Langit biru cerah menaungi alun-alun besar di pusat Kerajaan Karmapura. Bendera kerajaan berkibar megah, sementara ribuan warga berkumpul untuk menyaksikan momen yang hanya datang sekali dalam satu dekade: Kompetisi Ketangkasan Pedang Kerajaan Karmapura. Acara ini bukan sekadar perayaan keterampilan bela diri, tetapi juga ajang untuk menentukan siapa pendekar terhebat di seluruh kerajaan.Di tengah riuhnya sorak-sorai penonton, dua sosok Pangeran yang menarik perhatian lebih dari siapa pun: Pangeran Karna, sang penakluk pedang Agni Narakastra sekaligus Putra Mahkota yang baru dan Pangeran Sisupala, seorang ambisius dengan tatapan penuh dendam. Sisupala, meski terampil, selalu merasa berada di bawah bayang-bayang Karna. Kini, ia datang bukan hanya untuk bersaing, tetapi juga untuk menghapus rasa malunya selama ini.Di dalam persiapan, Sisupala berdiri diam, menyusun rencana gelapnya. "Dengan kemampuan Karna sekarang, tidak mungkin aku bisa menang dengan cara biasa," pikirnya sambil
Sisupala duduk di dalam paviliun pribadinya, wajahnya gelap dipenuhi amarah dan kekecewaan. Sorak-sorai kemenangan Karna masih menggema di telinganya, seolah menghujam harga dirinya yang telah hancur. Di sudut ruangan, Adipati Situmba, Paman sekaligus penasihat setianya, berdiri dengan tenang, menatap Pangeran Sisupala yang gusar. “Semua ini sia-sia!” seru Sisupala, membanting cawan emas di tangannya hingga isinya tumpah ke lantai. “Semua rencanamu tidak pernah berhasil, Paman! Kau berkata aku akan menang, kau berkata Karna bisa dijatuhkan! Dan lihatlah sekarang, aku dipermalukan di depan semua orang!” Adipati Situmba tetap tenang, tidak terpengaruh oleh amukan keponakanya. Dengan langkah pelan, ia mendekati Sisupala dan berbicara dengan nada rendah, seperti racun yang menetes ke dalam jiwa. “Tenanglah, Pangeran,” ujarnya. “Kekalahan di arena hanyalah awal dari permainan yang lebih besar. Kompetisi pedang hanyalah tontonan bagi rakyat. Kekalahanmu tidak berarti apa-apa diba
Langkah-langkah Pangeran Karna terhenti di pintu gerbang arena pertandingan. Pandangannya tertuju pada pedang di tangannya. Pedang itu, yang seharusnya memancarkan aura panas seperti bara api, kini terasa dingin, seolah kehilangan nyawanya.Ia mengernyitkan dahi, matanya tajam memeriksa ukiran pada gagang pedang tersebut. Ukiran itu mirip, tetapi tidak sama. Goresannya tidak sekokoh dan serapi yang ia kenali sejak lama. Tubuhnya mulai menegang. "Ini bukan Agni Narakaska," pikirnya, hati-hati agar tak menarik perhatian siapa pun di sekitarnya.Karna mencoba mengayunkan pedang itu pelan. Tidak ada semburan api atau kilatan merah menyala yang biasa terjadi. Aura panas yang biasa membuat musuh gentar kini benar-benar lenyap. Dirinya tahu pedang ini bukan pedang yang telah menjadi bagian dari dirinya selama ini.Namun, ia tetap tenang. Dalam hatinya, ia tahu kebenaran akan segera terungkap. Pedang Agni Narakastra tidak mungkin hilang begitu saja. Pedang itu adalah pusaka yang hanya setia
