Radya Setra adalah tanah perbatasan yang sangat lapang, dimana sering menjadi lokasi peperangan. Sebagian tanah itu berwarna merah karena darah yang tertumpah saat peperangan.Segelintir pasukan dan orang yang percaya padanya pun berperang dengan jumlah yang kalah banyak dengan Singowulan. Mereka memiliki prajurit enam belas batalyon atau enam belas ribu prajurit. Sedangkan Kerajaan Karmapura hanya tiga belas batalyon atau tiga belas ribu prajurit. Namun kalah jumlah tidak membuat Panglima Karna gentar.Pasukan berkuda, tombak, dan panah dari kedua belah pihak sudah berbaris rapi. Di barisan pasukan Karmapura yang pimpin oleh Panglima Karna telah siap di belakang pasukan terdepan. Sedangkan Sang Raja berada di tengah paling belakang.Dari kejauhan, kubu Kerajaan Wiryata pun menyadari bahwa Pangeran Karna yang lemah menjadi Panglima Perang. Hal itu sontak membuat Panglima mereka tertawa meremehkan, mengenai apa yang mereka lihat.“Apakah Kerajaan Karmapura tidak mempunyai orang lain ya
Pasukan Karmapura Radya telah membawa kemenangan dibawah pimpinan Pangeran Karna. Hal tersebut telah mencelikkan mata orang-orang, yang telah meremehkannya. Dan berubah menjadi kebanggan akan kemampuan Pangeran Karna yang telah melumpuhkan Raja Wirya dan memecahkan ilusi Raja Wirya itu. Yang sebelumnya belum pernah ada yang berhasil memecahkannya. Kini, telah menjadi bukti yang tidak terelakkan.Di lorong menuju Ruang Sidang Istana, Raja Wirya yang terikat berusaha memberontak. Permintaan yang ingin Raja itu lontarkan tidak mau didengar oleh Karna. “Maafkan aku, sekarang engkau adalah tawanan Kerajaan kami. Menyerah saja janganlah memperkeruh suasana dengan permintaanmu itu!!” Karna mendorong kecil sang Raja agar berjalan lebih cepat.“Salam Ayahanda.. lihatlah.. anakmu ini sudah melaksanakan sumpahnya. Dan membawa Raja Wirya ke hadapanmu Ayah.” Setibanya Karna didalam ruang sidang, Karna memberi salam dan disambut meriah semua orang yang melontarkan pujian kepadanya.“Kami semua ti
“Kau pasti akan menderita saat ingin bersatu dengan wanitamu nanti!!” Kutukan itu menggema di seluruh ruangan. Walaupun sepertinya terdengar kejam. Didalam benak Karna tidak ada derita apapun yang akan menghalanginya. Keyakinan itu membuat dirinya tidak menghiraukan kutukan dari Sang Putri. “Beraninya kau mengutuk anggota Kerajaan. Sungguh tidak bermoral. Bawa dia ke bilik penyesalan selama tujuh hari!!” Raja Durwasa yang memerintah langsung direspon oleh prajurit di dalam ruang sidang dan membawa Sang Putri ke dalam Bilik Penyesalan. Sebuah bilik yang memang dihuni oleh orang-orang yang telah lalai dan melakukan kesalahan. *** “Pedang Agni.. kau telah berjasa kepadaku! Terimakasih!” Pangeran Karna menyadari akan jasa pedang pusakanya. Tidak bisa dibayangkan apabila dirinya tidak mendapat pertolongan dari pedang pusaka untuk menunaikan sumpahnya. Pastilah dia akan bernasib sama dengan Sisupala “Pangeran.. itu semua sudah menjadi tugasku.. Siapa wanita itu.. dia beran
