan Karna, artefak itu bersinar dengan cahaya hangat, memancar ke depan seperti lentera ajaib yang memandu mereka. Setiap kali mereka melangkah, cahaya itu bergerak lebih terang, seolah memberi tahu bahwa mereka semakin dekat ke tujuan.Angin dingin berembus lembut, membawa bisikan yang terdengar seperti bahasa kuno, sulit dipahami. Cahaya artefak itu memantul di pepohonan, menciptakan bayangan yang bergerak seperti tarian roh.Rushali berbisik, memandang cahaya artefak dengan takjub. "Cahaya ini... seperti ia hidup, memanggil kita untuk maju. Arjuna, apa kau merasakannya?"Karna mengangguk, matanya tak lepas dari cahaya. "Ya, seperti ia tahu ke mana harus membawa kita. Tapi di mana ujungnya? Apa yang akan kita temukan di sana?"Rushali berbisik, hampir pada dirinya sendiri. "Mungkin... jawaban dari semua misteri ini."Setelah menempuh perjalanan panjang, cahaya arte
Rushali berteriak, napasnya terputus-putus, "Mereka... mereka ingin kekuatannya, Arjuna. Kalung ini... kalung ini adalah kunci... kunci ke rahasia besar yang mereka incar."Sosok berjubah itu tertawa dingin, “Kunci yang seharusnya bukan milik gadis ini. Kau tak tahu, pendekar. Dia bukan siapa yang kau pikirkan. Tapi jika kau tetap ingin tahu, datanglah. Kami akan menunjukkan kebenaran... sebelum kau mati."Karna menyadari bahwa ini lebih dari sekadar penyelamatan. Rushali, kalung itu, dan orang-orang berjubah hitam ini terhubung oleh sesuatu yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Namun, ia tahu satu hal: ia takkan membiarkan Rushali jatuh ke tangan mereka.Karna berdiri di tepi tebing, matanya tajam mengamati sosok berjubah hitam yang mengelilingi Rushali di bawah sana. Cahaya dari Pedang Agni di tangannya berdenyut pelan, seolah mencoba berkomunikasi. Suara lembut seperti bisikan terdengar di benaknya.Pedang Agni: "Jangan gegabah, Karna. Kekuatan mereka tidak bisa kau lawan
Karna berdiri tak jauh dari tempat Rushali duduk, memandangi gadis itu yang tampak tenang meskipun mereka baru saja melalui pertempuran sengit. Namun, matanya tak lepas dari kilauan cahaya lembut yang terpancar dari kalung di leher Rushali. Kalung itu bukan sekadar perhiasan biasa; ia memancarkan aura hangat, nyaris seperti hidup, seolah melindungi pemiliknya. Ia mengenali kalung itu. Dalam salah satu naskah kuno yang pernah dibacanya di perpustakaan kerajaan, tertulis bahwa kalung seperti itu adalah peninggalan para pemimpin besar yang memiliki kekuatan sakti. Tapi bagaimana bisa Rushali memilikinya? Dengan raut penuh keraguan, Karna mendekati Rushali. Karna dengan suara pelan tapi tegas. "Rushali... kalung itu... dari mana kau mendapatkannya?" Rushali tertegun sesaat, lalu tersenyum samar. "Kalung ini? Sudah lama aku memilikinya. Ini... pemberian dari seseorang." Karna mengernyit, matanya menelusuri setiap detail kalung itu. "Pemberian dari seseorang? Jangan anggap ak
“Awas Rushali!!” Karna bergegas menubruk Rushali supaya Rushali terhindarkan dari serangan makhluk itu.Duarr!!Api timbul di antara serpihan bebatuan yang meledak karena kekuatan makhluk itu yang berniat melukai Rushali.Entah mengapa, mahkluk itu membaca bahwa Rushali menganggu konsentrasi nya. Sasaran empuk, yang merupakan kelemahan Karna. Tapi niat makhluk itu bisa dihentikan.“Hoshh.. hosh.. !” Karna menarik nafas panjang, menatap tajam lawannya“Tak akan aku biarkan kau menyentuh Rushali walau sehelai rambut pun!” ujarnya sambil mengangkat pedangnya, yang segera menyala dengan api biru.Dia kembali memasang badan, melindungi gadis manis yang setia bersamanya. Rushali memahami situasi yang ada. Dia kemudian mencari pohon atau apapun yang lebih besar dari tubuhnya untuk bersembunyi.Rushali memegang dadanya yang sesak, degup jantung yang memburu membuat nafasnya tersengal. Dibalik batu besar dirinya bersandar menyembunyikan tubuh mungilnya. Sambil menahan rasa khawatir akan Karna
Lorong itu membawa Karna ke sebuah ruang terbuka yang luar biasa. Di hadapannya terhampar sebuah kota yang bersinar, seolah-olah seluruhnya terbuat dari kristal bercahaya. Pilar-pilar tinggi berdiri menjulang dengan ukiran-ukiran kuno, sementara sungai-sungai cahaya mengalir di antara bangunan-bangunan yang tampak seperti fatamorgana.Namun, keindahan kota ini memiliki nuansa asing dan suram. Udara terasa berat, dan di kejauhan, Karna dapat mendengar suara langkah kaki makhluk yang bergerak di balik bayang-bayang.Karna: (berbisik pada dirinya sendiri) "Kota ini... apakah ini nyata? Atau hanya ilusi?"Dia melangkah perlahan, matanya awas terhadap gerakan di sekitarnya. Tiba-tiba, dari balik sebuah gerbang kuno, muncul makhluk-makhluk aneh. Ada yang memiliki tubuh menyerupai manusia dengan kepala hewan, ada pula yang tampak seperti bayangan hidup dengan mata bercahaya. Mereka tidak menyerang, tetapi mengamati Karna dengan rasa ingin tahu yang hampir mengintimidasi.Salah satu makhluk y
Di salah satu sisi, gerbang batu telah terbuka, memperlihatkan celah yang mengarah pada kegelapan tak berujung. Namun, dari balik celah itu, terdengar gemuruh berat, seperti langkah makhluk raksasa.Rushali memegang lengan Karna erat-erat."Apa kau mendengar itu? Dia menyebut namamu."Karna menatap celah dengan tenang, meski hatinya mulai waspada."Tetap di belakangku. Kita tidak tahu apa yang akan muncul."Dari kegelapan, muncul sesosok makhluk besar dengan kulit keras menyerupai batu, matanya bersinar seperti bara api. Suaranya dalam dan menggema saat ia berbicara."Siapa yang berani melangkah ke tempat suci ini? Apa tujuan kalian?"Karna berdiri tegak, menyembunyikan identitasnya dengan sikap percaya diri."Kami hanyalah pengelana yang mencari jawaban atas misteri kuno. Tempat ini... dulunya milik seorang raja besar, bukan?"Makhluk itu menggeram, suaranya seperti gemuruh longsoran."Raja besar? Dia adalah kehancuran. Tempat ini adalah sisa-sisa dari kebodohannya. Siapa kalian yang