Pangeran Karna terdiam, matanya terpaku pada pedang apinya yang bersinar dengan kilau merah keemasan. Kata-kata pedang itu masih bergema dalam pikirannya, meresap hingga ke sanubarinya. Lamunan dan gumam hatinya teralihkan karena dari kerumunan orang-orang yang menentang keberadaannya. Seorang kesatria muncul dari tengah kerumunan, tubuhnya dibalut dengan baju hitam, wajahnya tersembunyi dibalik topeng merah. Satu langkah demi satu langkah, ia mendekat, matanya tajam menatap Pangeran Karna."Jadi, inilah Pangeran Karna," kata kesatria itu dengan suara yang tegas dan penuh penghinaan. "Kau yang begitu beruntung mendapatkan pedang ini, dan kini merasa tak terkalahkan. Tapi, ingat, kekuatanmu hanya semu. Di balik semua itu, kau hanya seorang pengecut yang berlindung di balik senjata, bersembunyi dari kenyataan."Pangeran Karna menatapnya dengan tajam, bibirnya terkatup rapat. Kata-kata itu menusuk jantungnya. Dengan ketenangan yang selalu terpelihara Karna bersuara dengan tenang."Kebe
Pangeran Karna berdiri di depan altar kerajaan, tatapannya terfokus pada pedang api Narakastra yang terbungkus dalam kotak penyimpanan yang terbuat dari logam hitam. Pedang itu, dengan sinar api yang melambangkan kekuatannya, adalah simbol kebesaran dan kemuliaan dari Karmapura. Namun, saat ini, semua itu harus ia tinggalkan. Lima tahun—lima tahun penuh penderitaan, penyamaran, dan pengasingan, jauh dari tanah kelahirannya.Dengan hati yang berat, Karna menatap kotak itu, dimana pedangnya tersembunyi, yang sudah lama menjadi sahabat sekaligus penasihatnya dalam berbagai pertempuran. Api yang biasanya menggelegak dan mengamuk kini terperangkap dalam relung kesunyian, seperti menunggu perintah dari sang pemiliknya."Narakastra," Karna berbisik, suara lembutnya penuh dengan kedalaman perasaan. "Aku tahu, ini berat bagimu seperti halnya bagiku. Tetapi perintah ayahku tidak bisa kuingkari. Aku harus meninggalkanmu, meski tak akan ada yang bisa menggantikan kekuatanmu."Pedang itu, yang se
Panglima Panji memimpin serangan dengan kecepatan mematikan. Ia menghancurkan pintu utama benteng dengan pasukannya yang kini sudah bergabung dari luar. Dalam kekacauan itu, Raja Durwasa tetap berada di belakang garis depan, mengamati kehancuran yang perlahan terjadi sesuai rencananya. Di dalam ruang takhta Singawulan, Raja Kridageni dan Patih berdiri dengan pedang terhunus, mencoba memahami situasi yang begitu tiba-tiba. "Bagaimana mereka bisa masuk tanpa kita sadari?" seru Raja Kridageni matanya menaruh kemarahan dan ketidakpercayaan. Patih menjawab dengan napas tersengal. "Mereka menyamar, Baginda. Mereka sudah di antara kita bahkan sebelum serangan ini dimulai. Teknik perang mereka... ini adalah seni bayangan yang belum pernah kita lihat sebelumnya." Raja Kridageni menggeram. "Durwasa! Licik seperti ular! Tapi aku tidak akan menyerahkan kerajaan ini begitu saja!" Di luar ruangan, Patih mengambil alih pasukan memimpin sisa pasukan Singawulan mencoba menghalangi jalan para pr
Tubuh gadis itu terbawa arus deras hingga akhirnya terdampar di tepi Sungai Persik, dekat Desa Pinang Selatan. Di pagi hari, seorang tabib tua yang sedang mencari tanaman obat menemukan gadis itu tergeletak di pinggir sungai, basah kuyup namun masih bernapas.Tabib itu membawanya pulang ke gubuknya, merawat luka-lukanya, dan merawatnya seperti anaknya sendiri. ***Di dalam gubuk kecil di Desa Pinang Selatan, suara aliran sungai terdengar samar di kejauhan. Di atas kasur jerami, seorang gadis remaja berbaring dengan tubuh lemah dan luka-luka di sekujur tubuhnya. Perlahan, matanya terbuka, namun dunia di sekitarnya terasa asing. Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding bambu terasa menyakitkan bagi matanya.Gadis itu mencoba bergerak, tapi rasa sakit menyerang tubuhnya. Ia teringat sesuatu—bayangan air terjun, jeritan ibunya, dan wajah dingin Panglima Panji. Dadanya sesak, dan seketika air matanya mengalir deras.Nyai Ruchi, tabib tua dengan rambut memutih yang