Pagi hari yang cerah nampak semua orang gembira menyambut Pangeran Karna di pasar. Pangeran Karna bermaksud membagikan beberapa koin emas kepada semua pedagang itu. Bagaimanapun kutukan yang pernah terlontar sangat menggangu kesehariannya. Berharap dengan acara amal ini. Mampu mengurangi karma buruknya. “Terimakasih Pangeran.. engkau sangat dermawan.. sifatmu tidak seperti yang aku dengar lima tahun lalu. Dan engkau patut menjadi Putra Mahkota!” Perkataan dari seorang pedagang itu disambut hangat pedagang yang lain, seakan setuju. Kegembiraan semua orang terlihat jelas dilihat oleh seorang berjubah hitam, di balik bangunan lumbung padi. “Yang kau harus lakukan adalah membuat sebuah berita kalau Karna tidak normal. Paham?” Adipati Situmba sedang berbisik kepada tiga orang pria di sudut pasar. Dengan menggunakan jubah, Adipati Situmba menutupi diri supaya aman dalam melancarkan konspirasinya. Adipati lantas memberikan sekantung uang perak yang kemudian di sambut gembira ole
Pangeran Karna mengumpulkan keberanian kemudian membuka pintunya.“Perdana Menteri?”Dirinya sangat lega namun juga bertanya- tanya melihat Perdana Menteri mengunjunginya.“Pangeran, bagaimana perburuan mu?”Perdana menteri dengan senyum ramahnya membuat Pangeran Karna reflek mempersilahkan masuk. Kemudian Karna langsung menutupnya kembali.“Apa maksud kedatangan Perdana Menteri mengunjungi saya di tengah malam seperti ini?” tanya Pangeran Karna sambil menuangkan anggur di gelas Perdana Menteri.Pangeran Karna menyuguhkan satu teko anggur untuk mereka minum bersama.“Aku mencium bau konspirasi yang mengarah padamu Pangeran, seseorang atau bahkan lebih berencana merusak reputasi mu!” ucap Sang Perdana Dengan penuh wibawa dan ketenangan, Pangeran Karna berkata,”Aku mengetahuinya, hal ini tepat terjadi setelah Ayahanda berencana mengangkatku sebagai Putra Mahkota.”“Apa rencana mu Pangeran?”Pangeran Karna meneguk anggurnya dan berkata,”Seseorang telah aku utus untuk membantuku mencari
Ruangan gempar mendengar tuduhan itu. Karna berdiri dari kursinya, menatap Sisupala dengan mata tajam penuh kemarahan. Namun, sebelum ia sempat berbicara, Sisupala melanjutkan.“Kakakku, Pangeran Karna, adalah seorang yang sangat cerdik. Bukankah ini cara yang sempurna untuk membungkamku? Dengan mengarang bukti, ia bisa menyingkirkan satu-satunya orang yang berani mempertanyakan kelayakannya menjadi putra mahkota.”Dewan mulai berbisik-bisik, terpecah antara mempercayai bukti yang jelas atau terjebak oleh retorika licik Sisupala. Salah satu penasihat tua, Perdana Menteri Danutra, berdiri untuk menenangkan kerumunan. “Sisupala, jika kau menyangkal, maka katakan dengan jelas—bagaimana surat-surat ini bisa berada di ruang pribadimu? Dan mengapa isinya cocok dengan gosip yang tersebar luas?”Sisupala menarik napas dalam-dalam, wajahnya berusaha menampilkan keyakinan. “Mungkin seseorang telah menjebakku. Aku tidak tahu siapa yang menaruh surat-surat itu di ruanganku, tetapi aku yakin ini a
Langit biru cerah menaungi alun-alun besar di pusat Kerajaan Karmapura. Bendera kerajaan berkibar megah, sementara ribuan warga berkumpul untuk menyaksikan momen yang hanya datang sekali dalam satu dekade: Kompetisi Ketangkasan Pedang Kerajaan Karmapura. Acara ini bukan sekadar perayaan keterampilan bela diri, tetapi juga ajang untuk menentukan siapa pendekar terhebat di seluruh kerajaan.Di tengah riuhnya sorak-sorai penonton, dua sosok Pangeran yang menarik perhatian lebih dari siapa pun: Pangeran Karna, sang penakluk pedang Agni Narakastra sekaligus Putra Mahkota yang baru dan Pangeran Sisupala, seorang ambisius dengan tatapan penuh dendam. Sisupala, meski terampil, selalu merasa berada di bawah bayang-bayang Karna. Kini, ia datang bukan hanya untuk bersaing, tetapi juga untuk menghapus rasa malunya selama ini.Di dalam persiapan, Sisupala berdiri diam, menyusun rencana gelapnya. "Dengan kemampuan Karna sekarang, tidak mungkin aku bisa menang dengan cara biasa," pikirnya sambil
Sisupala duduk di dalam paviliun pribadinya, wajahnya gelap dipenuhi amarah dan kekecewaan. Sorak-sorai kemenangan Karna masih menggema di telinganya, seolah menghujam harga dirinya yang telah hancur. Di sudut ruangan, Adipati Situmba, Paman sekaligus penasihat setianya, berdiri dengan tenang, menatap Pangeran Sisupala yang gusar. “Semua ini sia-sia!” seru Sisupala, membanting cawan emas di tangannya hingga isinya tumpah ke lantai. “Semua rencanamu tidak pernah berhasil, Paman! Kau berkata aku akan menang, kau berkata Karna bisa dijatuhkan! Dan lihatlah sekarang, aku dipermalukan di depan semua orang!” Adipati Situmba tetap tenang, tidak terpengaruh oleh amukan keponakanya. Dengan langkah pelan, ia mendekati Sisupala dan berbicara dengan nada rendah, seperti racun yang menetes ke dalam jiwa. “Tenanglah, Pangeran,” ujarnya. “Kekalahan di arena hanyalah awal dari permainan yang lebih besar. Kompetisi pedang hanyalah tontonan bagi rakyat. Kekalahanmu tidak berarti apa-apa diba
Saat energi mereka menyatu, Karna merasakan sesuatu yang berbeda mengalir dalam dirinya. Pandangannya bukan lagi sekadar melihat, tetapi menangkap sesuatu yang lebih dalam—getaran, niat tersembunyi, bahkan suara hati seseorang yang biasanya terbungkus rapat dalam diam. Ia bisa merasakan ketakutan, ambisi, dan bahkan kebohongan yang belum terucap. Saat Rushali menatapnya dengan mata yang kini berpendar samar, Karna mendengar bisikannya sebelum bibirnya bergerak."Kau mendengar aku?" tanyanya pelan.Karna mengangguk. "Bukan hanya suaramu… tapi hatimu juga."Rushali terkejut, tetapi tubuhnya sendiri kini terasa berbeda. Ia mengangkat tangannya dan melihat bayangan yang seharusnya ada di tanah, seketika lenyap dalam kehendaknya. Seberkas cahaya yang merembes masuk ke dalam gua pun berpendar di telapak tangannya, seolah tunduk padanya."Aku… bisa mengendalikan ini?" bisiknya tak percaya.Ia melangkah maju dan seketika tubuhnya seakan melebur dalam kegelapan, menghilang dari pandangan Karna
Sebelum Karna bisa menyelesaikan kalimatnya, sebuah cahaya biru samar mulai muncul di sekitar tubuh Rushali. Tangannya memancarkan aura hangat yang membuat udara di sekitarnya bergetar hebat. Batu-batu yang sebelumnya menghalangi jalan keluar tiba-tiba melayang perlahan, seolah-olah tidak lagi terikat oleh gravitasi. Beberapa serpihan bahkan melayang di udara, berputar mengelilingi Rushali. “Apa... ini?” bisik Rushali, suaranya bergetar. Mata Karna membelalak. “Kau... Punya kekuatan? kau membangkitkan kekuatanmu?” Namun, Rushali tidak menjawab. Pikirannya terasa kosong, hanya dipenuhi oleh satu hal—keinginan untuk melindungi Karna. Ia mengangkat tangannya secara refleks, dan seketika itu juga, batu-batu besar yang menghalangi jalan keluar terangkat tinggi ke udara, lalu melesat menghantam dinding, menciptakan jalur baru yang sebelumnya tertutup. Rushali terengah-engah. Tubuhnya terasa ringan, seakan kekuatan itu mengalir bebas dalam dirinya. Tapi, bersamaan dengan itu, entah