Dalam hutan lebat di perbatasan Kerajaan Karmapura, matahari senja mengintip di antara dedaunan, menciptakan bayangan panjang yang bergerak seperti makhluk hidup. Pangeran Karna berjalan dengan hati-hati. Ia tahu wilayah ini penuh dengan bahaya, dari binatang buas hingga manusia yang lebih buas. Tiba-tiba, suara teriakan nyaring memecah keheningan. "Tolong! Tolong aku! Aku tidak punya apa-apa lagi! Kalau kalian mau, ambillah jerukku saja!" suara itu berasal dari seorang pria muda yang kurus dengan rambut acak-acakan. Ia dikelilingi oleh sekelompok perampok bersenjata tajam. Karna bersembunyi di balik pohon, memperhatikan pria itu yang tampak lebih bingung daripada takut. Salah satu perampok berteriak, "Diam! Kami tidak butuh jeruk! Serahkan semua barang berhargamu!" Pria itu, yang belakangan diketahui bernama Jayanta, dengan polos merogoh sakunya dan mengeluarkan kulit jeruk. "Ini, kalau kalian tidak mau, mungkin kalian bisa jadikan obat nyamuk?" Namun, sebelum perampok bisa be
Tak mendapat sahutan apapun dari sang peluncur panah. Mata elang Karna masih terus beredar melihat dan memeriksa sekeliling. Rushali mencabut anak panah itu mengamatinya dengan pasti. “Siapa yang telah menghujani kita dengan anak panah ini?”Serangan tak bertuan itu membuat ujung hari mereka tak tenang. Setelah mendapatkan potongan artefak yang pemiliknya diduga dari 50 tahun lalu itu.Rushali pun menyimpulkan,”Akankah pemilik serangan ini, adalah anggota baru Bayang Niraka?” Rushali menemukan sebuah tanda,”lihat ini Arjuna, anak panah yang sama seperti yang kau tangkap waktu itu..sewaktu aku mengobati para petani.. apa kau ingat!”Karna memastikan ucapan Rushali dan mengamati anak panah itu,”Rupanya kita telah diikuti oleh mata-mata mereka, Bayang Niraka..!”Pergerakan yang dilakukan mereka berdua entah bagaimana dapat tercium oleh Bayang Niraka.“Dalam penyelidikan ini sepertinya kita tidak boleh percaya kepada sembarang orang Arjuna.. siapapun yang melihat kita menaiki Gunung ini
Gerbang kegelapan berdiri kokoh menjulang seperti mulut neraka yang siap melahap apa saja. Di hadapannya berdiri sesosok raksasa bertubuh gelap dengan mata merah menyala, menatap Karna dengan penuh kebencian. Udara sekitar terasa pekat, penuh dengan aura kematian, yang menyelimuti setiap sudut tempat itu.“KRAAAARGHH!” Raksasa itu meraung melompat ke arah Karna dengan cakar runcingnya yang mengkilat seperti baja.Karna menghindar gesit, tubuhnya meliuk, nyaris saja cakar raksasa itu merobek dadanya.“Sial, makhluk ini terlalu kuat” gumamnya sambil menggenggam pedang Agni erat-erat. Api dari pedang itu menyala terang, seolah hendak menjawab kegelisahan tuannya.“Karna.. kelemahan makhluk itu ada di bagian tubuhnya. Amatilah pergerakannya, dia seperti melindungi satu bagian tubuh.” bisik Pedang Agni padanya.Namun, Karna tak sempat menjawab, raksasa itu sudah mengayunkan tinjunya.“BOOM!”Tanah itu terguncang, menciptakan lubang besar tepat di tempat Karna berdiri, beberapa saat yang l