Langkah mereka tergesa, berkejaran dengan napas yang memburu. Kegelapan menyelimuti lorong istana Kalingga, hanya diterangi nyala api yang memantulkan bayangan menari di dinding-dinding batu. Di belakang mereka, suara pertempuran masih menggema—teriakan kesakitan, denting logam bertemu logam, dan bau darah yang menguar semakin pekat. Rushali berlari di samping Karna, tangannya sesekali menyentuh dinding untuk menjaga keseimbangan. Misi mereka jelas—menemukan jalan keluar, mengumpulkan sekutu, dan menyelamatkan Kalingga sebelum semuanya terlambat. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat dada Rushali terasa lebih berat dari sekadar ketakutan akan kematian. Karna di sisinya, dengan mata elangnya yang terus mengawasi setiap sudut lorong, tubuhnya selalu sedikit condong ke arahnya, seolah naluri pertamanya bukan menyelamatkan diri sendiri, melainkan melindunginya. "Belok kiri!" seru Rushali, mengingat jalur yang lebih aman menuju ruang rahasia di sayap tim
Malam di Kalingga terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus membawa aroma logam yang samar, seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan. Di atas singgasana megahnya, Raja Santanu duduk dengan tenang, wajahnya tetap tenang seperti biasanya. Namun, tatapan tajamnya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya mengabaikan ancaman yang baru saja datang. Di hadapannya, seorang utusan berlutut dengan tubuh gemetar. "Baginda," suaranya parau, nyaris tercekat oleh ketakutan, "desa perbatasan di barat telah terbakar. Tidak ada yang selamat. Hanya ini yang kami temukan di antara puing-puing." Utusan itu mengangkat tangannya, menunjukkan secarik kain hitam berlambang ular bersayap merah. Sebuah tanda yang hanya dikenali oleh mereka yang cukup berani menyelidiki kegelapan sejarah Kalingga. "Bayang Niraka..." bisik seorang penasihat, wajahnya memucat. Namun, Raja Santanu hanya tersenyum tipis. "Mereka mulai bergerak lagi," gumamnya, seolah ini bukanlah hal yang mengejutkan. "Kirim pa
Pagi yang Ceria di Istana KalinggaMatahari pagi mulai menampakkan sinarnya, memancarkan kehangatan lembut yang menerangi taman istana. Aroma dupa yang menenangkan bercampur dengan embun pagi, menciptakan suasana damai yang jarang dirasakan oleh Karna dan Rushali dalam perjalanan mereka.Rushali membuka pintu kamarnya, rambutnya masih sedikit berantakan setelah istirahat yang panjang. Ia meregangkan tubuh sambil menikmati udara segar pagi itu. Pandangannya jatuh ke arah pendopo kecil di sudut istana, tempat Karna duduk bersila dalam posisi meditasi.Rushali menghentikan langkahnya, merasa malu karena ia baru saja bangun, sementara Karna sudah tampak begitu fokus dan tenang. Namun, Karna yang tampaknya merasakan kehadirannya, membuka satu matanya dan melemparkan ucapan menyindir.“Lepas sekali tidurmu, baru bangun jam segini!” ucap Karna dengan nada santai.Rushali yang masih setengah sadar menatapnya dengan mata menyipit. “Aku memang baru bangun, tapi kau tidak perlu mengingatkannya d
Ornamen ukiran berbentuk burung garuda dan bunga teratai menghiasi setiap sudut pintu gerbang, menandakan kearifan lokal yang kuat. Di kejauhan, istana terlihat megah dengan atap berlapis emas yang memantulkan sinar matahari sore.Mereka disambut oleh para prajurit dan pelayan istana yang telah bersiap dengan senyum ramah. Seorang abdi istana melangkah maju, memberikan hormat kepada keduanya."Yang Mulia Raja Santanu menantikan kehadiran Tuan dan Nona," katanya, mempersilakan mereka masuk dengan gestur yang penuh hormat.Rushali memandang Karna dengan sedikit ragu. "Apa menurutmu semua ini tidak berlebihan? Aku tidak merasa kita hanya tamu biasa," bisiknya.Karna mengangguk pelan. "Kita tetap harus waspada. Raja Santanu mungkin memiliki tujuan tertentu."Mereka melangkah melewati aula istana yang dihiasi ukiran khas Jawa, dengan tembok bercat putih gading dan tiang kayu jati berukir rumit. Sesampainya di balairung, Raja Santanu berdiri dari singgasananya. Ia adalah sosok yang berwibaw