Rushali berjalan beberapa langkah di belakang Karna. Mata gadis itu menatap punggung lelaki yang tegap itu dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Sejak tadi malam, Karna tak banyak bicara setelah membangunkannya dari tidur. Namun, langkah pemuda itu begitu pasti, seolah ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.Tak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Rushali akhirnya membuka suara."Arjuna..." panggilnya pelan, namun cukup jelas untuk membuat Karna menoleh.Karna melambatkan langkahnya, menatap gadis itu dengan mata yang selalu tampak tegas namun menyimpan ketenangan. "Ada apa, Rushali?"Rushali menghela napas dalam, berusaha mencari kata yang tepat. "Aku ingin tahu… ke mana kita sebenarnya setelah ini? Kau belum mengatakan apa pun sejak kita meninggalkan tempat itu."Karna berhenti, memandang ke kejauhan di mana kabut perlahan menipis. Cahaya mentari pagi mulai menyinari wajahnya, menampakkan sosok seorang pemuda yang tampak jauh lebih dewasa dari usianya. Setelah bebe
“Aku peringatkan sekali lagi untuk pergi!” teriak Rushali Namun sebelum bencana itu terjadi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Karna, yang sebelumnya hanya berdiri terpaku, tiba-tiba mengulurkan tangannya ke depan. Matanya bersinar tajam, penuh keyakinan. Suara beratnya bergema di tengah keheningan. "Datanglah kepadaku." Pedang pusaka yang terbaring di altar batu seketika bergetar hebat. Api di bilahnya membesar, lalu dengan kecepatan kilat pedang itu melesat melampaui udara malam, tertarik kuat menuju genggaman Karna. Rushali hanya bisa memandang dengan mata terbelalak saat pedang itu menempel di tangan Karna, seolah telah lama menantikan panggilan tuannya. Dalam sekejap, Karna melompat tinggi, tubuhnya melampaui Rushali dan berada di antara gadis itu dan serigala yang siap menyerang. Pedang Api bersinar terang di genggaman Karna, memantulkan cahaya merah yang menyebar ke seluruh area. Namun sebelum pertarungan benar-benar pecah, sebuah suara berat muncul dari balik punggung
Malam itu, kabut tipis turun menyelimuti hutan di kaki gunung Haridra. Udara dingin menggigit kulit, menciptakan suasana yang sunyi dan mistis.Di dalam sebuah ceruk kecil, altar batu kuno berdiri dengan sederhana, nyaris tersembunyi di antara akar pepohonan yang menjalar. Sebuah tempat berteduh yang Karna dirikan di sebelah altar itu, Rushali termenung melihat Pedang itu. Di atas altar itu, sebuah pedang berkilau dengan nyala api kemerahan tampak hidup, berpendar redup seperti jantung yang berdetak. Pedang itu bukan pedang biasa—ia adalah Pedang Api, pusaka legendaris yang menyimpan kekuatan luar biasa, dan sekarang berada dalam penjagaan Rushali.Rushali berdiri di sana, tubuhnya tampak kecil di antara bayangan pohon-pohon raksasa. Cahaya lembut dari pedang menyinari wajahnya yang penuh rasa khawatir dan keraguan. Suara Karna—atau Arjuna, seperti yang ia kenal sekarang—masih menggema di benaknya."Rushali, aku harus pergi bermeditasi. Tiga hari kedepan aku akan meninggalkanmu. Jag
Pagi itu, aula utama Akademi Kanuragan dipenuhi dengan antusiasme yang tegang. Hari ujian kelulusan kelas penyelidikan telah tiba, momen yang akan menentukan kemampuan setiap murid untuk menyelesaikan misi nyata. Para murid, termasuk Rushali, berdiri dalam barisan rapi, menunggu giliran untuk mengambil gulungan misi mereka dari sebuah kotak kayu tua yang dihias ukiran rumit. Di tengah suasana itu, Rushali merasakan campuran kegugupan dan semangat. Tiga bulan berlalu dengan penuh latihan keras dan pembelajaran mendalam. Dari seorang gadis yang merasa tak berdaya, ia kini berdiri dengan penuh keyakinan, siap menghadapi tantangan apa pun. “Rushali,” panggil Tumenggung Arya, suaranya tegas dan menggetarkan. Rushali melangkah maju, menarik napas dalam-dalam sebelum memasukkan tangannya ke dalam kotak. Jari-jarinya menyentuh gulungan yang terasa hangat, seolah-olah telah menunggu untuk dipilih olehnya. Dengan hati-hati, ia menarik gulungan itu keluar, membuka kertasnya perlahan, dan mu