Langkah kaki Karna dan Rushali terdengar sayup di tengah sunyinya hutan yang seolah enggan mengungkap rahasianya. Di tangan Karna, artefak itu bersinar dengan cahaya hangat, memancar ke depan seperti lentera ajaib yang memandu mereka. Setiap kali mereka melangkah, cahaya itu bergerak lebih terang, seolah memberi tahu bahwa mereka semakin dekat ke tujuan.Angin dingin berembus lembut, membawa bisikan yang terdengar seperti bahasa kuno, sulit dipahami. Cahaya artefak itu memantul di pepohonan, menciptakan bayangan yang bergerak seperti tarian roh.Rushali berbisik, memandang cahaya artefak dengan takjub. "Cahaya ini... seperti ia hidup, memanggil kita untuk maju. Arjuna, apa kau merasakannya?"Karna mengangguk, matanya tak lepas dari cahaya. "Ya, seperti ia tahu ke mana harus membawa kita. Tapi di mana ujungnya? Apa yang akan kita temukan di sana?"Rushali berbisik, hampir pada dirinya sendiri. "Mungkin... jawaban dari semua misteri ini."Setelah menempuh perjalanan panjang, cahaya arte
Rushali berteriak, napasnya terputus-putus, "Mereka... mereka ingin kekuatannya, Arjuna. Kalung ini... kalung ini adalah kunci... kunci ke rahasia besar yang mereka incar."Sosok berjubah itu tertawa dingin, “Kunci yang seharusnya bukan milik gadis ini. Kau tak tahu, pendekar. Dia bukan siapa yang kau pikirkan. Tapi jika kau tetap ingin tahu, datanglah. Kami akan menunjukkan kebenaran... sebelum kau mati."Karna menyadari bahwa ini lebih dari sekadar penyelamatan. Rushali, kalung itu, dan orang-orang berjubah hitam ini terhubung oleh sesuatu yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Namun, ia tahu satu hal: ia takkan membiarkan Rushali jatuh ke tangan mereka.Karna berdiri di tepi tebing, matanya tajam mengamati sosok berjubah hitam yang mengelilingi Rushali di bawah sana. Cahaya dari Pedang Agni di tangannya berdenyut pelan, seolah mencoba berkomunikasi. Suara lembut seperti bisikan terdengar di benaknya.Pedang Agni: "Jangan gegabah, Karna. Kekuatan mereka tidak bisa kau lawan
Karna berdiri tak jauh dari tempat Rushali duduk, memandangi gadis itu yang tampak tenang meskipun mereka baru saja melalui pertempuran sengit. Namun, matanya tak lepas dari kilauan cahaya lembut yang terpancar dari kalung di leher Rushali. Kalung itu bukan sekadar perhiasan biasa; ia memancarkan aura hangat, nyaris seperti hidup, seolah melindungi pemiliknya. Ia mengenali kalung itu. Dalam salah satu naskah kuno yang pernah dibacanya di perpustakaan kerajaan, tertulis bahwa kalung seperti itu adalah peninggalan para pemimpin besar yang memiliki kekuatan sakti. Tapi bagaimana bisa Rushali memilikinya? Dengan raut penuh keraguan, Karna mendekati Rushali. Karna dengan suara pelan tapi tegas. "Rushali... kalung itu... dari mana kau mendapatkannya?" Rushali tertegun sesaat, lalu tersenyum samar. "Kalung ini? Sudah lama aku memilikinya. Ini... pemberian dari seseorang." Karna mengernyit, matanya menelusuri setiap detail kalung itu. "Pemberian dari seseorang? Jangan anggap ak