Rushali duduk di bawah pohon beringin besar di halaman belakang rumahnya, memandangi dedaunan yang bergoyang diterpa angin. Kepergian Karna yang tiba-tiba meninggalkan kehampaan dalam hatinya. Meski ia paham betapa pentingnya misi yang diemban Karna, tetap saja rasa khawatir dan kesepian itu menyelimuti dirinya.Ia menggenggam sehelai kain kecil—potongan dari selendang yang pernah Karna gunakan saat melindunginya dari dingin. Tanpa sadar, ia mengelus kain itu, mencoba menenangkan dirinya. Namun, pikirannya terus berputar.Rushali mendesah resah“Apakah dia baik-baik saja? Apa dia terluka? Apa aku egois karena ingin dia tetap di sini?” pikir Rushali, matanya mulai berkaca-kaca.Langkah kaki mendekat, dan suara riang yang sudah akrab terdengar. Jayanta muncul dengan senyumnya yang selalu membawa sedikit keceriaan di tengah kesedihan.“Rushali,” panggil Jayanta, suaranya lembut tapi penuh semangat.Rushali menoleh, mencoba menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. “Oh, Jayanta. Ada apa?”
Karna berdiri di teras yang berpagar di rumah Panggung Pak Tandri, menatap jauh ke arah selatan. Matahari yang terbenam menciptakan siluet pegunungan di cakrawala. Angin yang lembut mengelus wajahnya, tetapi ketenangan yang dirasakan oleh rakyat Pinang Selatan, tidak dapat menembus gundah yang meliputi hatinya. Sudah beberapa bulan sejak ia berhasil menghancurkan sekte Bayang Niraka, tetapi rasa damai itu terasa hampa, seperti awan gelap yang enggan pergi sepenuhnya. Sesuatu masih mengintai. Tiba-tiba, pintu kayu di belakangnya terbuka perlahan. Jayanta, sahabat setianya, melangkah masuk sambil membawa sepoci teh hangat. Senyum riangnya seperti biasa memecah keheningan. “Pendekar, kau melamun lagi,” kata Jayanta sambil menuangkan teh ke dalam cangkir. “Jika kau terus seperti ini, aku khawatir kau akan berubah jadi patung yang termenung di teras! Dan seperti yang orang banyak katakan, lebih baik kau terima saja tawaran para penduduk untuk menjadi pemimpin Arjuna!” Karna menunduk
Pangeran Karna, yang kini menyamar sebagai Arjuna, berdiri di depan tungku pandai besi yang masih mengepulkan asap panas. Tangan kasarnya mengangkat bilah tajam yang baru selesai ditempa—karya terakhirnya hari itu di gubuk sederhana milik Pak Tandri. Cahaya siang memantulkan kilauan halus pada logam yang masih merah karena panas, dan ia merasa puas melihat hasil jerih payahnya. “Pekerjaanmu makin rapi, Nak Arjuna,” puji Pak Tandri sambil mengusap peluh di dahinya. “Jika kau bertahan lebih lama di sini, aku yakin kau bisa menjadi pandai besi yang andal.” Karna hanya tersenyum samar. Pujian itu menghangatkan hatinya, meski ia tahu dirinya tak mungkin menetap selamanya. “Terima kasih, Pak Tandri. Aku hanya belajar dari kearifan yang kau ajarkan.” Setelah menyerahkan bilah itu pada Pak Tandri, Karna membersihkan dirinya di sumur kecil di belakang gubuk. Di sana, ia menemukan Jayanta sudah menunggunya, duduk dengan santai di atas batu besar sambil mengunyah ketela bakar. “Kau lambat